Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 - Fashion Show

Aku terbangun karena alarm ponselku berdering. Kupaksa mata ini agar terbuka meski berat. Namun, aku harus tetap bangun agar tidak terlambat. Kulihat sela-sela tirai jendela, hari masih lumayan gelap. Memangnya apa yang kuharapkan di jam enam pagi, matahari yang sudah bersinar dan dengan senang hati membantu para tanaman berfotosintesis?

Tadinya posisi tubuhku miring ke sebelah kanan, dan setelah mematikan dering ponsel, aku mengubah posisi tubuhku menjadi telentang. Tanpa disengaja, lenganku menyentuh lengan Killian. Beruntungnya, dia tidak terusik sama sekali dan terus memperdengarkan dengkuran yang halus.

Semalam aku kesulitan tidur, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk meminta Killian menemaniku. Pria ini datang sendiri membawa laptopnya dan bertanya apa aku mencemaskan esok hari. Dia tahu aku akan memikirkannya, jadi dia berinisiatif menemani agar aku bisa tenang dan tertidur. Walau tak benar-benar berhasil karena dia sibuk bekerja dengan laptopnya.

Oh, sebenarnya aku lebih menganggap dia hanya sedang merasa bersalah karena perdebatan kami tadi malam.

Sudah sangat lama sejak kali terakhir kami tidur bersebelahan seperti ini. Waktu itu saat akan ujian masuk universitas. Sejak saat itu kami cukup sadar untuk tidak melakukannya lagi, selain karena pertambahan usia, peningkatan hormon juga bisa memicu terjadinya hal-hal yang mungkin akan kami sesali di kemudian hari.

Kupandangi wajah Killian yang terlelap lamat-lamat. Kebiasaannya saat tidur adalah mulut yang terbuka. Aku menggunakan telunjuk untuk mengatupkan kedua belah bibirnya, lalu kembali memandang wajah yang tidak pernah membuatku bosan itu.

Sekarang aku memikirkannya, apa jadinya kalau aku tidak mengenal Killian dulu? Apa yang akan aku lakukan sekarang kalau dulu tidak pernah dipeluknya di saat-saat sulit; bagaimana nasibku sekarang kalau dia tidak membantu mengajariku mengerjakan soal tersulit setiap ada tugas; apa yang kulakukan sekarang kalau saat itu dia tidak meyakinkanku bahwa peluang menjadi desainer di New York jauh lebih besar.

Aku sadar, pertanyaan-pertanyaan itu sudah mengartikan kalau aku telanjur bergantung pada Killian. Bahkan untuk hal sesepele makan saja masih ada campur tangannya. Mungkin aku sudah terbiasa dengan keberadaannya. Apa jadinya kalau dia pergi dari hidupku?

Menikah dan berakhir hidup berdampingan dengannya terdengar mengerikan, tetapi ide bercerai yang diutarakannya semalam pun tidak lebih baik. Meski sedikit, aku juga mulai mengkhawatirkan itu. Bagaimana seandainya dia sudah benar-benar jatuh cinta pada Gabby dan aku belum menemukan satu pun? Bukankah sama saja aku menghalanginya untuk bahagia?

"Mau sampai kapan memandang wajahku?"

Killian belum membuka matanya, tetapi dia sudah tahu aku melihatnya. Aku sama sekali tidak merasa malu sudah ketahuan memandangnya, karena dia adalah Killian, beda cerita kalau orang lain.

"Aku sudah bangun saat kau menyentuh daguku," ujarnya lagi, seperti orang mengigau, tetapi aku tahu dia sudah bangun.

"Mulutmu selalu terbuka dan aku tidak mau liurmu mengalir ke bantalku."

"Aku tidak tidur seperti itu," sahutnya membela diri.

"Aku hanya berjaga-jaga. Oke?" sahutku sembari menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku.

"Kau mau ke mana?" Killian meraih pergelangan tangan kiriku ketika aku baru menurunkan kaki dari kasur.

"Aku harus berangkat pagi, Killian. Kami dapat giliran gladi yang pertama dan tampil di urutan terakhir. Menyebalkan sekali aku harus menunggu selama itu."

"Sayangnya aku harus bekerja hari ini, tidak bisa menemanimu." Killian mengungkapkan rasa maafnya dengan mengusap punggung tanganku dengan jempolnya. Aku mengulum senyum karenanya.

"Kau tidak harus selalu melakukan itu untukku, Killian. Ada saatnya aku perlu melakukannya sendirian. Kau sudah berbuat terlalu banyak untukku. Jangan repotkan dirimu."

Aku baru memikirkannya sebelum Killian bangun dan sekarang sudah kuutarakan kepadanya. Terlalu cepat untuk diungkapkan sebenarnya. Tidak hanya aku yang merasakan keanehan ini, Killian juga. Dahinya berkerut dan matanya menyipit, seperti tidak bisa menerima ucapanku.

Killian bangun tanpa melepas tanganku. "Aku sama sekali tidak merasa direpotkan, Ana. Jangan buat dirimu merasa tidak nyaman. Aku senang membantumu."

"Seorang suami memang seharusnya mendukung istri, 'kan? Begitu pula sebaliknya. Aku tidak tahu apakah itu juga berlaku untuk pasangan yang menikah tanpa cinta. Dan aku perlu terbiasa melakukan semua hal sendiri dulu agar bisa melepasmu sepenuhnya kalau suatu saat kita bercerai."

Bagiku bercerai sama artinya dengan berpisah dan takkan memiliki relasi apa pun lagi. Bahkan persahabatan kami juga akan hancur. Aku sudah merasa sesak meski baru mengatakannya. Kalau tahu akan berakhir seperti itu, sebaiknya tidak usah menikah saja.

"Terlalu berat untuk obrolan pagi hari, Ana. Apa ini karena obrolan kita semalam?"

Aku mengedikkan bahu, tidak tahu dari mana asalnya sampai memikirkan itu semua. Benar kata Killian, masih terlalu pagi untuk merencanakan perpisahan.

Aku menarik tangan ketika genggaman Killian melonggar. Setelah itu buru-buru pergi ke kamar mandi. Waktuku terbuang jika terus mengobrol dengan Killian.

💍

Satu peserta lagi sebelum tiba giliran kami. Kami sudah mengurutkan busana yang akan dipakai oleh model. Kami menyiasatinya dengan memakai pakaian yang mudah dulu dan menempatkan busana yang agak ribet dipasang di akhir. Dengan model yang hanya tiga orang, tetapi harus memakai sepuluh busana, kami tentu harus pintar-pintar memanajemen waktu agar tidak ada jeda yang terlalu panjang saat pergantian model.

Emma berada di dekat pintu, belakang panggung, bertugas untuk memberi kode kapan giliran kami tiba. Sebenarnya pembawa acara tentu akan menyebut namaku, tetapi takada salahnya bersiap lebih dulu.

Awalnya aku yang berada di posisi Emma, tetapi setelah melihat hasil rancangan peserta lain, rasa percaya diriku menurun drastis. Tanganku saja sudah sangat dingin, mengalahkan AC yang berembus di sini. Aku tidak pernah setegang sekaligus segugup ini sebelumnya. Ini benar-benar mengerikan, nyawaku seperti akan dicabut kapan saja dan aku mau tidak mau harus siap.

Lantas Emma menyuruhku ke belakang dan dia yang menggantikan. Katanya mukaku terlalu pucat dan sangat tidak menyenangkan untuk dilihat. Sudah jelek, tidak berwarna pula, mungkin seperti itu yang ada di pikirannya.

"Relax, Ana. Kami akan membuat busanamu melambai pada mereka dengan indah. Percayalah, kami berpengalaman di bidangnya." Rebecca meremas bahuku dan tersenyum. Dia cantik sekali dengan riasan yang tidak terlalu mencolok, natural. Baju rancangan kami membalut tubuhnya dengan sempurna.

"Entahlah, Becca, aku selalu berusaha tetap tenang, tetapi para desainer itu sama sekali tidak tampak senang pada mahakarya milik peserta lain. Padahal semuanya bagus."

"Mereka selalu seperti itu, Ana. Tenang saja, oke?" Rebecca menepuk pundakku dua kali sebelum menyusul yang lainnya. Apalagi Emma sudah memberi isyarat agar mereka standby di dekat pintu.

Namaku sudah disebutkan. Luciana Pereira. Tiga model kami pun mulai berjalan di atas panggung catwalk. Aku bersyukur selama sepuluh menit selanjutnya dibuat sibuk membantu para model berganti pakaian. Aku jadi tidak ada waktu untuk melihat seperti apa reaksi para desainer yang menjadi juri.

Setelah busana terakhir ditunjukkan, aku harus ke atas panggung untuk unjuk diri. Panitia mengharuskan kami para peserta untuk melakukan itu. Aku memasang senyum terbaikku kepada para juri dan penonton di sana selama si pembawa acara memperkenalkanku. Nama, pengalaman, dan asalku disebutkan.

Lampu sorot hanya menyoroti panggung, hingga barisan-barisan belakang para penonton jauh lebih gelap. Kendati demikian, aku masih berhasil menemukan Killian di antaranya. Sosoknya benar-benar bersinar, kalau aku boleh jujur. Ugh, semua pujian untuknya itu membuatku lama-lama risi sendiri. Dia juga mengajak Gabby, dan mereka tampak mengobrol dengan serius. Entah mereka sadar aku sedang berdiri di depan sini atau tidak.

Si pembawa acara mempersilakan kami kembali ke belakang panggung. Selagi menunggu para juri berdiskusi, para model kembali berjalan menghiasi panggung catwalk dengan pakaian yang terakhir mereka kenakan. Sebelum aku sempat menyaksikan mereka, Emma sudah lebih dulu menarikku menjauh dari pintu.

"Duduk di sini, kita bisa bicarakan hal lain untuk mengalihkan pikiranmu dari hasil penilaian juri," ujar Emma seraya menekan bahuku agar duduk di sofa di sebelah rekam timku yang lain. Kami berempat sekarang dan saling memandang canggung.

Sejujurnya, meski mereka sangat mudah diajak kerja sama, tetapi di luar tugas ini, kami sangatlah canggung. Hanya Emma yang nyaman sebagai teman mengobrol santai. Aku yakin itu karena kepribadiannya yang supel dan mudah dekat dengan siapa saja.

"Apa pun hasilnya, tidak masalah. Yang terpenting kita sudah mengusahakan yang terbaik." Wanita yang baru saja bicara dengan suara agak cempreng itu menaikkan kacamatanya yang melorot. Dia sama positifnya dengan Emma. Aku benar-benar takjub menemukan orang-orang yang pembawaannya tenang di sini.

"Yap. Kita tidak boleh terpengaruh, atau acara makan-makan setelah ini tidak bisa dinikmati dengan baik." Emma menimpali, tangannya yang tidak bisa diam itu dipakai untuk memukul-mukul lenganku.

Benar. Setelah ini penyelenggara acara akan membayar seluruh peserta bersama tim masing-masing untuk makan malam di rumah makan yang berada di lantai teratas gedung ini. Untung saja aku membawa mobil sendiri hari ini, jadi aku tidak perlu meminta Killian menunggu atau menjemputku.

"Sorry. Aku tidak bisa ikut malam ini. Harus tidur awal karena besok akan bertunangan." Betty adalah yang termuda di antara kami. Dia penjahit ketiga yang bersedia bekerja sama denganku.

Selagi rekan-rekanku yang lain mengucapkan selamat kepada Betty, aku justru memandangnya takjub. Aku baru tahu kalau bertunangan akan membuat seseorang sebahagia itu. Betty mengulum senyum malu-malu, lalu menyelipkan beberapa helai rambut pirangnya ke belakang telinga. Jika semuanya didasari cinta, sudah pasti akan seperti itu, 'kan?

Aku jadi iri, dia baru 23 tahun dan sudah menemukan cintanya. Sedangkan aku sudah 26 tahun dan belum pernah merasakan apa pun.

"Bagaimana kau tahu kalau dia orang yang tepat?"

Sebenarnya aku tidak ingin menanyakan itu, tetapi ketika memikirkannya, pertanyaan itu spontan mencuat dari kedua belah bibirku. Aku sampai berhasil membuat mereka terdiam dan memandangku dengan wajah-wajah kebingungan.

"Maaf, aku hanya penasaran," ucapku setelah cukup lama menyaksikan diamnya mereka.

"Um, seperti perasaan yang tidak bisa dipaksakan, keyakinan itu pun datang dengan sendirinya. Keduanya bahkan beriringan. Saat kau dicintai, kau akan tahu. Karena ketika kita sudah mencintai seseorang, akan ada rasa ingin terus membersamai. Dan kau hanya perlu percaya pada pilihanmu. Mungkin sesederhana itu."

Betty jadi tampak jauh lebih dewasa dariku saat menjelaskannya. Baginya, itu mungkin sederhana, tetapi bagi orang sepertiku, dibayangkan saja tidak bisa. Aku jadi agak menyesal tidak mencari tahu tentang itu sejak dulu, ketika remaja dengan rasa ingin tahu yang besar. Namun, aku justru mengira karena sudah ada Killian, untuk apa lagi dekat dengan laki-laki lain?

Bodoh sekali.

"Luciana Pereira?" Seorang pria berjanggut menyebut namaku dari ambang pintu. Kalau aku tidak salah mengingatnya, dia salah satu staf yang bekerja mengurusi acara ini.

"Itu saya," sahutku, berdiri dari sofa agar pria itu bisa melihatku.

"Anda diminta untuk standby di dekat panggung."

"Ya. Terima kasih."

Jantungku langsung berdebar bukan main, seperti pistol yang baru saja ditarik pelatuknya dan siap meloloskan peluru kapan saja. Begitu pula denganku yang siap meledak kapan pun karena suara detak jantung ini sendiri sudah memenuhi telinga, meredam suara-suara lainnya.

Ya ... semoga saja aku masih bisa mendengar ketika namaku disebutkan.

"Rileks, jangan tegang." Seseorang berbisik dan membuatku bergidik sekaligus merinding. Diganggu dengan cara seperti itu ketika aku sedang sangat gugup, benar-benar menakutkan.

Allen, sekarang berdiri di sebelahku dan tersenyum seperti biasa. Setelah seharian berada di studio, baru ini aku bertemu dengannya. Dia pasti repot sekali mengurus teknis ini dan itu. Buktinya dia sampai dihiasi beberapa bulir keringat di pelipisnya.

"Kau tidak akan tahu rasanya berada di posisiku sekarang."

Allen mengernyit, kemudian menatapku dari kepala sampai kaki. Kuharap dia bukan sedang menilai penampilanku, karena aku hanya mengenakan kemeja berenda warna putih yang bawahnya dimasukkan ke celana kulot hijau tua. Kalau dibandingkan dengan peserta lain, aku yang paling sederhana.

"Oke, coba geser sedikit," pintanya.

Aku menurut meski merasa bingung. Sekarang dia berada di tempatku berpijak tadi dan diam saja. Keningnya berkerut sebentar sebelum kembali menatapku.

"Sekarang aku berada di posisimu. Aku berusaha merasakannya."

Itu lelucon yang garing, tetapi berhasil membuatku tertawa kecil. Kalau tahu Allen akan menghiburku seperti ini, aku pasti sudah mencarinya sejak tadi pagi.

"Kau tahu, kan, bukan itu yang kumaksud?"

Allen tertawa dan mengusap tengkuknya. "Setidaknya kau bisa tersenyum sekarang."

"Itu hal tertulus yang pernah dikatakan orang lain kepadaku. Terima kasih."

"Itu tidak gratis, Nona." Allen melebarkan senyumnya dan menatapku seperti ada yang sedang dia rencanakan. Itu lantas membuatku merotasikan bola mata.

"Akan kubayar ketika namaku disebutkan menjadi salah satunya, Allen." Aku kembali gugup ketika menatap empat orang yang sudah berdiri di atas panggung. Tinggal dua lagi peserta yang akan diloloskan. Kesempatanku makin kecil.

"Menurutmu kenapa kau diminta berdiri di sini?" Allen bersedekap, memperlihatkan kepribadiannya yang tenang dan itu menular kepadaku. Saat bicara dengannya, rasa gugupku sirna.

"Untuk menyaksikan pengumuman pemenang?"

"Itu masih bisa didengar dari studiomu, Ana."

"Lalu karena apa?"

Allen tidak menjawab, dia memandang panggung dan tersenyum. Sikapnya ini seolah-olah dia sudah tahu siapa saja pemenangnya. Oh, atau—

"Luciana Pereira! Silakan bergabung bersama empat peserta lainnya."

Aku menutup mulut untuk menahan teriakan. Kemudian memandangi Allen yang bertepuk tangan kecil untukku. Aku terlalu senang sampai ingin memeluk siapa pun saat ini—aku terbiasa melakukannya pada Killian dulu. Sekarang aku melakukannya, melingkarkan kedua tangan pada leher seseorang. Setelah aku sadar kalau aroma parfumnya bukan seperti milik Killian, aku buru-buru menarik diri.

"Maaf. Aku hanya terlalu senang," ujarku pada Allen.

Dia mematung sebentar pada awalnya, sebelum kemudian tersenyum dan mempersilakanku untuk naik ke panggung. Itu terasa canggung. Aku jadi tidak enak sudah membuatnya tidak nyaman. Sungguh. Aku harus melakukan sesuatu untuknya nanti.

Satu pencapaian berhasil kuraih. Aku harus merayakannya dengan Killian nanti. Namun, ketika kusapukan pandangan ke barisan kursi penonton, aku tidak menemukannya di mana pun. Dua kursi yang dia tempati bersama Gabby sudah kosong.

***

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
1 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro