Chapter 29 "Bertemu Boboiboy"
Jangan lupa Vote ya...
Masih di hari yang sama. Menjelang sore saat matahari perlahan bergerak menuju peraduannya di barat, Yaya, sang calon ratu Neosantara yang tidak boleh keluar dari kamarnya, mengha-biskan sore di balkon kamarnya.
Itu pun setelah Yaya susah merengek kepada Halilintar untuk membuka pintu balkon yang di kunci rapat. Untungnya pria itu luluh dan memberi izin. Kini dengan di temani tiga maid, Yaya menikmati waktu santainya sembari minum teh dan cemilan.
"Alice."
"Saya, Yang Mulia?" seorang maid bernama Alice menjawab tanpa mengangkat wajahnya.
Yaya yang di panggil dengan sebutan kehormatan 'Yang Mulia' sebenarnya risih. Ada sesuatu dalam dirinya kalau dirinya tidak semulia itu hingga di panggil demikian. Tapi memikirkan dia akan menikahi Halilintar, Raja Kekaisaran Neosantara, Yaya kehabisan alasan membuat para maid memanggilnya dengan santai.
"Sudah berapa kamu bekerja di istana?" tanya Yaya.
"Saya baru bekerja di istana selama satu tahun Yang Mulia." Jawab Alice.
"Kalian berdua juga?" kini pertanyaan Yaya beralih pada dua maid lainnya.
"Menjawab Yang Mulia. Kecuali kepala maid, Nyonya Bianca, semua pelayan yang melayani anda baru bekerja setidaknya satu tahun." Jawab Robin, dan satu lagi temannya bernama Luna.
"Hmm belum lama ya? Kalau begitu ceritakan semampu kalian saja soal saya dan Kak Lin." Pinta Yaya.
Mendengar hal itu, serentak ketiga pelayan menegang.
"Maaf Yang Mulia, pelayan ini tidak mengerti maksud anda." Alice membalas sopan.
Pada dasarnya Yaya adalah gadis yang jeli. Dia tahu ada yang salah dengan dirinya, karena percaya atau tidak, Yaya sendiri mulai meragukan identitas dirinya sendiri. Yaya yakin tidak hilang ingatan, tapi seakan ada barrier yang menghalangi nya mengakses informasi dalam otaknya.
Siapa orang tuanya? Dimana Yaya berasal? Apa dia punya kerabat? Lalu orang-orang dalam mimpinya, siapa mereka? Yaya selalu ingin mena-nyakan ini kepada Halilintar tapi saat berhadapan langsung dengan sang kekasih, Yaya merasa semua tentang dirinya tidak penting. Yang paling penting adalah dia bahagia dengan Halilintar.
Karena itu pula perlahan Yaya menyadari bahwa dia terlalu lemah terhadap Halilintar dan memutuskan mengorek pada sumber lain. Siapa di istana ini yang bisa Yaya korek informasinya? Tentu saja para pelayan ini.
"Saya tahu kamu tidak bodoh. Saya hanya bertanya bagaimana saya pertama kali memasuki istana?" kali ini Yaya menatap dalam ketiga pelayannya, "Tolong jawablah jujur. Saya benar-benar butuh jawaban atau saya akan gila."
Mendengar suara memelas junjungan mereka yang baik hati, ketiga pelayan menjadi ragu. Mereka telah di beri perintah oleh Gopalji, Kepala Butler sekaligus Butler pribadi raja mereka, bahwa semua pelayan Yaya hanya perlu melayani Yaya dan di larang menjawab pertanyaan apapun bila gadis itu bertanya. Yang Mulia Halilintar sendiri yang berhak menjawab pertanyaan ratunya.
Tapi...entah kenapa mereka sedikit goyah. Gadis yang mereka layani ini nampak sangat berbeda setelah insiden keracunan kemarin.
Robin memutuskan menjawab, "Mohon maaf Yang Mulia, kami tidak berhak menjawab hal tersebut. Tapi saya bisa mengatakan anda cukup berubah dari pertama kali datang ke istana."
Baik, Yaya tidak bisa memaksa terang-terangan tapi bukan berarti dia menyerah, "Oh benarkah? Memang bagaimana saya waktu itu?"
Luna berganti berkata, "Anda masih sebaik hati sekarang Yang Mulia, hanya saja...anda sedikit enerjik." Pelayan itu sudah berusaha keras menggunakan padaan kata yang tepat tanpa menyinggung junjungannya.
"Oh ya? Ceritakan lebih jelas, energik seperti apa? Apa aku juga diperbo-lehkan keluar kamar?"
Yaya tahu ada yang aneh dengan otaknya. Dia tahu bagaimana di luar sana tapi di saat yang sama Yaya tidak ingat kapan dia pernah keluar dari kamar ini. Yaya ingin keluar tapi seolah ada tali yang mengikatnya Yaya tidak kuasa melangkah selangkah pun dari sini.
Mendapat respon positif junjungan-nya, para pelayan menjadi sedikit santai lalu bercerita, "Saat anda pertama datang, anda membuat kehebohan besar , Yang Mulia. Untuk pertama kalinya setelah Ratu Ayaniya wafat, Raja membawa seorang wanita ke istana." Ujar Alice.
Robin lalu menyambung cerita, "Seisi istana gempar waktu itu. Bertanya-tanya siapa gerangan wanita berun-tung itu karena sudah lama terdengar bahwa Yang Mulia Raja tidak tertarik menikahi wanita bangsawan mana pun."
"Terlebih Pangeran Kembar Blaze dan Ice juga alasan utama para wanita yang mendekati Yang Mulia Raja menjauh. Anak-anak Yang Mulia Raja berkata tidak ingin punya ibu baru." Sambung Luna.
Yaya terpangu sejenak. Mendiang Ratu Ayaniya? Satu-satunya wanita yang pernah di peluk Halilintar. Entah Yaya harus bersyukur atau tidak akan hal itu.
"Tapi Pangeran Blaze dan Ice nampak menyukai anda Yang Mulia. Anda sering menemani mereka bermain." Ujar Alice dengan senyum kecil.
Yaya mendengar kan dengan seksama. Dia mengangguk mendengar cerita tersebut tapi ada yang mengganjal, "Siapa Blaze dan Ice?"
DEG
Ketiga pelayan sontak mendongak serempak dan tanpa sadar menatap kaget calon ratu mereka.
"An-Anda tidak ingat Pangeran Blaze dan Ice?" Robin tergagap.
Yaya memejam kan mata. Sekilas ada bayangan rusak dua sosok bocah tampan bermata jingga dan biru tapi gambar mereka tumpang tindih dengan gambar bocah lain yang juga bermata jingga dan biru tapi dengan tambahan topi.
Yaya sedikit pusing tapi memaksa membuka mulut, "Aku...tidak yakin." Guman Yaya memijat keningnya.
Ketiga pelayan tersebut saling bertatapan. Mereka terkejut bahwa Yaya berkata tidak mengenal Pangeran Kembar padahal jelas-jelas mereka melihat sendiri calon ratu mereka menghabiskan waktu dengan anak-anak raja dan nampak akrab. Sejenak rasa merinding menjalar ke seluruh tubuh mereka.
Mereka berpikir...Apa yang terjadi dengan Yaya?
"Sedang apa kalian?"
Ketiga pelayan langsung terlonjak oleh suara yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Alice, Luna dan Robin segera menyingkir seraya membungkukkan badan saat mengetahui bahwa Raja mereka lah yang datang.
"Kak Lin!" Yaya berseru gembira saat melihat kekasihnya datang.
Dia bangkit cepat dan melempar tubuhnya pada pelukan Halilintar. Menyamankan diri di dada bidang pria itu yang memberi nya kenya-manan dan keamanan terbaik untuknya. Bahkan pusing yang tiba-tiba mendera langsung hilang.
Mendapati Yaya di pelukannya, mata merah Halilintar melembut. Dia mengecup mesra kening kekasihnya sayang dan memeluknya lebih erat. "Pergi."
Tahu bahwa itu adalah perintah untuk mereka, ketiga pelayan Yaya segera undur diri meninggalkan pasangan Kekaisaran tersebut.
Saat mereka akhirnya sendiri, Halilintar tidak menahan diri untuk mencium mesra Yaya. Memangut bibir kesukaannya rakus yang dibalas sama antusiasnya oleh Yaya. Lama mereka saling memakan bibir satu sama lain, Halilintar melepas ciuman mereka seraya mendesah puas.
"Apa kau menikmati waktu sore mu?" tanya Halilintar lembut seraya mengusap bibir bawah Yaya yang merah dengan ibu jarinya.
Yaya tersenyum manis, "Matahari sore sangat indah Kak. Saya menyukai suasananya. Terima kasih telah mengizinkan saya mengha-biskan waktu di sini."
Melihat Yaya yang senang bahkan dengan hal kecil tersebut, Halilintar mau tidak mau ikut senang, "Aku senang kau senang Ratuku. Bertahan sebentar lagi. Setelah menikah aku akan memberikan apapun di dunia ini untukmu." Kata Halilintar seraya duduk di kursi Yaya tempati sebelum nya dan memangku gadis cantik itu.
Yaya terkikik kecil, "Anda berlebihan. Saya hanya butuh Kak Lin untuk bahagia." Halilintar tersenyum kecil.
Di atas pangkuan sang pria, Yaya yang lebih tinggi bisa melihat dengan jelas struktur wajah kekasihnya. Halilintar benar-benar sangat tampan hingga Yaya selalu terpesona dengan jantung berdeban tidak karuan.
"Apa yang kau pikirkan?" suara Halilintar yang berat dan dalam mengalun merdu seolah menggoda Yaya untuk melakukan sesuatu pada pria itu.
Yaya menyatukan kening keduanya, "Saya berpikir kalau anda sangat tampan Kak. Apalagi bila tersenyum." Seolah ingin membuktikan ucapannya, Halilintar tersenyum lagi hingga Yaya merasa sedikit tercekat.
"Aku setampan itu?" tanya Halilintar menggoda. Kedua tangan besarnya mengusap halus punggung kekasihnya.
"Hm hm...setampan itu." Jawab Yaya yakin.
"Jadi Ratu ku ini hanya menyukai wajahku ya?" lagi - lagi Halilintar bertanya dengan suara menggoda. Dia menegakkan punggugnya, mendorong lembut Yaya dengan kening masih bertaut.
Tanpa sadar bibir Yaya berpout kecil, "Saya tidak menampik saya suka wajah tampan anda, Kak Lin." Halilintar tertawa mendengar jawaban polos calon istrinya.
"Astaga Yaya. Kamu sangat menggemaskan."
Setelah berkata demikian Halilintar kembali mencium Yaya. Membuka bibir kecil itu dengan mudah dan menguasai mulut dalam kekasihnya.
Yaya yang diserang segera menye-suaikan diri. Kepala nya tertoleh ke kanan dan ke kiri mengikuti alur ciuman Halilintar yang memabuk-kan. Tangannya melingkar pada leher sang raja dan sesekali melengus tengkuknya.
"Ugh...aku tidak sabar untuk memiliki mu Yaya." Ciuman Halilintar beralih pada pipi, turun mengecup halus rahangnya dan menjilat senang hati leher Yaya yang memang tidak memakai penutup kepalanya. Tak segan Halilintar menorehkan bekas merah di leher Yaya. Layaknya penjantan menandai pasangannya.
"Ugh..." Yaya hanya bisa bertahan.
Meski sedari tadi alarm otaknya berbunyi nyaring dan menyuruhnya mendorong Halilintar tapi tubuh nya tidak mendengarkan. Seolah dia sudah menjadi milik sang Raja hingga Yaya tidak kuasa menolak sentuhan intim Halilintar.
"Ka-Ka-Tunggu..." suara Yaya bergetar samar.
Gadis itu tanpa sadar panik dan mencengkram tangan Halilintar yang mengelus pahanya sensual. Hampir saja tangan nakal itu menyentuh milik Yaya yang paling rahasia bila dia tidak mencegah.
Halilintar menarik diri dari leher Yaya. Meski dia agak kesal di hentikan tapi dia tidak marah. Yaya adalah seorang gadis. Tubuhnya tidak terbiasa dengan sentuhan asing seorang pria. Karena alasan itu pula Halilintar bersikap intim dengan Yaya agar saat malam mereka menyatu Yaya tidak akan menolak.
Tidak apa-apa. Tiga hari lagi dan Halilintar akan memiliki Yaya seutuhnya dan mencintai nya sepanjang malam.
"S-Saya punya permintaan." Ujar Yaya tergagap lembut. Gadis itu sedikit menggigil kala mengingat tadi jari Halilintar sempat mengelus miliknya sebentar sebelum Yaya tepis.
Alis Halilintar terangkat "Apa itu?"
Memulas senyum semanis mungkin, Yaya berkata, "Saya ingin keluar. Melihat suasana ibukota."
Oh itu, tentau saja jawaban Halilintar adalah, "Tidak." Bahkan dia tidak berpikir dua kali untuk menolak.
Sayangnya Yaya tidak menyerah. Dia mendekatkan wajah nya dan mencium Halilintar lalu melepasnya, "Saya mohon Kak. Saya ingin merasakan suasana diluar kamar ini."
Dari balkon kamarnya Yaya melihat dari jauh aktifitas penduduk ibu kota KokoTiam. Nampak ramai dan menyenangkan. Yaya ingin sekali jalan-jalan di sana.
Mata merah Halilintar sedikit terpangu sejenak, "Hm Tidak."
Tapi kemudian Yaya menciumnya lagi, "Saya mohoooonnnnn..."
Kali ini Halilintar tidak berkata apapun dan memandang lurus gadisnya.
Merasa belum berhasil, sekali lagi Yaya mencium bibir Halilintar. Kali ini gadis itu sengaja menggigit bibir bawah pria itu. Tidak tahan dengan godaan semanis itu Halilintar meraih sisi wajah Yaya dan tengguk nya lalu mengambil alih pangutan tersebut. Ciuman itu akhirnya berlangsung lebih lama karena Halilintar tidak membiarkan Yaya lari dan terus menghisap lidah nya.
"Aku kalah. Bersiap sekarang, kita akan keluar setengah jam lagi."
Yaya yang nafasnya terengah tidak menahan diri berseru gembira,"Yeay!"
Halilintar ikut tertawa melihat Yaya senang dan mencium nya sekali lagi.
.
.
.
"Waahh...sangat banyak orang, Kak Lin."
"Hati-hati Yaya."
Halilintar sedikit kewalahan dengan tingkah Yaya yang sangat besemangat. Tepat mereka sampai di alun-alun tangah kota, orang-orang sibuk dengan berbagai macam aktifitas. Tapi yang mencolok adalah persiapan Festival Raya yang akan di mulai tiga hari lagi.
"Kenapa sangat ramai di sini?" Yaya memandang takjud orang-orang itu. Sekian lama tidak keluar kamar, Yaya jadi menjadi sangat norak.
"Mereka sibuk menyiapkan Festival untuk merayakan hari pernikahan kita." Jawab Halilintar sabar. Di saat seperti ini terlihat jelas Yaya memang masih remaja dan harus Halilintar akui sisi ini menggemaskan juga. Puji Tuhan Halilintar awet muda kalau tidak orang-orang akan menyangka mereka berdua adalah Ayah dan putrinya.
"Wah, benarkah?" Yaya tidak tahu pernikahannya akan di rayakan oleh seluruh penduduk ibu kota. Tapi setelah dipikir lagi yang akan jadi suami nya adalah seorang Raja jadi seperti nya memang begitu aturan nya.
"Iya, karena itu jangan jauh-jauh dariku kalau tidak mau tersesat. Sulit mencari di antara orang-orang ini." Ujar Halilintar menggengam erat tangan Yaya.
Dia juga membenarkan tudung kepala Yaya untuk menutupi rambutnya yang sekarang cuma tertutup selendang longgar. Halilintar tidak boleh kehilangan Yaya di kerumunan ini.
Tiba-tiba Yaya memekik pelan, "Kak Lin, ayo coba itu." Sebelum Halilintar menjawab dia sudah di tarik Yaya menuju ke pedagang makanan.
Sore itu hingga langit menjadi gelap di habiskan Yaya dan Halilintar untuk mencoba segala macam makanan dan permainan. Atau lebih tepatnya Yaya yang makan dan bermain sedangkan Halilintar yang membayar.
Mau bagaimana lagi Yaya kan tidak punya uang.
Puas mencoba semua makanan, Yaya beralih menarik Halilintar ke kios-kios yang berjajar. Kebanyakan kios menjual pernak-pernik dan perhiasan murah yang kualitasnya bagus. Yaya sedikit menyesal membawa Halilintar ke sana lantaran pria itu ingin membeli semua barang yang di sentuh Yaya karena menurutnya calon istrinya itu sangat cantik saat menggunakannya. Pada akhirnya Yaya harus menarik Halilintar pergi dari sana.
"Huaahhh..." Yaya menarik tubuhnya keatas-merenggangkan diri.
"Sudah puas?" Tanya Halilintar seraya mengusap keringat dari dahi kakasihnya.
Yaya mengangguk senang, "Puas banget. Kapan-kapan kita harus ke sini lagi Kak." Ungkap Yaya tidak sadar menggunakan bahasa ibunya.
Halilintar mengangguk. Selama Yaya senang dia juga senang. Tapi Halilintar tidak janji akan menepati-nya di waktu dekat karena dirinya yakin setelah menikah mereka berdua tidak akan sempat keluar kamar. Lagi pula Halilintar sudah berencana membuat Yaya tidak turun dari ranjang pengantin mereka selama seminggu.
"Apa kau haus?" Tanya Halilintar saat melihat Yaya mengelus tenggorokannya yang penuh keringat.
Yaya mengangguk, "Iya, sedikit."
Sekarang keduanya berada di sebuah kursi di bawah pohon yang tidak jauh dari alun-alun kota. Tempatnya itu sepi tapi masih di lingkupi cahaya temarin dari lampu jalan. Halilintar pikir tidak apa-apa meninggalkan Yaya sebentar.
"Tunggu di sini. Jangan kemana-mana!" perintah Halilintar.
"Baik Yang Mulia." Jawab Yaya main-main seraya tertawa kecil karena Halilintar mencubit gemas pipinya baru berlalu pergi.
Sejenak Yaya sendiran di bangku taman, Gadis itu menatap langit yang cerah dengan banyak bintang bersinar.
"Bintang...bagaimana bentuk aslinya ya?"
"Bintang adalah sumber panas kecil. Sifatnya seperti matahari tapi lebih redup dan suatu saat akan meledak dan membentuk bintang yang baru."
DEG
Yaya tercekat. Tangannya memegang kepalanya yang mendadak pusing dan jantungnya yang berdetak cepat.
"A-A-Ap-Apa itu...???"
Apa yang baru saja masuk ke otaknya? Teori sebuah bintang? Dari mana Yaya memiliki pengetahuan tersebut?
"Yaya?"
DEG
"Terbaik lah Yaya."
"Ah tak apa Yaya, aku kan kuat."
"Terima kasih Yaya."
"Eh yaa memang sedap lah biskuit kau ini Yaya, hehe."
"Yaya..."
"Yaya..."
"Yaya..."
DEG
Suara ini... Yaya kenal suara ini. Alam bawah sadarnya mengenalinya.
Perlahan dia berbalik dan memandang seorang pemuda seumurannya memakai celemek sedang berdiri tidak jauh darinya.
Rambut pemuda itu beranyakan denga sejumput warna putih di poninya. Lalu matanya...berwarna coklat yang sangat familiar.
"BANGUN!"
DEG
"Aghh!"
"Yaya!"
Yaya yang tiba-tiba merasa sentakan menyakitkan dari dadanya terjatuh namun sebelum menghantam tanah pemuda itu sudah berada di belakang nya dan menahan tubuhnya.
"Astaga Yaya, apa yang terjadi padamu?" Pemuda itu bertanya panik.
Dia membuka tudung kepala Yaya dan sedikit terpaku saat melihat helaian rambut Yaya yang nampak jelas karena cuma di tutup selendang longgar.
"Akh...Sakit...dada sakit banget...kepalaku..." Yaya merintih kesakitan seraya mencengkram kuat dimana jantungnya berada. Kepalanya yang berdenyut tidak membantu sama sekali.
"Ssttt...tidak apa-apa. Aku akan menolongmu Yaya." Dengan mudah Pemuda itu mengangkat Yaya. Yaya tidak memberontak karena selain rasa sakit itu, dia tidak merasa pemuda itu berbahaya.
Saat pemuda itu akan berjalan tiba-tiba sebuah suara menghentikan nya di barengi dengan benda tajam dingin di lehernya, "Lepaskan perempuan itu atau kau mati. " suara itu sangat dingin dan berbahaya.
Pemuda itu melirik dari sudut matanya dan melihat pria asing namun berwajah familiar berbusana hitam layaknya bayangan, "Coba saja jika kau bisa menghentikan ku."
Lalu dalam sekejab pemuda itu menghilang meninggalkan kilatan cahaya kuning mengabur. Aksinya membuat sang pria bayangan paling hebat kepercayaan Raja Neosantara, Pang, termangu tidak percaya.
"Apa-apaan ...?" guman Pang masih belum bergerak dari tempatnya.
.
.
.
End of Chapter
Saya enggak bakal banyak omong. Saya cuma mau bilang Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk seluruh umat Islam.
Btw chapter selanjutnya alias Chapter 30 sudah saya buat dan tinggal update aja. Tapi yaaa saya akan menungu dan melihat seberapa antusias kalian readers dengan cerita ini. Hehe...
Bisa tembus 100 Vote saya langsung update. Kalo enggak, saya tetep update kok cuma pas mau aja, wkwkwk.
Chapter 30 "Penjelasan Pangeran Kenbar"
Sampai jumpa.
Salam hangat.
Ellena Nomihara. Selasa, 03 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro