Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Ribut Besar

Tandai typo ya gengs. 💙
.
.
.
*

Dentuman keras terdengar memekakkan saat Wenda membanting pintu depan dengan sekuat tenaganya. Chandra hanya bisa menatap datar pada wanita keras kepala itu, sepanjang perjalanan menuju rumah ia hanya menekuk wajahnya. Sesekali erangan kesal keluar dari bibir Wenda.

Entah karena lampu merah yang lamban berganti hijau, jalan berlubang yang tak sengaja Chandra tempuh. Sampai ... suara klakson kendaraan lain pun ia omeli.

Wenda duduk di sofa ruang tengah, menatap nyalang layar hitam televisi yang berjarak dua meter dari posisinya. Gerutuan terdengar halus dari bibirnya, mungkin kali ini benda yang tak menampilkan siaran apa pun tersebut akan jadi sasaran emosinya.

Derap langkah terdengar mendekati Wenda, tidak perlu menoleh memastikan siapa itu. Wenda tidak peduli siapa pun yang datang dan masuk ke rumah mereka.

Pria yang berstatus suaminya itu  berjongkok di depannya. Sesaat menarik napas dalam, dan mengembuskannya.

"Sekarang bilang, kamu kenapa?" tanya Chandra masih berusaha memecahkan misteri kenapa istrinya tiba-tiba merajuk.

"Aku kan udah bilang, aku mau pulang. Ya pulang, ngapain lama-lama di sana."

Tangan Chandra mengusap punggung tangan wanita itu. "Kan udah aku bilang, Sayang. Iya kita pulang, tapi tunggu sebentar lagi. Kak Mira lagi ngelayani tamunya yang lain."

"Ya terus aja salahin aku, belain aja mereka."

Chandra menatap wajah Wenda sesaat. "Bukan belain, Sayang. Aku cuma ngasih tahu, yang kamu lakuin ini nggak sopan. Pulang tanpa pamit. Tadi Sheina sampe nangis loh, masa kamu tega sama anak kecil," ujar pria itu.

"Kan ada ibunya. Apa guna ibunya kalo nggak bisa bujuk anak sendiri. Perlu laki orang pula buat bujukinnya?"

"Wenda!" tegas Chandra yang sudah mengetatkan rahangnya.

"Apa?" tantang Wenda membalas dengan tatapan tajam. "Ini salah kamu, ngapain kamu ajak aku ke sana."

"Kan aku udah bilang, Sayang. Kita pergi kalau kamu mau. Kalau kamu nggak mau, ya kita nggak pergi."

"Tapi kamu nggak ada bilang kalau itu acara mbak HRD."

"Namanya Amirah, Wenda. Dia punya nama!"

Wenda berdecih terang-terangan. "Ini yang kamu bilang nggak belain? Sampe istri kamu sendiri dipaksa buat nyebut nama dia."

"Wen, bisa nggak sih buang pikiran kamu tentang aku belain dia. Aku ngasih tau kamu, aku nggak mau istri aku bertingkah nggak sopan di depan orang lain, apalagi temen-temen kantor aku."

"Terus ngapain kamu di sini? Sana balik lagi ke acara itu, berkumpul aja sama temen-temen kantor yang lebih sopan dan penting itu."

Wenda menggigit bibir dalamnya. "Kamu suka anak kecil kan? Mau anak kan? Ya udah kamu sama mereka aja." Suaranya bergetar menahan tangis.

Chandra sedikit bangkit dari posisinya. Meraih tubuh wanitanya, tetapi sepasang lengan mendorongnya. Wenda menolak dipeluk olehnya.

"Sayang, kamu kenapa sih? Dari pagi tadi omongan kamu anak ... anak aja. Kita kan udah sering bahas ini, kita akan punya kalau kamu benar-benar udah sembuh. Saat kamu benar-benar siap."

Wenda menghempaskan tangan Chandra yang menggenggam telapak tangannya. "Gimana kalau aku nggak bisa sembuh?" pertanyaan yang seketika membuat Chandra tertohok.

"Jawab, Chandra! Gimana kalau aku selamanya sakit."

"Sayang, kamu pasti bisa. Kita hadapi bareng-bareng, oke? Kamu tahu kan aku sayang sama kamu?"

Wenda mendengkus. "Kalau aku nggak sembuh, kamu akan ninggalin aku, kan? Ya udah, sekarang kamu pergi sana, cari perempuan yang nggak sakit kayak aku. Bisa kasih kamu anak yang kamu sukai."

"Wenda, setop!" teriak Chandra tegas.

"Nggak usah teriak. Aku juga bisa teriak," balas Wenda tak kalah menaikkan nada suaranya.

"Kamu maunya apa sih, Wen? Aku capek, ya. Ngadepin tingkah kamu nggak jelas begini," ucap Chandra seraya berdiri menjulang di depan Wenda.

Wenda pun turut berdiri, menantang laki-laki yang sepertinya sudah kehabisan stok kesabaran itu.

"Kalau kamu capek ya istirahat. Nggak usah ngurusin aku lagi. Sana urusin aja si mbak sama anaknya. Anggap aja istri kamu yang merepotkan ini udah nggak ada."

"Wenda, cukup! Aku bilang berhenti bawa-bawa Kak Mira dan Sheina. Ini urusan kita, nggak ada urusan sama mereka!" bentak Chandra kelepasan.

Chandra sudah benar-benar tidak bisa lagi menahan emosinya. Nada tinggi ia keluarkan, belum lagi telunjuk bergerak heboh menunjuk ke luar.

"Aku bilang nggak usah teriak. Aku juga bisa teriak!" jerit Wenda. Kedua tangannya menutup telinga.

Napas Chandra terengah, selama mengenal Wenda dari sekolah dasar hingga membangun biduk rumah tangga hampir dua tahun belakangan. Ini adalah ribut besar yang mereka lakukan, biasanya mereka akan saling mendiamkan. Wenda yang merajuk tidur di kamar tamu, atau minta pulang ke rumah orang tuanya. Namun, itu semua tidak sampai saling meneriaki satu sama lain.

Wenda mengayunkan kakinya menuju kamar tamu, tidak memedulikan Chandra yang menatapnya nyalang.

"Wenda! Kita belum selesai. Selesaikan dulu di sini. Wenda!"

Wenda berbalik, jelas Chandra bisa melihat perubahan wajah istrinya. Matanya berkaca-kaca, tetapi tak serta merka membuat Chandra iba.

"Aku benci kamu, Chan. Aku nggak suka dibentak. Kenapa kamu bentak aku. Aku nggak mau lihat kamu lagi."

"Terserah! Aku capek juga, Wen."

Wanita itu kembali berbalik, meninggalkan Chandra dengan letupan emosi di dadanya. Air mata Wenda luruh juga seiring dengan langkah gontainya. Chandra pun akhirnya muak dengan keadaan rumah tangganya.

***

Entah sudah berapa lama Chandra duduk di sofa ruang tengah, mengusap kasar wajahnya. Ia sadar, tak seharusnya ia berteriak pada istrinya. Seharusnya ia bisa menenangkan Wenda, bukan justru membuat wanita itu semakin larut berpikiran buruk menyangkut fobianya.

Langkahnya dibawa ke depan kamar tamu, hingga waktu menunjukkan pukul lima sore. Wanita itu tak kunjung keluar dari kamar, hanya isakan tangis yang terdengar dari dalam. Entah Chandra harus merasa lega atau kejam. Setidaknya, suara isakan itu bisa Chandra pastikan jika istrinya tidak berbuat nekat di dalam sana.

"Sayang, keluar dulu, yuk. Udah sore loh, kamu belum makan dari siang."

Chandra mengetuk pintu kamar berbahan jati itu, tidak ada sahutan sesaat pun tidak ada lagi isakan lirih dari wanita itu. Sungguh, pikiran Chandra terbang jauh saat di dalam sana tidak ada suara Wenda beraktivitas.

Di dalam nggak ada tali, pisau, benda tajam, atau racun tikus, kan?

Pikiran yang tak seharusnya hadir melintas di benak Chandra. Pria itu menggedor pintu dengan sekuat tenaga, sepertinya ingin mendobrak paksa pintu di depannya.

"Sayang? Wen, kamu dengar aku kan, Sayang? Wen, jangan nekat ya. Aku sayang kamu!"

"Apa sih! Bisa nggak sih, kamu diem nggak usah berisik. Orang masih mau tidur juga," erang Wenda menyahuti kegaduhan yang Chandra ciptakan.

Chandra menarik napas lega. Ia berusaha mengatur degup jantung yang ingin meledak. Tangannya berada di dada sebelah kanan. Ia sangat takut Wenda melakukan hal buruk.

"Sayang, udah sore. Keluar dulu yuk, kamu belum makan dari siang. Sini kita omongi lagi. Sambil peluk yuk, biar nggak emosi."

"Peluk aja tembok sana. Nggak ngerayu. Aku benci kamu."

Chandra menyatukan dahinya di pintu kamar. "Iya nggak apa-apa kamu benci aku, tapi keluar dulu yuk. Kamu makan dulu biar kuat marahin aku."

"Nggak! Aku nggak mau makan, aku nggak suka sama kamu."

"Jangan gitu, dong. Nanti kamu sakit, kasihan Chabe sama Chanda kalau maminya sakit."

"Pergi aja kamu, sana. Sekalian bawa anak kura-kura kamu. Chabe sama aku."

Chandra tersenyum geli, saat pasangan lain berbagi anak saat akan berpisah adalah hal yang menyedihkan. Namun, tidak dengan yang pasangan ajaib ini. Mengingat anak-anak mereka berbeda dari pasangan di luar sana.

Tanjung Enim, 08 Oktober 2021

Selamat pagi, Jumat berkah semua. Wah, aku ngetik ini dari jam 4 subuh. Wkwkwk. Jadi bantu jika menemukan typo dan salah penulisan ya teman-teman.

Salam Sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro