Bintang Jatuh (3)
Satu Bulan Sebelumnya
"Duduk di balkon, yuk. Langit malamnya lagi bagus banget, loh," ajak Sarah. Gadis itu tiba-tiba muncul di pintu kamar Wulan.
Tanpa menunggu persetujuan Wulan, Sarah membuka pintu yang mengarah pada balkon kecil di kamar Wulan.
Mereka bertetangga. Rumah milik tante Wulan berseberangan dengan rumah Sarah. Sejak berteman akrab, Sarah sudah terbiasa bermain ke kamar Wulan. Begitu pula sebaliknya.
Sarah memang menjadi sahabat Wulan sejak dia pindah ke kota untuk tinggal bersama tantenya, pasca kematian sang ibu saat menjelang kelulusan SMP.
Wulan menyukai berteman dengan Sarah. Sarah adalah sosok cantik yang ceria. Bagi Wulan, Sarah sangat menyenangkan dan baik, terutama kepadanya.
Wulan yang tadinya sedang sibuk dengan layar laptop, memilih mengikuti kemauan Sarah. Dia meninggalkan pekerjaannya di meja belajar, lalu mengikuti Sarah.
Balkon kamar Wulan berukuran kecil. Saat keduanya duduk berselonjor sambil bersandar di kusen pintu, ujung kaki mereka menempel langsung pada pagar pembatas balkon.
"Tadi lagi ngerjain tugas, ya?"
Wulan menggeleng atas pertanyaan Sarah. "Ngecek laporan pembukuan butik Tante Lia."
"Bukannya udah dikerjain sama pegawainya tante?" tanya Sarah, merasa heran.
"Aku aja yang pengin. Mbak Mika juga yang nyaranin buat mulai belajar dari sekarang." Wulan menyebut nama pegawai keuangan di butik tantenya.
"Wuih! Udah mau kerja aja manisku ini," puji Sarah sambil menjawil pipi Wulan.
"Masih lama, sih. Kandungan Mbak Mika baru dua bulanan. Dia ngambil cuti pas mau lahiran aja, katanya. Jadi, masih berbulan-bulan lagi aku baru bisa aktif kerja di butik."
"Eh, gue mau bilang Tante Lia, deh, biar bisa part time juga di butiknya. Biar seru kita kerja bareng," cetus Sarah dengan semangat.
"Ide bagus. Katanya, sih, tante butuh OG baru. Cocok banget, tuh."
"Sembarangan, ya!" Kali ini Sarah mencubit pipi Wulan yang sudah tertawa-tawa.
"Super cantik dan calon pengacara begini malah dijadikan OG. Jadi ambasador, dong!"
"Iya, itu juga," sahut Wulan, jujur. "Aku udah sarankan ke Tante Lia buat jadikan kamu model photoshoot berikutnya. Bakal ada baju-baju musim terbaru yang...."
"Serius, Lan?!" seru Sarah. Ketika Wulan mengangguk, dia langsung memeluk gadis itu sambil memekik bahagia.
"Gue malu kalau foto gue dipajang, tapi gue mauuu! Gimana, dong?!"
Wulan tertawa geli melihat respons menggemaskan Sarah. Sangat menghibur kesehariannya.
"Eh, sampai lupa. Tadi mau ngefoto bintang-bintangnya," ujar Sarah, segera mengambil ponsel miliknya dan mulai mengarahkan ke langit malam di atas mereka.
"Cantik, ya, Lan?" Sarah memandangi hasil jepretannya di ponsel, lalu kembali menatap langit malam.
Wulan mengangguk saja. Dia penikmat dalam diam. Tidak seperti Sarah yang kadang mudah mengeksperikan dalam tindakan ataupun perkataan.
Beberapa saat, keduanya saling terdiam sambil menatap keindahan kerlip bintang di langit. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Jadi, gimana sama Abel?" celetuk Sarah tiba-tiba.
"Abel?" Jelas saja Wulan bingung.
Abel adalah nama salah satu teman Randi, mantan pacar Sarah. Ada urusan apa cowok itu dengannya? Selain pada saat malam ulang tahun Sarah, rasanya Wulan tidak berinteraksi lagi dengan cowok itu.
Sarah tertawa kecil. Dia paham kalau Wulan sepertinya tidak peka. "Gue udah pernah bilang dari lama, kan? Tuh, cowok selalu memperhatikan lo."
"Oh. Masih bahasan itu." Wulan mulai ingat satu hal ini. Pikiran asal Sarah yang pernah diungkapkan gadis itu beberapa bulan lalu.
Sarah berdecak, mulai gemas. "Lo nggak percayaan banget, sih? Gue nggak asal pas bilang gitu. Sudah sering keciduk. Dia kalau pas lagi natap lo, kadang nggak kedip. Sampai lo jauh juga tetap dia lihatin. Kasihan banget wajah cakepnya jadi keliatan bego pas mandangin lo dari jauh."
Wulan tersenyum kecut. "Cerita begini nggak cuma sekali. Tebakan kamu nggak ada yang benar. Nggak ada cowok yang benar-benar minat ngasih perhatian ke aku kayak yang kamu bilang."
"Tapi, kali ini emang beda. Abel, tuh, ya...."
Belum selesai Sarah dengan argumennya, tapi sudah dipotong Wulan, "Sarah, udah, ya. Aku malas bahas beginian. Nanti keburu aku ke-PD-an. Kalau ternyata nggak benar, susah nyembuhin bapernya."
Bernada santai, tapi tersirat peringatan. Wulan dalam kondisi kesal adalah hal yang paling dihindari Sarah. Apalagi kalau sampai gadis itu marah kepadanya. Sarah pasti akan galau karena tidak betah berlama-lama berselisih paham dengan Wulan.
Sarah sangat sayang pada Wulan. Dia anak tunggal. Wulan sudah seperti saudari yang dia inginkan sejak kecil, tapi tak pernah kesampaian karena kondisi fisik ibunya yang tidak bisa hamil lagi.
Menahan diri agar tidak menjadi konflik, Sarah memilih menutup mulutnya.
Wulan tersenyum melihat bibir cemberut Sarah. Dengan gemas, dia balas mencubit pipi gadis itu seperti yang dilakukan Sarah padanya beberapa saat lalu.
"Eh! Eh! Lihat, Lan! Ada bintang jatuh!" seru Sarah tiba-tiba dengan heboh. "Buruan make a wish!"
"Hah?" Wulan paham, tapi masih memproses ajakan Sarah. Apa iya mereka harus melakukan sesuatu yang dikenal sebatas mitos belaka?
"Bodo amat kalau cuma mitos, yang penting pernah nyoba sekali," ucap Sarah sambil memejamkan mata. Terlihat sedang berdoa dalam hati.
Wulan tertawa geli. Terbawa semangat Sarah, dia jadi ikut-ikutan memejamkan mata dan mengucapkan harapannya dalam hati.
"Gue tadi minta bisa liburan ke Maldives dalam waktu dekat. Kalau lo, tadi minta apa, Lan?" Sarah terdengar bersemangat ketika tahu Wulan mengikuti tindakannya melakukan make a wish saat bintang jatuh.
Dalam hati, Wulan mengaminkan permintaan Sarah, lalu menjawab pertanyaan gadis itu dengan jujur, "Minta supaya Mas Naren jadi pacarku."
Dia tahu betul permintaannya barusan adalah hal yang mustahil. Sadar bahwa permintaan saat bintang jatuh hanya sekadar mitos, jadilah Wulan asal saja tadi ketika membuat permintaan.
"Lo suka sama Mas Naren?!"
Di luar dugaan, ternyata Sarah menganggap serius ucapannya barusan.
Dalam hati, Wulan langsung tertawa miris. Bagaimana mungkin gadis cacat sepertinya berani jatuh cinta pada sosok sesempurna Naren? Pria lajang yang merupakan salah satu tetangga mereka juga.
Naren berumur beberapa tahun di atas mereka. Sudah bekerja dan kebanggaan keluarganya. Naren sosok pria yang baik dan dewasa. Sikapnya sangat menjaga kepada Sarah dan Wulan yang dianggapnya seperti adik sendiri.
Meski jarang berinteraksi akrab, tapi Naren selalu bersikap baik dan hangat kepada Wulan saat mereka bertemu. Tidak hanya Wulan, pastinya banyak para gadis akan mudah terpesona pada sosok Naren.
Seperti tokoh utama protagonis dalam novel romansa, Naren adalah sosok yang tidak akan mungkin digapai Wulan selain status mereka sebagai tetangga.
"Kenapa baru bilang sekarang? Tahu gitu, kan, gue bisa bantu lo PDKT sama dia."
"Jangan dianggap serius. Nggak mungkin Mas Naren...." Wulan berusaha untuk menghentikan pikiran yang sedang berkembang di kepala Sarah, tapi terlanjur kalah dari semangat gadis itu.
"Harusnya gue bareng lo pas ngantar kue titipan mama ke rumah dia tadi sore. Biar sekalian nyari momen."
"Sarah, aku cuma bercanda," sanggah Wulan lagi, mulai frustrasi dengan cercaan Sarah yang tanpa henti.
"Gue juga nggak perlu buang waktu ngebahas si Abel. Ah, Wulan! Kenapa nggak curhat dari lama, sih!?"
Sarah terdengar tidak mau mendengar sanggahan Wulan. Keras kepalanya gadis itu dalam menarik kesimpulan perlahan membuat Wulan merasa kesal.
Sarah seakan melupakan bagaimana topik yang dia bahas adalah sesuatu yang sulit bahkan mustahil untuk seorang Wulan. Hal tersebut tanpa sadar menyentil rasa sinis yang berasal dari banyak trauma Wulan atas sebuah penerimaan serta hubungan bersama orang lain.
"Pas banget Mas Naren lagi jomblo. Gue bakal cari cara supaya nanti lo bisa sering ketemu sama dia," usul Sarah, semakin terlihat bersemangat tanpa menyadari perubahan wajah Wulan.
"Oh, ya? Dengan cara apa? Bikin dia kasihan dulu sama kondisiku, biar dia nggak tega nolak kalau sering diajak ketemu?"
Sarah langsung mengernyit dan memandangi wajah Wulan. Tentu saja dia kaget saat mendengar kalimat dan nada yang diucapkan temannya barusan.
"Lo kenapa, sih?" tanya Sarah, mencoba membaca situasi. Butuh waktu sejenak sampai akhirnya dia berdecak kesal.
Wulan yang juga sudah tersadar atas sikap berlebihannya beberapa saat lalu, refleks menunduk. Dia mulai merasa jengah.
Sarah seringnya memang menghindari konflik bersama Wulan. Namun, kalau gadis itu tiba-tiba sudah sangat sesinis ini kepadanya tanpa menelaah baik-baik, terpaksa Sarah meladeni.
"Wulan, Wulan! Mau sampai kapan, sih, pesimis dan negatifan terus? Nggak semua orang menilai orang lain dari kesempurnaan fisik aja. Mungkin lo pernah beberapa kali harus sial ketemu orang-orang kayak gitu. Tapi, nggak mungkin semua orang yang bakal lo temuin punya pikiran yang sama, kan?"
Sarah mengerti apa yang ditakutkan Wulan. Hanya saja dia sedikit tidak menyukai sisi Wulan yang masih sulit untuk berpikiran positif pada banyak kesempatan di dekatnya.
"Gue, Mas Naren, dan anak-anak tante lo pernah nggak ngeremehin lo? Pernah nggak kita menjauhi atau memperlakukan lo dengan semena-mena? Nggak pernah, kan?" tukas Sarah, mencoba meyakinkan Wulan.
Wulan terdiam. Semua yang Sarah katakan adalah kebenaran. Namun, masih banyak pula kebenaran yang tidak diketahui Sarah dan hanya bisa dipendam Wulan sendirian.
Sekarang dia memang memiliki banyak teman, tidak lagi seperti saat masih tinggal di lingkungan asalnya. Namun, untuk hubungan romansa, tidak ada yang berniat mencoba dengannya.
Wulan ingat saat masih sekolah dia pernah tanpa sengaja mendengar pembicaraan para anak lelaki di kelasnya. Mereka membicarakan Wulan yang meski punya banyak prestasi di sekolah, tapi tidak akan pernah dijadikan pilihan untuk menjadi orang spesial dalam kehidupan percintaan mereka.
Ketidaksempurnaan fisik Wulan menjadi alasan utama. Tidak peduli sebaik apa dia merawat diri dan sikap, tetap tidak mampu menutupi kekurangan yang sudah dibawanya sejak lahir. Kondisi kakinya hanya akan membuat mereka malu.
Itu hanya satu dari banyak kejadian yang Sarah tidak ketahui karena memang Wulan tidak pernah mengumbar kekecewaan dan kesakitannya.
"Lo, tuh, cantik, Lan. Lo selalu juara kelas. Nggak pernah absen dapat beasiswa prestasi. Lo juga baik, pintar masak, jago ngurus ini-itu. Nggak semua orang bisa melihat betapa spesialnya diri lo. Tapi, gue yakin pasti bakal ada yang paling beruntung karena berhasil dikasih lihat apa yang orang lain nggak bisa."
Sarah memang paling pandai membesar-besarkan hati Wulan. Wulan tersenyum tipis. Kalau orang lain yang berkata seperti itu, dia tidak akan percaya. Hanya saja, Sarah memang selalu tulus kepadanya. Mudah sekali menghibur Wulan. Walau kadang keras kepala, Sarah tidak pernah bersikap palsu kepadanya.
"Kasih kesempatan untuk orang-orang bisa lihat diri lo yang sebenarnya, Lan. Jangan terus-terusan menutup diri cuma karena lo takut terluka. Padahal lo sudah nggak berada dalam lingkungan toxic lagi kayak dulu. Lo aman di sini, Lan. Gue dan Tante Lia nggak akan biarin lo diperlakukan kayak dulu lagi."
Wulan juga tahu fakta tersebut. Tinggal di kota bersama keluarga tantenya membuat hidup Wulan jauh lebih baik, meski harus merelakan kematian ibunya terlebih dahulu.
Paling tidak, kondisi lingkungan sekarang tidak separah dulu. Meski kadang dia tetap merasa getir apabila harus berjalan di tengah kerumunan orang.
Memang tidak ada orang yang terang-terangan mengejeknya secara verbal, tapi Wulan tahu mereka memperhatikan dirinya dengan berbagai spekulasi dan juga tatapan yang perlahan dapat menjatuhkan rasa percaya dirinya.
"Coba mulai dari orang terdekat," lanjut Sarah, terlihat mulai kembali bersemangat karena tadi mendapati senyum kecil Wulan. Dia menganggap Wulan mungkin sudah dapat dibujuk kembali.
"Kasih kesempatan ke Mas Naren untuk jadi bagian dari orang-orang beruntung yang gue maksudkan tadi."
"Sar, tolong, deh," keluh Wulan. Dia kira topik Naren sudah tidak akan disinggung lagi.
"Iya, gue bakal coba tolong lo!"
"Bukan itu maksudku," ralat Wulan, gemas sekaligus kesal.
Sarah tertawa. Sengaja menjaili Wulan. Namun, dia memang serius dengan rencananya.
"Jangan pesimis. Kita coba dulu. Gue bakal jadi miss cupid buat lo dan Mas Naren."
Sarah si keras kepala yang selalu optimis dan berpikiran positif.
Sudah lelah berkata-kata, Wulan menyerah. Menganggap angin lalu, dia akhirnya memilih mengangguk saja tanpa benar-benar serius merespons rentetan rencana Sarah dalam misi menjadikan Naren pacar Wulan.
***
Satu Bulan Kemudian
Minggu malam, Wulan berada di halaman belakang rumah Sarah untuk ikut acara bakar-bakaran. Beberapa tetangga ikut bergabung.
"Lan, Sarah kelamaan bikin minumnya. Coba kamu cek ke dapur. Jangan-jangan dia bingung membedakan yang mana gula dan garam."
Wulan tertawa kecil mendengar perkataan mama Sarah. Dia menuruti keinginan wanita itu untuk menyusul Sarah ke dapur.
Wulan sempat penasaran ketika mendengar percakapan dari arah dapur. Dia kira Sarah sendirian karena memang tadi gadis itu menolak dibantu Wulan.
Wulan sudah akan menyerukan nama Sarah ketika mencapai pintu dapur. Namun, gerak mulutnya terhenti saat melihat keberadaan Sarah bersama Naren di sana.
Bertepatan dengan kedatangan Wulan, wajah Naren menunduk untuk mengecup bibir Sarah.
Wulan tentu saja terkejut melihat hal tersebut. Begitu pula Sarah yang sepertinya tidak menduga tindakan Naren. Namun, gadis itu terlihat tidak menolak ketika sekali lagi Naren mengulangi kecupannya di bibir Sarah.
Kedua orang itu sepertinya tidak menyadari keberadaan Wulan. Perlahan, Wulan mundur dan meninggalkan tempat tersebut untuk kembali bergabung bersama yang lain di halaman belakang.
***
Ketika sedang duduk menunggu kelas berikutnya, Wulan mendapat pesan dari Sarah yang ingin bertemu dengannya kapan pun Wulan punya waktu luang hari ini.
Mengherankan. Jarang sekali Sarah meminta izin ketika ingin bertemu. Biasanya dia langsung datang saja ke hadapan Wulan.
Dugaan Wulan, pastilah gadis itu ingin bercerita atau mengungkapkan kejadian tadi malam saat di dapur rumahnya.
Wulan harus ke butik tantenya nanti sore. Malam pun dia akan ikut makan malam sekeluarga di luar dan kemungkinan pulang agak malam. Jadilah Wulan mengajak Sarah untuk bertemu saat jam makan siang saja.
Sarah yang sepertinya tidak ingin menunda, langsung mengiakan untuk mendatangi Wulan di fakultas gadis itu.
Awalnya, mereka menikmati makan siang di kantin fakultas dalam kondisi biasa sambil bercanda. Meski begitu, Wulan tahu ada yang berbeda dari sikap Sarah. Naluriah, dia merasa tidak nyaman melihat kondisi Sarah yang gelisah.
Setelah menyelesaikan makan siang, mereka memilih untuk duduk di salah satu gazebo yang berada di halaman dalam gedung fakultas.
"Udah, nggak usah gelisah gitu. Aku lihat, kok, kejadian di dapur tadi malam."
Wulan menahan senyum ketika melihat Sarah terkesiap mendengar pengakuannya yang tiba-tiba.
Namun, senyum Wulan langsung luntur saat mendapati mata Sarah berkaca-kaca seakan ingin menangis. "Eh, kok, mau nangis, sih? Jangan, dong, Sar. Banyak orang di sini," tegur Wulan, mulai khawatir.
Sarah yang menangis adalah hal langka. Kalaupun sampai terjadi, berarti kondisi gadis itu sudah benar-benar memprihatinkan. Wulan jelas tidak menginginkan hal tersebut. Dia menyayangi Sarah seperti gadis itu juga memberikan perasaan yang sama padanya.
"Tahan! Jangan nangis," tegas Wulan lagi, sedikit memaksa. "Selesaikan dulu apa yang mau disampaikan. Jangan baper duluan," lanjutnya, mencoba sedikit bercanda agar Sarah tidak terlalu tegang.
Sarah menurut. Dia terlihat mencoba mengendalikan diri. Menahan tangis. Bersiap untuk bercerita.
"Mas Naren ternyata jahat, Lan," lirih Sarah, menunduk untuk fokus pada ponsel yang dia genggam erat di atas pangkuannya.
Wulan membuang napas kasar. "Dia nggak jahat. Dia cuma jujur sama perasaannya."
"Lan!" seru Sarah, terdengar tidak terima dengan kebenaran yang diungkapkan Wulan dengan tepat.
Wulan tersenyum lembut. Ditatapnya Sarah dengan pancaran kasih sayang antarteman setulus hatinya. Dia juga menggenggam tangan Sarah yang sedang menggenggam ponsel. Dielusnya pelan untuk menenangkan gadis itu.
"Sudah jelas dia bukan orang beruntung seperti yang kamu maksudkan malam itu."
Sarah terlihat masih berusaha menahan air mata. Dia memalingkan wajah ke arah lain. Merasa tidak sanggup bertatapan dengan Wulan.
Sarah tidak menyukai Naren dalam hal romansa, tapi pria itu mengaku telah mendambakan Sarah sejak lama.
Sebulan terakhir, Sarah intens menemui Naren demi bisa mendekatkan Wulan pada pria itu. Wulan memang berhasil lebih dekat dengan Naren. Naren pun menyambut terbuka keberadaan Wulan yang jadi sering berinteraksi dengannya.
Sayangnya, Naren murni menganggap Wulan sebatas adik saja. Sedangkan Sarah adalah apa yang dia harapkan sejak lama.
Tindakan Sarah yang sering mendekatinya akhir-akhir ini dijadikan Naren sebagai kesempatan baginya.
"Mas Naren tahu niat kamu jadi comblang?" tanya Wulan, ingin memastikan.
Sarah mengangguk. Masih tidak mampu menatap Wulan.
Wulan ikut mengangguk, tanda paham. Tersenyum tipis. "Cowok langka. Pantas jadi idaman," puji Wulan atas sosok Naren.
"Idaman dari mananya?!" sergah Sarah, protes mendengar perkataan Wulan. Dia refleks menatap Wulan yang terkekeh melihat responsnya.
"Dibanding bersikap munafik dengan pura-pura nerima aku, dia memilih bersikap tegas memberi batasan sedari awal. Dia tahu kalau meladeni kemauan kamu, akan jadi masalah besar di kemudian hari. Cowok dewasa tahu kapan harus memotong akar masalah di waktu yang tepat walau mungkin caranya kejam."
Sarah terlihat terperangah dengan isi pikiran Wulan saat ini, tapi tidak bisa menyanggah. Perlahan, dia memahami kebenaran dalam penjelasan Wulan.
Sayangnya, Sarah keburu merasa sangat bersalah. Kali ini, sikap optimisnya sangat merugikan. Dia berpikir semua akan berjalan sesuai harapannya ketika sosok Narenlah yang dia ikut sertakan dalam rencana.
Bagi Sarah, Naren adalah calon sempurna untuk Wulan. Hanya saja, dia tidak memprediksi kalau sikap Naren yang dikatakan Wulan 'pantas jadi idaman' dapat menjadi bumerang untuk rencana Sarah dalam mewujudkan harapan Wulan.
"Maafin gue, Lan," lirih Sarah, tidak tahu harus berkata apa lagi atas rencananya yang gagal.
Wulan menghela napas panjang. Merapikan rambut panjangnya yang hari ini dibiarkan tergerai bebas. "Udah, jangan terlalu dipikirkan. Dari awal juga kita udah tahu kalau keinginan yang dibuat saat bintang jatuh itu cuma mitos. Hanya Tuhan yang bisa mengabulkan permohonan kita, bukan benda langit yang sebatas benda mati. Jadi, bukan salah kamu kalau Mas Naren nggak tertarik sama aku."
"Lagian, aku udah bilang, kan, kalau permohonanku malam itu cuma asal aja. Kamu aja yang ngeyel nggak percaya," lanjut Wulan.
Sarah bungkam. Masih terlalu merasa bersalah.
"Aku nggak marah, tapi aku punya satu permintaan."
Perkataan Wulan barusan memancing perhatian Sarah yang tadi sedang menunduk merutuki diri.
"Setelah ini, tolong, jangan lagi merencanakan hal begini. Bukan berarti aku nggak menghargai usaha kamu yang mau bantu aku. Tapi, aku udah pernah bilang, kan? Apabila rencana nggak sesuai harapan, susah nyembuhin bapernya."
Wulan tersenyum samar. "Nggak semua orang setulus kamu dalam menerima keberadaanku, Sar. Mereka mungkin baik, tapi nggak bisa lebih dari itu."
Wulan berdiri dari duduknya karena berencana untuk mampir ke perpustakaan fakultas dulu sebelum pulang. Dia tidak bisa berlama-lama menenangkan Sarah. Gadis itu sudah dewasa. Harus mampu menyelesaikan sendiri apa yang telah dia mulai.
"Orang beruntung yang kamu bilang malam itu, biarkan aku menemukannya sendiri. Tanpa dipaksa, tanpa dibuat-buat, dan tanpa bantuan. Biarkan Tuhan yang membuat rencana."
Wulan berpamitan. Dia juga meminta Sarah untuk segera kembali ke fakultasnya karena tahu gadis itu masih ada kelas siang.
Tanpa menoleh, Wulan meninggalkan Sarah.
Tanpa perlu berkata, sesungguhnya Wulan pun perlu menenangkan dirinya.
[24.10.2022]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro