Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ramadhan Tiba

Suara pertemuan jemari dan keyboard di laptop Chandra terdengar ribut, seolah tidak mau kalah dari suara televisi yang menyala di hadapannya. Chandra duduk di tepi sofa, matanya terus fokus pada layar laptop, menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah. Meski jam dinding sudah menunjukkan di angka 10.45 Wib.

Led TV berukuran 42 inc itu menampilkan adegan drama Korea, yang tentu tidak akan Chandra mengerti, karena tidak mengikutinya sejak awal. Sudah tahu bukan ini tontonan siapa?

"Chan," panggil seseorang yang sejak tadi dipunggunginya.

"Yes, Honey," sahut Chandra tanpa mengalihkan atensinya.

"Besok kita ke pasar Ramadhan, ya? Hunting takjil," ujar Wenda setelahnya.

Chandra sedikit memutar tubuhnya, menoleh ke Wenda yang berbaring miring di belakang Chandra, kepalanya berbantal lengan sofa. Beruntung sofa yang mereka tempati cukup luas.

Telunjuk Chandra terulur menjawil hidung Wenda, kekehan renyah keluar dari bibir Chandra. "Puasa aja belum. Sahur dulu, Sayang."

Wenda bangkit dengan posisi setengah duduk, tangannya terulur memeluk pinggang Chandra dari belakang. "Kamu ngerjain apa? Masih belum selesai?" tanya Wenda menempelkan pipinya pada punggung kokoh Chandra.

"Belum, Sayang. Beberapa hari ini kerjaan aku numpuk karena papi sering ajak keluar mau ninjau lokasi proyek baru," jelas Chandra yang hanya disahuti dengan gerakan mengangguk di balik punggung Chandra.

Chandra meraih remote televisi, drama yang Wenda tonton sudah selesai sejak sepuluh menit lalu. Layar itu sekarang menampilkan beberapa iklan minuman dan produk khas Ramadhan. Chandra menekan tombol merah pada remote, membuat layar televisi mejadi hitam dan hening.

"Jangan dimatiin, aku masih mau nonton, Chan." Wenda merengek meski posisinya tidak berubah.

"Kamu belum mau bobok? Udah jam sebelas loh, Sayang."

Wenda bergerak, menelusup merebahkan kepalanya di paha kanan Chandra. "Kamu aja belum tidur. Aku belum ngantuk."

Chandra terkekeh, ingin sekali merekam ekspresi Wenda lalu memperlihatkan padanya, kentara sekali sedang menahan kantuk. Sudut matanya pun sudah mengeluarkan butiran bening. Namun, masih berkilah.

"Kamu kalau ngantuk, duluan aja ke kamar, nanti aku nyusul kalau udah selesai ini."

Wenda menendang udara, kakinya yang bersandar di punggung sofa bergerak acak, memberontak. "Nggak mau, Chan. Masih mau nemenin kamu di sini," rengeknya.

Telapak tangan Chandra mengusap belah pipi Wenda. "Iya. Iya. Udah kalau nggak mau. Nggak usah ngerengek gitu, ah. Benerin posisi tidurnya, aku susah ini ngetiknya."

Wenda bangkit dari posisinya, tidak mengindahkan ucapan Chandra, dia justru mendudukkan tubuhnya di pangkuan Chandra. Wenda mengalungkan lengannya di tengkuk Chandra, kakinya melingkar di pinggang, dan membenamkan wajahnya di bahu Chandra. Persis seperti anak panda pada pawangnya.

"Sayang, aku mau ngerjain ini dulu. Kamu kok jadi manja gini. Butuh sesuatu?"

Wenda melonggarkan pelukannya, menatap Chandra lamat. Wajah Chandra bingung, dahinya membuat beberapa lipatan.

"Kenapa?" tanya Chandra hanya dengan gerakan bibir tanpa suara. Wenda pun sama, menyahuti hanya dengan gelengan kepala.

"Ya udah kalo nggak ada apa-apa. Malu dilihat Chabe tuh," tunjuk Chandra pada rumah Chabe.

Wenda menoleh mengalihkan atensinya di ujung sana, matanya memperhatikan ikan kecil itu berenang lincah.

"Mami aku udah gede masih minta pangku." Chandra menirukan suara anak kecil, seolah itu adalah suara dari makhluk air itu. "Tuh, kamu diledekin Chabe, Sayang. Turun ayo. Malu sama Chabe."

Wenda turun dari pangkuan Chandra, berbaring ke tempatnya semula. "Chan ambilin remote-nya." Tangan Wenda menggapai remote yang Chandra simpan di atas meja samping laptopnya.

"Tolong, Sayang," ujar Chandra memberi contoh.

"Iya. Chan, ambilin remote-nya. Tolong, Sayang."

Chandra berdecak mendengar ucapan Wenda yang terkesan ogah-ogahan mengucapkan kata 'tolong' padanya. Tangan Chandra terulur mengangsurkan benda hitam persegi panjang itu, lalu kembali memfokuskan mata dan pikiran pada pekerjaanya, suara Wenda sudah tidak terdengar lagi. Melalui ekor matanya Chandra melirik Wenda, wanita itu masih fokus pada layar televisi, tetapi dengan mata yang sesekali terpejam.

Chandra ingin memindahkan Wenda ke kamar. "Tanggung, sedikit lagi selesai," gumam Chandra.

Namun, setelah Chandra fokus menyelesaikan pekerjaannya, kata tanggung yang dia ucapkan itu tidak terasa sudah memakan waktu dua jam. Chandra melirik jam digital di sudut kanan laptopnya. Sudah pukul satu dini hari. Pekerjaannya telah selesai, laptopnya akan dia tutup dan simpan dengan rapi.

Chandra menoleh, netranya menangkap Wenda yang meringkuk menghadap sandaran sofa, tangannya di depan dada masih memeluk remote televisi. Chandra mengusap puncak kepala Wenda, sedikit mengguncang bahu Wenda.

"Wen, pindah ke kamar, yuk, Sayang."

Bergeming. Tidak ada sahutan maupun gerakan dari Wenda. Chandra kembali berusaha membangunkan Wenda, tetapi hasilnya tetap nihil.

"Mau aku gendong, iya?" Chandra menyelipkan lengannya di belakang bahu Wenda, lengan satunya di tungkai Wenda.

Belum juga tubuh Wenda terangkat, erangan dari bibirnya terdengar di telinga Chandra. "Nggak mau pindah, aku mau di sini," ucap Wenda dengan gerakan menyentak tangan Chandra, tetapi dengan mata masih tertutup.

"Mau bobok di sini aja, iya? Aku tinggal, ya. Aku ke kamar."

Entah sadar atau tidak, Wenda mengangguk menyetujui ucapan Chandra. "Ya udah kalau mau bobok di sini." Chandra mengecup kedua pipi Wenda dan dahinya.

Chandra melangkahkan kakinya ke kamar, meraih satu selimut bersih dari dalam lemari dan bantal yang biasa Wenda gunakan. Chandra kembali ke ruang tengah menuju sofa, menyelimuti Wenda dan membenahi posisi tidurnya, kemudian merangkak naik ke sofa, membaringkan tubuhnya di samping Wenda.

Sudahlah! Chandra itu bucin. Mana mungkin membiarkan Wenda tidur di ruang tengah sendirian, sementara dia tidur di kamar. Chandra lebih memilih tidur di tempat sempit seperti sofa, asalkan sambil memeluk Wenda.

Chandra menarik selimut menyelimuti tubuh mereka, tangannya terulur meraih kepala Wenda agar berbantal di lengannya. Direngkuhnya tubuh Wenda ke dalam dekapan hangatnya, tak lupa juga meninggalkan jejak hangat bibirnya di atas bibir Wenda.

-o0o-

"Astaga! Astagfirullah. Sahur," teriak Wenda gaduh.

Wenda tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya. Tubuhnya langsung terduduk, tanpa dia sadari pergerakannya mendorong Chandra hingga terjerembab ke lantai.

"Aduh! Sakit, Wen."

Wenda menoleh ke sumber suara, matanya melihat Chandra tergeletak di lantai, tangannya mengusap punggung dengan mata memicing, masih mengantuk mengingat Chandra baru tidur beberapa jam.

"Chan, bangun. Jam berapa ini. Aku belum masak buat sahur."

Wenda melompat turun dari sofa, bergegas berlari ke dapur. Dasar Wenda, bukannya dibantu bangun suaminya, malah tanpa dosa melangkahi tubuh Chandra yang masih terbaring di lantai.

Wenda membasuh wajahnya di kamar mandi sebelum bergelut dengan peralatan dapur. Wenda sudah bertekad akan memasakkan makan—yang layak—untuk sahur mereka.

"Chan, buruan bangun. Bantuin aku," teriak Wenda dari dapur.

Wenda mengeluarkan semua bahan makanan yang akan dia masak. Semuanya sudah disiapkan Bi Yati dari sore dan disimpan di lemari pendingin. Wenda membaca catatan kecil yang ditinggalkan Bi Yati.

"Sayurnya, udah dicuci. Ayam udah diungkep tinggal digoreng." Wenda masih bergumam membaca deretan tulisan itu.

Suara langkah dan gesekan sandal rumahan terdengar menghampiri Wenda. Namun, Wenda memilih untuk tidak menghiraukannya. Dia tahu siapa pelakunya.

"Mau masak apa istrinya Chandra?" Chandra berdiri di belakang Wenda, dagunya dia simpan di bahu Wenda. Wajahnya yang lembab karena habis mencuci wajah terus menggoda pipi Wenda.

Chandra masih menciumi pipi Wenda bergantian kiri dan kanan. Posisinya masih berdiri di belakang Wenda. Wenda berbalik, menatap tajam Chandra yang sudah mengeluarkan cengiran khasnya.

"Daripada kamu nggak ada kerjaan, mending ambil panci tuh di dalam kabinet bawah," tunjuk Wenda.

Chandra merapatkan jari-jarinya, mengangkat tangannya hingga membentuk sudut beberapa derajat. Telunjuknya sejajar menyentuh alis tebalnya.

"Siap, laksanakan, Sayangku!"

Chandra bergegas menjalankan titah Wenda setelah melakukan hormat ala militer.

"Sayang, ini pancinya mau diisi air?"

"Hmm," sahut Wenda.

"Seberapa banyak? Segini cukup?" Chandra kembali bertanya pada Wenda yang masih sibuk membaca buku catatan.

"Sayang, lihat dulu. Ini cukup nggak."

Wenda menoleh. "Hmm, cukup."

"Ini kamu mau bikin sayur sop? Dagingnya langsung aku cemplungi ya? Biar sekalian bikin kaldu," usul Chandra.

"Hmm. Iya."

Lagi-lagi Wenda hanya menyahuti beserta dengan dengungan.

"Sayang, kamu mau nyanyi sama Nisya Sabyan atau gimana? Dari tadi jawabannya, ha hem ha hem aja."

Wenda mendelik menatap Chandra nyalang. "Ya aku harus jawab apa? Ah ... Ah ... Huh?"

"Nggak usah kata itu. Cukup! Ambigu aku dengernya."

"Otak kamu aja yang mesum," cibir Wenda.

Wenda menyalakan kompor sebelah Chandra, niatnya menggoreng ayam yang sudah dia siapkan tadi. Potongan ayam dia masukkan ke dalam wajan saat minyak sudah terlihat memanas. Sesekali Wenda mundur dari posisinya, takut cipratan minyak panas mengenainya.

"Kompornya kecil aja, Sayang," tegur Chandra melihat apa yang Wenda lakukan.

"Biar cepet mateng. Keburu imsak nanti."

"Ya, tapi nggak gede gini juga, Sayang. Itu gagang wajannya jadi ikutan mateng tuh." Chandra mengecilkan sedikit api kompor Wenda.

Wenda hanya mengangguk, membolak-balik ayam goreng di wajan.  Ayam sudah terlihat kecoklatan, tanda telah matang. Wenda mengangkat hasil gorengannya, lalu mematikan kompornya.

"Chan, tolong ambilin tisu di lemari atas itu. Aku nggak sampe."

"Makanya tinggi, jangan pendek biar sampe kalo mau ambil di tempat tinggi."

"Ya kan ada kamu yang tinggi, makanya aku minta tolong kamu."

"Kalo aku nggak ada gimana, hayo? Mau minta tolong siapa?"

"Gampang! Aku cari lagi suami yang tinggi."

"Heh! Ngomongnya, ya. Sini kamu." Telunjuk Chandra bergerak memberi isyarat agar Wenda mendekat.

Wenda hanya terkekeh, mengabaikan titah Chandra. Chandra maju beberapa langkah ke arah Wenda. "Nakal banget, sih," ujar Chandra sembari menangkap tubuh Wenda untuk didekapnya. Kecupan bertubi di wajah Wenda tak bisa dia elakan.

"Udah buruan sana ambil tisunya. Biar cepet kelar, cepet sahur."

"Nggak mau, akh. Aku mau ngekepin istri aku aja. Nakal dia tadi ngomong sembarangan."

"Chandra!" seru Wenda memperingati.

Chandra melepaskan dekapannya, bergegas mengambil tisu dapur pada kabinet pantry bagian atas. Mereka kembali berkutat pada masakan mereka hingga siap tersaji di meja makan. Wenda dan Chandra menyantap makan sahur dengan penuh syukur, sesekali mengobrol apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Sampai suara berdenging nyaring terdengar, pertanda waktunya imsak.

"Itu suara pemberitahuan imsak, Sayang," ucap Chandra.

"Iya. Selamat menunaikan ibadah puasa umat muslim sedunia." Wenda berseru semangat, Chandra terkekeh melihat tingkah istrinya.

Tangan Chandra terulur mencubit hidung Wenda, lalu Wajah Wenda ditangkup dengan kedua telapak tangannya hingga bibir Wenda maju beberapa senti.

"Jawnghan chium, udah imsyak. Nantih bawtal." Wenda memeringati Chandra, takut-takut suaminya khilaf.

Chandra melepaskan telapak tangannya di pipi Wenda. "Kayaknya kalo ciumnya nggak pake syahwat, nggak batal deh, Sayang. Kayak cuma cium di dahi atau pipi."

"Pertanyaannya. Sejak kapan kamu nyium nggak pake napsu, Bos?"

Chandra tergelak mendengar penuturan Wenda. Iya juga, sih. Sejak kapan Chandra tidak mesum terhadap Wenda?

Halo ... Halo ... Ada yang kangen mami dan papinya Chabe?
Apakabar kalian semua? Selamat menunaikan ibadah puasa ya teman-teman.

Author pribadi dan keluarga mengucapkan Sama-sama. 😁

Ah, iya. Kalian apa tydack mau menyumbang ulasan, apa pendapat kalian tentang sahabat ... Nikah, yuk! Masih berlaku loh hingga 25 April. Berhadiah novel gratis. Info lengkap cek di IG aku : Literasizero4bee_

Maminya Chabe mau jadi istri Solehah selama bulan puasa. Cantik kan istrinya—park chanyeol—Chandra pakai hijab. 😁😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro