Vol 7 - Mundur Alon-alon
CD Vol.7 - Mundur Alon-Alon
By kumbangmerah
================================
"Woi Ceret!"
Mendengar suara bak kambing sembelit menyapa, seketika cewek yang akrab dipanggil Cere itu melongokkan kepalanya.
Mata segaris yang antara ada dan tiada itu berkedip-kedip, menyesuaikan pencahayaan. Maklum saja, di minggu yang indah ini haram hukumnya bagi Cerere untuk bangun sebelum matahari bersinar terang. Seterang kisah cinta halunya bersama Jaenudin, pujaan hati yang berstatus sebagai tetangga.
Cewek berdarah CiBat a.k.a Cina-Batak itu menyampingkan pandangan secara dramatis, lengkap dengan alis menungkik dan bibir monyong bak artis berbi kumalsekali yang habis sulam bibir gratis. Cere mendelik kesal pada Eron, jelmaan menara sutet yang suka plesetin namanya menjadi Ceret.
"Heh, menara sutet! Masih pagi udah kau pancing emosi aku!" sembur Cere galak dengan logat bataknya. "Tapi ini masih pagi kok cerah kali, ya? Panas pula itu!" gumamnya sembari mengibaskan rambut hingga seonggok serangga dari rambut panjang Cere lompat ke arah Eron.
Eron geleng disko melihat kelakuan tetangganya. Berpikir entah sudah berapa lama cewek itu tak keramas, sampai-sampai ada fosil kecoa di sana.
Eron tertawa menghina, ingin rasanya membawa jam gadang agar pecinta remahan rengginang itu melihat sudah pukul berapa sekarang.
"Hadehh... Makanya itu mata jangan dipakai buat lihatin Jae aja!" omel Eron gemas, membawa-bawa nama titisan serbuk berlian Perum metro ambyar.
Cewek berponi kembaran kartun bocah masha and the bear itu mendekat, memajukan jam tangan mahal merek AleksanderKristi-nya tepat di jidat Cere.
"Busetlah! Mata aku di sini, woi!"
"Iyalah, woi. Kau tengok dulu jam! Matahari udah di tengah kepala pun, masih kau bilang ini pagi. Hah?!"
Cere langsung mengalami sindrom 4T, yaitu terkaget, terdiam, terbisu, ternganga mendengar ocehan Eron.
"Kok kau pakek pula logat aku!" respon Cere setelah kembali sadar.
Eron menepuk jidatnya.
Kebiasaan suka terikut kalau sudah bicara dengan Cere.
"Ah pantaslah panas! Udah siang pulaknya!"
"Memang, baru sadar kau!" gemas Eron yang lagi-lagi terbawa cara bicara Cere.
"Ah, sudahlah. Dari pada berantam, tenggorokan kering, bagus aku jajan es. Ikut gak kau?" ajak Cere.
Eron tampak berpikir, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum maha lebarnya.
"Tapi ... bisalah gue pinjam duit lo dulu," bisiknya malu-malu.
Cere melebarkan lubang hidung yang di dalamnya masih banyak menimbun harta karun berasa asin atau bisa kalian baca : timbunan upil.
Mereka melanggak-lenggok aduhai. Alih-alih berjalan bak model, Cere dan Eron malah terlihat seperti orang sakit pinggang saat menuju warung penjual cendol milik Mbak Yem.
Warung cendol aneh bin ajeb-ajeb itu jelas beda dari yang lain. Semuanya tak luput dari warna pinky. Termasuk cendol yang biasa berwarna hijau, namun jangan tanya punya Mbak Yem. Entah apa yang merasukinya sampai membuat cendol dengan warna merah muda yang diwarnai alami dari buah naga.
"Eh, stop!" tahan Eron, merentangkan tangannya hingga gunung kembar super datar milik Cere menubruk tangan bertulangnya.
"Alamak, apa pula kau!"
"Sssttt... lihat tuh!"
Mau tak mau, pandangan kesal Cere mengikuti jari panjang Eron ke arah warung Mbak Yem di depan sana.
"Alamak! Jaenudin!" pekiknya girang, dikala melihat pasangan halunya sedang menggenjreng gitar sambil tersenyum manis hingga pipinya bolong.
Ingat! Pipinya yang bolong bukan badannya, karena Jae bukan sundel bolong.
Namun kebahagiaan Cere punah, ketika sadar ke mana arah senyum menawan lelaki lajang itu terkirim. Emosinya berkibar, seperti jejeran bulu keteknya yang tertiup angin ketika ia memakai model baju tanpa lengan saat menjemur pakaian.
"Sini Ceret, kalau lo butuh pelukan," tawar Eron tulus.
Cere menarik diri.
Walaupun wajah Eron bak boneka berbi, tapi tubuh cewek itu pun sebelas-dua belas dengan kerasnya kayu gelondongan.
"Ck! Kalau tak ingat sering utang cendol, udah ku colok lubang hidung Mbak Yem itu!" emosi Cere. "Coba kau tengok aku! Kurangnya aku itu apa?!" tanyanya menggebu.
"Kurang lo?" ulang Eron yang diangguki lesu oleh Cere. "Yaaa, banyaklah! Manusia kayak lo kok hidup sih? Sadar dong sadar, masih bagusan juga Mbak Yem kemana-kemana!"
Asem! Harusnya ia tak usah bertanya pada cewek berponi itu.
Bibir Cere melengkung sedih, matanya refleks memandangi diri. Apalah daya, dirinya hanya duo papan penggilasan bersama Eron. Tentu banting stir dengan bodi gitar spanyol Mbak Yem yang adohaii...
"Rata depan belakangkan, Cer? Ingat ... kita itu sekutu dan lo dilarang keras buat berkhianat." bisik Eron. "Jadi lo gak usah banyak berharap, deh. Bagus kalau kata mas Ilux ..."
"Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo...." potong Cere mulai bernyanyi. "Mung digoleki pas atimu perih ...."
"Nah tuh tau."
"Aku mundur alon alon mergo sadar aku sopo ... mung dibutuhno pas atimu loro ...."
Bukannya mundur seperti nyanyiannya, duo papan penggilasan itu malah melanjutkan langkahnya ke
warung Mbak Yem sembari berdangdut ria versi dugem.
"Hazeekk! Tarik mang!" timpal Mbak Yem ikut memukuli meja sebagai gendang, sementara Jaenudin semakin menggenjreng gitar dan Eron inisitif menjadikan pipet sebagai suling dadakan.
"Ah. Sudahlah makin kering tenggorokanku!" henti Cere di tengah kesyahduan, membuat penonton kecewa. "Cendol dawet dua, Mbak!" toanya tak tau diri lalu menjauh dari Jaenudin.
Tak sanggup hati melihat cowok itu melempar senyum pada Mbak Yem.
Spontan Eron memukul lengan Cere. "Kalem dong shay! Kayak Mbak Yem jalan noh, kalem. Biar Jae kepincut!"
"Alah. Diam kau. Masalah kepincut, nanti bakal ku datangi saja si Iyong!" tandas Cere mantap.
Teringat Eron mendatangi Iyong, sang dukun newbie sekaligus tetangga mereka dengan maksud meminta ajian sakti yang belum SNI untuk memikat mas Kulin.
'Tak apalah aku disembur dengan air jigong aroma jengkol yang penting Jaenudin jadi milikku!' bulat Cere tapi tak sebulat tahu bulat.
================================
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro