Chapter 4 : Keluarga Raja
Jangan lupa Vote yaaa~~~
Ps: chapter ini tidak ada HaliYa dan berfokus pada pengenalan tokoh-tokoh lain.
Kota KoTiam adalah Ibukota Kekaisaran Neosantara. Kota terbesar sekaligus sektor pusat peradaban Kekaisaran. Banguna ala rumah-rumah eropa masa lalu dengan jalanan ramai pejalan kaki dan sesekali kereta kuda melintas. Tata letak bangunan kota ini juga mengagumkan. Pusat pembelanjaan, area kedai dan pasar, area perkantoran daerah dan bahkan area kota malam(bar, tempat pelacuran dan hotel) di bagi dan disusun teratur.
Tentu saja bangunan tempat tinggal penduduk juga diatur. Area pemukiman dekat dengan pasar dan alun-alun kota. Saat matahari berada dilangit, tempat itu adalah tempat teramai manusia berkumpul.
Kota ini semakin padat karena disini berdiri satu-satunya Akademi untuk pelajar, Akademi Element. Kebanyakan pelajar nya adalah putra putri bangsawan dan kekaisaran yang demi mencapai sumber daya manusia yang bermutu dan hebat. Tentu saja beberapa kasus seseorang yang bukan dari keluarga bangsawan atau keluarga besar (Pedagang besar, Keluarga militer, atau cendekiawan ternama) mempunyai kesempatan bisa menuntut ilmu di Akademi ini selama dia memiliki rekomendasi dari pihak atas.
Pangeran Blaze Vir Mechamato, adalah pangeran mahkota Kekaisaran Neosantara. Seorang Pangeran cilik yang hobi berbuat keonaran dan kegemparan. Dari masalah kecil hingga besar, dengan status nya Blaze tidak segan ataupun takut membuat masalah.
Jika ditanya kenapa dia berbuat demikian maka si pangeran tampan dan nakal akan langsung menunjuk Yang Mulia Raja sebagai alasan kenakalannya.
Siapa itu Raja Neosantara? Adalah Yang Mulia Raja Halilintar Vir Mechamato yang Agung. Pria minim ekspresi, dingin dan paling sibuk di Kekaisaran. Saking sibuknya, waktu nya hanya ada untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Saking jengkelnya, Blaze pernah nekat membakar dokumen-dokumen penting negara hingga berakhir dia menangis dalam kurungan kamar selama seminggu oleh Ayahnya sendiri.
Jika kau tanya Blaze bagaiamana ayahnya itu, si putra mahkota mahkota akan mengatakan bahwa Ayahnya orang yang kejam. Pada anaknya sendiripun pria itu tidak pernah mau repot-repot memberikan perhatian yang di dambakan seorang anak. Tidak. Pria tua itu memilih peduli pada tetek bengek kekaisaran yang tidak ada habisnya ketimbang menghabiskan waktu dengan anaknya sedikit saja.
Jadi jangan salahkan Blaze atas tindakan kekanak-kanakannya.
"Yang Mulia Blaze, tolong maafkan saya."
Entah darimana watak meledak-ledaknya tapi Blaze sangat mudah tersulut emosinya bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Seperti ini, seorang anak berusia lima belas tahun sedang bersujud meminta ampun karena tidak sengaja menyenggol calon raja masa depan. Betapa malang nasipnya karena di pagi yang cerah ini harus berurusan dengan Pangeran berusia delapan tahun di depannya.
"Apa aku begitu tidak terlihat dimatamu sehingga kau berani mengusikku? Kau pasti berpikir aku kecil hanya karena kau lebih tua dariku, iya kan!" seru Blaze menghakimi.
Si remaja malang menggelengkan kepalanya cepat, "Tidak Yang Mulia. Mata saya yang buta hingga tidak melihat keagungan Yang Mulia Pangeran. Mohon maafkan saya." Katanya seraya menyembah. Dia benar-benar takut. Jika pangeran cilik di depannya memerintahkan pihak Akademi menendangnya keluar, maka masa depannya tidak ada jaminan lagi.
Blaze mendengus. Iris cerahnya memandang sengit pada kakak tingkat yang bersujud dikakinya. Sedangkan di meja, sosok serupa namun juga berbeda dengan Blaze menikmati sarapannya dengan tenang dan elegan. Tidak terusik sama sekali dengan koar-koar saudaranya. Dia adalah Yang Mulia Ice Vir Mechamato. Saudara kembar Blaze.
Umumnya usia memasuki Akademi adalah dua belas tahun dan akan menempuh pendidikan paling lama lima tahun. Semakin cepat lulus dari Akademi ini maka masa depan yang cerah maka akan terbuka lebar. Namun, Blaze dan Ice pengecualian.
Kasus perlakuan istimewa pada keluarga raja memang sudah umum tapi Pangeran kembar ini lebih istimewa lagi karena masuk Akademi di umur tujuh tahun. Yang publik tahu dua Pangeran ini bisa masuk Akademi Element begitu cepat karena sangat jenius dan berbakat. Alasan sebenarnya Blaze dan Ice sendiri yang minta di masukkan ke Akademi lebih cepat karena bosan di istana.
Pihak Akademi tidak berdaya karena faktanya dua pangeran cilik masuk dengan nilai sempurna di Ujian Masuk. Jenius di usia muda. Berstatus tinggi dan juga tampan. Tidak akan ada yang dirugikan jika saja dua pangeran ini mempunyai sedikit kebajikan.
Mereka adalah anak-anak nakal.
Sepertinya Blaze menganggap Akademi Element cuma sekedar taman bermain penghilang bosan. Sementara Ice menganggap Akademi sebagai tempat ungsian sempurna untuk bermalas-malasan.
Makan, tidur dan bersantai. Itu adalah agenda seorang pangeran tanpa kata Ice.
"Pangeran, anda tidak ingin menghentikan Yang Mulia Blaze?" Tokasa, seorang butler sekaligus Asisten pribadi pangeran kembar, berkata tenang seraya mengisi kembali cangkir Ice yang kosong.
Tanpa kehilangan wibayanya, Ice menyeruput teh paginya seraya matanya tidak berpaling dari catatan di depannya——belajar. Semalas-malasnya Ice, dia tidak mengizinkan nilai merah ada dicacatan akademisnya.
"Biar saja. Aku malas."
Yahh, memang seperti itu sifat pangeran satu ini. Sifatnya begitu berbalik dengan Blaze. Pangeran satu ini pendiam, kalem, malas bergerak dan tidak pedulian. Seolah-olah semua yang ada di dunia ini membosankan.
Jika Ice mau, dia bisa saja menghentikan Blaze dari setiap keonarannya karena faktanya Blaze sangat penurut atau lebih tepatnya sangat memanjakan Ice hingga semua perkataannya Blaze turuti. Tapi sekali lagi, Ice tidak punya niat atau semangat seperti itu. Melelahkan.
"Yang Mulia Raja tidak akan suka dengan laporan ini, Pangeran." Kata Tokasa mengingatkan.
Ice masih acuh "Ayah tidak akan tahu karena beliau bahkan tidak ada disini." Katanya tenang seraya kembali menyisip teh nya.
"Tapi pangeran, saya mendapat kabar bahwa Yang Mulia Raja telah kembali subuh tadi——"
"APA?!"
BRUHHHHH____
"UHOK-HOEK"
Jika ada satu hal di dunia ini yang bisa membuat dua pangeran bermasalah ini heboh adalah...
"AYAH SUDAH KEMBALI? TADI PAGI? KENAPA KAU TIDAK MENGATAKAN APAPUN TOKASA?!" raungan Blaze bergema di seluruh cafeteria Akademi.
Tokasa, yang sudah bersama pangeran kembar dari balita, menjawab kalem seraya membantu Ice membersihkan diri dari tumpahan teh, "Saya baru saja mengatakannya, Pangeran."
Kadang Blaze ingin sekali mencekik Tokasa kalau tidak ingat manfaat orang ini masih banyak.
"ICE! AYO PERGI!"
Blaze melompat ke sisi saudaranya dan langsung menariknya keluar. Dia sudah tidak peduli lagi dengan kakak kelas yang bernafas lega di lantai. Atau tatapan dan bisikan-bisikan para siswa yang sedari tadi menonton.
"Tokasa, kau punya waktu sepuluh menit untuk menyiapkan kereta sebelum aku menutup mulutmu dengan apel dan kujadikan sasaran anak panahku." Tanpa orang lain tahu sekujur tubuh Tokasa merinding. Tuan ciliknya yang suka tidur itu bisa sangat menyeramkan bila sudah kesal.
Tokasa menjawab dengan senyum professional, "Saya sudah menyiapkanya. Anda bisa langsung berangkat ke istana sekarang juga." Untung saja Tokasa sudah mengantisipasi hal ini.
"Kerja bagus Tokasa. Ayo Ice!"
Ice pasrah ditarik macam sapi oleh saudara kembarnya.
Cuma Yang Mulia Raja seorang yang bisa membangkitkan semangat kedua Pangeran.
Setelah dua minggu tidak bertemu dengan sang Ayah, Blaze dan Ice sangat menantikan kepulangan beliau. Mau orang terkejam sekalipun, Blaze dan Ice selalu merindukan sosok sang Ayah.
'Akhirnya Ayah pulang!!'
****
"Kau terlihat jauh lebih baik daripada yang kukira, Kak."
Mengalihkan perhatian sejenak pada laporan ditangannya, Halilintar melirik pada adik bungsunya, Gempa, yang bergegas menemuinya setelah mendapat kabar kepulangannya.
"Hm. Berkat 'usaha' dua orang tertentu, aku mendapat hari libur yang ternyata cukup menyenangkan." Halilintar berusaha sejujur mungkin mengatakan hal itu tapi ditelinga Gempa, kakak kembarnya itu seperti sedang bicara sarkasme.
Duke Gempa Vir Mechamato, atau sekarang Duke Gempa Earthvein. Bangsawan tertinggi dalam rantai sosial. Mengatakan Halilintar adalah orang paling bijaksana adalah salah. Diantara tiga pewaris tahta, Gempa adalah yang paling bijaksana dan waras.
Halilintar yang sempurna tapi dingin dan cuek. Taufan yang sempurna dan ceria tapi sering bermasalah. Gempa yang sempurna tapi ramah dan bijaksana.
Di zaman ketiganya kecil. Gempa adalah pemisah antara Halilintar dan Taufan. Dua saudara beda sifat itu pasti ada saja yang dipertengkarkan meski kebanyakan Taufan yang memancing emasi si sulung.
Kalau bisa, kursi Tahta Kekaisaran akan diberikan kepada Gempa saja. Tapi peraturan tetaplah peraturan. Anak tertua yang harus duduk dikursi tersebut. Lagi pula Gempa maupun Taufan juga tidak berminat menjadi raja. Selain tidak bisa membayangkan akan jadi apa Halilintar jika bukan menjadi raja, keduanya lebih senang mendukung dari balik layar.
Halilintar memang cerdas namun karena tempramennya yang tidak mudah ditebak, Gempa selalu bertugas menjadi tangan kedua nya. Selain itu, kakak sulungnya itu dari tahun ke tahun semakin terlihat tidak mempunyai motivasi hidup.
Datar dan dingin pada semua orang. Bicara seperlunya. Tidak suka senang-sennag. Hidupnya sangat membosankan hingga Gempa sering mendapat kabar Halilintar yang sering melewatkan waktu makan dan istirahat.
Karena itu, Gempa juga mempunyai tugas mengawasi Halilintar. Tidak ada yang bisa mengomeli Raja Neosantara kecuali Gempa seorang.
"Kau tahu niatku baik Kak Hal. Dua minggu yang lalu kau seperti ingin memusnahkan semua orang di depanmu jika aku dan kak Taufan tidak menyeretmu pergi."
Lihat? Mana ada di Kekaisaran ini yang berani bicara blak-blakan dan kurang ajar seperti itu didepan raja kecuali Gempa dan Taufan.
Halilintar menghela nafas, "Awal rencana aku akan menendangmu dan menghabisi Taufan setelah pulang dari berlibur. Tapi sekarang aku harus berterima kasih pada kalian." Ucapnya sambil tersenyum miring.
Mata coklat keemasan Gempa langsung memincing. Hidup bersama semenjak kandungan , membuat Gempa sangat peka pada perasaan saudaranya dan sekarang yang dilihatnya ini sedikit mengejutkan. Halilintar sedang...bahagia?
"Apa ini tentang gadis muda yang kau bawa? Siapa namanya tadi? Yaya?"
Halilintar meletakkan laporan dua minggu tanpa nya di meja. Atensi nya tertuju penuh pada adiknya yang ia tahu sedang menuntut jawaban atas eksistensi asing yang dibawanya ke istana.
"Gempa, masih ingat dengan ceritaku tentang seseorang yang menyelamatkan kita waktu kecil?" mulai Halilintar, dia melihat respon adiknya yang mengernyit dahi tidak paham dengan pertanyaannya.
"Iya aku ingat. Kau selalu berkata yang menyelamatkan kita bertiga adalah seorang perempuan aneh yang bisa terbang." Jawab Gempa sekenanya.
Jika ada kelebihan yang tidak Gempa miliki tapi Halilintar punya adalah ingatan Halilintar yang kuat. Kakak sulungnya bisa mengingat apapun dengan cepat dan akan membekas diotaknya selamanya. Jenius jika menggunaka istilah para professor.
Kejadian saat umur lima tahun, sejujurnya Gempa tidak terlalu ingat. Yang dia ingat hanyalah perasaan ngeri samar-samar saat tubuhnya terguncang hebat dan terpental kesana kemari dalam kereta. Waktu itu butuh sekitar enam bulan baginya dan Taufan untuk sembuh dari peritiswa traumatis tersebut.
Namun Halilintar tidak.
Sebaliknya, Kakak sulung nya itu justru mengoceh tentang sosok merah muda yang mengeluarkan mereka dari kereta yang hancur dan membawa ketiganya terbang dan menyerahkan mereka pada seorang pria baya di pemukiman terdekat. Disana mereka diberi pertolongan pertama.
Seorang perempuan. Bermata coklat. Berwajah kecil tapi cantik serta manis. Dan memiliki wangi cherry.
Jika tidak mengenal baik kakaknya, Gempa pikir Halilintar telah jatuh cinta.
Kakaknya yang cuek dan selalu diam tiba-tiba berubah menjadi sangat hyperactive seperti Taufan kala menceritakan sosok penolong misterius itu. Bahkan disaat Gempa dan Taufan menjalani perawatan psikologi, Halilintar justru memerintah semua orang untuk mencari sosok merah muda tersebut. Halilintar kecil benar-benar serius dan bertekad menemukannya.
Tapi ucapan Halilintar kala itu hanya dianggap khayalan semata.
Sosok merah muda yang bisa terbang?
Siapa yang percaya itu? Bahkan pria baya yang menolong ketiganya kala itu sudah mati tidak bisa dijadikan bukti.
Akhirnya setelah setahun Halilintar memendam harapan, si sulung kembali pada jalur hidupnya yang lurus. Tidak lagi mengatakan apapun tentang sosok merah muda atau bahkan keinginannya yang lain.
Tidak.
Sejak saat itu Halilintar begitu tertutup pada hatinya ataupun dunia.
Gempa sudah lama tidak melihat raut bahagia diwajah sang Kakak kembarnya.
"Dia adalah Yaya."
Apa?
"Ha...?" mulut Gempa menganga.
Halilintar mendecih melihat wajah konyol Gempa, "Yang menyelamatkan kita dulu adalah Yaya. Perempuan itu benar-benar nyata." Tukasnya menegaskan kata-katanya.
Tunggu-tunggu! Tiba-tiba Gempa merasa otaknya menjadi Pentium satu.
"Ha...?"
Halilintar jadi kesal. Wajah konyol Gempa sangat menyebalkan seolah dirinya sedang mengatakan omong kosong. Sebelah tangan Halilintar kemudian meraih sebuah pulpen bertabur emas miliknya, "Tutup mulutmu, Gempa! Sebelum aku menusuk tenggorokanmu dengan pulpen ini."
Gempa sontak tersadar dan buru-buru menutup mulut, "Oh!"
Gempa menggaruk tengkuk nya malu karena sadar sudah berekpresi konyol. Untung yang didepannya itu kakak nya sendiri.
"Yaya akan tinggal disini. Jadi jangan mempersulitnya atau menanyainya macam-macam. Katakan pada Taufan aku melarangnya menemui Yaya tanpa izinku." Ujar Halilintar kemudian.
Wajah Gempa kembali serius, "Tunggu Kak Hal. Aku tidak mengerti maksudmu tadi. Bagaimana bisa kau yakin dia orang yang menyelamatkan kita dulu? Ini bahkan sudah dua puluh lima tahun berlalu jadi bagaimana mungkin dia tidak menua sedikitpun?"
Benar. Tidak masuk akal bila Yaya tidak menua sedikitpun setelah dua dekade lebih. Halilintar punya pertanyaan yang sama tapi mengingat bagaimana usaha nya mempertahankan Yaya disisinya, Halilintar membiarkan masalah ini belakangan.
"Aku tidak mungkin salah mengenalinya, Gempa. Yaya benar-benar orang kucari dulu." Benar, Halilintar tidak salah mengenali orang. Bahkan Yaya sama persis seperti yang diingatnya.
"Jadi gadis itu bisa terbang?!" seru Gempa tidak percaya.
Halilintar mengangguk singkat, "Iya. Dia bahkan bisa membunuh beruang hitam dewasa dengan satu pukulan." Sudut bibir sang Raja Neosantara sedikit bergetar saat mengingat lagi kekuatan pukulan tangan mungil Yaya.
"APA? KAK MAKSUDMU?" kali ini Halilintar terkekeh dengan ekspresi terkejut adiknya.
"Aku tidak sengaja bertemu dengan beruang hitam yang keleparan dan hampir terbunuh jika Yaya tidak datang menyelamatkanku." Lagi. Halilintar punya hutang dua nyawa pada Yaya sejauh ini.
"KAU HAMPIR TERBUNUH BERUANG LIAR TAPI AKU TIDAK MENDAPAT KABAR APAPUN?!"
Halilintar langsung menyesal memberi tahu. Ia sendiri yang menyuruh seluruh bawahannya tetap bungkam pasal kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya kepada siapapun.
Khususnya pada Gempa.
"Aku baik-baik saja." Halilintar berkata seyakin mungkin.
"MANA ADA BAIK-BAIK SAJA! OH ITU! ITU KAKIMU KENAPA KAK? MEMAR? TERKELIR? BAGAIMANA..."
Perlahan punggung Halilintar meluruh pada sandaran kursinya. Kedua jari telunjuknya menutup masing-masing telinga seraya matanya menatap malas pada Gempa yang berkoar-koar seperti burung beo. Berisik.
"KAK HALILINTAR! DENGARKAN AKU—AH!" Gempa memegang kepalanya seketika.
Berteriak marah-marah di usia kepala tiga memang tidak mudah. Kadang Gempa tidak sadar umur jika sudah bersama kakak-kakak kembarnya. Mereka seperti anak kecil dalam wujud orang dewasa dan Gempa selaku yang sedari dulu paling dewasa mentalnya merasa bertanggung jawab untuk khawatir dan mengingatkan mereka ke jalan yang benar.
"Ini minumlah." Halilintar menyodorkan segelas air yang langsung disambar adiknya. Melihat Gempa yang tergesa-gesa minum lalu terengah-engah seperti orang selesai lomba lari, Halilintar kemudian menepuk kepala sang bungsu pelan.
Gempa mendongak dan terdiam menatap senyum tipis diwajah kakaknya.
"Aku tahu kau pasti jadi cerewet dan berisik jika tahu aku hampir mati..."
"Kak Hal!" protes Gempa.
"...tapi aku sungguh tidak apa-apa. Berkat Yaya aku selamat dan bisa kembali pulang. Terima kasih sudah khawatir, Gempa."
Oh...?
Sejak kapan Halilintar yang selalu diam dan minim ekspresi itu bisa mengatakan sesuatu yang mengandung bawang? Bernarkah ini kakaknya? Bukan makhluk asing atau hantu yang menyamar?
TAK
"Aduh..."
"Jangan berpikir macam-macam." Kata Halilintar datar seakan tahu yang dipikir adiknya lalu kembali ke kursi kerjanya.
Tanpa sadar Gempa mempoutkan bibir seraya mengusap dahi yang merah. Orang di depannya benar-benar kakaknya Halilintar. Sentilan maha kuat itu cuma dia yang memilikinya.
"Keluar Gempa. Jangan mengganggu ku."
Hebat! Sekarang dia diusir?. Orang itu benar-benar kakaknya. Kejam!
"Kak Hal, tapi aku belum——"
BRAK
"YANG MULIA!"
BRAK(2) "BISA KALIAN TIDAK BERTERIAK? BERISIK!" murka sang Raja geram. Gempa berjengit kaget dan sedikit mengkerut karenanya.
Halilintar bukan penyabar. Garis kesabarannya pun sangat pendek. Dia dia sudah menahan emosi dari Gempa mulai berteriak padanya. Dan saat butler malang, Gopalji, mendobrak pintu lalu berteriak dengan suara melengking, Halilintar mencapai kesabarannya.
"Eh?—Maaf kelancangan bawahanmu ini Rajaku. Hamba pantas mati!"
Dan sekarang Halilintar tambah kesal dengan Gopalji yang malah bersujud meminta ampun.
"Sudahlah! Ada apa, Gopal?" Halilintar mengambil cangkir teh miliknya yang tidak tersentuh semenjak Gempa masuk keruangannya.
"Kabar buruk, rajaku."
Secara tiba-tiba perasaan buruk melanda batin Halilintar.
"Kereta Yang Mulia Pangeran Blaze dan Pangeran Ice yang hendak ke istana diserang orang-orang tidak kenal dan sekarang keberadaan mereka tidak diketahui, Rajaku."
PRAK___
Cangkir teh tidak bersalah hancur berkeping-keping bersamaan dengan wajah Halilintar yang tenggelam dan mengerikan.
Benar-benar mengerikan.
End of Chapter
Hai! Hai!
Maafkan chapter ini tidak ada scene HaliYa karena kebutuhan cerita chapter depan. Jadi terus nantikan kisah ini, heheh.
Jangan lupa bantu Vote and Comment. Follow Author juga biar mantap. Hehe, Terima kasih^^
Ellena Nomihara. Selasa, 13 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro