Bintang Jatuh (2)
Sudah lewat setengah tahun sejak pertemuan pertama Abel dan gadis bernama Wulan yang merupakan adik tingkatnya di fakultas, tapi berbeda jurusan.
Setelah malam itu, tidak ada lagi interaksi berarti antara keduanya. Hanya Randi dan Davin yang kadang terlihat saling sapa dengan Wulan apabila tanpa sengaja berpapasan di lingkungan gedung fakultas.
Kelebihan sosok Randi si playboy adalah dia selalu menunjukkan sisi welcome pada semua gadis tanpa pengecualian. Ketika banyak cowok terlihat berhati-hati saat berinteraksi dengan Wulan yang memiliki kondisi fisik terbatas, tapi Randi akan dengan santai mengajak gadis itu bercanda di depan umum tanpa terganggu dengan kecanggungan yang ditunjukkan gadis itu.
Davin yang kalem, seringnya ikut saja dengan penjelajahan Randi. Dia juga menjadi salah satu yang terbiasa menyapa Wulan kapan pun mereka berpapasan.
Mengenai Sarah, gadis itu ternyata terlampau cerdas untuk bersanding dengan si petualang Randi. Hubungan asmara mereka hanya bertahan tiga bulan. Dengan terbuka tanpa banyak drama, gadis itu meminta putus ketika akhirnya mengetahui tabiat Randi yang tidak tahan berlama-lama menjalin komitmen bersama seorang gadis yang sama.
Sarah juga tergolong dewasa dan baik hati karena pasca putus pun dia tetap menjalin hubungan yang cukup baik dengan Randi. Mungkin karena Wulan yang juga kini telah berteman dengan Randi dan Davin, hingga kadang mereka masih dapat berinteraksi dengan baik meski telah mengakhiri hubungan.
Hanya tersisa Abel. Si pengecut yang berengsek.
Kecuali Randi, tidak ada yang mengetahui kecamuk pikiran Abel atas keberadaan seorang Wulan.
Randi paham, tapi tahu diri untuk tidak mengumbar apalagi mengejek goncangan yang sedang dialami temannya. Hal tersebut bukan candaan dan dia tahu kapan harus diam.
Abel juga sadar kalau Randi mengetahui kondisinya, tapi menahan diri untuk sekadar curhat akibat dominasi egonya. Dia sangat menghargai tindakan Randi yang tetap bungkam tanpa menyudutkan sikap yang diambil Abel saat ini.
Wulandari Putria.
Gadis itu memiliki salah satu tungkai kaki cacat bawaan sejak lahir. Panjang kedua tungkai kakinya berbeda.
Hal yang belum bisa Abel terima.
Jangan terlalu menghakiminya. Abel baru berusia awal dua puluh. Egonya masih setinggi langit. Logikanya mendominasi.
Dia bukan cowok baik yang punya hati selapang samudera. Dia manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun, tergolong sempurna dari segi fisik, genetik, serta bibit, bebet, dan bobot yang diwariskan keluarganya.
Sejauh ini, Abel berusaha menjadi yang terbaik untuk mendapatkan yang terbaik. Itu logikanya.
Namun, haruskah logika dimenangkan ketika perasaannya menggerung menuntut penyelesaian?
Sebaliknya, haruskah hati dipuaskan saat harapan telah merencanakan hal lain di masa depan?
Abel terluka secara sadar oleh dirinya sendiri.
Luka tak berdarah yang semakin menyakitkan setiap harinya.
Bodohnya, Abel memilih untuk menikmatinya. Pengecut yang berengsek.
***
Lagi dan lagi. Abel membuang waktu kosongnya untuk duduk dalam mobil yang sengaja diparkirkan di parkiran gedung jurusan akuntansi. Matanya terus menatap ke arah pintu keluar gedung sambil menghisap rokok batangan, lalu menghembuskannya ke luar jendela mobil yang sengaja dibuka lebar.
Beberapa menit lagi, pikirnya.
Abel tersenyum tipis ketika objek yang dinantinya muncul.
Wulan berjalan pelan dengan agak tertatih. Beriringan dengan salah seorang teman perempuannya. Kedunya tampak mendiskusikan sesuatu yang tercetak dalam lembaran-lembaran di tangan Wulan.
Meski berjarak cukup jauh, Abel masih bisa menatap lekat setiap pergerakan Wulan. Seperti biasa, gadis itu tampil sederhana, tapi manis yang sangat natural.
Warna-warna pastel selalu mengiringi gaya berpakaian Wulan. Bertolak belakang dengan nuansa gelap yang selalu dikenakan Abel.
Kemeja Wulan hari ini berwarna ungu lembut. Rambut panjangnya terikat buntut kuda dengan posisi tinggi yang memperlihatkan tengkuk putih gadis itu dengan jelas.
Abel menyipitkan mata. Kegusaran menghampirinya. Berani sekali Wulan menunjukkan keindahan leher jenjangnya pada banyak mata. Mata Abel berkeliling untuk mencoba mencari tahu apakah ada mata para berengsek yang berani menikmati apa yang ditunjukkan Wulan.
Tentu saja ada. Abel mendapati seorang cowok melirik ke arah Wulan saat gadis itu melaluinya. Bukan menatap kondisi gadis itu saat berjalan, tapi benar-benar menatap wajah dan leher Wulan.
Abel mengumpat. Mematikan rokok sebelum membuangnya keluar jendela. Menegakkan posisi duduk untuk mengendalikan rasa gusarnya.
Pendapat Abel dan orang lain yang mengenal Wulan secara dekat pastilah sama. Gadis itu tampak indah dengan visual manis dan prestasi yang dimilikinya, kecuali satu hal. Kondisi salah satu kakinya. Mengabaikan satu hal itu maka pastilah banyak pria yang senang hati memperhatikan Wulan tanpa fokus pada keterbatasan fisiknya.
Entah apa yang terjadi pada diri Abel selama lebih dari setengah tahun ini. Dia senang hati merelakan waktu kosongnya untuk duduk lama menanti Wulan di parkiran gedung jurusan gadis itu.
Bahkan kadang dia iseng berkeliling di area kelas-kelas jurusan akuntansi tanpa arah hanya demi bisa mencari keberadaan Wulan untuk ditatap dari jarak aman.
Sebenarnya, sering kali Abel mencoba untuk menyapa gadis itu seperti yang biasa dilakukan Randi atau Davin. Namun, tiap kali meraka berpapasan ataupun bertatapan jarak dekat, Wulan pasti lebih dulu menunduk menghindari tatapan Abel.
Tidak jarang Abel dibuat membatu seperti orang bodoh ketika mendapati Wulan bergegas menjauhi dirinya saat mereka tak sengaja harus berdekatan.
Abel memang pengecut. Namun, apa dia semenakutkan itu di mata Wulan? Seberapa banyak perbedaan dirinya dengan Randi dan Davin hingga Wulan sangat membedakan keberadaannya?
Abel membuang napas kasar. Wulan sudah pulang bersama teman perempuannya tadi. Kesenangannya hari ini sudah berakhir. Berharap waktu di kemudian hari akan memberinya kesempatan baik.
***
Satu Bulan Kemudian
Abel berjalan tergesa menyusuri koridor lantai dua yang merupakan area kelas jurusan akuntansi. Beberapa mahasiswa yang mengenalinya langsung heran dan penasaran.
Tentu saja mereka bingung mendapati Abel yang jurusan bisnis sedang sibuk berkeliaran di area kelas mereka dengan wajah yang terlihat geram.
Sebenarnya tidak sepenuhnya marah, tapi Abel juga sangat khawatir. Kali ini secara terang-terangan dia sedang mencari keberadaan Wulan. Berkeliaran di area jurusan orang lain dengan tampang mengerikan yang dihindari banyak orang yang melihatnya.
Abel bukan tipikal ramah seperti Randi ataupun kalem seperti Davin. Dia sangat cuek dan terkesan dingin. Beberapa orang yang mengenalnya sejak zaman sekolah tidak akan lupa bagaimana Abel paling dominan kalau urusan main fisik dalam perkelahian antarcowok. Dia mampu dan orang-orang akan berpikir berkali-kali kalau harus bersengketa dengannya.
"Woi, Bel! Ngapain lo keliaran di sini? Pindah jurusan lo sekarang?"
Abel melihat Dito mendekat. Cowok itu temannya satu SMA.
"Lagi nyari orang," terang Abel langsung. "Lo kenal Wulan? Di bawah lo setahun."
"Wulandari Putria?" koreksi Dito. "Kenal, dong."
"Lo lihat dia nggak?" Abel berusaha mengabaikan raut semringah Dito kala menyebutkan nama lengkap Wulan dengan nada akrab.
"Barusan gue papasan. Kayaknya, sih, tadi arahnya ke rooftop gedung. Tangga ujung sebelah kanan, tuh," tunjuk Dito. Jari telunjuknya mengarah pada salah satu sisi gedung di lantai dua tersebut.
"Tumbenan lo nyari cewek. Lo nggak lagi pengin macam-macamin anak gadis orang, kan? Woi, Bel!" seru Dito dengan heran. Belum mendapat jawaban, Abel sudah meninggalkannya tanpa mengucapkan apa-apa bahkan terima kasih sekali pun.
***
Apabila dalam kondisi biasa, Abel tidak akan melakukannya. Nekat terang-terangan mencari posisi Wulan bahkan sampai perlu bertanya pada seseorang.
Dia spontan melakukannya setelah tadi mendengar cerita Sarah di parkiran fakultasnya. Abel dan Randi yakin Sarah datang ke gedung fakultas mereka untuk menemui Wulan.
Randi yang pernah memiliki perasaan untuk Sarah, secara naluriah langsung khawatir ketika mendapati mata bengkak gadis itu. Sepertinya Sarah habis menangis.
Awalnya Abel tidak peduli. Dia sudah akan menjauh menuju mobilnya, tapi langkahnya langsung terhenti saat Sarah menyebut nama Wulan sebagai penyebab hingga Sarah harus merasa sangat bersalah.
Tanpa sadar, Abel ikut mendengarkan curahan hati Sarah yang kembali menangis dalam pelukan Randi.
Walaupun kadang terkesan manja, Abel sedikit paham kalau sebenarnya Sarah adalah gadis yang tangguh. Tidak ada air mata saat dia mendapati keberengsekan Randi. Pun saat keduanya mengakhiri hubungan. Gadis itu tetap bersikap tegas dan kuat.
Namun, sekarang gadis itu spontan menangis dengan mudahnya untuk seorang Wulan. Kalau gadis seperti Sarah saja sampai seperti itu, lalu bagaimana dengan kondisi Wulan saat ini?
Setelah memahami garis besar yang disampaikan Sarah, Abel sempat merasa linglung sesaat. Tak lama, tanpa dia sadari, Abel sudah berlari untuk kembali menuju gedung fakultas. Mengerahkan seluruh indranya untuk mencari keberadaan Wulan
***
Abel berdiri diam sambil mencoba menetralkan emosi dan pernapasannya. Dia perlu dalam kondisi tenang untuk berhadapan dengan Wulan.
Selama prosesnya, dia terus menatap punggung mungil Wulan yang sedang menyandarkan tubuh bagian depannya pada pagar pembatas atap gedung.
Ketika sudah merasa waktunya, Abel mendekat secara perlahan. Mengepalkan tangan untuk menahan diri dari merengkuh pundak Wulan.
Abel berdeham pelan untuk memberitahu keberadaannya. Wulan terlihat agak tersentak ketika menyadari keberadaan orang lain di tempat tersebut.
"Wulandari Putria."
Raut kaget menghiasi wajah Wulan saat dia berbalik dan mendapati Abel berdiri tidak jauh darinya. Terlalu asyik melamun hingga sepertinya dia tidak menyadari kedatangan cowok itu.
Abel mengumpat dalam hati. Entah bagaiman raut wajahnya saat ini hingga Wulan harus memasang wajah horor seperti itu kala melihatnya.
Emosinya juga kembali mencuat saat mendapati bekas aliran air mata di pipi Wulan yang memerah.
"Abel?" tanya Wulan dengan gugup. Ingin memastikan saja karena dia memang hampir tidak pernah berbicara dengan cowok satu ini selain malam perkenalan mereka setengah tahun lalu.
Wulan juga sepertinya tidak sadar kalau Abel mengetahui nama lengkapnya.
Sejenak, Abel menarik napas panjang untuk kembali menetralkan kondisi emosinya. Dia memasang senyum tipis. Berusaha sesantai mungkin berinteraksi dengan Wulan.
"Gue kira lo udah lupa nama gue."
Wulan menghindari tatapan Abel. Tersenyum tipis yang terlihat kikuk. Tidak tahu harus merespons apa.
Tak lama, Wulan seperti menyadari hal yang mungkin menyebabkan Abel terus menatap wajahnya sedari tadi. Dia segera mengusap pipi dan area matanya untuk memastikan tidak ada lagi air mata tersisa di sana.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Wulan ketika sudah merasa lebih baik.
Dia sudah mau mendongak dan membalas tatapan Abel dalam kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Meski masih tetap gugup, tapi dia berusaha untuk sesopan mungkin.
"Emang nggak boleh? Ini, kan, tempat umum," balas Abel, masih tidak mengalihkan tatapan dari keseluruhan wajah Wulan.
Si tolol yang tidak berpengalaman. Abel terus mengumpati dirinya sendiri atas respons yang barusan dia lontarkan pada Wulan. Mungkin setelah ini dia benar-benar harus les privat pada Randi untuk mendapat ilmu bagaimana cara menghadapi para gadis dengan baik.
Jawaban datar yang terkesan terganggu tersebut membuat Wulan refleks kembali menundukkan wajah. Cowok di depannya ini memang seperti dugaannya, sulit untuk dihadapi.
"Iya, benar. Ini tempat umum," gumam Wulan, semakin canggung. Perlahan, dia beringsut untuk segera pergi dari sana.
"Mau kemana?" Abel mengernyit saat mendapati Wulan mulai berjalan melewatinya menuju pintu.
"Pergi," ujar Wulan sembari menunjuk pintu dengan raut polos. Abel ingin berada di sana, jadi dia harus menyingkir. Kenapa masih bertanya? Aneh benar cowok satu ini, pikirnya.
Sama-sama terdiam selama beberapa detik. AKhirnya Wulan duluan tersadar dan kembali melangkah.
"Benar yang dibilang Sarah?"
Langkah pelan Wulan terhenti saat mendengar pertanyaan Abel. Dia berbalik untuk memastikan dan langsung kaget mendapati cowok itu sedang menatapnya dengan tajam, seakan sedang geram.
"Maksudnya?"
"Permintaan bintang jatuh lo nggak terkabul," ujar Abel sambil mengambil langkah perlahan untuk mendekati posisi Wulan.
Wulan terkesiap. Sejenak, dia sangat kaget.
Namun berikutnya, Abel bisa melihat percikan kemarahan dalam tatapan tersebut. Hal yang belum pernah dilihat Abel selama dia mengamati gerak-gerik gadis itu. Mungkin Wulan menganggap Abel ikut campur dalam hal yang tidak seharusnya.
Bukannya khawatir atas kemarahan tersebut. Abel malah menahan senyum. Wulan yang marah dalam tatapan mata bulatnya hanya membuat gadis itu semakin terlihat menggemaskan. Memancing kelelakian Abel untuk berpesta pora. Berengsek memang dirinya karena sempat berpikir begitu dalam situasi seperti ini.
Wulan terlihat membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Wajahnya mulai memerah akibat malu dan marah.
Dia harus menginterogasi sekaligus mengomeli Sarah setelah ini. Kenapa bisa Abel yang orang asing dalam pertemanan mereka sampai mengetahui permasalahan memalukan yang dialaminya? Dasar gadis nakal. Wulan mengingatkan diri untuk mencubit pipi Sarah nanti.
Menghindari rasa malu yang lebih besar, Wulan memilih kabur saja. Tanpa kata, dia kembali berbalik dan berjalan tergesa menuju pintu.
Entah harus berapa kali Wulan merasa kaget dalam sekian menit ini akibat tindakan Abel. Tiba-tiba sebelah lengannya dicekal, lalu ditarik memutar. Tidak kasar, tapi cukup untuk membuatnya terpekik. Wulan dapat merasakan tubuhnya seperti terkungkung kehangatan.
Wulan seperti membatu. Dia menyadari posisinya. Tepat berada dalam pelukan Abel. Cowok itu memeluknya dengan kuat, tapi tidak terasa menyakiti. Hangat.
Abel gila. Dia nekat.
Secara sadar, Abel menempelkan erat kedua tangannya pada tubuh Wulan. Menenggelamkan kepala gadis itu di dada bidangnya.
Tidak tahu diri, dia berusaha menghirup aroma dari rambut gadis itu. Betapa dia merindukan dan candu pada wangi yang menguar dari tubuh Wulan.
"Gue aja," bisik Abel di dekat telinga Wulan.
"Abel?" Kebingungan Wulan mulai menjadi sebuah ketakutan. Sikap Abel terasa membahayakan untuk dirinya.
"Gue aja yang ngabulin permintaan lo," ulang Abel dengan lebih jelas.
"Lupain dia. Biar gue yang gantikan." Masih dengan berbisik dengan nada permintaan sepenuh hati. Pelukan pun belum melonggar.
"Abel, tolong jangan begini. Kamu apa-apaan, sih? Lepas dulu. Aku nggak ngerti kamu...."
Belum selesai Wulan bicara, tapi keburu dipotong oleh kalimat Abel yang membuat gadis itu merasa sedang mendengar guntur di siang hari yang cerah tanpa hujan.
"Gue mau lo, Lan. Gue mau lo, Wulandari!" desis Abel, terdengar sedang berusaha menahan emosi yang bercampur aduk.
[23.10.2022]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro