Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bunuh Atma Penuh Dengki

Amelia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menarik perhatian. Melompat dan membuat suara aneh saja tidak akan cukup, dia harus melakukan sesuatu.

Tetapi, apa yang bisa dia lakukan? Melempar batu? Tidak, itu akan melukai orang di sekitarnya. Dia berusaha menyelip dalam kerumunan, kadang dia didorong ke belakang, kadang dia terjatuh.

Tidak, Amelia tidak akan menyerah. Dia akan terus membantu Cecilia, dia akan membantunya untuk pulang. Benaknya terus berpikir keras, memikirkan cara terbaik untuk menarik perhatian Veleria.

Yulia memanjat atap salah satu warga, agak jauh dari tempat Veleria terbang. Tidak ada yang melihatnya, semuanya sibuk dengan pelelangan. Setidaknya mer
eka beruntung, pelelangan 'penambah umur' adalah yang paling diminati, semua orang tidak akan mengalihkan pandangan dari botol itu.

Ketika jumlah poin tanpa tambahan koin sudah terlihat, akan ada banyak warga yang bubar. Mereka harus bertindak cepat, memastikan kalau mereka bisa membuat Veleria lengah sejenak.

Valeria bergabung dengan kerumunan, melantunkan doa supaya rencana mereka bisa berhasil tanpa membunuh Veleria, mungkinkah itu? Apakah petunjuk itu akan berubah?

Cecilia akan berusaha menangkap seruling itu dan langsung berusaha mematahkannya dengan tekad yang kuat seperti yang tertulis dalam kertas petunjuk.

Hari terakhir, penentuan apakah Cecilia akan terjebak di sini selamanya atau berhasil menapaki tempat asalnya.

"OI!" jerit Amelia sekuat tenaga, berharap kalau Veleria mau menoleh padanya, dan dia bisa melontarkan kata-kata membingungkan yang membuat perhatian Veleria fokus padanya.

Suaranya kalah oleh kerumunan. Amelia merapatkan giginya, sesekali menatap Coco untuk memberinya keyakinan. Coco sudah menemaninya sejak dia memulai perjalanannya, dan dia akan terus menemaninya.

Peluh mengalir, Cecilia tentu saja tidak mampu masuk ke dalam, dia harus bisa merebut seruling itu begitu Yulia berhasil memanah Veleria. Cecilia memutuskan untuk merangkak, melewati kaki demi kaki, semua orang sibuk menghitung poin, Cecilia harus cepat. Cecilia tidak akan menyerah meski tubuhnya sudah kotor dan penuh luka.

"Kumohon, dengarkan aku," batin Amelia seraya menyiapkan suara untuk menjerit lagi. Sebuah ide sudah terlintas dalam benaknya.

"Maaf, Valeria, aku harus melakukannya, semoga kali ini berhasil," ujar batin Amelia. Menggunakan nama Valeria akan membuat Veleria melihatnya, mungkin saja. Segalanya mungkin di sini.

"Sepuluh ribu poin untuk yang tidak pernah mendapatkan apapun dari pelelangan." Suara Veleria mendominasi, sorakannya juga.

Ayolah, dengarkan aku, batin Amelia meneriaki kalimat itu. Amelia menghela napas sejenak, menyiapkan tenaga untuk berteriak. "VALERIA MASIH HIDUP!"

Hening, kerumunan mendadak diam. Napas Valeria tertahan, Yulia awalnya terkejut, tapi mengerti dengan permainan Amelia, Amelia tidak akan mengorbankan Valeria hanya untuk kepentingan kawannya. Tupai seperti Coco tidak akan memilih orang seperti itu. Cecilia fokus merangkak melewati kerumunan.

Mata Veleria langsung mengarah pada Amelia, terbelalak karena ucapan Amelia. Pikiran Veleria diacak-acak, diminta untuk berpikir soal kebenaran ucapan Amelia.

Veleria punya kemampuan untuk memasuki benak seseorang selama sesaat, tapi itu bisa orang itu pernah berinteraksi dengan 'sihir'-nya, dan mereka berempat--berlima ditambah Coco--tidak.

"Apa yang kau katakan?!" Nada tinggi Veleria keluarkan.

"VALERIA MASIH HIDUP, MASIH HIDUP!!!" Amelia menjeritkan kalimat itu.

"Ba-bagaimana mungkin ka—" Ucapan Veleria terpotong.

Yulia sudah melepaskan anak panahnya, tepat, mengenai tangan kanan Veleria yang tengah memegang seruling putih. Cecilia yang sudah berhasil merangkak mendekatinya langsung berlari ke arah kaki Veleria melayang.

"Ugh!" Cecilia tahu dia tidak akan berhasil menangkap seruling bila tidak langsung memajukan tubuhnya, meski terjatuh, dia tetap melakukannya. "Dapat!"

Cecilia langsung beranjak. Tidak ada waktu mengeluh soal rasa sakit yang tercetak pada lututnya.

Patahkan alunan musik dengan tekad, tempat asal akan ditapaki. Cecilia menggengam erat kedua ujung seruling, merapalkan tekad dalam hati.

Greb!

Cecilia kini melayang di udara. Ada cengkeraman tak kasat mata pada lehernya. Siapa lagi kalau bukan ulah Veleria. Seruling langsung beralih kepemilikan, Veleria dengan mudah mencekik Cecilia sembari mengendalikan serulingnya, meletakkannya tepat di samping jubahnya.

"Ugh! Sa-sakit!" Cecilia memberontak, berusaha melepaskna diri dari cengkeraman itu.

"CECILIA!" Amelia berseru panik. Seruling putih itu sudah kembali pada tangan Veleria. Luka panah itu hanya membuatnya terkejut, tidak menyebabkan rasa sakit yang parah. Veleria punya kemampuan menyembuhkan diri dengan cepat, kelebihannya.

Penutup kepala milik Veleria lepas dari tempatnya. Rambut putih menari oleh embusan angin, matanya yang berwarna merah menatap tajam Cecilia. "Untuk apa kau mengambil serulingku?"

"Ugh!" Cecilia masih berusaha lepas dari cengkraman tak kasat mata itu.

"Apa yang kamu ketahui soal seruling ini?" Veleria mengangkat tangan kanannya semakin tinggi. Rasa sakit pada leher Cecilia bertambah, air matanya menitik.

Yulia yang hendak memanah Veleria tertahan. Veleria mengontrol gerak tangan Yulia, Yulia mencekik dirinya sendiri. "Ho, kamu juga ingin membunuhku?"

"Ugh!" Busur yang dia genggam terjatuh.

Valeria ingin keluar, tapi mereka sudah memintanya untuk tetap bersembunyi apa pun yang terjadi.

"Tahan gadis berambut bergaun putih itu!" Beberapa orang dari kerumunan langsung menahan Amelia, menyebabkannya terjatuh ke tanah. Coco bahkan dibawa oleh mereka.

"Oh, tupai dari Tarazine. Sungguh kebetulan, aku bisa saja menggunakannya sebagai bahan untuk membuat ramuan sejenis." Veleria tersenyum jahat pada Amelia seraya meraih Coco dengan cengkeraman tak kasat mata miliknya.

Amelia meronta-ronta, tidak, dia tidak mau kehilangan Coco. "LEPASKAN DIA! LEPASKAN TEMAN-TEMANKU."

Kacau. Semuanya kacau. Kemungkinan mereka pulang serasa lenyap.

"Apa yang kamu maksud dengan 'Valeria masih hidup'?" Veleria kini menatap lamat-lamat Amelia, iris merahnya terlihat membara."Jawab dengan jelas, atau aku akan membunuh tupaimu."

Amelia kira semuanya akan terselesaikan. Ternyata benar, harus membunuh atma penuh dengki terlebih dahulu, jika tidak, seruling bisa saja gagal didapatkan. Bagaimana caranya untuk membunuh jiwa penuh dengki ini?

Amelia terdiam. Kerunyaman mengusutkan pikirannya. Apa yang harus ia jawab, apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa dia lakukan?

"CEPAT JAWAB!" sergah Veleria sembari
mempererat cengkeraman pada Cecilia. Yulia bahkan tidak bisa bergerak, cekikan pada lehernya yang ia lakukan sendiri semakin erat.

"AKU VALERIA!" Suara yang tidak asing terdengar. Veleria langsung menoleh ke sumber suara. Topengnya Valeria lepaskan, penutup kepalanya tidak ia kenakan, manik hijaunya menatap lamat-lamat saudari kandungnya.

"Kau?" Veleria menatap Valeria dengan tidak percaya, bagaimana dia masih bisa hidup? Dia melihat sendiri kematian Valeria, napasnya yang raib, degup jantung yang terhenti.

"Minggir semuanya, aku ingin menemui kakakku!" Valeria berjalan merobek kerumunan. Veleria tidak melarang atau pun menyuruh warga untuk menangkapnya, dia hanya melongo menatap adiknya.

Amelia menatap Valeria yang berlari langsung menuju tempat Amelia berdiri. "Lepaskan mereka, mereka tidak bersalah! Kamu ingin membunuhku 'kan? Bunuh saja"

Tidak, mereka bersalah, mencuri adalah perbuatan yang salah. Ah, kadang manusia harus melakukan hal yang buruk untuk mencapai hasil yang baik. Rumit sekali rasanya.

Atmosfir tegang menguasai Yulia, dia biasanya bisa melindungi Valeria dari bahaya, tapi tidak kali ini. Batinnya meronta-ronta, tidak mampu melepaskan cekikannya. Cecilia juga dalam keadaan yang sama.

Iris mata Veleria menggelap. Memori lamanya terkuak saat melihat sosok adiknya. Tentang cacian, rasa sakit, kasih sayang yang berat sebelah, tentang makian, semua penderitaannya terasa hidup kembali.

Tidak ada satu pun penduduk yang menahan Valeria sebagaimana mereka menahan Amelia. Mereka sudah seperti budak Veleria, hanya menuruti perintahnya.

"Aku tahu kamu membenciku, tapi aku menyayangimu, sangat-sangat menyayangimu!" Valeria berteriak sekuat tenaga, air mata mengucur dari pelupuknya.

"Kalau kamu memang menyayangiku, kenapa tidak mati saja?" Veleria menatap tajam Valeria, amarah bergejolak dalam batinnya.

Veleria sudah menderita, kemunculan Valeria membuatnya semakin menderita. Tatapan membunuh Veleria menusuk Valeria yang masih melempar tatapan mata yang sedang menahan tangis.

"Aku hanya ingin hidup denganmu sebagai saudari, seperti saudari yang normal." Wajah Valeria dibanjiri air mata. Dadanya sesak. Keluarga yang harusnya menyayanginya malah ingin melenyapkanmu.

Atma penuh dengki ini tidak menggubris permintaan Veleria. Veleria tidak akan pernah menyayanginya sampai kapan pun, Valeria susah memperburuk hidupnya, rasa dengkinya muncul karena Valeria.

"KENAPA KAMU HARUS MUNCUL?!" Suara Veleria meninggi, melihat wajah Valeria membuatnya murka, membuatnya muak. "AKU SUDAH BAHAGIA TANPA KEBERADAANMU! KENAPA KAMU MUNCUL LAGI?!"

"Yang kamu lakukan tidak benar! Kamu tidak seharusnya menggunakan kekuatanmu untuk mengunci semua orang seperti ini, membuat pelelangan seperti ini!" Valeria terus menatap kakaknya meski hatinya sudah tidak kuat, tubuhnya lemas, tatapan benci saudarinya membuat kedua kakinya terus bergetar.

"Tolong dengark—"

"Kamu berani memerintahku?" Iris Veleria semakin menggelap, menatap Valeria dari atas dengan penuh kedengkian.

"Seharusnya aku membunuhku dengan kekuatanku saja!" Tangan kanan yang ia gunakan untuk mengendalikan cengkeraman kini ia arahkan pada Valeria. Cengkeraman pada Cecilia, Yulia, dan Coco terlepas. Rasa dendam pada Valeria lebih besar dari rasa marahnya pada mereka bertiga yang berusaha merebut serulingnya.

"Matilah," gumam Veleria pada dirinya sendiri. Benci, dia benci sekali pada Valeria, dia akan senang bila Valeria hilang sepenuhnya dari hidupnya.

Dari telapak tangan Veleria, keluar tiga tombak berwarna hitam yang dikelilingi oleh asap hitam. Ketiganya turun dengan cepat, mengarah pada Valeria. Sangat cepat, Valeria bahkan tidak sempat berpikir untuk menghindar.

Batin Valeria teracak-acak, matanya berair, tubuhnya kini dikuasai perasaan. Tombak hitam itu akan membunuhnya, dan dia sama sekali tidak memikirkannya. Rencana mereka juga tidak lagi terlintas dalam benak Valeria, Valeria hanya ingin bersama kakaknya menjalani hari dengan normal, ditatapnya Veleria sembari mengucurkan air mata.

Tidak ada yang tengah memikirkan petunjuk dari Gadis Gaib itu lagi. Nyawa Valeria dalam bahaya sekarang. Dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya.

Amelia tidak tahu lagi harus melakukan apa selain berusaha melepaskan diri, usaha memberontaknya semakin kuat. Valeria tidak boleh mati. Dia tidak ingin melihat hal yang sama lagi. Luka yang sama, yang mencoreng hatinya.

Nama Chris kembali berputar dalam benak Amelia. Tentang rumah, tentang keluarga, tentang kasih sayang, tentang rasa iri, tentang kesalahannya. Wajah anak laki-laki yang periang memenuhi pikirannya saat dia melihat Valeria.

Tidak boleh ada saudara yang mati karena kedengkian, tidak, itu akan mengendapkan rasa bersalah yang besar, rasa bersalah yang harus dipikul seumur hidup.

"AMELIA!" teriak Cecilia yang melihat Amelia--yang baru saja lepas dari cengkeraman warga--berlari menuju arah Valeria berdiri. Semua warga berangsur-angsur lari, genggaman warga pada Amelia tadi melemah karena mereka semua mulai panik, hendak melarikan diri.

Tidak ada yang tahu kekuatan tombak itu, bisa saja meledakkan tempat di sekitarnya. Amelia tidak memperdulikan teriakan Cecilia, yang ada di pikirannya hanya satu saat ini: menyelamatkan Valeria yang masih dibanjiri rasa sedih.

Jleb!

Amelia memeluk Valeria. Tombak itu menusuk punggung kirinya, tombak lainnya menancap ke tanah. Senyuman kecil tercetak di atas bibirnya, meski dia hanya bisa melindungi Valeria sekali--dalam kasus Veleria akan menyerang lagi--dia tetap bahagia.

Beban yang selama ini mengendap dalam hati tanpa diketahui oleh Amelia, Valeria, atau pun Julia. Beban itu terbang bebas seperti kupu-kupu.

Amelia menutup matanya lalu langsung bertopang pada bahu Valeria. Tombak itu adalah punya racun, rasa sakit menjalar dalam tubuh Amelia. Namun, dia senang, dia tidak perlu melihat hal yang sama lagi.

Kaki Valeria lemas, melihat Amelia yang terkena tombak itu menopang diri pada tubuhnya. Napas Amelia berangsur pendek. Valeria terjatuh di atas tanah dengan tangan yang bergetar, Amelia juga sama, mereka masih dalam posisi berpelukan.

Cecilia yang sudah bebas dari cengkeraman langsung berlari ke tempat mereka. Air mata memburamkan pandangannya. Teman perjalanannya kini bertopang lemas pada bahu Valeria, dia bahkan tidak menjerit kesakitan.

Yulia melakukan hal yang sama, langsung berlari turun dengam busur dan panahnya. Tentu saja dia tidak berencana untuk menembak Veleria yang telah menancapkan tombak pada Amelia, itu tidak ada gunanya, Veleria terlalu kuat.

Shing!

Sebuah tombak hitam baru saja dibentuk oleh Veleria. Mata merahnya tetap sama seperti tadi, dipenuhi oleh rasa marah. Diangkatnya tombak itu tinggi-tinggi, hendak melempar ke arah Veleria lagi. "Sebaiknya kalian menjauh kalau tidak ingin mati!"

Cecilia dan Yulia berdiri di depan Valeria dan Amelia. Yulia mengarahkan busurnya pada Veleria sebagai pertahanan, sedangkan Cecilia--yang tengah berlinang air mata--berusaha melepaskan tombak dari pungggungnya.

Tidak berhasil, tombak itu tidak mau tercabut. Semakin lama tombak itu menancap pada punggung, asap yang mengelilingi tombak kian berkurang. Racunnya semakin masuk ke tubuh Amelia, dan cecilia tidak bisa melepaskannya.

"AKU INGIN MEMBUNUH ANAK SIALAN ITU, MEYINGKIR SEMUANYA ATAU KALIAN SEMUA AKAN KULEMPAR TOMBAK INI!" Veleria menatap ganas ke arah mereka. Bila Veleria hendak melempar tombaknya, Yulia akan bersiap-siap melencengkan sasaran tombak itu, hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Veleria ...," lirih Amelia dengan tatapan yang sayu. "Jangan ... lakukan itu."

"Kau tidak punya hak untuk memerintahku!"

"Tentu saja aku tidak punya, tapi aku tidak ... ingin beban di hatimu terasa semakin be-berat," suara Amelia terbata-bata, "karena dengki yang ... tidak seharusnya ka-kamu lancarkan."

"Orang yang mati sebaiknya tidak banyak bicara!" Kemarahan Veleria tidak kunjung padam. Dia tidak peduli terhadap beban ang dibicarakan Amelia. Rasa iri dan dendam yang akann terlepaskan jauh lebih penting dari rasa bersalah yang akan mengendap dalam jiwa.

"Kautahu?" Amelia tetap nekat berbicara meski sudah menerima sergahan dari Veleria. Pelukan Amelia pada Valeria semakin erat. "Aku seperti melihat cermin saja."

Veleria tidak mengerti maksud dari ucapan Amelia barusan. Dahi mengernyit. Cermin itu artinya pantulan yang sama, apa yang sama dari dirinya dengan Amelia si pengembara ini.

Amelia terbatuk-batuk, racun itu terus menyebar pada tubunya. "Chris, aku punya saudara yang juga menjadikanku sama sepertimu, Chris namanya."

"Apa maksudmu?" Veleria semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini.

"Ka-kamu masih punya kasih sayang itu bukan?" kalimat yang dilontarkan Amelia barusan membuat Veleria tersentak. "Aku me-mengerti, ka-kamu ... belum terlambat."

"Bicaramu apa kamu?! Diamlah sampai racun itu membunuhmu!" Veleria tidak tertarik untuk mendengar ucapan Amelia. Hatinya merasakan hal yang janggal, seperti perasaan lama yang terkorek. Perasaan bersalah itu.

"A-Amelia ...." Cecilia memanggilnya sembari menitikkan air mata, berapa kali pun dia berusaha mencabut tombak itu, tetap tidak tercabut. Kenapa harus ada yang dikorban?

Coco tidak kalah sedih, ditatapnya terus pemiliknya. Coco tidak bisa melakukan apa-apa selain berusaha mencabut tombak dengan tangan kecilnya, tentu saja itu sia-sia. Tupai mana yang punya tenaga besar.

"Sebentar, ya," ujar Amelia sembari memalingkan kepalanya sedikit ke belakang. "Kita a-akan menemukan jalan pulang. Jangan sedih, ya."

Pulang? Bahkan harapan itu sudah sirna dari benak Cecilia. Lihatlah keadaan mereka: Veleria hendak menyerang lagi, Amelia terluka, dan mereka tidak bisa apa-apa. Bunuh jiwa penuh atma, kenapa harus sesulit ini?

"Veleria, aku mengerti, sangat mengerti." Cecilia menatap Veleria yang jaraknya tidak begitu jauh dengannya. "Rasa tertekan, ra-rasa ingin melenyapkan pemicu atmamu, rasa ma-marah."

Amelia tidak berhenti meski napasnya semakin tidak stabil. "Aku menyesal, sangat menyesal telah membunuh adik yang se-sebenarnya menyayangiku."

Amelia tidak pernah tenang. Senyum Chris terus mewarnai benaknya. Rasa bersalah itu tidak pernah padam, berkobar terus sampai saat ini, detik ini.

"Cecilia, aku berbohong. A-aku adalah pembunuh." Mata Amelia basah karena menahan air mata, bukan, itu bukan air mata yang mengucur karena racun, ini air mata yang mengucur karena rasa bersalah. "Aku menggembara jauh ha-hanya untuk melarikan diri dari rasa itu."

Amelia memejamkan matanya, rasa sakit pada punggungnya bertambah. Air mata kesedihan mulai jatuh dari pelupuk. "Seperti kamu, kamu mengunci semua o-orang, melakukan pelelangan, kamu mau melupakan rasa ber-bersalah itu bukan?"

Mata Veleria membulat; tidak percaya ada yang bisa membongkar isi hatinya yang sebenarnya. Rasa bersalah itu seperti api abadi, tak akan pernah padam. Tidak, Veleria tidak ingin mengungkit soal rasa itu, dia ingin semuanya berakhir. "BERHENTI BICARA, GADIS MENJIJIKKAN!"

Amelia tersenyum kecil, tidak menggubris pernyataan Veleria sebelumnya. "Valeria sangat menyayangimu. Ka-kamu tahu? Dia bahkan memikirkanmu terus menerus."

Valeria--yang tadinya menunduk--kembali menatap Veleria. Dia menangis lagi. Valeria tidak bisa menahan rasa sakit yang diberikan kakaknya. Valeria sangat mencintai Veleria.

"KALIAN TIDAK MENGERTI, TIDAK ADA YANG MENGERTI DIRIKU!" Veleria menatap garang ke arah mereka semua, tangannya semakin siap untuk melempar tombak. "TIDAK ADA YANG MAU MENGERTI DIRIKU."

"Valeria tidak akan menyayangimu bila di-a tidak mengertimu," ucap Amelia dengan lirih, sisa tenaganya tidak banyak, efek racunnya semakin terasa. "Semuanya hanya pemikiranmu yang mem-buat kamu tidak ingin dimengerti."

"DIAM!"

"Aku mengalami hal yang sama, bagaimana mu-mungkin aku tidak tahu perasaanmu." Aliran air mata Amelia semakin deras. "Aku menyesal, aku merindukan Chris, seandainya dia hanya memalsukan kematiannya, a-aku akan merasa sangat senang."

Batin Amelia teraduk oleh memori. Chris, adik yang senang memberinya bunga marigold, adik yang selalu memamerkan senyuman, adik yang mencintainya dan menyayanginya. Hanya karena dia mendapatkan kasih sayang lebih, Amelia membunuhnya dengan racun di dalam teh.

Chris, lelaki polos yang akhirnya pergi karena atma yang penuh dengki. Kejadian itu menjadi beban Amelia, api kesalahan yang terus berkobar, dia tidak bisa melupakannya.

"A-aku tidak ingin itu terjadi padamu." Amelia meringis. "Kedengkian itu tidak akan membantumu, te-terimalah cinta dari saudarimu, Valeria menyayangimu, matanya tidak akan berbohong."

Valeria menatap Veleria. "Aku ingin bersamamu, sangat-sangat ingin. Aku minta maaf, aku mintaa maaf kalau sudah pernah menyakitimu."

"Kamu tidak mengerti yang kurasakan, dibenci, tidak dianggap. Kamu tidak akan mengerti!"

"Aku memang tidak mengalaminya, tapi aku mengerti, rasa sakit itu." Amelia tetap mempertahankan napasnya. "Te-tetapi, apakah rasa sakit itu sampai membuatmu buta?"

Veleria menurunkan tombak hitam itu. Kedua pupil merahnya menatap Valeria lamat-lamat. Valeria mencintainya? Kenapa kasih sayang ini harus ia tolak karena dengki yang ia buat sendiri? Kenapa rasa sakit ini bisa membuatnya buta?

Pelelangan, itu mengikis nyawanya. Hanya orang buta yang bisa jatuh ke dalam jurang, mereka tidak bisa melihat apa yang ada di depan mereka, bukankah Veleria sama seperti itu? Pelelangan ini merupakan pengalihan dari segala rasa bersalah dan dendam yang bercampur aduk.

"Kamu tidak perlu berusaha untuk mendapatkan kasih sayang dari mengunci semuanya dan melakukan pelelangan." Valeria melontarkan kalimat itu dengan terbata-bata, dia takut, takut kalau saudarinya akan marah. "A-aku menyayangimu, meski kamu mau membunuhku, aku tidak akan berhenti menyayangimu!"

To be continued ....

7 Maret 2021

Lemony's note

Setelah seminggu, akhirnya aku selesai nulis bagian ini beserta endingnya, lama banget ya 😭

Tepat setelah DWC kelar, aku langsung sakit dan ada ujian di sekolaj, jadi kurang punya waktu buat nulis.

Mulai dari chapter ini sampai chapter selanjutnya tidak akan mempunyai tema karena DWC sudah kelar, dan cerita ini belum kelar /hiks/

Aku baru pertama kali nulis adegan gini, butuh banget kritikan dan juga saran (人 •͈ᴗ•͈)

Ya, segitu aja, see you in the next chapter! (。•̀ᴗ-)✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro