Sajak Penunjuk Jalan
Tema: Buat cerita dimana tokoh utama day 1 bertemu dengan tokoh dari day 17
***
Aku benar-benar membuat Amelia tidak merasa kesepian? Aku kira aku adalah gadis tidak berguna yang selalu mengeluh dan merepotkannya.
Serius, Yulia masih melempar tatapan setajam silet, tapi yang sekarang sudah mendingan, tidak sengeri tadi. Tapi bayangan tatapan mengintimidasinya masih membayangi benakku.
Pertanyaannya tadi menamparku. Aku bisa apa? Rasanya tidak berdaya di sini. Aku tidak bisa melakukan apa pun.
"Kenapa kamu begitu ingin pulang?" tanya Yulia seraya memperhatikanku dari atas hingga ke bawah.
"Aku tidak suka berada di sini," ucapku lirih. "Aku juga punya hal yang harus aku lakukan di tempatku."
"Oh ya?" Pertanyaan dari Yulia langsung memunculkan keraguanku.
Apa yang hendak aku lakukan bila aku pulang? Teman dekat? Aku tidak punya satu pun. Orang tua? Mereka sibuk bekerja, entah mereka mencariku atau tidak. Cita-cita? Aku bahkan belum menentukannya saat ini.
Aku jadi meragukan alasanku untuk pulang. Tetapi, aku punya satu alasan yang pasti. "Aku takut berada di sini."
Yulia hanya ber-oh ria sembari menatapku, melempar tatapan kecewa. "Kukira kaupunya tekad yang lebih kuat."
"Berada di tempat yang kamu tidak kenali itu tidak menyenangkan." Aku menjawab demikian, itu alasan yang sangat masuk akal, meski terdengar sepele.
"Tidak juga," balasnya pendek sembari memberikan tatapan merendah. Jujur, aku tidak menyukainya, kasar, senang meremehkan, entah apa yang membuat sifatnya seperti itu.
"Kamu dan aku berbeda." Kali ini aku menatap matanya, meski hanya sebentar karena tatapan matanya langsung membunuh keberanianku. Dasar orang aneh.
"Ini." Kertas--yang sudah diremas--dilempar oleh Yulia ke arahku, tepat pada dahiku, lemparan yang sangat akurat, aku langsung menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.
Kenapa dia melempar kertas ini? Diremas pula. Jemariku membuka kertas bekas remas itu secara perlahan, tunggu, ini mirip dengan kertas--yang sudah agak kuning--yang diberikan oleh Gadis Berambut Hitam Lurus, teksturnya sama.
Jangan-jangan memang dari dia. Aku langsung menatap Yulia dengan tidak percaya, semua kekesalanku tadi seakan terendam, hilang. "Kamu mendapatkannya dari Gadis Berambut Lurus Hitam?"
"Aku memanggilnya Gaib, karena dia tiba-tiba menghilang." Yang benar saja, dia tidak lagi sekasar tadi, lega rasanya. "Dan iya, dia yang memberikannya, enam hari yang lalu."
Aku langsung memalingkan kepala ke Amelia. "I-itu sewaktu aku tiba di sini, enam hari yang lalu."
Apa si Gaib--aku akan memanggilnya begitu, panggilan Gadis Berambut Lurus Hitam terlalu panjang-- yang membuatku terjebak di sini? Kenapa begitu? Apakah aku pernah berbuat salah?
Dari cahaya bunga dimasukkan
Bunuh atma penuh dengki
Alunan musik dipatahkan
Tempat asal ditapaki
Itu tulisan yang ada pada kertas itu, ada beberapa yang sudah luntur, tapi untungnya masih bisa aku baca. Apa maksud dari sajak ini?
Aku menyerahkan kertas itu pada Amelia. Amelia menatap kertas itu sejenak, lalu kembali menatapku. "Mungkin ini petunjuk selanjutnya."
"Yulia, apakah ka—" Belum selesai bicara, aku langsung dipotong oleh kalimat Yulia.
"Jangan tanya aku, aku hanya menerima kertas itu." Yulia menatap sinis, lantas menatap langit-langit rumah Valeria. "Aku tidak mau ikut bingung."
Valeria menjulurkan tangannya. "Boleh aku lihat kertasnya sebentar?"
Amelia menyerahlan kertas itu. Kini mata Valeria bergerak membaca sajak tadi. "Ini benar-benar terlihat seperti sebuah petunjuk, atau mungkin jalan pulang."
Pulang? Aku punya harapan untuk pulang? Ya Tuhan, semoga ini benar-benar jalan pulangku, aku tidak mau bila harus berada di sini lagi.
Amelia mengambil kembali kertas itu. Alisnya berkerut, apa dia sedang memikirkan makna dari sajak itu?
"Dari cahaya bunga dimasukkan," gumam Amelia dengan mata yang masih memperhatikan tulisan itu. "Itu bagaimana cara kita masuk ke sini bukan?"
Aku mengangguk, Amelia benar, kita masuk ke sini karena cahaya dari bunga. "Apa nama bunga itu?"
"Kami tidak pernah menamainya, ah, kami pernah menyebutnya bunga putih karena warnanya, tapi bunga ini tidak punya nama resmi," balas Valeria, baiklah, bunga putih, aku akan menyebutnya begitu.
"Bunuh atma penuh dengki." Kalimat itu meluncur keluar dari bibir Amelia. "Bunuh atma ...."
"Jiwa penuh dengki?" celetuk diriku. Membunuh? Aku tidak mau melakukan perbuatan seperti itu, masak harus membunuh baru bisa pulang.
Amelia menutup matanya, kurasa supaya dia berpikir semakin jernih. "Jiwa penuh dengki, jiwa yang dikuasai iri hati."
"Oh, apakah artinya membunuh Veleria?" celetuk Yulia dengan santainya. Valerie langsung melempar tatapan tidak percaya padanya.
"Mem-membunuh Veleria?" Raut wajah Valerie berubah. Siapa juga mungkin akan bereaksi sama ketika tahu bahwa saudaranya harus dibunuh.
"Siapa lagi yang punya jiwa dengki sebesar punya kakakmu." Lagi-lagi Yulia melontarkan kalimat itu tanpa hati.
Sebenarnya, aku yakin kalau Amelia juga berasumsi hal yang sama, membunuh Veleria merupakan arti dari kalimat: bunuh atma penuh dengki.
"Itu belum tentu, mungkin saja orang lain, kakakku tidak merasa iri lagi sekarang>" Valeria membantah kalimat Yulia. Kadang aku heran, bisa-bisanya Yulia membuat pemilik rumah ini sakit hati, dasar perempuan aneh. Bagaimana jika Valeria marah, lantas mengusir kami semua?
"Siapa yang tahu." Yulia memutar bola matanya dengan malas, menutup matanya sembari bersandar di kursi panjang. "Ah, sudahkah, kalian selesaikan sendiri, bukan urusanku."
"Aku ingin ke dalam dulu, ya." Valeria memamerkan senyum pucat. Sudah kuduga, dia sakit hati karena perkataan Yulia. "Kalian berdua menetaplah di sini, nanti kita pikirkan lagi."
Aku menatap punggung Valeria yang kini hilang pada belokan. Suasana jadi hening. Apa kami akan lanjut membahasnya?
"Mungkin atma penuh dengki bukanlah Veleria, selalu ada kemungkinan." Amelia mengucapkannya dengan begitu yakin.
"terserah," balas Yulia acuh tak acuh. Dia beranjak dari duduknya dan pergi dari ruang tengah, huh, baguslah. Meski dia yang memberikan kertas petunjuk ini, tapi aku masih tidak suka dengan sifatnya. Kenapa kertas itu harus samapi ke dia?
Ah, apakah kerta itu memang benar-benar petunjuk? Aku jadi bingung, benar-benar bingung. Namun, aku menganggapnya sebagai petunjuk, Amelia juga, Valeria juga, dan Yulia juga, semoga kami semua tidak salah.
Pertanyaan ini mendadak muncul dalam benakku. Kalau Veleria dibunuh, apakah semua penduduk ini akan keluar? Dan siapa Gaib itu? Kenapa dia sepertinya tahu segaa hal, mengirim sajak ini sebagai petunjuk.
"Menurutmu apa 'alunan musik yang dipatahkan' berarti?" tanya Amelia. Puh, dia tahu jelas kalau aku sama sekali tidak berpengalaman dalam menebak petunjuk seperti ini. Pengembara seperti dia yang harusnya jago.
"Mematahkan sulingnya," tutur Amelia.
"Ah, masuk akal, suling itu yang menimbulkan alunan musik bukan?" Aku berseru riang. Begitu mematahkan sulingnya, aku mungkin bisa pulang seperti yang dikatakan pada sajak terakhir: tempat asal ditapaki.
Amelia menatap ke lantai, ah, tatapan sendu itu lagi. "Yang menjadi masalah adalah kalimat kedua, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan."
"Apa benar kalau jalan keluarnya akan muncul bila membunuh Veleria?" tanyaku dengan volume kecil, tidak ingin membuka kemungkinan Valeria mendengar kalimatku barusan.
"Kita harus menunggu Valeria. Aku harap kamu tidak egois." Amelia memamerkan senyum pahitnya.
To be continued ....
26 Febuari 2021
Lemony's note
Jadi deadliner lagi hari ini, tugas sekolah menghalangiku untuk nulis /nangis/
Karakter di Day 1 itu Amelia dan Cecilia, Cecilia tokoh utamanya, dan di Day 17 juga ada Amelia, jadi selamat di tema kali ini.
Endingnya sudah kepikiran, tapi takut banget temanya ga sesuai sama yang aku harapkan. Lemon emang penakut, ya 😭 /plak/
Itu saja untuk hari ini, see you in the next chapter! (。•̀ᴗ-)✧
Salam hangat,
Lemonychee 🍋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro