Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

75 - I Love You Eternally [END]

"Kau yakin soal ini?"

Emma datang ke kamarku setelah kami sarapan bersama. Oh, aku bahkan menyelesaikannya lebih awal karena keheningan yang tercipta di meja makan membuatku merasa menjadi sumber masalah.

Sejak tadi malam, mereka tidak bicara denganku. Hanya sapaan pagi dan Dad sempat bertanya bagaimana kondisiku setelah mengalami keguguran. Dan, ya, tidak ada yang perlu dia cemaskan lagi setelah kukatakan kondisiku sudah baik-baik saja. Aku tidak mengerti apakah itu kekecewaan, atau ketidakpedulian, atau merasa aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Bahkan kalau aku ingin menarik keluar akar dari masalah kami, aku akan dengan senang hati menyalahkan orang tua kami yang membuat pernikahan itu terjadi.

Aku memandang Emma sebentar sebelum kembali mengemas barang-barangku ke koper. Aku tidak berniat berlama-lama di sini, jadi aku tidak ingin ada terlalu banyak barang yang keluar dari koperku. Rencananya aku akan kembali ke New York begitu keputusan dibuat dan terdapat perkiraan jadwal untuk menuntaskan proses perceraian kami.

Bercerai ... memikirkan kata itu saja sudah membuatku benar-benar gelisah.

"Kau dengar keputusan mereka semalam, bukan?" Aku berucap sekenanya.

Satu jam lagi, aku akan pergi bersama Killian menemui pengacara kenalannya yang akan membantu kami. Ayah Killian juga mengatakan sesuatu tentang mempercepat proses perceraian kami, tetapi belum ada kabar sampai sekarang. Aku tidak tahu apakah Killian sudah memberi tahunya bahwa berkasnya sudah diajukan, aku juga belum bertanya padanya karena kami belum bertemu setelah kutinggalkan dia sendirian di rumah makan semalam.

"Tindakan kalian itu bodoh. Sungguh bodoh. Kalian saling mencintai, tapi--"

"Sudahlah, Em. Aku membiarkanmu ikut bukan untuk membuatku tambah pusing." Aku menarik ritsleting koperku hingga tertutup rapat.

"Berkasnya masih bisa ditarik lagi, 'kan? Kalian belum mendapat panggilan secara resmi dari pengadilan. Dan wajahmu sangat pucat."

Aku menoleh ke kiri, berkaca pada pintu lemari yang memiliki cermin. "Aku akan seperti ini kalau sedang stres. Bisa ditutupi dengan lipstik yang tebal."

Aku tidak mabuk, tetapi malah meracau untuk membalas ucapan Emma. Mana mungkin aku akan melakukan itu, menutupi kekurangan penampilan dengan riasan yang tebal sama sekali bukan kebiasaanku. Akan tetapi, hanya itu sikap yang cukup masuk akal untuk mengatasi masalah wajah pucat.

"Apa Jaden punya anggur? Atau bir?" Lagi, pertanyaan itu sungguh tidak masuk akal dan aku melontarkannya begitu saja hingga membuat Emma mengernyit kebingungan. "Abaikan saja. Kepalaku pusing, Em. Ingin tidur lagi, tolong bangunkan aku kalau sudah hampir pukul sepuluh."

Tanpa menunggu jawaban Emma, aku melompat ke kasur, menyamankan posisi di sana. Aku cukup sadar bahwa sebanyak apa pun mencoba, aku tidak akan tertidur ketika satu jam lagi akan pergi. Itu hanya alasan agar Emma keluar dari kamarku. Namun, sepertinya itu tidak berhasil, dia masih duduk di sofaku, bahkan sekarang sambil bersedekap.

"Alkohol bukan obat untuk pusingmu. Dan kenapa kau berpikir aku tahu apa yang Jaden punya?"

"Karena kalian bersama semalaman?"

Emma tersipu dan aku melihatnya dari pantulan cermin lemari. Itu akan menjadi penawar situasi buruk bagi orangtuaku jika Jaden dan Emma benar-benar memiliki hubungan. Aku bisa melihat ketertarikan di antara keduanya, sesuatu yang dulu tidak pernah terjadi padaku dan Killian. Ya, mungkin ungkapan cinta yang kami lontarkan kepada satu sama lain sebenarnya memiliki makna yang berbeda, tidak seperti cinta pada umumnya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ana. Aku mengenalmu cukup baik. Aku masih berusaha untuk membuat kalian mempertimbangkan kembali. Tarik pengajuannya dan bertahanlah sedikit lebih lama untuk membuktikan keseriusan Killian padamu. Meski sejauh ini sikapnya sudah membuatku percaya."

"Terima kasih, Em, tapi berhentilah berusaha mengubah sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Aku punya Allen, kalau kau lupa."

Dia berdecak pelan. "Allen siapamu? Aku tidak merasa perannya cukup penting dalam hidupmu karena sejak kita tiba di sini, kau sama sekali tidak bicara dengannya."

Ah ... aku melupakan yang satu itu.

•••

Killian pun sama. Kami tidak bicara sejak aku memasuki mobil milik orangtuanya yang dipinjamnya dan membelah jalan menuju lokasi pertemuan. Dia tampak mengkhawatirkan sesuatu, tetapi aku merasa itu adalah sesuatu yang lain. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

Mobil itu memasuki wilayah parkir bawah tanah yang entah kenapa terasa kosong, paling hanya beberapa dan diparkirkan di titik-titik yang berjauhan. Terlalu sepi untuk sebuah perusahaan. "Kau yakin tidak salah tempat, Killian?" Aku tidak bisa menahan diri tidak bicara dengannya terus, jadi aku bertanya.

"Tidak. Kita akan bertemu dengannya di lantai lima belas. Ayo."

Killian menekan sebuah tombol agar pintu di sampingku terbuka, tetapi dia keluar lebih dulu dari pintu lainnya. Ini tidak seperti dirinya yang biasa. Aku tidak berharap dia akan memutari mobil, lalu membuka pintu untukku secara manual. Tidak seperti itu. Namun, sikapnya membuatku merasa tidak nyaman. Seharusnya aku bisa menerima bahwa inilah yang akan terjadi pada dua orang yang bercerai. Bagian terburuknya, kami akan menjadi dua orang asing yang tidak akan peduli pada satu sama lain lagi.

Cara berjalan pun berbeda. Biasanya kami akan bersisian, tetapi hari ini Killian berjalan satu langkah di depanku. Akan tetapi, apa gunanya bersedih sekarang? Kami memang perlu terbiasa dengan situasi seperti ini. Tidak akan ada lagi kegiatan yang kami lakukan hanya berdua. Daftar destinasi liburan pun tidak akan terselesaikan. Keputusan sudah dibuat.

Killian sibuk dengan ponselnya saat kami berada dalam elevator yang mengantar kami naik ke lantai lima belas. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi karena suara debar jantungku sendiri memenuhi kepala. Pertemuan ini bisa berarti menceritakan menceritakan apa alasan kami berpisah. Aku sudah menjabarkannya di berkas pengajuan, tetapi aku tidak bisa mengingat apa yang kutulis di sana selain 'sepakat untuk berpisah'.

Perasaan ini sungguh menyiksa. Lebih-lebih lagi ketika elevator berhenti di lantai lima belas. Kakiku terasa lemas sampai harus berpegangan pada dinding. Kami berjalan di sebuah lorong dan berhenti di depan pintu berdaun dua. Namun, Killian tidak jadi membuka pintu karena ponselnya berdering.

"Kau bisa masuk lebih dulu, aku perlu mengurus ini sebentar."

Dia tidak menatapku saat mengatakannya, lalu pergi begitu saja. Aku tentu tidak lupa dengan jabatan barunya yang membuatnya sangat sibuk. Sekali lagi aku membuat masalah karena dia harus menyisihkan waktu untuk melakukan ini.

Aku menarik napas sedalam mungkin dan diembuskan perlahan-lahan. Sebenarnya aku tidak siap masuk ke ruangan itu, tetapi jika orang itu sudah ada di dalam, tidak baik membuatnya menunggu lebih lama. Dengan tangan bergetar, aku membuka pintunya. Wajahku sudah kupersiapkan untuk bisa tersenyum pada apa pun yang ada di dalam. Namun, aku justru terkejut dan kembali menutupnya. Aku tidak yakin ruangannya yang itu. Killian pasti salah informasi. Ada banyak ruangan di lantai ini, dan bukan seperti itu ruangan yang dipakai untuk membicarakan tentang perceraian. Tidak ada satu orang pun di dalam sana. Aku membaca papan di atas pintu yang bertulisan 'Mini Meeting Room 03'.

"Kenapa masih di luar?"

"Kupikir kita salah ruangan. Di dalam sana ... sangat berantakan."

Sebetulnya 'berantakan' bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan ruangan tersebut. Meski hanya sekilas, aku tahu ruangan itu sangat rapi dan bersih. Tidak banyak barang di dalamnya. Hanya sebuah meja panjang dengan enam sampai delapan kursi, lalu sebuah layar yang biasa menayangkan materi presentasi. Ada sesuatu yang lain, yang tidak biasa, yang membuat ruangan itu berantakan.

Killian baru benar-benar menatapku kali ini, tetapi hanya sepersekian detik. Pergerakan bola matanya seperti menyembunyikan sesuatu. "Tidak. Kita sudah benar."

Aku tidak bisa lagi mencegah Killian ketika dia berjalan memasukinya. Yang kulakukan hanya memperhatikan sekitar sebelum menyusul masuk. Bukan tidak mungkin seseorang sedang merencanakan sesuatu di ruangan yang sama dan akan masuk sebentar lagi. Setelah kurasa cukup aman, barulah aku menyusul masuk.

Aku tidak mengerti kenapa ruang pertemuan untuk mendiskusikan perceraian pasangan didekorasi dengan memberi kesan yang romantis, meski aku tidak bisa bilang bahwa ruangan ini biasa ditata seperti itu. Di atas meja terdapat satu buket bunga mawar yang besar berbentuk hati dan di lantainya berserakan kelopak bunga mawar berbagai warna.

Belum selesai aku memproses ruangan ini, aku dibuat terkejut oleh lampu yang mati. Keberadaan jendela seharusnya bisa memberi cahaya di ruangan ini, tetapi jendelanya ditutup oleh tirai berwarna abu tua yang lumayan tebal, sampai sinar matahari pun tidak bisa mengintip. Aku ingin memanggil Killian, tetapi tiba-tiba layar di depanku menyala, menayangkan foto-foto kebersamaanku dengan Killian sejak kecil dan itu menjadi satu-satunya sumber pencahayaan di ruangan ini.

"Kau berpikir aku sungguhan mengajukan berkas perceraian kita?"

Aku berbalik karena suara Killian berasal dari belakangku. Tunggu, mungkinkah ini ... .

"Aku menyusul ke Paris untuk menemuimu, langsung pergi ke bandara setelah rapat di kantor selesai. Menurutmu aku sempat berpikir membawa berkasnya?" Killian mulai berjalan mendekatiku. "Aku juga tidak seniat itu pulang dulu ke rumah untuk mengambil berkas lalu pergi lagi ke California. Aku tidak berencana melepasmu, Ana."

Sampai Killian berada tepat di hadapanku, aku masih membeku. Tatapan matanya, tidak sedetik pun beralih dari mataku. Aku tidak tahu harus merasa seperti apa sekarang. Killian tidak benar-benar mengajukan berkas perceraian kami, padahal dia sudah membuatku tidak bisa tidur beberapa hari ini. Seharusnya ini melegakan, bukan? Kami tidak jadi berpisah, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan kekecewaan orangtua kami semalam.

Aku berbalik, menghindari Killian menyadari bahwa pikiranku berkecamuk sekarang. Namun, tatapanku justru tertuju pada buket bunga di atas meja. Satu-satunya alasanku ingin menyimpan itu jika memang diberikan padaku adalah, bunganya palsu. Bunga itu tidak akan pernah layu atau mati dan kuharap itu berarti perasaan Killian untukku juga akan bertahan selamanya.

"Jadi, kau berbohong." Aku menggigit bibir bawahku demi menahan air mataku mengalir. Semua ini terlalu aneh untuk menjadi nyata. Entah siapa dalang yang membuat Killian sampai setuju mempersiapkan hal remeh-temeh seperti ini.

Satu-satunya layar di ruangan ini sekarang menayangkan momen saat kami pergi ke Paris pertama kalinya. Tidak ada laptop atau perangkat lain yang menjadi sumber tayangan foto-foto tersebut. Ada banyak fotoku yang diambil tanpa kusadari, yang bahkan aku tidak menyimpannya. Kupikir Killian mengoleksi lebih banyak daripada aku sendiri. Dia memang suka mengambil foto, tetapi kupikir dia akan lebih banyak mengoleksi pemandangan daripada wajahku.

"Kau tidak berhenti meminta bercerai tidak peduli apa yang kukatakan padamu. Sesuatu harus kulakukan atau aku akan menyesal seumur hidupku."

Aku berbalik menghadapnya lagi. Namun, Killian segera mengangkat tangannya karena tahu aku ingin bicara. Aku ingin protes kalau dia memilih waktu yang tidak tepat.

"Dengarkan aku dulu, kumohon." Aku memekik ketika Killian meraih pinggangku, lalu mengangkatnya untuk didudukkan ke atas meja. Dia melakukannya dengan mudah, seakan-akan aku hanya bantal jatuh yang dia ambil dari lantai. Ini sungguh tidak pantas mengingat kami berada di tempat orang dan ada banyak kursi di sini. Bagaimana jika seseorang akan masuk?

Aku bahkan curiga kalau tempat ini memang sengaja dikosongkan karena kami bahkan tidak berpapasan dengan satu orang pun. Oh, Killian, sejauh apa yang kau persiapkan untukku saat ini? Aku sampai terharu dan mataku mulai berkaca-kaca. Kekacauan yang kuperbuat membuatnya jadi serepot ini.

"Aku harus memulainya dari mana?" Dia berdeham dan membenahi kemejanya. Senyum yang dia berikan padaku sama sekali bukan bentuk keramah-tamahan, tetapi lebih dari itu. Dan aku takut ada harapan yang tersirat di sana dan tidak bisa mengabulkannya.

"Aku mungkin sudah mencintaimu sejak lama, Ana. Aku tidak tahan melihatmu lebih dekat dengan pria lain, tidak tahan jauh-jauh darimu terlalu lama. Kupikir aku hanya khawatir pria-pria itu akan menyakitimu, tapi nyatanya aku tidak bisa menerima ada pria lain yang akan menjagamu lebih baik dariku. Aku terus berusaha menjauhkan mereka darimu dan dengan senang hati memamerkan kedekatan kita. Tapi ... kenapa aku tidak mengajakmu berkencan saja sejak dulu?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Tidak pernah terlintas di pikiranku akan berada dalam situasi ini, mendengar pengakuan Killian, dan menerima tatapan yang begitu intens darinya. Ini membuatku berdebar tidak karuan, tetapi aku bahkan tidak bisa berpaling dari matanya yang indah. Tangannya mulai menyingkirkan rambutku yang menutupi sisi wajahku. Namun, tangannya tidak segera menyingkir, melainkan tetap berada di pipiku.

"Kau selalu mendebat orang lain kalau kita bisa bertahan sebagai sahabat saja selamanya. Kau menginginkan itu, dan aku menekan diriku untuk tidak merasakan apa-apa padamu. Aku pun percaya kita akan selamanya seperti itu, jadi kupikir tidak masalah berkencan dengan wanita lain selama kau tetap berada di sisiku. Nyatanya aku rela mengakhiri hubungan dengan mereka hanya karena mendengar mereka protes aku lebih suka meluangkan waktu untukmu daripada kekasihku sendiri. Lalu ada yang berkata aku akan bosan denganmu kalau bertemu terus setiap hari, tapi itu tidak terjadi. Aku bahkan sanggup menatapmu terus seperti ini sepanjang hari. Itu membuatku senang. Aku tidak pernah mengira kau juga merasakan hal yang sama dan aku sudah melukai hatimu. Aku menyesal, tolong maafkan aku. Bisakah kita terus bersama? Maukah kau memulai lagi dari awal bersamaku? Bisakah kita melanjutkan rumah tangga ini? Aku akan melakukannya lebih baik."

Ya ampun ... apa yang kudengar semuanya adalah kebenaran? Dia tidak berbohong, itu adalah tatapan yang menyiratkan pengharapan yang besar. Hanya dengan menatap, dia berhasil menjamin kebahagiaanku, tetapi apa aku bisa melakukan hal yang sama untuknya? Aku mencintainya tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku terus menyimpannya sendirian, lalu sedih sendiri ketika sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Killian tidak bersalah, dia bahkan tidak tahu.

Kuberanikan untuk menyentuh wajahnya, membalas apa yang dia lakukan padaku. Akan tetapi, aku justru melihat dengan jelas kemerahan di pipi kirinya. Itu hanya akan terlihat dalam jarak yang dekat. Kekhawatiran mulai menggerogoti dadaku.

"Apa Jaden menamparmu lagi?"

Killian menangkap tanganku dan dikecup telapaknya. "Tidak. Bukan dia, tapi kita tidak perlu membicarakannya. Jangan mengalihkan pembicaraan karena aku tidak akan membiarkanmu pergi."

"Kau bicara terlalu banyak, setidaknya beri aku waktu untuk memproses."

Killian tertawa kecil, sambil mengatakan, "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku akan gila kalau kita benar-benar bercerai. Tapi aku memang sudah gila, tergila-gila padamu."

Sepertinya aku tidak akan pernah merasa bosan mendengar kata-kata itu darinya. Aku meminta bercerai agar dia tidak terus-terusan terjebak bersamaku. Aku tidak ingin kebersamaan yang hanya bertujuan untuk penjagaan. Dan hari ini dia mengatakan semua hal yang ingin kudengar. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Namun, dia harus mendengar keluhanku dulu selama beberapa hari ini.

"Maaf karena membuatmu sampai melakukan ini. Kau pria pertama yang kucintai. Aku berpikir aku harus siap patah hati karena tidak semua cinta mendapat balasan, dan aku masih bisa menemukan pria lain untuk dicintai. Tapi itu tidak akan terjadi karena aku tidak pernah berhenti membandingkan mereka denganmu. Lalu apa yang kudapat? Tidak ada yang lebih baik darimu."

Kedua tanganku sudah berada di wajahnya. Awalnya hanya mengusap, tetapi sekarang aku menepuk-nepuknya dengan rasa geregetan. Tentu hanya di sebelah kanan, aku tidak ingin membuat pipi kirinya tambah sakit.

"Kau melakukannya saat aku repot. Aku lelah, dan berpikir akan banyak-banyak istirahat setelah Fashion Week, tapi kau menelepon seperti itu dan membuatku tidak bisa tidur. Kau bilang sudah mengajukan berkas, orangtua kita tahu dan setuju kita bercerai. Sekarang begini, kau berbohong dan memakai kantor--"

Ucapanku terhenti karena Killian tiba-tiba mencium bibirku. Bukan yang pertama kali memang, tetapi rasanya berbeda. Dia melakukannya setelah mengakui perasaannya, jadi itu menyisakan perasaan yang mendebarkan. Setelahnya, dia mengusap bibirku dengan jempolnya, seakan-akan dia yang memakai lipstik dan warnanya tersisa di bibirku.

"Aku mengenalmu cukup baik dan sudah menduga kau tidak akan sadar kalau ini hari Minggu. Semua kantor tutup, dan ini adalah kantor lamaku, bukan kantor pengacara. Temanku yang bekerja di sini menjadi manajer, jadi aku meminta bantuannya untuk meminjam." Dia tertawa geli ketika aku memukul dadanya. "Aku tidak bisa diam saja setelah kau berkata tidak bisa meninggalkan Allen. Yang kupikirkan hanya aku harus melakukan sesuatu karena kau tidak akan percaya pengakuanku. Aku cukup sadar tidak pernah berusaha meyakinkanmu, jadi sekarang aku melakukannya."

Untuk beberapa saat kami hanya saling menatap. Aku tidak tahu ingin berkata apa karena pikiranku mendadak kosong karena sentuhannya di bibirku tadi.

"Jadi, apa jawabanmu?" Killian menyerongkan badan dan mengambil sesuatu di tengah-tengah buket bunga palsu di atas meja. Dia mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari sana. Siapa pun tahu dalamnya cincin. Terakhir, Killian membukanya di depanku. "Apa kau bersedia melanjutkan hidup kita sebagai suami dan istri?"

Aku memandang cincin itu sambil berpikir apakah itu diperlukan. Kami punya satu dan itu bahkan tidak terpakai dengan benar. Namun, kalau disuruh memilih, aku tentu akan memilih yang baru meski modelnya lebih sederhana dari yang kupilih sebelumnya untuk pernikahan kami. Maksudku, yang ini pemberian dari Killian, rasanya seperti dia sedang melamarku--tahapan yang kami lewati sebelum menikah. Dan, ya, hanya dengan melihatnya saja air mataku sudah menetes.

"Killian, aku tidak--"

Aku terkesiap ketika dia tiba-tiba menutup kotak tersebut dan menghela napas.

"Jangan teruskan. Tidak apa-apa kalau kau menolak yang ini, tapi jangan berpikir aku akan berhenti melakukannya." Killian menghela napas sekali lagi dan tersenyum. Benda itu, ingin dia simpan ke dalam kantong celananya, tetapi aku buru-buru menahannya.

"Aku belum selesai." Lalu aku menyeka air mataku sendiri. "Aku tidak pernah berkencan dengan Allen. Malam itu, dia memang menyatakan perasaannya lagi dan memintaku menjadi kekasihnya. Tapi aku menolaknya dan meminta agar dia mau berpura-pura kami adalah pasangan. Kupikir dengan alasan itu kau akan menepati janji dan menceraikanku."

Kepala Killian jatuh di bahu kananku. Dan satu tangannya menumpu badan di atas meja, dia tidak sepenuhnya menaruh beban tubuhnya padaku. "Memangnya apa yang akan kaulakukan setelah kita bercerai? Apa itu akan membuatmu benar-benar bahagia? Ya, mungkin, tapi di atas kesengsaraanku."

"Aku tidak tahu. Tapi pikirkan sisi baiknya, aku tidak akan mendapat kejutan ini darimu." Aku melingkarkan lenganku di punggungnya kali ini, memeluknya dengan benar.

"Kau terkejut?"

"Ya. Aku tidak tahu kau bisa seromantis ini."

Dia tertawa hambar lalu menegakkan tubuhnya lagi. Satu telunjuknya meraih daguku. "Jadi, kita apa?"

"Suami dan istri, 'kan?"

"Bukan sahabat lagi?"

Aku memicing, apa hubungan itu bisa hilang begitu saja? Menjadi suami istri dan bersahabat, mana yang lebih bagus? Kupikir tidak ada bedanya. Kami masih bersama.

"Sahabat tidak boleh saling mencium, Ana. Dan aku sangat suka melakukannya denganmu."

Oh, benar, itu bedanya.

"Pakaikan dulu cincinnya, baru kau boleh menciumku." Aku mengangkat tangan kiriku dan disambut oleh tawanya.

Perutku terasa meletup-letup ketika dia membuka kembali kotak beludrunya dan mengeluarkan satu cincin yang lebih kecil dan memiliki desain yang lebih feminin. Dadaku bergejolak ketika benda bundar yang dingin itu sangat pas di jariku. Killian bahkan membelinya tanpa mengajakku untuk mencobanya dulu. Sulit untuk mengajari orang baru untuk memahamiku sebanyak dirinya. Sekali lagi aku disadarkan bahwa tidak mungkin aku akan bersama orang lain selain dirinya.

Sekarang giliranku memasang cincin yang satu lagi di jarinya. Begitu terpasang, dia langsung mengangkat tanganku dan mengecupnya cukup lama.

"Terima kasih sudah menerimaku lagi, Luciana Patterson. Aku mencintaimu."

"Apa yang bisa kulakukan? Sulit menyingkirkanmu dari hidupku, Killian. Aku juga, sangat mencintaimu. Kau pernah berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, jadi bersiaplah terjebak bersamaku seumur hidup."

"Aku bersedia. Kumohon andalkan aku."

Kemudian dia menciumku, ciuman yang lembut dan hangat. Tangannya berada di pinggangku, menarikku lebih dekat dan membuatku harus membuka kakiku dan dia berada di antaranya. Aku bahkan belum turun dari meja sejak tadi. Satu tangannya pelan-pelan merambat naik di punggungku dan berakhir di tengkukku. Lenguhanku lolos ketika dia menggigit bibir bawahku san itu memberinya kesempatan untuk memasukkan lidahnya.

Aku sudah berpikir ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupku dan akan kuingat sebagai penyesalan terbesar yang pernah kulakukan. Namun, ini berakhir jauh lebih baik.

Killian, sahabatku, yang tidak pernah kubayangkan akan kunikahi, sekarang berada dalam genggamanku dan aku dalam genggamannya. Seperti yang pernah kukatakan pada Gabby, simpul yang terikat selama bertahun-tahun tidak akan semudah itu dibuka. Kami tidak terpisahkan, kami membutuhkan satu sama lain. Mungkin akan saling merepotkan, tetapi dedikasi kami pada satu sama lain tidak akan luntur dengan mudah.

Aku menginginkan Killian dan tidak ingin ada orang lain lagi. Aku hanya ingin mencintainya, seumur hidupku.

"Aku bisa memesan kamar lagi kalau kalian masih ingin melanjutkannya."

Aku langsung mendorong dadanya begitu suara itu terdengar dari sudut ruangan. Aku juga segera turun dari meja dan membenahi pakaianku. Setelah itu lampu ruangan ini menyala. Di sisi kananku, ada sebuah pintu menuju ruangan kecil yang terbuka, di sana berdiri Emma dan Jaden. Dan Jaden adalah si pemilik suara tadi. Apa yang dia lakukan? Sejak kapan berada di sana? Mereka mungkin sudah mendengar semua pembicaraan kami, betapa memalukannya.

"Hei, aku serius, kalian mau kamar seperti yang pernah kupesan untuk kalian? Atau yang lebih bagus?" Jaden bahkan sudah mengangkat ponselnya, dia punya kenalan petinggi beberapa hotel, kupikir dengan cara itu dia sering mendapat diskon jika bermalam di sana.

"Kali ini biarkan aku memesannya sendiri." Killian merespons sambil menggosok tengkuknya. Dia pun sama malunya denganku.

"Aku masih tidak mengerti, kenapa kalian ada di sini?" Kemarin Jaden menghajar Killian, hari ini dia menjadi saksi drama percintaan kami dan tidak emosi, tidak salah kalau aku merasa kebingungan.

"Dia meminta bantuanku untuk rencana ini kemarin, tapi aku perlu tahu apa yang terjadi pada kalian termasuk si wanita rambut mekar itu." Jaden menyebut rambut bergelombang Gabby dengan cara yang aneh. "Dia menceritakan semuanya, bahkan pada bagian yang tidak perlu kudengar. Bagaimana mungkin aku tidak emosi?"

Di sampingnya, Emma mengusap lengan Jaden seakan-akan menyabar-nyabari pria itu agar tidak mengamuk lagi.

"Lalu kau setuju?" Tidak mudah meyakinkan Jaden jika dia sudah emosi seperti kemarin.

"Awalnya tidak, lalu malamnya dia datang lagi padaku dan cukup beruntung karena kau membawa Emma. Dia bercerita betapa kau sangat mencintai pria bodoh ini, jadi aku setuju membantu. Lagi pula, dia sudah berlebihan menyentuhmu, mana mungkin kubiarkan? Dia harus berada di sisimu selamanya. Itu hukuman yang setimpal."

Wow. Sekarang aku memandang Emma dan tersenyum penuh haru. Dia membalas dengan senyuman dan mengedipkan sebelah mata. Aku tidak salah menyebutnya sebagai teman yang baik. Dia adalah satu-satunya teman wanita yang kumiliki dan aku tidak akan membiarkannya pergi dariku seperti yang dulu-dulu.

"Aku berutang banyak pada kalian." Killian bicara sembari memelukku dari samping. Namun, aku tiba-tiba teringat akan masalah lain dari hubungan kami.

"Bagaimana dengan orangtua kita?" Kekecewaan mereka tadi malam membuatku takut. Bagaimana jika mereka masih menginginkan kami tetap berpisah?

"Dia mendapat tamparan setelah menceritakan rencananya, Ana, dari ayahnya. Tapi tenang saja, mereka tetap merestui kalian asalkan ... kalian segera memberi kabar baik." Emma yang merespons. Aku tidak menyangka kalau dia akan menjadi saksi ketika Killian mendapat tamparan.

Killian lantas menjawab, "Tentu, kabar baik itu, akan segera datang bagi kami."

Ya ampun. Bisakah aku lebih malu daripada ini?

"Ayo, Sayang, kita pergi."

Sayang, katanya? Jangan harap aku akan tersipu dengan panggilan itu. Dia menarik tanganku, tetapi aku bergeming. Dan sekarang dia kebingungan menatapku.

"Kau harus membereskan kekacauan ini, Killian Sayang." Aku membalasnya dengan nada mengejek. Kata 'sayang' masih terasa menggelikan untuk dilontarkan pada satu sama lain. Enak saja dia pergi tanpa bertanggung jawab membersihkannya.

[FIN]

•••

Malam itu, di Sungai Seine ... .

"Maukah kau menjadi kekasihku?"

Aku menatap ketulusan yang Allen pancarkan di matanya. Aku tidak mengajaknya untuk mendengar itu, sungguh. Mata yang sarat akan pengharapan itu, aku takut melukainya. Meski begitu, aku juga tidak bisa mengabulkannya.

"Allen, maafkan aku, aku ... benar-benar tidak bisa sekarang. Yang kurasakan pada Killian terlalu dalam. Aku tidak ingin menerimamu tanpa bisa membalasnya."

Lagi, aku harus melihat senyum penuh pengertian itu. Bagaimana mungkin aku menemui pria sepertinya dalam hidupku.

"Kau bilang, kalian akan bercerai kalau kau juga bersama pria lain, bukan?"

Aku merasa dia punya rencana. "Ya ... tapi aku tidak berpikir itu akan terjadi, sebab aku tetap akan meminta bercerai dengannya."

"Aku tidak yakin itu akan mudah. Bagaimana kalau kubantu? Aku akan menjadi kekasih pura-puramu agar rencanamu terwujud."

Setelah itu aku tidak menolaknya.



Akhirnya mereka tamat. :") oh my god ...

Terima kasih banyak buat teman-teman yang setia mengikuti kisah mereka, meski sebetulnya masih sangat banyak kekurangan dalam cerita ini. Apalagi cerita ini kayaknya sempat republish dan aku updatenya mode siput. Tanpa teman-teman, kisah mereka nggak berarti apa-apa. But still, jauh di lubuk hatiku yang sedalam palung mariana, aku tetap berharap cerita ini bisa menghibur. Menjadi pelipur lelah setelah beraktivitas seharian, mengingat aku seringnya update malam-malam.

Banyak-banyak terima kasih, sekali lagi, dan maaf atas kekurangan ceritanya dan ending yang mengecewakan. :")
Sampai jumpa di cerita Tuteyoo yang lain, mana tau ada yang cocok sama selera teman-teman juga :")

P.s. Tuteyoo belum berani nawarin bab bonus, soale ada utang bonus juga di kisah Ava sama Alby, tapi apakah yang ini perlu bonus juga?

See yaaa *terharu*

17 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro