Cerita #10
Namjoon datang lebih awal hari ini. Laki-laki itu menenteng tas kertas berisi beberapa gulung kertas karton beraneka warna dengan satu tangan. Sementara tangan yang lainnya menggenggam ponsel. Tampangnya begitu kusut, seolah baru saja menjalani rapat panjang dengan anak-anak BEM. Laki-laki itu pernah bercerita bahwa dia baru saja ditunjuk sebagai ketua BEM fakultasnya bulan lalu.
Namjoon berjalan langsung menuju tempatku berjaga, kedua matanya fokus memandangi jajaran wadah berisi sayur.
"Mau makan apa hari ini, Pak Ketua BEM?" godaku.
"Panggil aku Namjoon aja bisa gak sih?" Namjoon menatapku tajam. Aku yang awalnya ingin kembali menggodanya, seketika terdiam. Sepertinya Namjoon sedang dalam suasana hati yang tidak baik hari ini.
"Oke, oke. Aku ralat. Mau makan apa hari ini, Mas Namjoon yang paling ganteng sekampus FISIP?" Aku tidak tahan untuk tidak menggoda pelanggan warung makanku, yang kini juga telah menjadi teman baikku ini.
Tatapan jengah itu masih ditujukan padaku, tapi Namjoon tak lagi mempermasalahkan panggilanku untuknya. Laki-laki itu memang cukup senang dipuji. Namjoon memesan nasi pecel dan es kopi seperti biasanya. Setelah selesai menyiapkan dan menyajikan makanannya di meja, aku bergabung duduk dengannya karena tidak ada pelanggan lain yang harus aku layani saat ini.
"Habis rapat lagi?" tanyaku. Namjoon masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Namun tak lama dia mulai menyentuh makanannya sambil menanggapai pertanyaanku.
"Iya. Besok mau demo."
"Demo? Demo memasak? Atau demo yang ngumpulin orang banyak terus ngomong di depan kantor pemerintahan?"
Namjoon tergelak oleh pertanyaan konyolku. "Yang kedua," jawabnya, lalu dia kembali menyendok nasi pecelnya.
Aku menghela napas. Mahasiswa yang berkuliah di kampus di depan gang sana, sering membahas tentang demo ketika mereka makan di warungku. Aku juga sering mendengar tentang demo dari siaran berita di televisi. Dari sana aku selalu punya kesan tidak bagus tentang demo. Kegiatan itu hanya menimbulkan kekacauan, rusaknya fasilitas umum, bahkan tak jarang ada korban luka dan meninggal. Mengapa Namjoon mau melakukan kegiatan yang berbahaya itu?
"Itu gak berbahaya selama orasinya dilakukan dengan damai. Yang sering kamu dengar itu bukan demo yang bener. Maksudku yang suka ngerusak fasilitas umum. Aku juga gak setuju demo yang malah memicu kekacauan apalagi yang pakai kekerasan. Aku udah mewanti-wanti anak-anak buat cuma menyampaikan orasi, abis itu pulang. Gak perlu pakai tawuran."
Meski Namjoon telah menjelaskan dengan panjang lebar, namun perasaanku justru tidak enak.
"Memangnya kalian mau demo masalah apa sih? Dan mau demo di mana? Gak bisa ya masalahnya disampaikan dengan cara rapat kayak yang biasanya kamu lakukan?"
"Tentang UU Cipta Kerja. Ada beberapa pasal yang akan merugikan kaum buruh--"
"Di mana demonya?" Potongku cepat karena perasaan cemas mulai membuatku tidak nyaman. Aku teringat berita tentang demo mahasiswa yang aku tonton kemarin malam. Di mana ada satu mahasiswa yang tewas karena terkena peluru nyasar.
"Di depan kantor DPRD."
Namjoon mulai menjelaskan berbagai persiapan yang telah dilakukannya dengan teman-teman satu organisasinya. Tentang siapa saja yang akan melakukan orasi. Tentang tugasnya membuat poster sebagai atribut demo. Jam berapa dan di mana mereka akan kumpul untuk bersama-sama berangkat ke kantor DPRD. Namjoon bahkan menjelaskan beberapa tuntutan yang akan disampaikan selama demo. Dia menjelaskan semua itu dengan penuh semangat. Namun bagiku, ceritanya hanya lewat sekilas. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku justru lebih mengkhawatirkan keselamatannya.
"Namjoon..."
Namjoon telah selesai bercerita. Sekarang dia sedang menyeruput es kopinya sambil memainkan ponsel. Dia seketika mendongak saat namanya aku panggil. Sorot matanya menyiratkan pertanyaan. Namun aku hanya diam memandanginya. Di dalam kepalaku terputar kilas balik perkenalan pertamaku dengannya.
Kira-kira lima bulan yang lalu. Warungku yang berlokasi di dekat kampus negeri terkemuka di Solo, dan berada di lingkungan kos mahasiswa, menjadikannya selalu ramai oleh kehadiran mahasiswa dan mahasiswi dari pagi hingga malam hari. Kebanyakan mereka datang makan dengan teman-teman segeng. Kecuali Namjoon yang datang sendiri saat pertama kali makan di warungku.
Saat itu warungku sedang sepi pengunjung. Hanya Namjoon satu-satunya mahasiswa yang makan di warungku. Sambil menyendok makanan, matanya tak lepas dari buku di hadapannya. Pemandangan itu membuatku tertarik untuk mengobrol dengannya. Aku yakin, meski aku tak bisa kuliah, aku tetap bisa mendapatkan sedikit pengetahuan dengan berteman dengan anak kuliahan.
Namjoon adalah pemuda yang supel, namun juga rajin berorganisasi. Niat awalku untuk berteman dengannya, lama-lama justru membuatku semakin tertarik dengan pesonanya. Namjoon sangat serius ketika membahas tentang isu sosial politik terkini. Dia bahkan sesekali menceritakan tentang materi kuliah yang baru dipelajarinya hari itu kepadaku. Meski kedengarannya Namjoon seperti mahasiswa kura-kura yang kerjaannya kuliah-rapat kuliah-rapat, dia tergolong pemuda yang cukup humoris.
Aku tak pernah berani menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya kepadanya. Namjoon juga sepertinya tipikal pemuda yang lebih memilih fokus kuliah dibanding mengurus masalah percintaan. Aku menjaga agar hubungan kami hanya sebatas teman baik. Karena meski aku menyukainya sebagai laki-laki, aku lebih menyayanginya sebagai sosok teman yang bisa aku andalkan. Namjoon adalah teman yang sangat spesial bagiku. Dan aku tidak akan pernah mau kehilangannya.
"Kenapa, Mel?"
Aku segera tersadar dari lamunanku. Namjoon memandangiku dengan keheranan. Aku langsung teringat pada salah satu janjinya sebelum maju sebagai calon ketua BEM.
"Kamu jadi kan traktir aku makan di Catniphora Cafe? Kamu udah janji mau ngajak aku ke sana kalau kepilih jadi ketua BEM, tapi belum kamu tepati sampai sekarang."
"Kamu ngelamun dari tadi cuma mau nagih janji?" Namjoon terkekeh.
"Ya enggak juga, sih. Tapi tetep aja aku ingetin, siapa tahu kamu lupa karena terlalu sibuk sama urusan BEM," cibirku.
"Astaga mana mungkin aku lupa sih, Mel? Hahaha Oke, gimana kalau besok sehabis demo? Habis dari DPRD aku langsung ke kafenya. Kita ketemuan di sana?" lanjut Namjoon.
"Aku maunya kamu gak usah ikut demo, tapi kayaknya percuma ngelarang kamu juga."
Namjoon tampak merasa bersalah. "Aku janji aku bakal jaga diri. Demonya gak bakal lama kok."
Namjoon meyakinkanku dengan meremas kedua bahuku. Perasaan tidak enak itu masih bersemayam di hatiku meski aku tahu Namjoon akan bisa menjaga dirinya.
Namjoon menyerahkan sejumlah uang untuk membayar makanannya sambil kembali meyakinkanku. "Aku bakal langsung pulang dan nyusul kamu ke kafe. Ah, enggak. Aku langsung kabari kamu deh kalau demonya selesai. Biar kamunya bisa ngira-ngira jam berapa harus berangkat, biar gak nunggu lama juga. Oke?"
Meski agak berat hati, aku terpaksa mengiyakan. Dan berharap perasaan tidak enak ini tidak berarti apa-apa.
***
Aku menutup warung lebih awal. Namjoon baru saja mengirim chat bahwa demonya berjalan lancar dan damai. Setelah evaluasi dia akan langsung menuju kafe sesuai yang dijanjikannya kemarin. Aku tersenyum lega. Firasat burukku kemarin tidak menjadi kenyataan. Hari ini aku akan makan berdua dengan Namjoon. Atau bisa dibilang ini adalah kencan pertamaku dengannya?
Aku tak bisa berhenti tersenyum memikirkan hal itu. Setelah sekian lama kami hanya mengobrol di warung kecil ini di sela-sela kesibukan kuliahnya, akhirnya aku dan Namjoon akan melakukan hal yang biasanya dilakukan anak muda seusia kami: makan di kafe yang sedang hits. Sejujurnya itu adalah impianku selama ini. Aku harus berterima kasih kepada Namjoon, karenanya aku bisa merasakan kemewahan yang selama ini hanya bisa aku khayalkan. Sekaligus ini menjadi momen agar aku bisa semakin dekat dengannya.
Setelah memasukkan sisa lauk ke dalam lemari, mengunci laci tempat menyimpan uang; aku bergegas memesan ojol. Aku menunggu datangnya ojek pesananku di depan warung setelah mengunci pintunya.
Akhirnya. Aku kencan dengan Namjoon! Lagi-lagi aku tersenyum. Dan masih tetap tersenyum selama perjalanan.
Sesampainya di Catniphora Cafe yang terletak di kawasan belakang Stadion Manahan, aku menunggu Namjoon di tempat duduk khusus dua orang yang ada di tengah ruangan. Posisi yang strategis karena saat Namjoon masuk kafe nanti, dia akan dengan mudah menemukanku.
Sembari menunggu Namjoon, aku membayangkan kira-kira dia akan memakai baju apa hari ini. Karena dia menemuiku langsung sepulangnya dari demo, pasti dia akan memakai jas almamater kampus kebanggaannya. Aku pernah melihatnya memakai jas itu saat dia mengirimiku foto ketika pelantikan ketua BEM. Dia terlihat sangat tampan dan berwibawa kala itu. Jantungku seketika berdebar karena mungkin sebentar lagi aku akan melihat pemandangan mempesona itu dengan kedua mataku langsung, bukan lagi melalui foto.
Terlalu asyik melamunkan Namjoon, membuatku tak sadar bahwa langit sudah gelap sekarang. Apakah Namjoon masih melakukan evaluasi? Jika tidak, seharusnya laki-laki itu sudah sampai sekarang. Perjalanan dari kantor DPRD hingga ke kafe kira-kira hanya butuh waktu lima belas menit. Mengapa Namjoon belum datang, dan bahkan tidak lagi mengabariku?
Ketika aku mengecek profil Whatsappnya, di sana tertera keterangan bahwa dia aktif satu jam yang lalu. Apakah Namjoon terjebak macet?
Perasaan tidak enak itu kembali datang. Namun aku mati-matian menepisnya dengan berpikir positif. Aku yakin Namjoon akan baik-baik saja. Dia sudah berjanji bahwa dia akan menjaga diri.
Sekelompok anak muda berjalan dengan langkah cepat memasuki kafe. Mereka tampak heboh menggosipkan sesuatu sambil berjalan, dan obrolan mereka sampai juga di telingaku karena mereka kini duduk tak jauh dari posisiku.
"Kamu yakin gak ada unsur kesengajaan?"
"Ora, yo! Beneran kecelakaan. Katanya anaknya lagi mau nyeberang, eh malah keserempet mobil pick up. Katanya lagi dia ketua BEM FISIPnya UNS. Duh ngenes, bos."
"Hah?!"
Aku ikut terkesiap ketika mendengar informasi itu. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampiri kelompok anak muda itu.
"Yang keserempet dibawa ke rumah sakit mana?!"
Para anak muda itu tampak kebingungan karena aku tiba-tiba menginterupsi obrolan mereka. Namun lalu salah satu dari antara mereka menanggapiku.
"Ke Kasih Ibu, Mbak. Tapi---"
"Oke. Makasih ya!"
Tanpa menunggu kelanjutan kalimat pemuda itu, aku bergegas memesan ojol dengan tujuan rumah sakit seperti yang disebutkan pemuda tadi. Tempat di mana Namjoon sekarang berada.
***
Sekujur tubuhku langsung lemas ketika bagian informasi memberitahuku bahwa Namjoon dibawa ke ICU. Rupanya dia tidak hanya terserempet saat akan menyeberang jalan raya, tapi juga sempat tertabrak mobil pick up yang supirnya mengantuk. Kepalanya membentur aspal, yang membuatnya tak sadarkan diri hingga sekarang.
Ada beberapa orang berseragam jas almamater di depan ruang ICU. Wajah mereka semuanya cemas. Bahkan ada beberapa perempuan yang menangis. Aku memilih menunggu di tempat paling jauh. Teman-teman Namjoon itu pasti tidak ada yang mengenalku, sementara aku sendiri merasa tidak nyaman jika bergabung dengan mereka.
Aku nyaris tertidur ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan dibarengi dengan tangisan pilu memecah kesunyian lorong rumah sakit. Spontan aku mendongak ke arah ruang ICU. Teman-teman Namjoon tampak berkerumun di depan pintu. Salah seorang teman Namjoon yang berada di lingkaran paling luar terduduk lemas. Aku menelan ludah. Ini tidak seperti yang aku pikirkan, kan?
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekat ke kerumunan itu. Aku harus memastikan bahwa Namjoon baik-baik saja.
Namun kenyataan mengkhianatiku.
Rombongan petugas medis keluar dari ruang ICU sembari mendorong brankar, dengan kain putih menutupi seluruh bagian tubuh seseorang---yang aku yakini sebagai tubuh Namjoon---yang dibaringkan di atasnya. Salah satu teman Namjoon menghentikan langkah para petugas medis itu untuk menyingkap kain putih yang menutupi bagian kepala. Seluruh sendiku seolah lumer dan air mataku mengucur deras saat melihat wajah Namjoon, yang biasanya penuh kehangatan dan selalu mengulum senyum, kini dingin tanpa ekspresi. Matanya terpejam seolah dia sedang tidur, tapi dia tak akan pernah bangun untuk selamanya.
Ternyata aku salah. Firasat burukku kemarin menjadi nyata saat ini. Untuk pertama dan terakhir kalinya, Namjoon tidak menepati janjinya.
A/N: Cerita ini sempat diikutsertakan dalam kompetisi menulis fanfiction di sebuah platform tapi tidak lolos seleksi :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro