7. Punya Aku
Tidur Chandra terganggu, tubuhnya bergerak gusar di atas tempat tidur, ada tangan lembab menyentuh pipinya, sesaat kemudian tangan dan kakinya ditarik kasar.
Penglihatannya gelap, ia tidak tahu berada di mana. Keningnya berkerut, peluh membasahi kepalanya, mimpinya kali ini seolah nyata. Ia dapat merasakan setiap sentuhan dari kulit dingin, ia pun dapat mendengar suara Wenda memanggil namanya, lirih. Namun, indera penglihatannya tidak bisa menangkap sosok yang memanggilnya.
Tangan Chandra menggapai udara. "Sayang, kamu di mana? Aku nggak bisa lihat kamu."
"Chandra, tolong aku, cepat," cicit Wenda terdengar semakin nyata, Sontak Chandra bangun.
Chandra terduduk, tangannya memegang dada sebelah kiri. Matanya menangkap Wenda berdiri di depan lemari pakaian, tangannya berkacak pinggang, dan bibirnya tertekuk menahan kesal.
Tangan Chandra terentang, meminta pelukan hangat dari istrinya. "Sayang, aku mimpi buruk," adunya pada Wenda. "Aku mimpi kamu manggil minta tolong, tapi aku nggak bisa lihat kamu. Semua gelap."
"Kamu tuh nggak mimpi! Aku dari tadi bangunin kamu, nggak bangun-bangun!" sentak Wenda meluapkan kesalnya.
Chandra menggaruk kepalanya, kepalanya diputar ke arah nakas. Meneliti angka pada benda penunjuk waktu. "Sayang, kamu kenapa? Sakit? Ini masih setengah 6."
Wenda mendekat, duduk di tepi tempat tidur. "Baruan bangun, Chan. Antar aku ke pasar. Mau belanja keperluan dapur udah habis semua. Bi Yati nggak sempet belanja kemarin."
"Ke pasar? Mau ngapain?"
"Mandi bola! Jangan lupa bawa handuk!" sentak Wenda kembali kesal dengan pertanyaan retoris Chandra.
Chandra terkekeh, meraih tubuh Wenda untuk didekap. "Maksudnya ngapain ke pasar, kan bisa ke supermarket, Sayang."
"Maunya ke pasar. Ya, udah kalo nggak mau anterin. Aku pergi sendiri." Wenda mendorong tubuh Chandra, beranjak meraih dompetnya di atas meja rias.
Chandra bergegas bangkit, menarik lengan Wenda. "Iya. Iya. Aku anterin, jangan ngambek. Aku cuci muka dulu, ya." Pria itu meninggalkan satu ke kecupan di pipi istrinya sebelum hilang di balik pintu kamar mandi.
***
"Sayang, bantuin tarik, ini tangan aku nggak bisa masuk. Kok, hoodie aku jadi kecil gini, sih," keluh Chandra sembari sibuk mengenakan sweater yang ia ambil secara acak.
Wenda mengurungkan niatnya membuka pintu mobil, padahal beberapa detik yang lalu senyumnya terkembang, saat mobil Chandra sudah berada di parkiran pasar tradisional di bilangan Jatinegara.
Wenda berdecak saat memutar tubuhnya. "Ini hoodie punya aku, mana muat di kamu."
Chandra melepaskan hoodie tersebut, memperhatikan lagi. Benar, baju dengan kupluk di bagian kepalanya itu adalah milik Wenda. Sekian dari baju couple yang mereka punya. Pria itu menyengir, menyadari bahwasanya dia sudah salah ambil. Dilemparnya baju itu ke jok belakang tidak jadi mengenakannya.
Wenda sudah turun lebih dulu, Chandra membuntuti ke mana langkah lincah Wanita itu bergerak. Sesekali ia tampak takjub, wanita yang dulu sangat dimanja oleh orang tua dan ke tiga abangnya, kini harus belanja di tengah hiruk pikuknya pasar tradisional seperti ibu rumah tangga lainnya.
Semua belanjaan Wenda sudah Chandra pindahkan ke mobil, wanita itu masih saja berjalan menyusuri lorong los-los tempat di mana para pedagang menjajakan aneka sayuran segar dan bumbu dapur lainnya. Chandra tidak mengerti apa lagi yang akan dibeli Wenda.
"Sayang, masih lama? Kamu mau beli apa lagi?" tanya Chandra di belakang Wenda, tangan kirinya memegang cup minuman kopi, yang satu menenteng kantong plastik berwarna biru yang ia saja tidak tahu apa nama bumbu dapur tersebut.
"Wenda," panggil Chandra lagi seraya menyeruput minumannya saat panggilan pertama tidak digubris Wenda.
"Iya, bentar lagi, Chan. Ini di catatan Bi Yati masih ada yang kurang."
Chandra mengangguk, masih mengikuti langkah Wenda. Helaan napas lega terdengar sesaat Wenda mengucapkan kalimat paling ditunggu Chandra, yaitu 'ayo kita pulang'. Mobil Chandra sudah terparkir di depan rumahnya, menurunkan semua belanjaan dan membawanya ke dapur tanpa ada yang tertinggal satu pun.
Wenda masih sibuk menata belanjaannya, menyimpan bahan kering di kabinet pantry, sayuran di lemari pendingin, ikan dan daging-dagingan pada freezer.
"Momo ...." Panggilan khas itu menyentak Wenda dari kegiatannya.
Wenda menoleh pada sumber suara, netranya menangkap Clarissa pada gendongan Chandra, berjalan mendekat ke arahnya. Tidak ada alasan untuk tidak menarik garis senyum, bocah lima tahun menggemaskan itu cukup menjadi penghibur di kehidupan rumah tangga mereka.
"Kamu udah diculik daddy, ya?"
Anak perempuan itu mengangguk kuat, giginya yang kecil turut ia tunjukkan. Wenda mendekat, mengecup pipi gembil sang balita.
"Sayang lapar," adu Chandra.
"Iya bentar. Aku masakin omelet, mau?"
Chandra mengangguk, tidak ada pilihan lain. Setidaknya omelet buatan Wenda masih bisa layak untuk dikonsumsi olehnya.
"Aku ke ruang tengah, ya. Ajak Clarissa main sama Chabe," pamit Chandra berlalu meninggalkan Wenda.
Wenda sibuk menyiapkan telur, daging asap, bawang bombai, wortel, dan beberapa bahan omelet lainnya. Tangannya sibuk membersihkan wortel dan memotongnya dadu, suara Chandra menyapa gendang telinganya lagi.
"Sayang tadi kamu beli melon, kan, ya? Aku mau kasih Clarisa."
"Iya, cari aja di kulkas paling bawah. Tadi aku simpan di sana."
Chandra sibuk mencari buah kesukaan bocah perempuan itu, ia meraih pisau dan talenan. Mengupas melon dan memotongnya kecil-kecil.
"Sayang, aku ke ruang tengah lagi, ya."
Langkah Chandra mendadak berhenti saat mendengar jawaban Wenda. Ia memutar tubuhnya lagi, menghadap Wenda. "Ulangi lagi, tadi panggil apa, Sayang?"
Wenda mendongak, menghentikan kegiatan mengocok telur yang sejak tadi ia tekuri. "Iya, Papi," ulangnya polos, membuat Chandra bergegas menghampirinya.
"Adem banget dengernya. Aku sayang kamu," ucapnya setelah mengecup bibir Wenda.
"Me too, Papi."
Chandra tersenyum menatap sang istri. Wenda mengerutkan dahi, tidak percaya. Hanya karena panggilan sederhana itu saja sudah membuat Chandra bahagia.
"Udah sana, nanti Cla nungguin kamu, lho."
Tambah menunggu titah selanjutnya, Chandra meninggalkan Wenda, senyum bahagia masih saja membingkai di wajahnya.
Wenda tidak tahu permainan apa yang Clarissa dan Chandra sedang mainkan, sesekali suara tawa terdengar nyaring hingga ke dapur. Wenda menyiapkan dua piring omelet buatannya di atas nampan, dua gelas jus jeruk kemudian membawanya ke ruang tengah.
Wenda menyimpan nampan di atas meja, di tengah ruangan ada Clarissa berguling di atas karpet bulu, terkikik geli karena perutnya digelitik Chandra dengan gemas.
"Chan, ayo sarapan," ujar Wenda menginterupsi.
Chandra menoleh, mengangkat tubuh kecil itu ke dalam gendongannya. "Ayo sarapan sama daddy."
Clarissa terkikik saat tubuh kecilnya melayang di udara.
"Chandra! Jatuh nanti!" Wenda memperingatkan, tatapannya tajam tanda ia tak main-main.
Chandra terkekeh, duduk di sofa memangku Clarissa. Tangannya sibuk menyuapkan omelet ke dalam mulutnya, sesekali menyuapi anak perempuan yang duduk di paha kirinya. Wenda pun tak kalah aktif, menyuapi omelet ke mulut kecil itu, menyodorkan jus jeruk miliknya pada Clarissa.
Selesai dengan sarapan, Clarissa sudah kembali ke tengah ruangan. Melanjutkan bermain sendirian, Wenda dan Chandra bersantai di sofa sambil memperhatikan anak perempuan itu.
Tangan Wenda melingkar memeluk lengan Chandra. Kepalanya bersandar nyaman di bahu suaminya.
"Cla," panggil Wenda pada bocah yang sedang asyik mengepang rambut bonekanya.
"Ini daddy siapa?" Wenda bertanya, berharap mengalihkan perhatian anak itu.
Clarissa bergeming, tidak memedulikan pertanyaan Wenda. "Cla, ini daddy punya momo, ya."
Clarissa menoleh. "Itu daddy aku, Momo," sahutnya kembali menekuri bonekanya.
"Kata siapa? Ini punya momo, dong. Buktinya daddy bobok sama momo, bukan sama Cla."
Merasa tertantang, anak itu berdiri meninggalkan boneka kesayangannya. Ia berdiri di depan meja sofa, pembatas antara ia dan kedua pasangan suami istri itu.
"Bukan! Itu punya aku!" serunya.
Wenda mengeratkan pelukannya di lengan Chandra. "Punya momo, Cla nggak punya daddy. Cla cuma punya papa."
Anak itu menghentakkan kakinya di lantai, bibirnya sudah turun seperti akan menangis. "Daddy ... momo nakal, aku nggak mau main sama momo," rengeknya.
Semakin gencar Wenda memeluk Chandra erat, lidahnya dijulurkan ke Clarissa. "Punya momo."
Clarissa berteriak kencang, mengklaim bahwa pria yang sedang Wenda peluk adalah miliknya. Tangisnya terdengar nyaring. Wenda tersenyum merasa menang dari bocah lima tahun itu.
"Sayang, udah, ah. Seneng banget bikin anak orang nangis." Chandra memperingatkan Wenda untuk berhenti menggoda Clarissa.
"Iyalah anak orang. Apa nggak aneh tuh, kalo aku bikin anak berongsai nangis," celetuk Wenda membuat Chandra terkekeh renyah.
Chandra merentangkan tangannya ke arah Clarissa yang masih terisak. "Nggak ... nggak ... sini sama daddy. Jangan nangis. Momo nakal, ya. Sini hayuk. Iya, daddy punya Clarissa.
Clarissa mendekat, Chandra meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Isakan kecil masih terdengar, tangan besarnya mengusap punggung Clarissa.
"Chan, kamu jadi daddy begini, berasa daddy sugar beneran, dah!"
Chandra menoleh. "Ya terus, apa hubungannya, Sayang?"
Wenda menggaruk pelipisnya. "Jarak usia kita sama Clarissa lima belas tahun, kan? Banyak lho, Chan. Aku lihat di sosmed, om-om yang nikahi cewek muda, yang jarak umurnya lima belas tahun, dua puluh tahun."
"Ya, terus apa urusannya sama aku, Wen? Kamu mau nyuruh aku nikahi Clarissa kalau dia udah gede, gitu?"
Wenda beringsut memeluk Chandra dari samping. "Eh, enak aja. Nggak boleh. Ini punya aku! Nggak boleh di bagi-bagi."
Chandra memajukan bibirnya. "Kiss," pintanya.
Wenda mengecup bibir Chandra singkat. Chandra tersenyum, mengulangi lagi apa yang Wenda lakukan. Meninggalkan kecupan bertubi di bibir Wenda.
"Love you," ucap Chandra.
"Love you more, Papi."
Tanjung Enim, 1 Juli 2021
Huaaarrggg.... Apa kabar? Senang bisa menyapa kalian lagi. Bagaimana apakah penumpang lapak ini masih ada?
Maafkan aku yang kemarin sempat hilang, sibuk mengurus Sahabat ... Nikah, yuk!
Jangan lupa jaga kesehatan ya, patuhi prokes. Semoga pandemi cepat berlalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro