Chapter 23: Empat Tahanan Kurang Ajar dan Sakit Dalam Gelap
Jangan lupa Vote dulu yaaa~~
Sorry for TYPO
Mata merah Halilintar tidak melepas satu gerakan saat dokter terbaik istana mengerjakan tugasnya. Tengah malam, ruangan Yaya yang harusnya sepi kini ramai oleh para medis dan para maid. Semuanya bekerja tidak kenal waktu demi gadis muda yang masih belum bangun dari ketidaksadarannya.
Lalu setelah memberikan suntik, sang dokter mengelap dahinya yang berkeringat. Dengan hati-hati dokter tersebut beranjak dari samping Yaya dan membiarkan bawahannya membereskan pekerjaannya sementara dia menghampiri sang raja.
"Rajaku."
"Hn."
Sebisa mungkin dokter yang sebentar lagi berusia lima puluh tahun itu menekan suara agar tidak bergetar. Tapi siapa yang tidak gentar bila berhadapan dengan Halilintar yang mengeluarkan aura dingin dan hitam.
"Kondisi nona Yaya perlahan membaik Rajaku. Saya sudah mengeluarkan lima puluh persen lebih racun dalam tubuh nona. Saya jamin nona Yaya akan baik-baik saja." Ujar sang dokter tidak berani menatap langsung mata merah Halilintar.
"Kenapa tidak kau keluarkan semua racun itu dari tubuhnya?" suara Halilintar terasa sangat dingin hingga menjalar sampai ke tulang.
Sekali lagi si dokter menunduk, "Ampun Yang Mulia, racun halus tidak bisa dikeluarkan seluruhnya dalam sekali waktu. Karna seperti seperti namanya racun halus tidak terlihat dan sulit untuk menyembuhkannya."
Jawaban salah. Seharusnya dokter malang itu tidak mengatakan apapun yang menjurus pada kondisi sang pujaan hati yang kritis. Sekarang dokter baya tersebut harus menerima ganjaran sakit berupa cekikan kuat dilehernya.
Tidak ada yang berani menghentikan Halilintar. Semua yang berada satu ruangan dengan sang raja gentar dengan aura kejam, gelap dan dingin junjungan mereka. Sedang sang dokter malang harus mendera terror yang teramat menakutkan saat mata merah rajanya menatap dingin kepadanya.
"Sembuhkan calon istriku atau kepala mu yang akan jadi bayarannya...dokter."
Lalu setelah cukup memberi peringatan Halilintar dengan acuh melempar tubuh dokter tersebut. Kemudian tanpa kata dia meninggalkan ruangan Yaya. Sang raja agung Neosantara sama sekali tidak peduli dengan keterkejutan semua abdinya yang mendengar ucapannya.
'Ca-calon istri? Berarti...Calon Ratu Neosantara!
Dan berita itu segera berhembus cepat di dalam istana.
.
.
.
Masalah Yaya yang terbaring pucat karena keracuna sudah cukup membuat Halilintar gila. Pang masih belum menemukan pelaku peracunan tersebut meski Halilintar mencurigai satu orang. Ditambah kedua putranya yang tidak berhenti merengek ingin menemani Yaya dalam ruangannya.
Tapi dari semuanya, ada masalah lebih besar.
Meski melangkah dengan tenang, ketukan setiap langkah yang diambil sang raja agung itu tersirat ketegangan yang bisa dirasakan oleh Gopalji dan kesatria miliknya.
Kedua orang itu tidak berani bahkan untuk menatap punggung lebar sang raja. Terlalu mengintimidasi meski dari belakang. Keduanya merasa kasihan pada siapapun orang malang yang kedapatan langsung menatap mata sang raja.
Tiba di ruang pribadinya, dua pengawal yang menjaga kamarnya menunduk hormat dan membukakan pintu tanpa kata. Gopalji bergerak cepat dengan menekan sebuah tuas hingga salah satu rak buku besar di kamar itu bergeser. Kesatria Halilintar menatap pintu itu terbuka setelah menutup pintu ruangan rajanya.
Segera pintu tersembunyi itu terbuka, suara-suara teriakan terdengar nyaring.
"WOY! LEPASKAN KAMI! LEPASKAN!"
"HA'A! APA SALAH KAMI SAMPAI-SAMPAI DIKURUNG MACAM INI?!"
"HUHUHU AMMA!APPA!"
"Oi! Bising lah!"
Dahi Halilintar mengerut. Dia menatap tidak suka pada empat orang remaja yang berada dibalik jeruji besi. Yap, tidak pernah ada yang tahu bahwa di kamar pribadi Halilintar terdapat sebuah ruangan rahasia yang fungsinya sebagai penjara. Sudah ada sejak dulu omong-omong. Dan karena itu Halilintar tertolong karena dia sangat tidak ingin empat orang di dalam sana keluar dan menimbulkan huru hara bagi penghuni istana yang lain.
BANG
Kesatria sekaligus pengawal Halilintar, Alli, memukul jeruji besi dengan pedangnya, "Diam! Kalian sedang berhadapan dengan Yang Mulia Raja Halilintar. Tunduk dan hormati beliau." Gertaknya dengan tidak ramah.
Empat tahanan itu terdiam. Halilintar pikir mereka akhirnya tahu dengan siapa mereka berhadapan dan memikirkan baik-baik bagaimana mereka berbicara tapi angan-angan nya teramat salah.
"Ha?"
"Halilintar?"
"Raja?!!"
"Hee..."
Perempatan urat muncul begitu saja pada dahi Halilintar. Respon empat tahanan rahasinya itu tidak banyak tapi kenapa Halilintar merasa sangat terhina?
Terlebih dengan satu bocah itu. Yang mengenakan busana aneh serba kuning. Berekpresi datar tapi juga congkak.
Yang paling mengesalkan? Wajah bocah kurang ajar itu sama persis dengan dirinya. Seolah-olah bocah itu saudara kembarnya atau bahkan anak nya. Tapi Halilintar yakin bocah kuning itu-dan bocah lainnya yang juga mirip dengannya dengan baju putih- Halilintar yakin keduanya bukan keturunan Mechamato.
"Kalian-"Alli juga merasa empat orang itu menghina rajanya bersiap memberi hukuman. Namun Halilintar menghentikan aksi pengawalnya dengan satu gerakan tangan. Sang pengawal mundur dengan kepala menunduk patuh.
"Aku memiliki pertanyaan untuk kalian. Aku ingin kalian menjawabnya."
Basa basi bukan gaya Halilintar. Dirinya memang bisa tapi membuang nafas untuk menghadapi bocah-bocah kurang itu, Halilintar merasa hanya akan mempercepat kematiannya.
"Woah! Fang, lihat! Kecuali tubuhnya yang lebih besar, Halilintar ini mirip sekali dengan Boboiboy Halilintar." Celetuk satu bocah paling besar dan hitam. Sedari tadi bocah tambun itu memang tidak berhenti memandang Halilintar seolah dia adalah hewan langka yang hampir punah.
"Hmm...mirip sih. Tapi harus ku akui Halilintar ini lebih enak dipandang daripada Boboiboy." si kepala landak ungu ikut berkomentar.
"Biasanya aku setuju soal menghina si petir tapi kan wajahku dan dia sama, berarti kau juga mengejekku jelek, Fang?" ucap bocah yang mirip dengannya dengan warna putih.
"Kau merasa lebih jelek dari Petir, Cahaya?"
"Tentu tidak."
"Ya sudah."
"Haish, diam kalian berdua." desis si bocah dengan baju kuning menatap tajam pada Cahaya dan Fang.
"Kalian..."
Sudah cukup. Halilintar muak dianggap kasat mata bak udara.
Empat remaja kurang ajar itu akhirnya beralih pada Halilintar saat suara milik sang raja terdengar rendah dan menusuk. Mereka tanpa sadar menelan ludah lantaran tatapan pria dewasa itu menakutkan.
"...teman-teman Yaya. Aku benar?"
Keempat tahanan mengangguk bersama.
"Gopal, Fang dan kau..." Mata merah Halilintar menatap dua kembar yang terlihat sekali bertolak belakang. "Siapa diantara kalian berdua yang bernama Boboiboy?" tanyanya.
Dua orang itu berpandangan lalu menatap Halilintar dan berkata, ""Kami Boboiboy"" ucap mereka bebarengan.
Alis Halilintar terlipat. Dia yakin Yaya tidak mungkin menyukai orang sekaligus dan meski mereka berdua kembar keterlaluan sekali mempermainkan raja seperti itu.
"Aku peringatkan kalian. Dengan sekali perintah, aku bisa membuat kalian menderita. Jadi jawab pertanyaanku dengan sungguh-sungguh!" ujar Halilintar tegas dan tidak main-main. Ucapannya mengungkapkan bahwa bila selanjutnya Halilintar tidak puas dengan jawaban mereka berempat, Halilintar tidak segan menurunkan hukuman berat.
Sekali lagi, dua orang berwajah sama itu berkata serempak, ""Siapa yang main-main? Kami ini memang Boboiboy.""
Gopal menyerobot dan menimpali dengan semangat, "Tuan Raja, mereka berdua ni memang Boboiboy. Nah yang kuning-kuning, topi ke depan dan wajah garang ini Boboiboy Petir. Kalau yang topinya miring dan wajah dia sombong sok pintar ini Boboiboy Cahaya."
Tak cukup memperkenalkan Petir dan Cahaya, Gopal mengenalkan dirinya sendiri dengan muka minta ditampar.
"Ah Ah Kalau nama saya Gopal Kumar. Sahabat terbaik Boboiboy. Terakhir yang pakai kacamata dan rambut landak ungu ituuu Fang, dia bukan manusia, cuma mirip saja. Aslinya dia itu alien. Fang ini selalu menganggap dia itu hebat-aslinya, mehh, Boboiboy dan Abangnya lebih hebat. AHAHA-ADOW!"
"Apasal kau beri tahu pasal kita pada orang lain begitu sahaja?" (Aku gx bisa bahasa Malaysia jadi kalau salah maafkan:'( )
"Halah. Cemburu dan kesal lah tuuu." Ejek Boboiboy Cahaya pada sang sahabat landak.
"Apa kau kata!"
"Kalian bising-"
BANG!
Hantaman benda dengan jeruji besi penjara kembali mengaum. Kali ini lebih nyaring dan memekakkan telinga. Empat remaja yang selalu mudah melupakan sekitar melirik pada Halilintar yang kini ditangannya ada pedang yang sudah keluar dari sarungnya.
"Selanjutnya yang bicara tanpa diminta akan kupisahkan kepala dari tubuhnya."
Glup. Gopal, Fang, Cahaya bahkan Petir bergidik ngeri dengan tampilan Raja Halilintar yang menakutkan. Sudah jelas raja satu ini tidak menyukai kedatangan mereka yang tiba-tiba jatuh di ruang pribadinya. Dan entah apa sebabnya, pria itu benci sekali dengan Boboiboy.
Sekarang, daripada kepala menggelinding, lebih baik tutup mulut saja.
"Pertanyaan terakhir. Untuk apa kalian kemari?"
Kali ini mereka berempat saling lirik. Banyak gelengan dan sikutan. Mereka kembali bertingkah konyol hingga Halilintar hampir tertarik untuk menebas mereka semua saja. Biar cepat selesai.
Kemudian Boboiboy Petir akhirnya maju. Dia berdiri-sedikit mendongak menatap raja Halilintar. Meski takut, Petir sangat bagus menyembunyikannya hingga bisa menatap sang raja dengan cara kurang ajar.
"Bicara, Boboiboy Petir." Ada nada remeh saat sang raja mengucapkan nama sang persona.
Petir, yang peka dan tidak tuli, kini hilang ketakutannya dan memandang raja Halilintar dengan pandangan menantang.
"Heh...untuk apa kami kesini? Tentu saja untuk menjemput kawan kami."
"Yaya Yah, bagi tahu kami, dimana kawan kami berada?"
.
.
.
.
.
Yaya merasa tubuhnya melayang.
Bukan terbang. Ini bukan perasaan terbang sebagaimana biasa dia lakukan.
Seperti...ini seperti melayang dalam ruang hampa. Terombang-ambing tanpa angin.
Gelap.
Tidak ada siapa-siapa.
Hanya ada dirinya seorang. Yaya sendirian. Berbaring dengan kepala pening dalam ruang hampa yang gelap.
Ada apa dengan dirinya? Kenapa dengan tubuhnya? Tubuhnya berat dan kepalanya pusing seperti ditimpa berton-ton batu.
Tapi Yaya masih bisa mendengar.
"...Yaya..."
Seseorang. Siapa?
"...tidak....apa...kau...sembuh...bersamaku."
Yaya kenal suara itu. Itu milik sahabatnya sekaligus laki-laki yang mencuri hatinya. Boboiboy.
'...Boboiboy...'
"...ssssssttttttt..."
Oh?Apa Yaya mengatakan nya terlalu keras. Tidak Boboiboy. Pergi. Jangan dekat-dekat dulu.
"...Tidak ada yang lebih kuinginkan kecuali kau Yaya, penyelamat jiwaku. Aku menunggumu. Sangat lama. Lama sekali."
Kenapa menungguku? Aku selalu bersamamu Boboiboy. Kita tidak terpisahkan semenjak kau pindah ke Pulau Rintis.
"...sekarang kau disini. Berada dipelukanku. Kau milikku. Dan tidak akan kubiarkan orang lain, bahkan teman-temanmu mengambilmu dariku."
Yaya tidak mengerti. Suara Boboiboy terdengar sarat putus asa hingga Yaya ingin sekali bangun untuk menenangkannya. Tapi kemudian dia merasa tubuhnya dingin. Lalu hangat kembali.
Tapi kemudian sengatan teramat sangat mendera tubuh Yaya. Dia terusik. Sakit. Sakit sekali.
Apa yang menyerangnya? Rasanya seperti tubuh Yaya terbelah menjadi dua.
"..sssttt...tidak sakit Ratuku. Kita kini satu. Kau milikku sekarang."
Apa?
Kenapa?
Apa yang terjadi? Sakit.
Tolong berhenti.
'Aah-ah...'
End of Chapter.
A/N
Ehehehehhehehehehehe...
Jangan lupa VOTE and COMMENT. Follow juga Authornya biar makin mantap.
Sampai jumpa chapter depan
Salam Hangat
Ellena Nomihara. Kamis, 24 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro