Apel Dari Pohon Shaviru
Tema: Buat karya dengan membayangkan tokoh/diri Anda menjadi NPC (non playable character) di dunia baru.
***
Keheningan itu bertahan selama beberapa menit. Kami bersitatap satu sama lain.
Kisah yang Amelia ceritakan tidak buruk juga, ya, jujur saja, ceritanya itu memiliki makna. Salah satunya menamparku.
Aku kadang terlalu sibuk mem-posting semuanya di ponsel, demi popular di sekolah. Tabiat itu harus aku perbaiki saat aku kembali.
Eh? Bagaimana caranya aku kembali?
Tiga kisah yang menjadi bayaran pengobatan pada kakiku sudah selesai Amelia ceritakan dan aku bahkan belum tahu aku sedang berada di mana.
"Aku sedang di mana sebenarnya?" Aku akhirnya mengutarakan pertanyaan ini.
"Maksudmu nama tempat ini?" Amelia bertanya perihal detail dari pertanyaanku. "ini hutan Lackewood."
Aku memang buruk dalam pelajaran Geografi jadi tidak tahu menahu tentang nama-nama hutan. "Hutan Lackewood itu terletak di negara mana?"
"Negara? Maksudmu dunia? Ini dunia bagian barat, Evarlaar." Amelia berucap demikian dengan tenang.
Fix, aku sedang berada di dunia antah-berantah. Jemariku spontan menggaruk kepala dengan bingung. "Kamu tahu cara membawaku pulang?"
"Kamu tinggal di kota atau desa mana?" tanya Amelia sembari menyelipkan rambut bergelombangnya pada daun telinga.
"Eh .... Medan?"
Dahi Amelia langsung mengernyitkan, dia kebingungan, aku ternyata benar-benar sudah berada di dunia asing. "Ah, tidak pernah dengar."
Aku langsung mengacak-acak rambutku. Gawat! Aku tidak sedang berada di Bumi, malahan tersesat di dunia asing yang tak aku kenali sama sekali. Aku belum mengumpulkan tugas dari Miss Kayla, duh, bisa-bisa aku tidak lulus di pelajarannya.
Amelia menatapku dengan datar. "Kamu ternyata bukan dari sini, kukira kamu dari desa Horilance; desa yang paling dekat dengan hutan ini."
Telapak tanganku menepuk dahi. Ahh! Aku bingung. Apa orang-orang tidak akan panik mencariku yang tiba-tiba menghilang ke sini.
"Kamu lapar?"
Berpikir yang rumit-rumit membuat perutku mulai keroncongan, tapi aku tidak bisa mementingkan makanan terlebih dahulu. "Aku sedang pusing memikirkan caraku untuk pulang."
"Berpikir dengan perut kosong tidak akan membantumu, perutmu sudah berteriak sedaritadi." Tawa kecil keluar dari mulut gadis pengembara itu.
Kurasa yang dikatakan oleh Amelia tidak salah. Jujur saja, aku sudah merasa lapar, untung saja perutku denga berani mengutarakannya. Mungkin aku bisa menemukan jalannya nanti.
"Baiklah."
Akhirnya aku mengikuti langkah Amelia. Dia bilang tidak mengenal tempat ini juga karena baru tiba beberapa saat, tapi sebagai pengembara, dia tahu lebih banyak soal hitan daripada aku.
"Cecilia, kemari," panggil Amelia yang membuatku kembali mengikuti langkahnya, aku tadi berhenti sejenak untuk menatap kumbang kecil.
Ada sebuah pohon yang menjulang tinggi, apel-apel tumbuh di sana. Apakah itu makanan yang Amelia maksud? Jujur, aku tidak suka buah apel.
Amelia membisikkan sesuatu pada tupainya dan tupai jingga miliknya itu langsung memanjat pohon, menjatuhkan apel berwarna merah itu ke bawah.
Jemari Amelia dengan sigap menangkap dua apel yang dijatuhkan tupai jingga itu. Tangan kanan yang tengah memegang apel mengarah padaku, hendak memberikan apel itu kepadaku.
Duh, aku tidak suka apel, tapi aku tidak boleh pilih makan di sini. Ya, setidaknya aku bisa melihat situasi.
Tanganku menerimanya. Mataku melirik ke arah gadis berambut hitam itu, dia menggigit apelnya dengan nikmat hingga menimbulkan suara kres.
"Kamu tidak menyukai apel?"
Aku menggeleng, memutuskan untuk jujur.
Amelia menunjukkan senyum sendunya, netranya kembali menatap pohon apel berkambium itu, cahaya matahari yang berhasil menerobos di sela-sela daunnya membuat pohon ini terlihat agak indah, aku tidak berbohong.
"Mari aku ceritakan kisah tentang apel dan Raja Savier."
*🍃*
Kamu mungkin tidak pernah mendengar tentang kerajaan Savien, letaknya di bagian timur, dipimpin oleh seorang Raja. Namanya Savier.
Ketika kamu melihat kota Saraven, tempat kerajaan Savien berdiri, kamu langsung bisa menebak seperti apa pemimpinnya. Kota yang indah, damai, dan aman, kamu sudah dapat gambarannya bukan?
Jalanan dipenuhi oleh musik, ada beberapa pengamen yang dengan senang hati memeriahkan jalan. Wangi bunga yang dipamerkan di toko juga memikat.
Kota yang indah dengan pemimpin yang hebat. Raja yang sudah berusia enam puluh lima, tidak bisa dikatakan lagi betapa bijaknya pemimpin negeri Savien.
Raja Savier memang luar biasa. Ah, tapi inti ceritanya bukan tentang itu. Yang ingin kuceritakan adalah tentang apel pada pohon Shaviru. Ya, kamu tidak salah dengar, nama pohonnya adalah Shaviru.
Nama Shaviru ini diberikan pada pohon apel tua yang tumbuh tepat di sebelah rumah Bibi Alagreta karena pohon ini mendengar banyak cerita layaknya manusia.
Pohon ini terasa agak berbeda, kata orang-orang di sana pohon bernama Shaviru ini seperti hidup. Jadi banyak yang sering numpang duduk di sana untuk menyanyi, bercerita, atau sekedar curhat.
Buah apel yang bergelantungan di dahan pohon Shaviru mendengar semua cerita mereka. Mereka berwarna merah segar, kulit mereka indah, apel yang sehat karena menerima asupan cerita setiap hari.
Begitu juga dengan si Apel Merah. Sebenarnya semuanya adalah apel dan berwarna merah, tapi aku akan memanggil buah apel yang satu ini dengan sebutan si Apel Merah.
Si Apel Merah senang mendengar cerita para petua, mereka senang mengatakan anekdot-anekdot yang membuat jiwa si Apel Merah bergelitik saking lucunya.
Oh, si Apel Merah hanyalah apel, tapi benda mati seperti dia juga punya perasaan meski tidak akan merubah jalan takdir. Mau marah, sedih, gembira, semuanya tidak akan mempengaruhi yang lainnya. Ia tidak berbeda dari buah lainnya
Ah, iya, ia sebenarnya berbeda, apel di pohon Shaviru spesial. Biar kuberitahu salah satu kebiasaan Raja Savier. Raja Savier punya satu kegaliban yang sudah ia lakukan sejak menduduki tahta keerajaan. Di sebelah singgasananya, harus diletakkan sebuah piring yang berisi sebuah apel dan apelnya akan diganti bila sudah kering.
Kau tahu untuk apa? Raja Savier ingin kerajaannya melewati hari-hari yang indah, semanis dan sesegar buah apel. Raja Savier sangat menyukai pohon Shaviru yang terlihat lebih hidup itu, dia bahkan pernah mengunjungi Bibi Alagreta untuk melihat pohon Shaviru yang terus-menerus diceritakan oleh rakyatnya hingga sampai di telinganya.
Pohon Shaviru selalu berbuah, aku tidak tahu apakah masih ada pohon seperti itu atau tidak. Seminggu sekali, Raja Savier akan datang langsung sendiri dan memilih satu buah apel untuk diletakkannya di ruang singgasana.
Hari ini Raja Savier datang. semua penduduk sontak memberi hormat, Bibi Alagreta juga demikian.
"Silakan pilih buah yang Yang Mulia suka," ujar Bibi Alagreat yang tetap mempertahankan posisi setengah menunduknya.
Mata coklat Raja Savier berkeliaran, mencari buah apel yang akan dia bawa pulang hari ini. Tangannya meraih satu buah apel yang berada pada tangkai terendah. Kamu sudah pasti tahu dia mengambil apel yang mana. Ya, dia mengambil si Apel Merah.
Si Apel Merah merasa senang. Akhirnya, aku dipilih raja, batin si Apel merah sembari tertawa senang, ya, pastinya tidak ada yang mengetahuinya, ia hanya benda mati.
Saat si Apel Merah diletakkan di atas piring emas. Si Apel Merah sedari masih berbentuk bunga sudah ingin berada di kerajaan Savien meski hanya bisa teronggok bisu dan mati seminggu kemudian. Si Apel Merah rela, asal bisa melihat pemimpin yang hebat ini.
Siang hari membuat matahari memamerkan panas menyengatnya dengan berani. Raja Savier dan Perdana Menteri Alrmaz tengah berbincang santai. Si Apel Merah baru sadar kalau piring emas itu akkan dibawa ke mana Raja berada, bukan hanya di ruang singgasana.
Si Apel Merah yang teronggok bisu kini berada di ruang pribadi milik Raja. Ini baru hari keduanya, si Apel Merah merasa sangat senang. Kalau kamu melihat pujaanmu dari dekat, kamu juga akan terkagum-kagum bukan?
Semuanya berjalan lancar hingga pada sore itu juga, Raja savier pingsan saat duduk di singgasananya. Tubuhnya dingin, mulutnya mengeluarkan busa. Ah, kamu bisa membayang betapa paniknya si Apel Merah, tapi, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, si Apel Merah hanyalah sebuah apel yang dipilih raja, benda mati.
Si Apel Merah tidak lagi berada dekat dengan Raja Savier. Raja Savier kini berbaring di atas kasurnya, tidak bisa beranjak sama sekali. Yang Mulia yang bijaksana sedang sakit parah.
"Huf, kenapa Raja bisa sakit?" gumam si Apel Merah sembari ber-puh kesal. Mendengar suara Raja itu mengasikkan bagi si Apel Merah, suaranya yang ramah dan penuh dengan kalimat-kalimat bijak.
Hari keenam, sisa sehari sebelum si Apel Merah kering dan akan membusuk. Raja belum kunjung sembuh, ruang singgasana kosong melompong, yang masuk dan keluar hanyanya pelayan untuk membersihkan ruangan.
Si Apel Merah merasa sedih, padahak teman-temannya yang lain bisa bersama Raja selama seminggu penuh, dan saat gilirannya tiba malah Raja Savier sakit parah.
"Seandainya aku bisa menyembuhkan Raja," pikir si Apel Merah. Tentu saja ia tidak akan bisa, ia, kan, benda mati, tidak bisa bergerak.
Di tengah kekhawatiran si Apel Merah, suara pintu yang dibuka terdengar. Ah, itu Pangeran Salavir, anak tunggal dari Raja Savier. Ada Perdana Menteri Alrmaz. Mereka berdua masuk ke dalam ruang singgasana yang saat ini tidak dipijaki manusia lain.
"Akhirnya orang tua payah itu sakit juga!" Pangeran Salavir melontarkan kalimat itu dengan perasaan senang. Si Apel Merah yang sudah hampir kering itu tersentak.
Pangeran Salavir melanjutkan kalimatnya. "Terima kasih, Perdana Menteri Alrmaz, akhirnya aku bisa menguasai kekayaan ini."
Si Apel Merah tahu ini semua salah. Ternyata yang membuat Raja sakit adalah Perdana Menteri Alrmaz.
Perdana Menteri Alrmaz tertawa sampai kumisnya terlihat naik-turun. "Racunku selalu ampuh."
Si Apel Merah tidak menyangka ini, pemimpin sebaik Raja Savier harus terbunuh oleh anak dan perdana menterinya sendiri. Pengkhianat, si Apel Merah tidak suka pengkhianat.
Tawa dan rencana jahat diucapkan oleh mereka, membuat si Apel Merah semakin geram. Ia ingin sekali melompat dari piringnya, memberitahu rakyatnya tentang hal ini, atau memberitahu siapa pun yang bisa menghentikan rencana busuk Pangeran Salavir.
Rasanya tidak menyenangkan ketika kamu tahu rencana busuk seseorang, tapi kamu tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya teronggok bisu mendengarnya, menyedihkan bukan?
Si Apel Merah hanyalah sebuah apel dari pohon Savirus. Tidak lebih. Ia tidak bisa menghentikan rencana jahat dari mereka berdua. Si Apel Merah yang hampir kering dan mati itu pun tidak bisa melakukan apa-apa.
Si Apel Merah merutuki dirinya. Kalau saja ia seorang manusia dan bukan sebuah apel, ia pasti bisa melakukan sesuatu.
Batin si Apel Merah tersentak saat jari telunjuk Pangeran Salavir mengarah padanya. Oh, mata coklat hazel milik Pangeran juga menatapnya dengan tajam, seperti penuh kebencian.
"Buang apel yang busuk ini, aku tidak suka melihatnya. Lagipula orang tua itu sudah meninggal, tidak akan ada lagi orang aneh yang meletakkan apel di piring emas ini."
*🍃*
"Jadi itu akhir ceritanya?"
Amelia mengangguk mantap sembari mengunyah buah apel yang dia ambil dari pohon tadi.
Mataku menatap apel yang kuletakkan di atas jemariku, belum kumakan. "Jadi si Apel Merah menjadi apel pohon Shaviru terakhir yang menginjak piring emas itu?"
"Iya, yang terakhir karena Raja sudah tiada." Amelia memberikan balasan atas pertanyaanku.
Hm, kasihan si Apel Merah, padahal tekadnya kuat, tapi dua tidak bisa melawan takdirnya.
"Kita tidak akan bisa melawan takdir," ucap Amelia dengan suara yang pelan. "Sekarang, makan apel itu, kuharap cerita tadi membuat kamu bisa sedikit menyukai apel."
Aku mengunyah apel tersebut, gigitan pertamanya terasa manis. Hei, ternyata apel tidak seburuk yang aku pikirkan, kukira rasanya akan hambar atau manisnya hanya sedikit, lebih ke asam, ternyata tidak, rasanya lumayan. Mungkin cerita tadi ada efeknya untukku.
Amelia dan aku menghabiskan apel berwarna merah milik kita berdua dengan santai, diiringi dengan kicauan burung dan desiran angin. Apelnya ternyata bisa mengganjal lapar di perut.
To be continued ....
4 Febuari 2021
Lemony's note
TEMA KALI INI SUSAH SEKALI 😭✨ Aku benar-benar blank pas lihat temanya, tapi syukurlah ide-chan masih mau muncul 😭✨
Dongeng kali ini adalah dongeng yang paling sederhana di antara dongeng lainnya, tapi tak kalah absurd /plak/
Padahal baru hari keempat dan kepalaku sudah mulai pusing untuk memikirkan ide, semoga masih kuat sampai akhir bulan.
/Lemon sudah mulai pesimis/
Itu saja untuk cuap-cuap hari ini, see you in the next chapter! (。•̀ᴗ-)✧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro