Tentang Gadis Berkerudung Ungu
Tema: Memalsukan Kematian
***
Kerumunan bubar dan kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan lagi, ke mana kita akan pergi setelah ini?
"Cecilia." Panggilan dari Amelia membuatku menoleh ke arahnya.
"Ada apa?"
"Bunga ini ...." Tangan Amelia tengah memegang bunga itu, bunga bercahaya itu. Meski aku hanya sekilas melihatnya--karena cahayanya begitu menyilaukan, tapi aku tahu itu bunganya.
Bunga dengan mahkota berwarna putih kekuningan, bentuknya seperti bentuk bunga lily, ujung mahkotanya melengkung ke dalam sedikit.
Grep!
Ada genggaman yang mencengkram tanganku. Aku langsung menatap sang pelaku. Dia berkerudung, wajahnya ditutupi topeng putih polos yang hanya punya dua garis bolong untuk mata. Siapa dia?
Tangan Amelia juga dia genggam. Aku langsung menarik tanganku. "Apa-apaa—"
Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di bagian tengah topengnya, itu isyarat diam, lalu jempolnya menunjuk ke arah belakang, seakan-akan sedang menyuruh kami untuk mengikutinya.
Amelia menatapku, dia menganggukkan kepala. Aku langsing menangkap maksudnya, mungkin kami sebaiknya mengikutinya. Tidak ada petunjuk yang bisa aku gunakan untuk pulang, mungkin gadis ini bisa menjadi petunjukku untuk pulang.
Gadis itu kini berjalan ke depan setelah melihat tidak ada perlawanan dari kami. Dia berjalan cukup cepat--bukan, dia sedang berlari. Aku berusaha sekerang mungkin untuk mengejarnya, mengikut ke arah mana dia pergi.
Sebuah rumah, gadis bertopeng itu berhenti di depan sebuah rumah yang keseluruhan terbuat kayu, kurasa. Kepalanya berpaling ke kiri dan kanan, lantas mendorong daun pintu.
Dia menoleh ke arahku--atau Amelia--lalu masuk ke rumah kayu itu. Aku melirik Amelia, menunggu keputusannya, aku tidak bisa membuat keputusan bahkan di kasus sederhana seperti ini.
Amelia masuk ke dalam, aku mengikutinya.
Gadis itu menutup pintu, tidak ada cahaya matahari yang masuk dari luar, lilin menjadi satu-satunya penerangan dalam ruangan. Gadis itu melepaskan kerudungnya, lalu melepaskan topengnya.
Mata gadis itu berwarna hijau kebiruan dan rambutnya berwarna abu-abu, tidak pekat dan gelap, berwarna terang. Bulu matanya lentik, dia cantik, meski tidak secantik Althelia.
"Kalian datang dari luar 'kan?" Pertanyaan dari gadis berambut abu-abu itu membuatku tersentak, dia langsung tahu tanpa kami beritahu?
Amelia menganggukkan kepala, tangannya memegang erat tali tas selempangnya. Wajahnya terlihat tegas, tatapannya menggambarkan kewaspadaan. "Iya, bagaimana kamu tahu?"
"Tidak ada orang yang memperlihatkan wajah kebingungan selain kalian." Gadis itu tersenyum kecil, matanya mengingatkanku pada Althelia.
"Siapa kamu? Dan kenapa kamu menyuruh kami ke mari?" Amelia bertanya demikian, aku hanya berdiri mematung, tidak berani melontarkan kata-kata, aku memang penakut sejal awal.
Tapi bagaimana kalau gadis berambut abu-abu ini adalah pembunuh? Atau mungkin sedang melaksanakan salah satu 'peraturan' yang bisa menambah poin mereka? Apakah dia adalah pembunuh? Kenapa dia menarik kami tiba-tiba, lantas menyuruh kami mengikutinya?
Amelia pasti berpikir sedemikian rupa, dia tidak akan menatap tajam gadis berambut abu-abu itu.
"Kalian bisa memanggilku Tyx." Gadis itu menempelkan telapak tangannya di atas dada. "Kalian tidak perlu takut, aku tidak mengejar poin itu, lagipula peraturan itu direset setiap harinya dan biasanya orang berkoin banyaklah yang menang."
"Direset?" Entah kenapa kata itu langsung keluar dari mulutku, ah, aku benci rasa penasaranku yang berkoar tiba-tiba seperti ini.
"Duduklah, aku akan menyajikan kalian teh sembari bercerita soal Veleria, Gadis berkerudung Ungu." Gadis berambut abu-abu itu menjulurkan tangannya, senyumannya ramah, tidak mengancam sama sekali. "Aku bersumpah tidak akan menyakiti kalian."
Amelia menatap Coco sejenak, lalu langsung mengangguk pada Gadis Berambut Abu-abu. Kami duduk di atas kursi yang gadis itu persilakan.
Dia pergi ke belakang sejenak, mungkin pergi untuk membuat teh. Dan pada saat itulah, aku dan Amelia mulai bercakap-cakap.
"Bagaimana ini? Gadis itu benar-benar bisa dipercaya?" Aku langsung menumpahkan pertanyaan.
Amelia menatap Coco seakan-akan Coco yang bisa memberikan jawaban. "Kurasa tidak, tapi ada yang aneh, dia memakai topeng untuk keluar."
"Bukannya ada juga yang memakainya seperti itu?" Aku ingat ada beberapa orang yang bertopeng juga berkerudung di keramaian itu, kukira mereka terlalu malu menunjukkan wajah mereka.
"Tapi hanya dia yang menarik kita, menyuruh kita untuk mengikuti—" Amelia langsung menghentikan kalimatnya saat melihat Tyx yang berjalan ke depan selagi membawa nampan yang diletakkan teko dan cangkir.
Teh yang keluar dari mulut teko menguarkan uap. Tyx menyajikan teh itu pada kami, menyerahkan cangkir keramik pada kami. Suasana sunyi langsung dipecahkan oleh Amelia.
"Ini kota Shiviria bukan?" tanya Amelia meski kami sudah mendengarnya dengan jelas dari kerumunan tadi, tapi kamu ingin memastikan kalau kota ini memang kota Shiviria, nama kota yang tertulis pada kertas tempo hari.
"Kau benar, ini kota Shivira," balas Tyx. "Kota pelelangan benda seperti yang kalian dengar tadi."
*🍃*
Kota Shiviria itu kota yang dipimpin oleh Veleria, gadis berkerudung ungu yang kalian lihat tadi. Dia memiliki kekuasaan, dan juga punya kemampuan untuk menciptakan ramuam seperti penambah umur, teleportasi, dan banyak jenisnya, tapi semuanya hanya bersifat semu, tidak melekat selamanya pada sang peminum kecuali soal umur.
Kalian mungkin akan bingung, tapi kami para warga sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Di jam yang tak tertentu, alunan suling akan diperdengarkan, tanda bahwa Yang Mulia Veleria akan menawarkan 'keajaiban'.
Kami semua datang dari bunga berwarna putih kekuningan itu. Velerialah yang menciptakannya, menciptakan kota di mana dia bisa melakukan apa saja.
Kami semua awalnya berada di bawah naungan Kerajaan Navies. Tempat tinggal kami di Kota Nevier, diubah Veleria menjadi bunga, kami semua ikut masuk ke dalam dan terjebak.
Semuanya lengkap di sini, bahkan kami ditawarkan 'keajaiban', tapi semuanya terasa tidak benar dalam pandanganku. Veleria--yang mempunyai kelebihan spesial sejak dia diturunkan dalam dunia ini--menjadi semena-mena.
Kekuasaan, rasa hormat, semua itu ingin ia dapatkan. Itulah tujuannya yang sebenarnya dengan memasukkan Kota Nevier ke dalam bunga, membentuk peradaban sendiri, menjadi pemimpin mereka.
Bunga itu seharusnya tidak memasukkan orang luar. Hingga pada saat bulan Januari, bunga itu menyedot satu gadis ke mari, katanya dia melihat cahaya lantas menggengamnya, dan dia langsung terlempar ke kota ini. Itulah kenapa aku bisa mengira kalian dari luar.
Kamu bertanya apakah gadis itu bisa keluar? Tidak, dia masih berada di sini, menjadi bagian dari kami sejak tiba di sini satu tahun yang lalu, benar-benar sial bukan?
Veleria dulunya gadis penyayang, dia mencintai semua orang, itu dulu sebelum dia sadar dia punya kekuatan. Orang-orang menjauhinya karena menganggap itu adalah sebuah kutukan. Dia tidak mendapatkan kasih sayang lagi seperti dulu. Kamu mungkin bisa mengerti mengapa dia berbuat seperti ini.
Semua kasih sayangnya jatuh kepada adiknya yang sewaktu itu baru lahir saat dia berusia 10, tepat saat Veleria ditunjuk sebagai pemilik kutukan itu muncul. Kata legenda, mereka yang bermata hijau itu spesial, penuh dengan karisma, penuh keberuntungan, berkah dalam kehidupan.
Veleria marah, wajar saja, padahal dia punya kelebihan yang benar-benar berwujud. Veleria mampu menghidupkan tumbuhan meski itu mengurangi umurnya--ah, yang ini hanya aku yang tahu. Namun, dia tetap ditetapkan sebagai gadis yang punya kelainan, gadis tanda ketidakberuntungan.
Setiap kekuatannya mengikis umurnya, kadang Veleria terpaksa mengambil nyawa orang lain, demi kasih sayang, demi dipuja semua orang. Tentu saja hanya kadang-kadang, Veleria tidak ingin yang memujanya hilang semua.
Yang menentangnya dibunuh, setiap orang yang dibunuh bisa menjadi bahan untuk membuat keajaiban lainnya. Jauh di lubuk hati, aku tahu dia masih punya rasa kemanusiaan, dia tidak mengambil nyawa manusia yang menghormatinya.
Tapi dia membunuh adiknya, bukan dengan mengambil jiwanya, melainkan langsung menancapkan ranting tajam pada dadanya. Dia membiarkan adiknya kehabisan darah dan meninggal di kamar, tapi tidak, adiknya tidak pernah meninggal. Dia memalsukan kematiannya.
Ah, perkenalkan, aku adiknya, nama asliku Valeria. Orang tua kami sudah meninggal sejak kota ini dimasukkan ke dalam bunga, mereka terkejut dengan kematianku yang palsu.
*🍃*
"Wuoh, kamu adalah saudaranya?!" Pertanyaan itu langsung meluncur dari mulutku yang sudah menganga lebar sedaritadi. Serius? Bagaimana cara dia hidup dan memalsukan kematiannya?
Suaraku yang keras tadi membuat Tyx--atau Valeria--tersentak. "Ah, tidak perlu seterkejut itu, dan jangan bilang pada siapa-siapa, ya?" Valeria meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sembari mengedipkan sebelah matanya.
"Aku tidak akan mati semudah itu." Mata Valeria menatap dada kirinya, dada yang pernah ditusuk oleh Veleria. "Meski ranting itu ditancapkan dengan kedengkian."
"Tidak ada yang curiga padamu?" Baiklah, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku, entah kenapa mereka bisa muncul. Semua pikiran tentang 'aku yang tidak bisa pulang' tertepis sementara.
"Pertama, tidak yang kenal padaku." Jari Valeria menunjuk angka satu. "Kedua, jika kalian bertanya-tanya kenapa aku memakai topeng, itu untuk jaga-jaga, dan juga salah satu peraturan yang sering keluar."
"Peraturan?" Itu pertanyaan yang meluncur keluar dari bibir Amelia. "Peraturan seperti apa saja yang keluar?"
"Peraturannya tidak menentu." Valeria membalas demikian. "Kadang peraturannya tidak menyisir rambut sehari, atau bahkan menyayat diri sendiri, atau seperti yang kalian dengar tadi: tidak boleh berutang."
Valeria menghela napas sejenak, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. "salah satu peraturan yang sering muncul adalah: tidak boleh berbicara dengan orang asing, memakai kerudung atau topeng, dan ada beberapa lagi."
"Peraturannya tidak dikatakan pada hari sebelumnya?" Aku bertanya demikian.
Valeria menggeleng. "Tidak, poin itu masalah keberuntungan. Yang menang biasanya yang punya koin banyak, tapi pernah keluar peraturan 'selalu membantu orang' yang mendapatkan 100.000 poin, semuanya serba tak menentu."
Ini aneh? Kenapa gadis berambut hitam itu menuntun kami ke kota seperti ini? Apa yang bisa membawa kami pulang?
"Ada ramuan yang bisa memulangkanku?" Aku bertanya tanpa berpikir tentang Valeria yang sama sekali tidak tahu-menahu soal situasiku saat ini. Valeria hanya ber-hah kebingungan.
"Ah, kami lupa memperkenalkan diri. Aku Amelia, pengembara, dan dia Cecilia, di bukan berasl dari dunia ini." Amelia menunjukku dengan jempol. "Dia hendak pulang, kami mendapatkan kertas bertuliskan kata 'Kota Shiviria', mungkin Kota Shiviria adalah petunjuk atau jalan pulang untuk Cecilia."
Valeria mengangguk, memahami cerita kami. "Yang masuk ke sini tidak pernah keluar. Setahu begitu."
"Kamu pernah bertemu dengan gadis berambut lurus hitam; yang bola matanya juga berwarna hitam?" Ayolah, semoga dia adalah salah satu bagian Kota Shiviria supaya aku bisa mencarinya.
"Ada banyak yang berpenampilan seperti itu." Balasan dari Valeria sukses membuatku mengembuskan napas kekecewaan. Kenapa semuanya jadi makin rumit?
"Bagaimana caranya aku pulang?" Mengeluh, itu yang selalu aku lakukan. Kali ini aku benar-benar takut, ini sudah seminggu, seminggu berada di dunia yang tidak kukenal.
"Maaf, aku tidak tahu." Valeria menunduk layu.
To be continued ....
24 Febuari 2021
Lemony's note
Tiga hari lagi, dan ending cerita ini masih tidak menentu, semoga aja temanya bisa cocok sama cerita ini, asli, takut banget 😭✨
Dan hari ini jadi deadliner lagi, belakangan ini makin sibuk. Tidak ada lagi Lemon yang update sore-sore /plak/
Itu aja buat hari ini, see you in the next chapter! (。•̀ᴗ-)✧
Salam hangat,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro