Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Hai, Kenalin.

Suara deru mesin mobil terdengar memecah hening, tidak seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya, ini masih terlalu pagi untuk beraktivitas di garasi memanasi mobil untuk digunakan.

Chandra sibuk memasukkan sepeda lipat ke dalam bagasi mobil, mengatur posisi benda itu agar bisa masuk tanpa harus dipaksa. Setelah aksi Wenda merengek kemarin malam. Akhirnya, mencapai kesepakatan bahwasanya Chandra mengizinkan istrinya, untuk ikut berolahraga pagi seperti yang biasa Chandra lakukan setiap weekend.

"Chan, pake mobil aku?"

Chandra menoleh pada wanita yang berdiri bersandar di pintu penghubung ruang samping dan garasi. Pria itu berjalan menghampiri sang istri, memperhatikan Wenda yang sudah siap mengenakan pakaian olahraganya.

"Mobil kamu jarang dipake, mesti sering-sering dipanasi, Sayang."

"Kenapa kita nggak langsung sepedaan aja ke jogging track-nya? Lagian cuma lima belas menit, kan ke sana."

Chandra mengulas senyum tanpa Wenda mengerti maksudnya, tangannya terulur mengusap kepala Wenda seraya berlalu masuk meninggalkan sang istri. Wenda masih bingung tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Seperkian menit kemudian, Chandra kembali ke tempat di mana wanita itu masih berdiri, netra Wenda teralihkan pada sepasang sepatu olahraga yang Chandra jinjing, dengan model persis seperti yang Chandra kenakan.

Senyum Wenda terbit. "Oh, iya, ya. Kita punya sepatu olahraga couple," ujar Wenda girang mengikuti langkah Chandra masuk ke mobil.

Chandra duduk di kursi kemudi, sepatu Wenda ia simpan di bawah kursi. "Kamu tuh aneh, tahu nggak. Apa-apa maksa mau beli barang couple-an biar kayak pasangan Korea, tapi kamu sendiri yang paling jarang makenya, bahkan ada yang belum kamu pake sama sekali."

Wenda menyengir, tubuhnya membungkuk meraih sepatunya. Diusapnya pelan sisi sepatunya, masih bersih dan ada price tag di sana. Bukti jika sepatu itu belum sama sekali Wenda kenakan, sangat berbeda dengan kondisi punya Chandra yang sudah kotor karena terlalu sering ia kenakan. Lagi pula, untuk apa juga Wenda mengenakan sepatu itu sementara ia paling malas berolahraga.

"Chan," panggil Wenda di sela-sela kegiatannya menunduk mencari sesuatu di bawah kursi.

"Di dalam sepatunya, Wen. Tadi udah aku masukin," sahut Chandra seolah paham dengan apa yang Wenda cari.

Wanita itu mendongak menatap suaminya yang sudah fokus pada setir, segera ia meraih sepatunya kembali, senyumnya terkembang saat kaus kaki yang ia cari berhasil ia temukan.

Wenda beringsut mendekati Chandra, tangannya melingkar di lengan pria yang sedang sibuk fokus pada jalan di depannya. "Aah, baik banget. Makasih, Chan."

Chandra terkekeh ulah gemas sang istri, belum lagi saat Wenda meninggalkan jejak bibirnya di pipi Chandra. Tangan kirinya terulur mengusak poni Wenda. "Ingat janjinya semalem apa?"

Wenda menjauhkan tubuhnya, bola matanya bergerak ke atas percakapan kemarin malam kembali berputar di kepalanya.

"Olahraga itu capek, Sayang."

"Tapi aku mau coba, Chan. Boleh ya aku besok ikut kamu olahraga." Wenda memelas untuk kesekian kalinya, membujuk agar Chandra memberikan izinnya.

"Kamu kenapa, sih, Sayang? Gabut banget? Tumbenan pengin ikut olahraga."

Wenda merubah posisi duduk di paha kanan Chandra. Lengannya melingkar di bahu sang suami. "Nggak apa-apa, mau nyoba aja. Boleh ya?"

Chandra menghela napas panjang. "Iya, boleh. Tapi harus janji dulu, kalau capek tanggung sendiri, jangan uring-uringan nyalahin aku. Ini kamu sendiri yang mau, bukan aku yang ngajakin."

Wenda mengangguk cepat. "Iya, aku janji!"

Suara sein tanda mobil berbelok menyentak Wenda, matanya langsung nanar ke luar jendela. Mereka sudah berada di kawasan jogging track kompleks perumahan mereka. Chandra memarkirkan mobilnya di parkiran yang tersedia di sana.

Wenda mengerjap beberapa detik, tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Wenda pikir, tempat Chandra sering berolahraga hanya sebatas taman kompleks dengan fasilitas jogging track. Namun, ini semua di luar ekspektasinya.

Di perumahan yang hampir dua tahun mereka tinggali ini, ternyata juga terdapat lapangan basket, lapangan sepak bola berukuran mini, yang bisa digunakan untuk berolahraga baik pada hari libur atau hari biasa.

"Ayo, mulai. Katanya mau sepedaan, kok malah bengong?"

Wenda menggeleng lemah, matanya masih memperhatikan sekitar. Ada banyak sekali orang-orang berolahraga di sini, ada yang lari-lari kecil, bersepeda, bahkan ada yang masih melakukan pemanasan.

Chandra menuntun sepeda Wenda, langkah mereka menuju ke lapangan kecil khusus berolahraga sepeda. Wenda menelengkan wajahnya menghadap Chandra, senyumnya terukir manis.

"Kenapa? Seneng? Kayak anak kecil kamu begitu." Chandra tersenyum menggoda Wenda yang sangat antusias.

Wenda mengangguk cepat, rasa bahagia melingkupi perasaannya. "Banyak pasangan juga," bisik Wenda. "Ada yang bawa anak, Chan. Coba kita ajak Clarissa, ya. Pasti seru, kayak orang itu." Wenda menunjuk pasangan dengan anak balitanya.

"Bawa kamu aja berasa bawa bayi, apalagi bawa Clarissa. Tambah repot," gumam Chandra yang tak didengar Wenda.

Chandra berhenti, kakinya menarik pedal penyanggah sepeda. "Ayo pemanasan dulu," ajak Chandra menarik lengan Wenda.

Selesai dengan perenggangan, dengan tak sabarnya Wenda bergegas menaiki sepedanya, mengayuh pelan menikmati pemandangan asri. Sementara Chandra berlari-lari kecil pada jalan setapak di atas barisan conblock sampai familiar terdengar menyapa.

"Eh, Kak Mira Olahraga juga, Kak? Sendirian?"

Wanita yang Chandra sapa itu tersenyum manis. "Berdua sama Shena," tunjuk wanita itu pada batita di dalam stroller di depannya.

Chandra menyengir salah tingkah, pertanyaannya memang terdengar bodoh. Jelas-jelas wanita itu sedang mendorong stroller berisi bocah perempuan.

"Kakak tinggal di daerah sini?" tanya Chandra penasaran. Sejak tinggal di perumahan Griya Indah dan hampir setiap weekend berolahraga di sini, baru kali ini ia melihat wanita ini.

Mira tersenyum seraya menggeleng pelan. "Single mother kayak kakak mah, mana bisa beli perumahan elit seperti di sini, Chan. Kakak lagi weekend di tempat temen, dia yang tinggal di sini. Jadi, sekalian olahraga pagi."

Chandra mengangguk mengerti. Tubuhnya dibawa berjongkok di depan stroller. "Halo, Shena. Apa kabar?" Tangan Chandra terulur mencubit pipi gembil anak perempuan yang sedang asyik menikmati sebotol susunya.

"Kamu sendirian, Chan?" tanya Mira kemudian.

Chandra mendongak menatap Mira sejenak sebelum akhirnya, ia memutar wajahnya, pandangannya nanar mencari keberadaan Wenda.

Chandra bangkit dari posisinya. "Tadi sih, berdua, Kak. Sama bocil," ujarnya seraya terkekeh.

Mira mengerutkan dahinya. "Bocil?"

"Nah, itu dia," tunjuk Chandra pada sosok wanita yang masih sibuk mengayuh sepedanya, memutari lapangan dengan riang.

"Wenda," panggil Chandra. Namun, sayang panggilan itu tak juga Wenda dengar.

Setelah panggilan ke tiga barulah Wenda mendengar. Tangan Chandra menggapai udara, memberi isyarat pada Wenda agar mendekat. "Sayang, sini."

Wenda menuntun sepedanya, peluhnya bercucuran di dahi wanita itu. "Kenapa?" tanyanya dengan napas tersengal.

"Kak Mira, ini Wenda istri aku." Chandra memperkenalkan Wenda pada Mira.

Mira mengulurkan tangannya. "Hai, kenalin aku Amirah. Seneng bisa ketemu sama kamu, Wen."

Wenda menyambut tangan Mira. "Halo, Kak Mira." Senyum tulus mengiringi.

"Kak Mira ini ...." Ucapan Wenda menggantung.

"Kak Mira staf HRD di kantor papi."

***

"Hati-hati, Wen. Pelan-pelan aja," tegur Chandra pada istrinya yang masih semangatnya bersepeda.

Chandra duduk di atas rerumputan memperhatikan Wenda, setelah obrolan dan perkenalan singkat dengan karyawan papi tadi, Chandra memutuskan kembali joging sementara Wenda sibuk mengayuh sepedanya lagi.

Wenda bergabung dengan Chandra, duduk bersila di sebelah suaminya. Sepeda yang sejak tadi menjadi mainan favoritnya kini ia abaikan begitu saja. Chandra menarik kaki Wenda ke depan agar berselonjor.

"Habis olahraga duduk selonjor, kakinya jangan dilipat." Chandra memberitahu.

"Chan, haus. Mau minum." Wenda menatap wajah Chandra, dahinya dipenuhi keringat, wajah putihnya sudah memerah karena letih mendera.

Tangan Chandra menepuk pelan puncak kepala Wenda. "Dompet aku ketinggalan di mobil. Kamu tunggu, di sini, ya. Aku beli minum."

Wenda mengangguk, sesekali telapak tangannya bergerak di depan wajah meraih angin.

Sepeninggalan Chandra, Wenda menikmati pemandangan sekitar. Tangannya terkepal memukul-mukul betisnya yang terasa pegal. Seruan menyapa gendang telinga Wenda.

Wenda mendongak menatap dua anak remaja di depannya, anak laki-laki dengan kulit bertolak belakang. Satu berkulit putih, satunya berkulit sawo matang. Kedua anak ini mengenakan pakaian basket, mungkin sehabis berolahraga basket di lapangan ujung sana.

"Hai, boleh kenalan nggak?" tanya si anak berkulit tan itu.

Wenda mengulas senyum miring, sungguh menggelitik rasanya diajak anak remaja untuk berkenalan dengan status ia sebagai istri orang.

"Lo masih sekolah?" tanya Wenda sarkastik. Senyum miring tercetak jelas. "Belajar dulu yang bener!"

Anak laki-laki dengan kostum basket berwarna navy dan headband putih di dahinya itu tertawa lebar. "Lo SMA di mana? Kelas berapa?" tanyanya mencari tahu.

"Gue udah kuliah ya, lagian gue juga udah-"

"Sayang."

Ucapan Wenda terpotong saat suara berat Chandra menginterupsi. Wenda menoleh ke arah suara itu berasal. Chandra berjalan mendekat, tangannya menjinjing kantong plastik yang bisa Wenda tebak isinya apa.

Chandra melayangkan tatapan intimidasi, anak laki-laki yang satunya sudah menundukkan kepala. Berbisik sesuatu agar temannya berhenti.

"Chan, aku diajak kenalan sama ini bocah," tunjuk Wenda tersenyum geli.

"Heh? Chan juga namanya? Sama kayak panggilan lo, Chan," ujar si anak satunya.

Chandra melipat tangan, tatapan datar memperhatikan kedua anak remaja yang Chandra tebak sekitar masih siswa SMA kelas sebelas atau sepuluh?

"Bang, kenalin nama temen gue Haechan. Biasa dipanggil Chan juga."

"Nama gue Hansel Meshach Andriano, ya, Renjunand Wistara! Bukan Haechan, Echin, Enchan, apalah itu."

Dehaman keras menghentikan perdebatan kedua anak itu. "Siapa tadi yang ngajak istri gue kenalan? Yang mana orngnya?"

Si anak dengan baju basket putih itu menunjuk temannya yang mereka ketahui tadi dengan nama panggilan Haechan, yang ditunjuk tertawa terbahak.

"Bang, kalo lo ngakuin kakak cantik ini, pacar Abang. Oke, gue maklumi. Segitu nggak percaya dirinya lo, Bang, saingan sama gue. Geli banget, anjir. Ngaku-ngaku suaminya. Biar gue nggak gangguin istri orang, gitu maksudnya."

Chandra mengerutkan dahinya, seumur-umur dia hidup baru kali ini berhadapan dengan anak SMA tidak ada takutnya.

"Gue emang, suaminya. Nggak lihat sepatu kita pasangan." Chandra memamerkan sepatunya.

"Elaah, Bang. Sepatu doang. Sapatu gue juga sama nih dengan temen gue yang ini. Seragam klub basket kita. Apa gue sama dia suami istri? Kan kagak, Bang!"

Chandra berkacak pinggang, tangan kanannya yang bebas memijat pelipisnya. Wenda sudah tertawa puas menertawakan suaminya yang kehabisan akal membalas argumen anak tersebut.

"Nggak sekalian, nih, Bang. Akuin juga temen gue ini sebagai anak kalian."

Anak itu tertawa terbahak-bahak, menatap Wenda, Chandra, dan temannya secara bergantian. "Sumpah, Njun. Muka lo perpaduan mereka berdua."

Bola mata Chandra membulat, mengingat sesuatu. Tangannya meraih Wenda agar berdiri, mengangkat tangan istrinya menunjuk benda bulat melingkar di jari manis Wenda.

"Ini bukti kalo gue suaminya." Chandra melepaskan cincin yang Wenda kenakan. "Ini cincin kawin kita, di dalamnya ada nama gue "

Anak itu diam, tidak bisa menjawab setelah bukti autentik Chandra keluarkan.

"Iya, Bang. Gue percaya. Maaf, Bang," ujar si anak seraya menarik temannya berlalu meninggalkan Wenda dan Chandra.

***

"Seneng bener, sih, Sayang. Ketawain aja terus!" sindir Chandra yang sejak tadi jengah dengan Wenda yang terus-terusan menggodanya.

"Habisnya lucu, masa kamu kalah sama anak SMA."

Setelah berhasil memukul telak anak SMA itu dengan sebuah realita, mereka memutuskan menyudahi olahraganya. Pasangan itu sudah berada di mobil, Chandra belum berniat menyalakan mesin mobil. Bersantai sejenak menikmati akhir pekan bersama istri tercinta, tidak salahnya bukan?

"Makanya kamu tuh tumbuh ke atas. Kamu dikiranya masih anak kecil."

Wenda mencebikkan bibirnya, bola matanya melirik tajam. "Nggak! Aku bukan anak kecil," sungut Wenda tidak terima.

Tangan Wenda bergerak memukul lengan Chandra. "Aku gigit lengan kamu nanti," ujarnya sudah membuka mulutnya lebar.

Chandra tergelak, gemas sekali menggoda istri kecilnya. "Iya. Iya, bukan anak kecil. Sini peluk dulu istri Chandra." Tangan Chandra terentang.

"Bukan! Aku istri Park Chanyeol."

"Mulai halu, pulang ajalah kita," cibir Chandra, tangannya memutar kunci menyalakan mesin mobil.

"Aku nggak halu, emang beneran, kok. Cewek-cewek lain tuh yang halu jadi istrinya Chanyeol."

Chandra memutar tubuhnya menghadap kursi penumpang. Ekspresinya ingin mencibir Wenda, tetapi ia urungkan. Chandra tahu dalam hal ini ia tidak akan menang. Tetap lelaki Korea itu yang akan Wenda agung-agungkan.

"Iya serah kamu, aja. Kita pulang, ya. Istrinya Chanyeol."

Wenda tersipu malu mendengar penuturan Chandra. Telapak tangannya ia tangkupkan di kedua pipinya. Sensasi hangat menjalar di sana.

"Kiss, dong, istri sahnya Park Chanyeol."

Wenda menggeser duduknya, memajukan wajahnya. Mengecup bibir Chandra sekilas. Chandra menarik tubuh Wenda, memeluk erat wanitanya. Diraihnya wajah Wenda, mencium kedua pipi istrinya.

"Hayo, pulang. Biar biar aku puas kiss istrinya orang Korea ini," bisik berat Chandra di ceruk leher Wenda sebelum akhirnya melepaskan pelukan.

Refleks tangan Wenda memukul bahu Chandra. Matanya mendelik tajam. "Kan mesumnya mulai lagi!"

Tanjung Enim, 13 Juli 2021

Halo, selamat membaca. ❤️

Ada yang mau disampaikan?

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro