Cerita #1
Apartemen, 23:00 WIB
Aku akhirnya bisa menghembuskan napas lega setelah selesai mengetikkan kata 'TAMAT' di lembar terakhir naskah novelku.
"Akhirnyaaaa," erangku lega sembari mengangkat kedua tanganku ke atas, meregangkan otot-otot lengan yang kaku. Punggungku juga sama pegalnya. Aku memutar badanku ke kiri dan ke kanan, menghasilkan bunyi gemeratak keras di bagian pinggang. Aku tahu cara peregangan otot yang seperti ini tidak baik. Tapi aku tak peduli. Yang penting sekarang aku merasa lebih rileks.
Aku menatap layar komputer lagi. Masih tidak menyangka bahwa akan secepat ini aku menyelesaikan naskah novel kesepuluhku--aku menulisnya hanya dalam waktu sebulan. Iya, kau tidak salah membaca. Ini adalah naskah novelku yang ke-10. Berbeda dengan novel-novelku yang sebelumnya, naskahku kali ini memiliki tema yang lebih ringan. Jumlah katanya juga lebih sedikit dibanding novelku yang sebelumnya. Hanya 29350 kata. Aku cukup puas karena tujuanku menulis novel bergenre teenlit ini hanyalah sebagai peregangan otakku yang telah lelah menulis tema berat di novel-novelku yang sebelumnya.
Ini juga adalah pertama kalinya aku menulis romansa. Jika sebelumnya aku lebih suka menulis tentang kesehatan mental, misteri, dan horror; kali ini aku mencoba sesuatu yang baru. Aku cukup kesulitan karena ternyata menulis romansa tidak semudah yang aku bayangkan. Nihilnya pengalamanku dalam hal cinta mungkin menjadi salah satu faktornya.
Omong-omong tentang cinta, bukan tanpa alasan aku menulis romansa. Tahun ini aku menginjak umur 28 tahun. Karirku sebagai penulis sangat baik. Aku telah memiliki apartemen sendiri. Di sela-sela kesibukan menulis buku yang kemudian menjadi best-seller, aku menyempatkan diri untuk bepergian ke luar negeri--impianku sejak kecil. Tapi, aku masih merasa kurang. Aku menginginkan hadirnya seorang pasangan agar aku tak lagi kesepian. Karena aku belum bisa mendapatkannya, berandai-andai melalui tulisanku sendiri tidak salah, kan?
Rasa sepi telah menjadi teman setiaku sejak Papa meninggalkanku sendirian di suatu malam. Tidak ada pesan yang dia tinggalkan. Satu-satunya keluarga yang aku miliki sejak Mama meninggal, pergi dari rumah hanya dengan meninggalkan sejumlah uang yang hanya cukup untuk biaya hidupku sebulan. Waktu itu aku masih cukup kecil untuk memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi. Aku bahkan tidak ingat pada usia berapa aku ditinggalkan seorang diri di dunia ini. Yang aku ingat hanyalah nenekku yang membawaku ke rumahnya, lalu merawatku hingga mampu hidup mandiri seperti sekarang.
Air mata tiba-tiba menetes ketika aku mengingat memori masa kecilku yang kelam itu. Rasa sepi kembali menyerangku. Tidak. Ia memang selalu menyerangku dan membuatku tidak berdaya, terperangkap kenangan masa lalu setiap malam. Banyak orang mungkin berpikir hidupku enak. Royalti yang aku dapatkan dari menulis bahkan bisa menopang hidupku beberapa tahun ke depan. Beberapa pembaca setiaku selalu mengirimkan pesan tentang betapa mereka kagum akan kesuksesanku. Banyak dari mereka yang ingin menjadi penulis sepertiku.
Tapi, apakah mereka masih mau menjadi penulis jika resikonya adalah selalu merasa kesepian setiap malam?
Tidak. Tidak semua penulis mengalami hal itu. Hanya aku yang selalu kesepian. Aku adalah manusia paling malang di dunia ini.
Aku hendak mematikan perangkat komputerku saat muncul notifikasi tanda ada e-mail baru masuk. Dia lagi.
Beberapa bulan ini, aku selalu mendapat e-mail dari pembaca misterius yang menyebut dirinya The Light of Hope. Awalnya aku kira dia hanyalah pembaca biasa yang mengirimkan e-mail biasa pula kepada penulis idolanya, sama seperti pembacaku yang lain. Tapi lama kelamaan, orang ini semakin intens mengirimiku e-mail. Pesan penutup e-mailnya selalu dengan kalimat yang sama.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau alami saat ini, tapi percayalah kau tidak pernah sendirian."
Aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia laki-laki atau perempuan? Apakah dia seseorang yang mengenalku dengan baik atau seseorang yang aku kenal di masa lalu? Dia mungkin memang tidak tahu apa yang aku alami. Tapi yang pasti, dia telah membuatku bersemangat untuk terus menghasilkan karya.
Karena aku sedang dalam suasana hati yang baik, aku memutuskan untuk membaca e-mail tersebut sebelum pergi tidur. Awalnya hanyalah serangkaian kalimat tentang apa saja yang dia lakukan semingu ini. Hingga akhirnya aku sampai pada satu bagian yang membuatku tercengang.
"Jika ada waktu, bisakah kita bertemu? Sabtu depan pukul 19:00 di Minimum Coffee. Aku selalu tak sempat menghadiri acara peluncuran bukumu. Boleh kan aku meminjam waktumu sebentar untuk meminta tanda tanganmu?"
Tidak pernah ada pembacaku yang secara khusus memintaku bertemu hanya untuk meminta tanda tangan. Kalaupun ada, aku pasti menolaknya karena buat apa aku menggelar acara khusus setiap buku baruku terbit, kalau mereka tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta tanda tanganku?
Tapi, orang ini telah berperan besar dalam karir menulisku. Mungkin aku perlu memberinya pengecualian?
* * *
Aku tiba di tempat janjian pukul 19:15. Terlambat 15 menit karena tadi aku harus mampir di SPBU untuk mengisi bahan bakar mobilku yang hampir habis.
Rumah kopi dengan desain interior minimalis ini adalah tempat yang sering aku gunakan untuk merancang kerangka bukuku. Lumayan jauh sih dari apartemenku, tapi aku suka suasana ruangannya yang hangat dan racikan kopi yang pas di lidahku. Tempat ini juga lumayan terkenal di kalangan anak muda. Tidak heran kalau banyak anak muda yang sering nongkrong di sini.
Aku mengingat-ingat isi e-mail dari The Light of Hope tadi siang. Dia mengatakan akan mengenakan setelan jas berwarna biru dongker. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Penampakan seorang laki-laki yang duduk di dekat jendela menarik perhatianku. Penampilannya cukup mencolok dibanding pengunjung yang lain. Setelan jas biru dongker. Dialah orang yang aku cari.
Jantungku berdebar saat berjalan menuju tempatnya duduk. Posisi duduknya memunggunggiku, jadi pasti orang itu tidak tahu kalau aku sudah datang. Saat akhirnya aku tiba di tempatnya, aku berdiri tepat di depannya untuk menyapanya.
"Maaf, telah membuatmu menunggu lama. Tadi aku harus mampir di SPBU dulu," kataku basa-basi. Well, aku cukup kagok untuk memulai pembicaraan dengan orang asing. Menjelaskan alasan keterlambatanku, bukan hal yang buruk, kan?
Laki-laki yang sedari tadi memandang layar ponselnya, mendongakkan kepala saat mendengar suaraku. Aku terheran-heran mendapati raut wajah terkejut sekaligus takut darinya. Apakah penampilanku tidak sesuai harapannya selama ini? Apakah ia berpikir aku tidak lebih cantik dari foto profilku yang ada di bagian belakang bukuku?
"Tidak apa-apa. Saya juga, baru saja datang. Silahkan duduk." Ia mempersilahkan duduk dengan senyum yang dipaksakan. Tiba-tiba aku merasa tidak enak. Apakah dia benar-benar orang yang ingin menemuiku?
Laki-laki di hadapanku memandangku lekat-lekat. Aku makin kagok dibuatnya. Rasanya aku seperti ditelanjangi karena ia memandangku seolah aku adalah manekin yang dipajang di etalase toko baju. Tidak bisakah ia yang memulai pembicaraan?
"Ehem." Karena tidak tahan, akhirnya aku berdeham untuk memecah keheningan. Rupanya itu berhasil untuk menyadarkan orang di depanku dari lamunannya.
"Kamu sekarang jadi tambah cantik, Renata."
Aku terkejut bukan main saat laki-laki itu menyebut nama asliku. Selama ini aku selalu bersembunyi di balik nama penaku, Rey. Tidak ada yang tahu nama asliku kecuali editorku dan orang-orang di kantor penerbitan, karena mereka memang harus tahu namaku yang sesuai KTP untuk mengurus kontrak. Kalau aku harus menyebut orang lain di luar kantor penerbitan yang mengetahui nama asliku, itu berarti... .
Tidak mungkin. Ini tidak seperti yang aku pikirkan, kan?
"Kamu...?"
Tanpa aba-aba, laki-laki itu meraih tanganku dan menggenggamnya kencang. Aku hanya bisa mematung karena terlalu terkejut. Saat tangannya menyentuh tanganku, memori masa lalu tiba-tiba terputar kembali. Aku bagaikan ditimpa longsoran kenangan yang selama ini aku simpan rapat-rapat di sudut otakku. Seolah laki-laki ini memiliki kekuatan magis untuk memuntahkan isi kenangan yang sebenarnya tidak ingin lagi aku ingat.
"Maafin Papa, Renata..."
Aku spontan menarik tanganku kembali dari genggaman laki-laki yang mengaku sebagai Papaku. Aku memandangnya dengan tatapan ngeri, masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Dia telah meninggalkanku sendirian ketika aku masih terlalu kecil untuk memahami dunia; dan kini setelah aku dewasa dan sukses, dia kembali lagi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku yakin ada motif tersembunyi dibalik ini. Meskipun aku berharap bukan itu yang sebenarnya terjadi. Karena kalau boleh jujur, aku selalu merindukannya meski tak pernah aku ucapkan secara lisan maupun lewat tulisan.
"Papa tahu kamu pasti marah dan kecewa. Tapi bisa Papa jelasin."
"Kenapa?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Tak peduli seberapa besar aku membencinya, tapi aku tetap butuh alasan kenapa dia tega meninggalkanku dulu. Mungkin dengan begitu, aku bisa lebih mudah memaafkannya.
"Setelah Mamamu meninggal, Papa dipecat dari kantor. Sedangkan kamu masih kecil dan biaya sekolahmu nggak sedikit. Papa kesulitan cari kerja lagi. Pada waktu itu, Papa merasa nggak pantes hidup sama kamu Renata. Papa merasa jadi beban untuk masa depanmu..."
"Jadi itu sebabnya Papa buang aku? Hanya meninggalkan uang yang cuma cukup untuk makan sebulan?" tanyaku getir. Air mata mulai menggenang di mataku.
"Papa nggak buang kamu, sayang. Papa nitipin kamu ke nenek kamu," balas laki-laki itu frustasi.
"Kenapa nggak langsung anter aku aja ke rumah nenek? Kenapa harus ninggalin aku pas lagi tidur? Papa nggak tahu gimana takutnya aku pas bangun, tiba-tiba Papa udah nggak ada?! Aku cari kemana-mana nggak ketemu. Terus tahu-tahu nenek dateng jemput aku, tanpa bilang apa-apa bahkan sampai sekarang...." Kini giliran aku yang berkata dengan nada frustasi. Air mata tidak lagi bisa aku bendung. Aku biarkan saja aliran air mata membasahi pipiku.
"Maafin Papa, Renata. Papa memang pengecut."
Aku menghela napas kasar. Aku bingung harus marah kepada siapa. Ke Papaku yang pengecut, atau ke takdir hidup yang telah mempermainkanku selama ini?
"Terus, selama ini Papa ke mana?" tanyaku setelah emosiku sedikit mereda.
"Papa kerja di luar negeri. Tapi karena Papa merasa bersalah sama kamu, Papa memohon bos Papa supaya Papa dipindahtugaskan di Indonesia. Supaya Papa bisa deket sama kamu. Supaya kamu nggak sendirian lagi."
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Kalimat terakhir Papa telah membuat hatiku melunak.
"Jadi, The Light of Hope. Itu Papa?"
Pria yang masih terlihat muda meski hampir menginjak usia 56 tahun itu mengangguk mantap. Meski berusaha ditutupi, senyumannya tetap dapat terlihat.
"Papa yakin kamu sering merasa kesepain, tak peduli seberapa sukses kamu sekarang. Tentu saja, Papa bangga anak semata wayang Papa menjadi penulis kenamaan. Mungkin dengan mengirimimu e-mail dengan identitas anonim, bisa sedikit membantumu melawan kesepian yang kamu rasakan. Itu juga cara Papa untuk menebus kesalahan Papa. Setidaknya sekarang kamu tahu, Papa tidak benar-benar meninggalkanmu sendirian, Renata."
Air mata semakin deras membasahi pipiku. Aku kewalahan mencari tissue kering di dalam tasku. Belum sempat aku menemukannya, tanpa aku sadari Papa telah duduk di sampingku.
"Kamu mau kan maafin, Papa? Tentu Papa akan ngasih kamu waktu untuk memikirkannya, kalau memang itu perlu." Kedua tangannya terbuka lebar, gestur untuk menawarkan pelukannya.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. "Iya, Pa. Renata maafin Papa. Makasih udah selalu ngasih motivasi dan semangat buat Renata selama ini. Berkat e-mail anonim Papa, Renata punya alasan untuk tetap menulis."
Papa mengelus-elus punggungku dengan lembut. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mendapat pelukan hangat seperti ini. Jamais Vu. Rasanya seperti baru pertama kali aku merasa hangat dan bahagia seperti ini. Rasa benci dan amarahku luntur seketika, saat mengetahui bahwa Papa adalah sosok dibalik pembaca misterius yang selalu menyemangatiku selama ini.
Aku masih ingin berlama-lama menikmati pelukan Papa, tapi beliau cepat-cepat melepaskan pelukannya.
"Penulis Rey yang keren, boleh kan saya minta tanda tangan Anda. Saya sudah membawa semua buku Anda!"
Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat perubahan sikap Papa, "Papa apa-apan sih!" Lalu aku beringsut mengambil setumpuk buku yang baru saja dikeluarkan Papa dari dalam tasnya.
Setelah selesai menandatangani buku-buku itu, aku menatap Papa yang ternyata sedari tadi tak lepas memandangiku.
"Pa, karena sekarang Papa udah di sini. Apakah Papa mau tinggal sama Renata?"
Papa tersenyum sambil memegang sebelah pipiku. Hatiku menghangat. Betapa rindunya aku mendapat perhatian dari orang tua seperti ini.
"Tentu saja, Sayang. Papa nggak akan ninggalin kamu sendirian lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro