Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Teringat sesuatu

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, beberapa bab belakang tidak aku ingatkan tandai typo, hole, dan salah penulisan. Setelah aku baca lagi, msh ada yang salah.😆

Baiklah, para pens-pens Wenda Chandra yang Budiman dan berbudi pekerti luhur. Tolong, tandai typo, oke?

***

Lantunan musik kpop terdengar begitu asyik dari audio mobil Wenda. Semilir angin sejuk yang berlomba keluar dari air conditioner pun menambah semangat perempuan itu ikutan bernyanyi.

Wenda mengendarai mobilnya dengan santai, menikmati perjalanan pulang. Setelah hampir seharian dengan kuliahnya, wanita itu merasa ingin mengisyaratkan tubuh dan pikirannya dengan berleha-leha di tempat paling nyaman bernama rumah.

Tiba-tiba ... Wenda teringat akan sesuatu. Tangan kirinya mengecilkan penyetel musik itu. Sedikit menepikan mobilnya pada bahu jalan. Beruntung, jalan yang ia lalui bukanlah jalur sibuk.

Wenda meraba ponsel yang ia simpan di dashboard. Setelah menemukan benda canggih itu, kemudian ia melakukan panggilan video ke nomor suaminya. Masih menunggu panggilan disambut, entah di dering ke berapa akhirnya Chandra menyambutnya.

"Halo, Wen."

"Kamu di mana?"

Chandra mengganti setelan kamera yang semula menyoroti wajahnya, kini menampilkan pelataran kantor papi, ada beberapa orang lalu lalang yang bisa Wenda pastikan adalah karyawan di sana.

"Parkiran," jawab Chandra mengganti menjadi kamera depan lagi. "Kamu belum ke butik?"

Wenda menyengir, seperti maling tertangkap basah. Wanita itu menggaruk dahinya mengenakan telunjuk.

"Aku nggak jadi ke butik, nggak tau males banget. Mau pulang aja."

"Kamu nggak enak badan?" tanya Chandra isyarat akan kekhawatiran.

"Nggak, aku sehat. Cuma ... mager aja."

Chandra mengangguk paham. "Ya udah istirahat di rumah ya, Sayang. Aku udah sampai lobi mau naik, nih." Chandra mengganti kamera belakang, memperlihatkan pintu besar di hadapannya. "Aku sayang kamu," lanjutnya.

Wenda memajukan wajahnya sedikit mendekat ke layar ponselnya. "Sayang papi juga. Miss you, Daddy," bisik Wenda, setelah itu buru-buru mematikan video call-nya.

Perempuan itu melajukan kembali mobilnya dengan irama musik yang sama. Pikirannya tentang rebahan di kasur yang nyaman semakin menguasai benaknya.

Rasanya, sudah lama sekali Wenda tidak melakukan itu—kecuali hari libur—semenjak kuliahnya sudah memasuki semester atas, kesibukan tugas kuliah dan harus ia sambung dengan pekerjaan di butik, membuatnya lupa, kapan terakhir tidur siang. Padahal, mami tidak pernah mengikat Wenda di butik, jika Wenda ingin libur kapan pun mami mengizinkan. Namun, wanita itu sejak kecil sudah dididik bertanggungjawab oleh ayah dan bundanya. Ia merasa pekerjaan butik, tanggung jawabnya.

"Asalamualaikum," ucap Wenda masuk ke rumah melalui pintu penghubung garasi dan ruang samping.

"Walaikumsalam," sahut suara dari ruangan lain.

Derap langkah terdengar, wanita dengan sepotong kemeja Chandra di tangannya berdiri di ambang pintu sebuah kamar.

"Bi Yati lagi nyetrika?" tanya Wenda berjalan menghampiri wanita itu.

"Neng Wenda pulang cepat, mau bibi siapkan makan siang?"

Langkah Wenda sudah tepat di hadapan Bi Yati, wanita itu menggeleng. "Nggak usah, Bi. Wenda masih kenyang. Tadi makan di kantin kampus. Wenda ke kamar ya, Bi. Pengin rebahan syantik," ujarnya tersenyum jahil.

"Ya udah, bibi lanjut setrika lagi, ya."

Wenda berbalik melanjutkan langkahnya menuju kamar, sementara Bi Yati kembali masuk ke ruangan khusus ia menyetrika.

Harumnya pewangi ruangan yang segar, tempat tidur dengan seprai yang tertata rapi. Membuat keinginan Wenda untuk segera beristirahat semakin bergejolak. Wanita itu menyimpan tasnya di tempat gantungan tas, kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari debu yang menempel.

Selesai dengan aktivitas bebersih, Wenda masih berada di dalam kamar mandi. Tubuhnya yang berbalut bathdrobe, ia bawa ke depan kaca wastafel. Tangannya terulur hendak mengambil sesuatu pada kabinet atas. Namun, saat pintu lemari kecil iyu dibuka, ada sesuatu jatuh dari sana.

Wenda berjongkok, memungut satu pak pembalut yang sudah berkurang isinya. Seketika Wenda teringat sesuatu, bahwasanya tamu bulanannya belum juga menampakkan eksistensinya pada bulan ini.

"Di Bandung ... Chandra pake itu nggak, ya?" gumamnya mengingat kejadian hampir dua minggu lalu itu.

Langkah Wenda tergesa keluar dari kamar mandi, meraih ponselnya yang masih tersimpan di dalam tas kuliahnya. Netranya menelisik pada layar benda canggih itu.

"Sudah lewat delapan hari dari tanggal bulan kemarin."

Wenda meremas ponselnya, pikirannya seketika menerawang jauh. Langkahnya mondar-mandir di depan lemari pakaian, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Jarinya memijat pelipisnya, mengusap wajahnya kasar. Giginya pun turut menggigit bibir dalam, berganti menggigit ujung-ujung kukunya.

Wanita itu benar-benar tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Tentang apa yang dia takutkan berlomba-lomba berdesakan mengusik jalan pikirannya.

***

Dahi Wenda mengernyit, peluh yang semula membasahi di daerah sana sudah kering oleh sejuknya air conditioner di kamarnya. Niat ke rumah ingin beristirahat santai, nyatanya tidak bisa Wenda nikmati. Terlebih tidurnya terganggu oleh usapan di pipinya.

Wenda membuka kelopak matanya pelan, sosok Chandra yang ditangkap oleh netranya pertama kali. Pria itu tersenyum, mengusap lembut puncak kepala Wenda. Namun, selembut apa pun perlakuan Chandra sekarang ada rasa getir di sudut hatinya.

"Nyenyak banget bobonya. Aku pulang sampe nggak tau. Capek, ya?" tanya Chandra.

Pria itu sedikit menunduk, hendak mencium dahi sang istri. Namun, kedua tangan Wenda mendorong tubuh Chandra. Wanita itu bangkit dari tidurnya, duduk bersandar di kepala ranjang.

Chandra mendekat, tangannya ingin merengkuh tubuh Wenda, tetapi lagi-lagi ditolak oleh wanita itu.

"Kiss dong, Sayang."

Wenda menggeleng kuat. "Nggak mau di kiss sama kamu," cicitnya.

"Terus maunya di kiss siapa? Oh, gini aja. Anggap aja aku Park Chanyeol, gimana?" canda pria itu.

Wenda masih bergeming, menatap lurus ke wajah sang suami. Ditatap serius seperti sekarang ini, membuat Chandra bingung.

"Kenapa? Aku salah apa? Biasanya aku dapat kiss loh, pulang dari kerja."

Masih coba mendekati, Chandra meraih tangan Wenda, tetapi ditepisnya. Sungguh, ujian hidup Chandra sedang dimulai. Mengartikan diamnya Wenda, bagi Chandra sama saja dengan mengerjakan seratus soal matematika bisnis. Mata kuliah yang membuat hidup Chandra sangat sulit.

"Chan, aku mau pulang."

"Pulang? Pulang ke mana, Sayang? Rumah kamu di sini. Kamu masih mimpi nih, kayaknya."

Bibir Wenda mencebik, tatapan wanita itu sudah mengisyaratkan lain. "Mau pulang ke rumah bunda."

Chandra menggaruk pelipisnya. Ia sungguh tidak mengerti maksud dari istrinya. "Kenapa? Tadi siang kamu baik-baik aja, loh. Sini peluk aja, yuk."

Wenda beringsut menghampiri Chandra, duduk di pangkuan pria itu. Wajahnya ia tenggelamkan di ceruk leher sang suami. Chandra mengusap punggung Wenda. Membiarkan istrinya untuk bercerita sendiri. Setelah lima belas menit akhirnya dengungan nama Chandra keluar juga dari bibir Wenda. Wenda memberi jarak antara tubuhnya dan Chandra.

"Chan, waktu di Bandung ...."

"Iya, waktu di Bandung, kenapa?"

Wenda menunduk dalam, tangannya saling meremas jemarinya. "Waktu ngelakuin itu lagi. Kamu pakai pengaman?"

Chandra tertawa pelan, antara gemas melihat Wenda begini atau terbayang kejadian di kamar atas vila Bandung. Tangannya menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya Wenda.

"Nggaklah, Sayang. Kenapa emang?"

Wenda mendongak, wajahnya berubah kesal. Ia bangkit dari pangkuan Chandra menuju lemari pakaian. Mengeluarkan koper dan memasukkan pakaiannya ke sana.

"Aku mau pulang ke rumah ayah!"

"Loh? Kenapa? Aku salah apa?"

Wenda berbalik. Tatapan tajam ia layangkan pada pria tinggi yang sudah berdiri di belakangnya.

"Kenapa kamu bilang? Salahin itu junior kamu, kenapa nggak dipakein pengaman."

"Ya, aku mana tau kalo di sana bakal ngelakuin itu, Sayang. Lagian emangnya aku apaan, ke mana-mana bawa pengaman."

Wenda merosot terduduk di lantai, matanya berkaca-kaca. "Chan, aku telat. Udah delapan hari dari jadwal bulan kemarin."

Tangan Wenda yang menempel di dingin lantai seketika bergetar. Chandra bergegas menghampiri wanita itu, merengkuh tubuh lemah istrinya. Chandra mengerti maksud dari telat yang Wenda utarakan.

"Aku mau pulang ke rumah ayah, Chan."

"Kenapa harus pulang ke sana, Sayang? Nanti aku harus bilang apa sama ayah, bunda. Masa bilang karena aku ngehamilin istri aku."

Wenda mendorong tubuh Chandra. "Aku nggak hamil! Aku nggak mau hamil."

"Bener nggak mau hamil anak aku? Nggak mau punya hasil kecebong bibit unggul? Cakep loh, kayak papinya." Chandra mencoba mencairkan suasana. Ia tahu Wenda sedang tidak baik-baik saja.

"Nggak! Gak mau hamil kecebong kamu." Wenda semakin meraung.

"Ya udah. Iya, iya. Nggak hamil kecebong aku, tapi—" Hamil anak aku aja.

Chandra kembali meraih tubuh Wenda, membantu wanita itu pindah duduk di sofa.

"Mau berapa hari di rumah ayah?" tanya lembut.

Wenda mengusap matanya yang terasa lembab. "Sampai aku datang bulan!"

"Kalo nggak datang bulan? Berarti ...."

"Berarti nggak pulang."

Berarti kamu hamil, Wen. Hamil anak kita.


Tanjung Enim, 22 September 2021
RinBee 🐝

Selamat sore semuanya. Kangen tak? Aku kangen komenan kalia. Maafkan aku yang beneran bussy ini. Mencuri waktu buat merangkai kata pada bab ini. Terima kasih dukungan kalian semua. Sayang kalian. ❤️

Btw, ada yang nonton drakor Squidgame? Tolong reviewnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro