Cerita #3
Chicago, 01:00 AM
Hal pertama yang dirasakan Sarah saat terbangun adalah dingin. Tubuhnya seperti direndam dalam air es selama beberapa jam. Hal kedua yang ia lakukan adalah spontan menggigil. Ia bahkan sempat mengira bahwa mungkin saja ia terbangun di musim dingin. Walau kenyataannya saat ini masih musim panas.
Tubuhnya lemas. Sangat lemas bahkan, hingga tak ada lagi tenaga tersisa untuk bangun dari tempat tidur. Tapi ia harus bangun sekarang.
Sarah terperanjat saat kesadarannya telah penuh. Pantas saja ia kedinginan sampai menggigil, ia nyaris tidak memakai satu helai kain pun di tubuhnya! Untuk memperburuk keadaan, ia tertidur dengan pendingin ruangan yang masih menyala.
"Sialan, Robert pasti lupa mematikan AC ketika pergi."
Robert, lelaki hidung belang yang menyewanya malam ini, sebenarnya adalah mantan rekan kerjanya saat masih menjaga kasir sebuah toko kosmetik. Pada awalnya, Sarah hanya meminta bantuan Robert untuk meminjamkannya sejumlah uang. Ia sudah menunggak membayar sewa kamar selama 3 bulan, dan jika tidak segera dibayar, ia terancam diusir.
Sarah tahu, Robert suka menyewa perempuan jalang untuk bersenang-senang. Dulu ia sering menasihati Robert untuk meninggalkan perbuatan dosa itu. Tapi rupanya, ia sekarang justru terjerumus ke dalam dosa yang sama. Ia menyetujui tawaran Robert untuk menjadi teman tidurnya untuk satu malam, baru setelahnya Robert akan memberinya uang tanpa perlu ia bayar kembali. Sebuah tawaran yang menguntungkan bagi Sarah yang sudah sampai di jalan buntu. Ia akan lakukan apa saja asal ia tetap bisa tinggal di kamar sewanya lebih lama.
"Oh shit," erang Sarah saat ia mencoba bangkit dari tempat tidur. Sarah tak habis pikir mengapa banyak perempuan di luar sana yang memilih menjadi pelacur, padahal pekerjaan ini sama melelahkannya dengan pekerjaan lain. Sarah menyesali keputusannya untuk menjual tubuhnya kepada Robert. Ia lelah, sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia bahkan merasa kotor dan tak berguna.
Setelah memastikan Robert benar-benar meninggalkan sejumlah uang di atas nakas--ia mengecek ke dalam amplop putih itu dan mendapati jumlahnya sangat cukup bahkan untuk membayar sewa 5 bulan ke depan, Sarah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Sarah menggosok keras-keras seluruh tubuhnya. Berharap dengan melakukan itu tubuhnya menjadi suci kembali. Ia tak bisa mengingat dengan jelas apa saja yang telah dilakukannya bersama Robert ketika tidur--lebih tepatnya, apa yang telah Robert lakukan terhadapnya. Yang ia ingat hanyalah ketika Robert memeluknya sambil berusaha melucuti pakaiannya. Sarah bergidik ngeri ketika mengingat secuil kenangan itu. Ia kembali merasa kotor dan tak berguna.
Perasaan hina seolah menghantuinya bahkan setelah ia keluar dari kamar mandi, saat ia telah berada di meja rias sederhana yang tersedia di kamar motel ini. Biasanya ia akan betah berlama-lama mematut diri di depan cermin. Kali ini, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
"Kau, tak ada bedanya dengan pelacur-pelacur di luar sana, yang sering kau cibir sepulang kerja. Kau sama hinanya dengan mereka," gumam Sarah kepada pantulan dirinya di cermin oval. Sarah mulai menangis. Awalnya hanya isakan, lama-kelamaan menjadi ratapan yang memilukan.
Saat kembali memandang dirinya melalui cermin, Sarah baru menyadari keberadaan lukisan itu. Lukisan Bunda Maria yang digantung tepat di atas tempat tidur. Seolah tak memercayai penglihatannya sendiri, Sarah menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa pantulan lukisan di cermin itu bukanlah halusinasinya.
Sarah tertegun karena lukisan itu benar-benar ada di sana. Menjadi saksi perbuatan hinanya dengan Robert sepanjang malam. Namun, Sarah justru menyadari hal lain yang semakin membuatnya merasa berdosa.
Detik berikutnya Sarah mengambil barang-barangnya dengan tergesa, dan segera keluar menembus dinginnya malam kota Chicago yang masih tertidur lelap.
***
Sarah termenung di 7-eleven hingga matahari menampakkan dirinya. Penjaga kasirnya adalah temannya sendiri, jadi ia tak perlu takut diusir karena terlalu lama nongkrong dengan hanya membeli satu kaleng bir.
"Are you okay?" Hellen datang menghampirinya setelah shift jaga malamnya selesai.
"I wish I am," jawab Sarah pelan, diiringi dengan helaan napas berat. Ia benar-benar berharap dirinya baik-baik saja. Meskipun ia tak perlu khawatir lagi tentang membayar uang sewa bulanan, tapi apa yang terjadi semalam menjadi beban baru yang harus ditanggungnya.
"Kau sudah mendapat pinjaman uang dari Robert? Mungkin aku tidak bisa memberimu pinjaman, Sarah. Tapi aku janji akan membantu melunasi utangmu ke Robert."
Kalimat Hellen itu kembali membuat Sarah ingin menangis. Andai temannya itu tahu bahwa Sarah telah mengorbankan harga dirinya untuk mendapatkan uang.
"Don't worry 'bout me. Aku tak perlu melunasi utangku ke Robert."
Mata Hellen membelalak. "Maksudnya? Robert memberikan uangnya secara cuma-cuma? Wow tak ku sangka--"
"Bukan begitu. Kita tahu Robert seperti apa. Dia selalu meminta pamrih setiap memberikan sesuatu."
Hellen menaikkan sebelah alisnya, rasa penasaran meliputi wajah kecilnya. "Lalu? Apa yang kau lakukan? Apa yang dia minta darimu sebagai ganti uangnya?"
Sarah ingin menjawab yang sesungguhnya, tapi ia sangat mengenal Hellen. Jawaban jujurnya justru akan membuat Hellen murka, bahkan mungkin temannya itu tak segan-segan menghabisi Robert hingga babak belur karena tega meniduri temannya sendiri. Jadi Sarah hanya memberikan senyuman ambigu, lalu bergegas keluar dari 7-eleven karena ia harus pergi ke suatu tempat.
***
Jantung Sarah tak berhenti berdebar saat menunggu di luar kamar pengakuan. Meskipun ini bukan pertama kalinya ia melakukan sakramen tobat, tapi apa yang akan diakuinya kali ini tergolong dosanya yang paling besar--dan memalukan.
"Allah Roh Kudus, tolonglah saya untuk mengingat segala perkataan, perbuatan, dan kelalaian yang telah menyakiti orang lain dan yang sudah menyakiti hati Tuhan, dengan melanggar perintah-perintahMu. Bantulah saya untuk menyesali dosa saya dan dapat mengaku dengan baik, demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin."
Selesai berdoa dan mempersiapkan segenap batin, Sarah memasuki kamar pengakuan untuk mengaku dosa di hadapan pastor.
Pastor yang baru saja ditasbih bulan lalu, menyambut Sarah dengan Alkitab di pangkuan. Namanya Peter, ia masih terlihat muda. Sarah pernah menyukainya saat masih sama-sama terlibat dalam pelayanan remaja. Sayangnya keputusan laki-laki itu untuk mengabdi menjadi pastor, mematahkan harapan Sarah untuk mempunyai pacar seorang aktivis gereja.
"Sarah?" Peter langsung mengenali Sarah, meskipun mereka sudah lama sekali tidak bertemu.
"Ya, ini aku," jawab Sarah mencoba menutupi rasa gugupnya. Kalau saja ia tahu Peter yang akan melayaninya hari ini, maka Sarah lebih memilih untuk melakukan sakramen tobat di gereja lain saja.
"Long time no see. Kau masih aktif di gereja kah? Aku tak pernah melihatmu lagi sejak menjalani pendidikan ...."
"Peter, bisakah kita bernostalgianya nanti saja. Aku harus mengaku dosa sekarang."
"Oh, baiklah. Maaf, aku terlalu bersemangat setelah bertemu denganmu. Mari kita mulai sekarang."
Setelah Peter memberi tanda, Sarah perlahan berlutut di hadapan pastor muda itu, sementara Peter masih duduk di bangkunya. Raut wajahnya telah berubah dari 'Peter-si-teman-lama' menjadi 'Peter-si-pastor-baru-yang-harus-disegani'. Keringat dingin membasahi dahi Sarah. Pengakuan dosa tidak pernah semenegangkan ini.
"Pastor, berkatilah saya orang berdosa." Sarah membuat tanda salib dengan kepala menunduk, tangannya sedikit bergetar saat melakukan itu. Demi Tuhan, Sarah menjadi semakin gugup untuk mengakui dosa di hadapan pastor yang merangkap teman lamanya ini.
"Pengakuan saya yang terakhir adalah tanggal 23 bulan yang lalu. Dosa-dosa saya adalah ...." Sarah meneguk ludahnya sendiri. Mendadak lidahnya kelu.
"Lanjutkan, Sarah. Saya bukan temanmu sekarang. Saya adalah pastor yang akan mendengarkan pengakuanmu dan memberikan pengampunan yang kau minta."
Kalimat penyemangat dari Peter cukup membantu Sarah menenangkan batinnya. Setelah mengambil napas panjang, Sarah kembali melanjutkan pengakuannya.
"Dosa-dosa saya adalah, demi membayar uang sewa kamar yang sudah menunggak 3 bulan, saya menjual tubuh saya kepada Robert, teman saya yang juga pernah menjadi rekan kerja saya dulu di toko kosmetik."
Sarah tak menyangka ia akan mampu menyelesaikan kalimat itu dalam satu tarikan napas. Sementara Peter menjalankan tugas pelayanannya sebagai pastor dengan sangat baik dengan tidak memberikan komentar apapun, meskipun sebenarnya ia begitu terkejut dengan pengakuan Sarah.
Setelah memberikan penitensi dan absolusi, barulah Peter bisa bernapas lega dan meletakkan Alkitab di meja di sebelahnya.
"Sarah, tugasku sebagai pastor sudah selesai sekarang. Bisakah kita berbincang sebentar di luar? Tunggu aku di taman depan gereja, okay? Aku akan ganti baju dulu."
***
Peter telah berganti pakaian dengan baju yang lebih santai. Tapi tak menghilangkan kesan bahwa ia adalah pemimpin gereja yang berwibawa. Lelaki jangkung dengan potongan rambut rapi itu menghampiri Sarah yang telah menunggunya di salah satu bangku berangka besi.
"Aku akui, aku cukup terkejut dengan pengakuanmu tadi," mulai Peter.
"Kalau kau hanya ingin mempermalukanku, lebih baik aku pulang saja," balas Sarah yang sudah mulai tidak betah berlama-lama di gereja. Meskipun sudah mendapatkan pengampunan, ia tetap merasa tidak layak berada di rumah Tuhan ini.
"Bagaimana mungkin aku mempermalukanmu? Kau adalah temanku, Sarah."
"Bagaimana mungkin kau mau berteman denganku? Kau menjadi pastor sekarang. Sedangkan aku, hanyalah wanita jalang yang menjual tubuhnya ke temannya sendiri!"
Peter menghela napas berat. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi Sarah yang mentalnya sedang tidak stabil ini.
"Ayolah, Sarah. Kau kan sudah mendapat pengampunan. Lagipula kau hanya melakukannya sekali, dan itu karena terpaksa. Tapi sekalipun kau melakukan dosa itu berulang kali, aku akan tetap menjadi temanmu dalam Tuhan."
Sarah memandang Peter tak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Kita, manusia, semuanya berdosa," jawab Peter mantap. Tapi Sarah tetap tidak mengerti apa maksud perkataan Peter.
"Tapi kau pastor, Peter."
"Bukan berarti aku jadi manusia paling suci di muka bumi, kan?"
Sarah tertegun. Ia mulai bisa memahami arah pembicaraan Peter.
"Di dalam gereja, aku memang jadi pemimpin umat. Tapi, di luar gereja, seperti kita sekarang ini misalnya, aku hanyalah anak muda berumur 28 tahun yang kadang masih mempertanyakan jalan hidupku sendiri. Aku juga rutin melakukan pengakuan dosa seperti jemaat lain. Meskipun aku telah menjadi pastor, aku tetap tak bisa berbebas dari dosa. Aku hanyalah manusia biasa yang mengabdikan hidupnya untuk Tuhan."
"Apa kau tidak malu berteman dengan wanita jalang sepertiku? Oke, aku memang baru melakukannya sekali. Tapi tidak ada yang tahu, kapan aku akan melakukannya lagi."
Peter terlihat berpikir sejenak. Sarah tidak akan marah jika pada akhirnya Peter memutuskan untuk meninggalkannya.
"Sudah aku bilang tadi, kita sama-sama manusia berdosa. Tidak ada alasan bagiku, untuk menjauhi seseorang hanya karena apa yang telah mereka perbuat. Pertama, Tuhan mengajarkan kita kasih; yang mana kita harus mengasihi sesama tanpa memandang dia siapa, asalnya dari mana, seperti apa latar belakangnya. Kedua, aku adalah pemimpin umat di gereja ini; sudah menjadi kewajibanku untuk merangkul seluruh warga jemaat, menjadi telinga ketika mereka membutuhkan teman untuk curhat. Ketiga, aku mengenalmu sejak kita masih di Sekolah Minggu, dan aku tahu kau tidak akan melakukannya lagi."
Air mata mulai menggenangi pelupuk mata Sarah. Entah sudah berapa kali pagi ini, ia merasa begitu emosional tapi air mata tak pernah bisa keluar. Tapi kalimat terakhir Peter begitu menyentuhnya, hingga akhirnya air mata itu tak lagi bisa terbendung. Sarah menangis dengan Peter menepuk pundaknya pelan.
"Aku jadi teringat salah satu kisah di Alkitab, yang hampir sama dengan kisahmu tadi," kata Peter. Sarah yang sedari tadi tersedu dengan kepala menunduk, mendongak untuk menatap Peter. Sorot matanya teduh, Sarah mampu memandangi kedua mata teduh itu seharian tanpa bosan.
"Apa?" tanya Sarah dengan suara serak.
"Sewaktu Yesus sedang makan di rumah Lewi, si pemungut cukai, ahli-ahli Taurat bertanya mengapa Dia mau makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Tahu apa jawaban Yesus?"
Sarah menggeleng. Sepertinya itu cerita yang pernah didengarnya ketika Sekolah Minggu. Ia sendiri sangat jarang membaca Alkitab--kecuali di hari Minggu ketika misa--jadi Sarah sudah lupa hampir semua kisah yang ada di Alkitab.
"Yesus menjawab: Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Sarah terkesiap. Namun Peter hanya tersenyum simpul lalu meninggalkan gadis itu termangu di tempatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro