Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Ketemu lagi, bosen!

Btw sebelum membaca, aku mau bertanya. Visual mami, papi, bunda semua udah pernah aku spill.
Tapi apakah kalian tahu siapa visual yang aku pakai untuk dr. Andra atau ayahnya Wenda?
Hayo siapa?

Happy Reading, tandai Typo dan kesalahan penulisan ya, gengs 💙

***

"Beneran, Chan? Ini kita mau makan ke Senopati?"

Pria itu hanya mengangguk, memutar kemudi bersiap meninggalkan pelataran butik mami. Seperti tidak terjadi apa-apa, sikap yang Chandra tunjukkan pun masih tenang.

Namun, berbeda dengan wanita di sebelahnya. Istrinya itu masih terlihat bingung, mulai dengan pertanyaan lain untuk memastikan.

"Kamu nggak ada rasa ngeri-ngeri sedap, gitu, sama tempat itu? Setelah ... kejadian dua tahun lalu?"

Chandra menoleh beberapa detik, lagi-lagi ia menggerakkan kepalanya ke kanan ke kiri. "Ngeri-ngeri sedap itu yang gimana sih, Sayang?"

Wenda bergeming, masih memikirkan tempat yang terletak di kawasan Jakarta Selatan itu. Bukan tempatnya yang menggangu, tetapi kejadian dua tahun lalu, seolah menyentil mental Wenda untuk menginjakkan kaki di kawasan ini.

Senopati, terkenal dengan nama 'pojok hura-hura di Selatan Jakarta'. Setelah Blok M atau Kemang, kawasan gaul di selatan Jakarta, Senopati juga ramai dikunjungi beberapa tahun belakangan ini.

Kawasan yang juga tempat berkumpulnya 'Para anak-anak orang kaya sejak lahir' dan kawanan ekspatriat. Inilah salah satu yang membuat Senopati lebih ekslusif. Tak heran jika di sini banyak ditemukan para pebisnis, bahkan selebriti di salah satu meja kafe yang terdapat di Senopati. Tak ayal, untuk sekali kongko di tempat ini harus merogoh dompet lebih dalam.

"Kalau aku sih, jujur, ada rasa takut mau ke sini lagi. Gila aja, kejadian itu masih kayak jadi bayang-bayang mantan tahu nggak! Menghantui," cerocos Wenda.

Chandra terkekeh mendengar celotehan sang istri, terlebih hal ini ia kaitkan dengan mantan. Seperti ia pernah punya mantan pacar saja.

"Emang kamu punya mantan? Bukannya kamu belum pernah pacaran," goda Chandra tanpa menoleh ke Wenda.

Wenda mencebikkan bibirnya, mau protes percuma. Ia memang belum pernah merasakan yang namanya pacaran seperti anak muda pada umumnya. Salahkan pria yang ada di sampingnya, yang secara konyol mengubah statusnya dari sahabat menjadi istri dalam tempo sesingkat-singkatnya.

"Chan, emang kita mau makan di mana? Bukan di restoran itu lagi, kan?"

Chandra mengulurkan tangan kirinya ke puncak kepala Wenda, mengusapnya dengan sayang. "Kenapa sih, takut banget ke sana lagi? Contoh aku dong, berani." Chandra menyombongkan dirinya.

Wenda menepis telapak tangan Chandra yang masih setia bertengger di atas kepalanya. "Alaah! Lagaknya, kalo waktu itu aku bisa ngerekam kejadiannya, mau aku rekam muka kamu, tahu nggak!"

Wanita itu berdecak sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Muka kamu waktu itu udah kayak orang darah rendah tahu nggak. Pucet pasi," cibir Wenda.

Chandra tergelak, tidak bisa dipungkiri pria itu pun sejak tadi masih mengingat kembali kejadian yang Wenda bahas itu dengan jelas di kepalanya.

***

Wenda tercenung melemparkan pandangannya ke luar, netranya lamat memperhatikan sebuah resto yang terletak di Senayan Blok S No. 16, Senopati, Jakarta Selatan.

'88 Korean Kitchen', begitu yang tertulis di bagian atas sebelum pintu masuk. Restoran elegan bergaya industri dengan interior trendi yang menyajikan hidangan tradisional Korea.

Wanita itu menoleh ke kanan, atensinya beralih pada Chandra yang sibuk menyimpan ponsel dan dompetnya pada tas kecil yang ia letakkan di dashboard.

Kedua pasang mata itu bertemu, Chandra menarik garis senyum tinggi. "Turun, yuk, Sayang," ajak pria itu memecahkan keheningan wanitanya.

Merasa tidak ada jawaban dari sang wanita, Chandra menyerongkan duduknya, lengan kanannya bertumpu pada setir memeriksa sedang apa istrinya, hingga menyahuti ajakannya saja tidak bisa.

Wenda menampilkan deretan giginya, duduknya mendekat seraya merentangkan tangan. Chandra menyambut pelukan istrinya.

"Baik banget suami aku. Jadi sayang," ucap Wenda menguraikan pelukan sesaatnya.

"Kiss, Sayang." Chandra memajukan bibirnya.

"Nggak mau! Ini tempat umum. Kamu emang nggak ada malunya, ih," tolak Wenda.

Chandra terkekeh, wanita itu sudah cemberut tidak suka dengan permintaan suaminya. Tangannya di lipat di depan dada, punggungnya bersandar pada pintu mobil.

"Iya. Iya nggak. Jangan ngambek. Masa jauh-jauh ke sini malah ngambek. Turun, yuk."

Pasangan itu berjalan menuju pintu utama resto, kedatangan mereka disambut hangat oleh pegawai pria dengan seragam rapi berwarna cokelat muda. Apron berwarna navy melekat sempurna di bagian depan tubuhnya.

Mereka diantar menuju meja kosong yang terletak di sisi kanan ruangan. Netra Wenda menyapu sekitar, resto yang cukup luas. Terdapat berjajar meja dan kursi pada sisi kanan dan kiri di ruang itu, di atas setiap meja tergantung masing-masing lampu.

Pada jajaran meja sebelah kiri berada tepat di pinggir kaca pembatas luar, sementara meja tepat sebelah dinding.

Seorang pegawai yang berbeda datang menghampiri, menyimpan buku menu ke hadapan Wenda. "Silakan, Kak," ucapnya dengan ramah.

Wenda mendongak menatap Chandra yang duduk di kursi seberangnya. Pria itu menaikkan alisnya, tidak mengerti dengan kode tatapan istrinya.

"Kamu mau pesan apa?" Wenda akhirnya bertanya. Percuma mengirim sinyal pada pria itu, ia tetap tidak paham.

"Aku samain aja dengan punya kamu," ujar Chandra yang sebenernya lebih ke pasrah dengan menu-menu makanan Korea yang tidak ia pahami.

Wenda menelisik buku menu yang ada di genggamannya, menyebutkan satu per satu makanan yang akan ia coba. Selesai semua ia sebutkan, tatapannya beralih ke Chandra yang sibuk dengan ponselnya.

"Chan, boleh pesen dakbal, nggak?"

Chandra mengernyitkan dahinya. Tidak mengerti dengan jenis makanan yang ingin Wenda pesan itu. "Dakbal apaan, Sayang?"

"Ceker khas Korea, Mas. Dengan bumbu pedas." Sang pelayan menjelaskan.

Chandra mengangguk. "Oke, tambah itu juga. Tapi pedasnya bisa dikurangi, Mas? Jangan terlalu pedas."

"Chan, kalau kurang pedes nggak enak," sergah Wenda.

Pria itu menatap tajam Wenda. "Nanti perut kamu sakit makan terlalu pedes."

Dia nggak tahu semua makanan yang udah aku pesen itu pedas semua.

Wenda mencebikkan bibirnya. "Serah deh, ikut kamu aja."

"Itu saja, Mas, pesanannya." Chandra berucap pada sang pelayan.

"Baik, Mas," balasnya seraya berbalik meninggalkan meja mereka.

Sepeninggalan pelayan itu, Wenda melipat tangannya di meja, senyumnya terkembang sempurna. Matanya yang kecil menatap Chandra penuh pemujaan. Merasa ditatap pria itu menarik garis senyum, mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala sang istri dengan sayang.

"Kamu tahu tempat ini dari siapa?"

"Biasa ... tadi Bang Ridho, suka ikutan ngegosip sama ibu-ibu di kantor, bawa gosip baru. Pada heboh sama tempat ini." Chandra terkekeh menjelaskan perihal dari mana ia mendapat info, "aku jadi inget kamu yang suka makanan Korea juga," sambungnya.

Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Sayang, tahu nggak katanya chef-nya orang Korea asli, tapi mualaf. Aku rasa makanannya aman, pasti halal. Makanya aku ajak kamu ke sini. Suka nggak?"

Wenda mengangguk tanpa ragu, tangannya meraih telapak tangan besar Chandra. "Iya, aku suka. Sukaaa ... banget. Makasih ya, Chan."

"Sama-sama, Sayang. Udah nggak usah nangis gitu. Aku tahu kamu terharu." Chandra menggoda Wenda.

Refleks Wenda memukul punggung tangan Chandra. Wajahnya cemberut, ada apa dengan pria itu, hari ini suka sekali menggodanya.

"Sayang, liat deh ke sana. Ada ayah sama bunda, mereka kencan juga kayaknya," tunjuk Chandra ke satu meja yang berbatasan dengan kaca pembatas.

"Nggak mau! Kamu bohongi lagi nanti."

"Nggak, aku nggak bohong. Demi Allah." Chandra bersumpah membawa nama Tuhan, bukti jika ia sedang tidak berbohong atau sekadar untuk menggoda Wenda lagi.

Wenda menoleh, netra nanar mencari kedua orang tuanya di setiap meja di ruangan ini. Beruntung, keadaan resto belum terlalu ramai pengunjung. Senyumnya tertarik saat mendapatkan yang ia cari. Wenda keluar dari mejanya, berjalan ke arah meja di ujung sana.

"Selamat malam dokter Andra. Makan malam sama istrinya, ya? Kok anak-anaknya nggak diajak."

Pria dengan kaus lengan panjang berwarna navy itu mendongak. Tidak menampilkan ekspresi berlebih, masih datar menatap Wenda yang sudah berdiri di depannya. Berbeda sekali dengan ekspresi yang ditunjukkan wanita yang duduk di kursi sebelahnya.

"Sayang, kamu sama siapa di sini?" sapa lembut wanita itu.

"Sama aku, Nda," sahut Chandra yang baru saja datang. Menarik dua kursi, satu untuk Wenda dan satu lagi untuknya.

Suara denting sumpit besi yang beradu dengan piring keramik terdengar, meski tidak menimbulkan bising. Ayah menyimpan alat makan yang sejak tadi ia genggam di atas piring kecil.

"Anak mana yang mau saya ajak? Anak tertua saya di Cina. Anak ke dua sedang sibuk dengan laporan tesis dan penelitiannya. Anak ke tiga sibuk mengurus kuliah dan usaha kafenya," ucap ayah panjang lebar.

"Tapi kan, ayah punya anak bungsu yang cantik jelita ini." Wenda menopang dagunya, tersenyum menatap sang ayah.

"Kamu kan punya suami, bisa ajak suami sendiri."

"Ish! Nggak adil." Wenda mencebikkan bibirnya. Sepertinya hari ini ia selalu kalah berdebat, entah itu dengan Chandra dan sekarang dengan ayah.

"Udah-udah, kalian udah dapat tempat? Gabung di sini aja, ya. Ini kalau kurang kita pesan lagi." Bunda memberi tawaran.

"Nggak, akh! Ketemu ayah terus, bosen! Lagian Wenda kan udah punya suami. Mau quality time sama suami Wenda dong." Wenda mencibir, mengembalikan ucapan ayahnya beberapa saat yang lalu.

"Kita udah dapat tempat kok, Nda. Udah pesen juga." Chandra menjelaskan.

Wenda berangkat dari posisinya, tangannya bertumpu pada meja. "Oke baiklah, selamat menikmati makan malamnya dokter Andra," ucap Wenda seraya meninggalkan satu kecupan di pipi ayahnya, begitu juga di pipi sang bunda.

"Kita balik ke meja kita, Yah, Nda," pamit Chandra sebelum menyusul Wenda yang sudah lebih dulu berjalan.

Baru saja Wenda menjatuhkan bokongnya di kursi, suara sapaan yang masih terasa asing, memaksa Wenda untuk mengalihkan atensi pada sosok yang berdiri di samping mejanya.

"Wenda, kan? Sendirian aja? Chandra mana?"

Dia sapa sih? Lancar betul bibirnya nanyain Chandra di mana. Nenek Chandra? Bukan, kan?

"Eh, Kak Mira?" Suara Chandra menginterupsi.

Chandra berdiri di depan wanita itu, menyimpan ponselnya. Sekilas ia melirik Wenda yang sudah memasang wajah tak ramah lingkungan.

"Iya, Chan. Kalian berduaan aja?" tanyanya kemudian.

Chandra mengangguk. "Hmm ... iya, Kak. Kita berdua aja. Kak Mira makan sendiri?"

"Tadinya, sih, mau makan di sini. Karena nggak enak makan sendiri. Jadi, bawa pulang ajalah." Mira menjelaskan, sesekali senyumannya menghiasi wajah manisnya.

"Oh, gitu. Kalau Kak Mira mau ...." Chandra menarik garis senyum samar, ekor matanya melirik Wenda, "mau ... pesen. Silakan, Kak. Mumpung belum banyak pelanggan, nanti lama nunggu," ujar Chandra memberi saran.

"Oh, iya. Kakak tinggal ya, have fun, ya, kalian."

Ketukan dari high heels wanita itu terdengar menjauh dari keberadaan mereka. Wenda menghela napas lega.

"Kirain tadi ... kamu mau nawarin dia gabung sama kita," bisik Wenda.

"Kamu mau? Aku panggilin, nih?" Chandra terkekeh.

"Coba aja kalau berani. Aku tinggalin kamu di sini. Aku pulang sama ayah," ancam Wenda.

Chandra tertawa, tangannya terulur mencubit pipi Wenda. "Nggak dong, Sayang. Aku tahu, istri aku nggak suka berbagi. Sayang banget ya, sama aku?"

Perempuan itu berdecak mendengar ucapan suaminya yang terlalu percaya diri. "Lagian ya, perasaan ketemu lagi, ketemu dia mulu, sih. Bosen!"

Chandra tergelak, gemas sekali melihat Wenda jika sedang cemburu seperti ini. Wajahnya ditekuk, belum lagi bibirnya mengomeli entah apa saja tentang yang tidak ia sukai. Sampai dua orang pelayan membawa nampan besar berisi makanan yang mereka pesan, barulah wajah Wenda kembali ceria, menatap makanan kesukaannya.


Tanjung Enim, 17 Agustus 2021

Hayo, yang berhasil nebak visual ayah Wenda siapa?

Sosok dokter Andra yang ada di pikiran aku. 😂

Dapat salam dari Ayah dan Bunda.

Selamat HUT RI ke 76.
Silakan sampaikan harapan kalian untuk negeri tercinta.

Oh, iya. Selamat ulang tahun ke 4 untuk Grass_Media semoga menjadi penerbit yang makin berjaya, sukses, banyak dicintai oleh penulis-penulis dan pembaca.

Silakan yang mau menyampaikan harapannya (kalau harapan author sih, semoga Wenda Chandra cepat lahir) 😂 :

Oh, iya terakhir. Yang tinggal di Jakarta, bolehlah mampir ke 88 Korean Kitchen. Tempatnya real, Kok. Terletak di Senopati. Pemiliknya Na Daehoon YouTubers Korea yang mualaf.

Salam Sayang 💋
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro