8
Edwin memandangi pesan di ponselnya yang sudah tidak dibalas lagi oleh Prof Sumarto. Mungkin beliau sibuk. Begitu pikir lelaki itu. Dia melihat Siska yang baru saja keluar dari Subdit Renakta.
Sungguh hati Edwin rasanya tercabik-cabik melihat wanita itu berjalan dengan menyeret kakinya. Betapa teganya suaminya yang telah melakukan kekerasan seperti itu. Edwin segera bangkit dan mendekati perempuan itu untuk memapahnya.
"Kamu nggak apa?" tanya Edwin.
Siska mengangguk dan tersenyum lemah. "Aku baik-baik aja."
"Apa kita ke dokter saja?" tawar Edwin cemas.
"Dia nggak apa," kata Sasa yang berdiri di belakang mereka. "Sudah aku suntik barusan besok juga udah sembuh."
"Oh gitu. Makasih ya, Sa," senyum Edwin.
"Iya, sama-sama," jawab Sasa sekenanya. Dia hanya diam saja melihat Siska yang berlagak kesakitan. Yah, alergi begitu pasti sakit sih. Tapi Sasa sangat yakin bahwa wanita itu sebenarnya hanya bersandiwara. Cih! Sasa nggak akan membiarkan saja cewek yang suka play victim begitu. Dia akan menulis laporan visum sesuai dengan fakta yang ada.
"Laporannya sudah kami proses. Nanti saya akan hubungi kalau ada perkembangan." Ini kata Ipda Yulia yang berdiri di sebelah Sasa dengan senyuman manis.
"Oh ya, kalah begitu saya boleh minta nomor Anda?" tanya Edwin pada Ipda Yulia.
"Tentu saja!" Polwan itu berbinar-binar. Kapan lagi coba dimintain nomor sama cowok seganteng ini.
Sasa hanya menyandarkan bahu pada tembok sembari bersedekap melihat Yulia dan Edwin bertukar nomor. Edwin dan Siska kemudian berpamitan. Siska yang kesusahan berjalan dipapah oleh Edwin menuju tempat parkir.
"Ya ampun! Ganteng banget sih tuh cowok. Dokter gimana kok bisa kenal dia? Tadi dia manggil dokter pakai nama aja, kan?" tanya Ipda Yulia histeris.
"Yah, dia temenku kuliah dulu," jelas Sasa.
"Berarti dia Dokter juga dong?" Yulia makin berbinar.
"Bukan. Dia nggak ngelanjutin koas. Aku denger dia kerja di perusahaan farmasi gitu."
"He? Udah susah-susah masuk fakultas kedokteran kok nggak dilanjutin sampai lulus sih?" tanya Yulia kepo.
Sasa mengingat kembali beberapa peristiwa lalu. Saat preklinik bukan hanya sekali dua kali Edwin pingsan ketika melihat adegan pembedahan yang berdarah-darah. Lelaki itu punya hematophobia yanh cukup parah. Karena itulah dia memutuskan tidak melanjutkan kuliahnya. Itu adalah urusan pribadi Edwin rasanya tidak etis kalau dia menyebarluaskan pada orang lain. Maka Sasa hanya mengangkat bahu saja. "Nggak tahu," dalihnya.
"Sayang banget," ujar Yulia. "Tapi coba lihat deh hubungan mereka itu kayaknya lebih dari sekadar teman biasa deh. Jangan-jangan mereka selingkuh. Makanya suaminya marah dan mukul si cewek."
Sasa memegangi dagunya. Omongannya Yulia itu masuk akal banget. Kasus-kasus seperti itu sudah sering terjadi. Sasa berdecak-decak. Cinta memang membuat segalanya jadi rumit.
"Ckckck... itu penyakit mematikan yang nggak ada obatnya," decak Sasa.
Ipda Yulia mengangguk setuju. "Apa kurang cewek sih dunia ini sampai ngambil istri orang. Mending juga sama Eyke, kan?" kata polwan itu sembari merapikan poni.
"Ya udah, aku balik ke puslabfor ya," pamit Sasa.
"Iya, Dok, makasih."
Sasa melambaikan tangan pada polisi centil itu sembari melangkah kembali menuju kantornya. Sasa merongoh ponselnya. Rupanya ada telepon dari abangnya, Kak Sarwono. Sasa berdecih. Dia malas mengangkat panggilan itu. Namun karena si penelepon cukup gigih. Akhirnya Sasa terpaksa mengangkatnya.
"Ya, ada apa, Kak?" tanya Sasa malas-malasan.
"Kenapa kamu lama sekali angkat teleponnya?" omel pria tua itu. Walaupun namanya kakak, guru besar obgyn itu selisih umurnya dua puluh dua tahun dengan Sasa. Makanya sebisa mungkin Sasa selalu sopan.
"Ini kan jam kerja," dalih Sasa.
"Ayah kolaps, Sa. Cepat ke rumah sakit sekarang."
Deg! Netra Sasa melotot. Ayahnya sakit?
***
Yeyeyeye aku update pertama ya kayaknya hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro