70 - [Killian] The Last Kiss
Hari ini aku menemukan surat pengajuan itu lagi, di tempat yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Ana selalu melakukannya pada pagi hari, dia masuk ke kamarku dan ruang kerjaku ketika aku sedang mandi. Aku bisa mencegahnya melakukan itu dengan mengunci kedua ruangan tersebut, tetapi aku tidak mampu mencegahnya melakukan apa yang dia mau. Aku cenderung mewujudkan apa yang dia mau, meski untuk yang satu ini, aku tidak bisa mengabulkannya.
Keguguran yang nyaris merenggut nyawa Ana sudah lebih dari cukup untuk membuatku lebih-lebih dan lebih ingin terus berada di sisinya. Aku mendedikasikan diri untuk menjaganya sejak dulu, yang kupikir hanya memantau saja sudah cukup, tetapi seiring lamanya kebersamaan kami aku jadi makin haus akan dirinya. Menjadi sahabatnya saja tidak cukup. Alasan aku setuju menjadi suaminya, lebih dari sekadar jalan pintas agar aku dapat bertugas di luar negeri. Pada saat itu aku menyadari bahwa tidak mungkin berpisah dari Ana, tidak mungkin aku bisa menjaganya jika ada jarak yang membentang di antara kami. Namun, aku tetap gagal menjaganya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya aku terlambat datang ke rumah sakit saat itu.
Bagian terburuk dari semuanya, aku mengaku jatuh cinta pada wanita lain dan membuat kesepakatan untuk bercerai dengannya. Betapa mudah saat itu terucap dari mulut, nyatanya aku tidak mampu. Aku menciptakan bumerang untuk diriku sendiri, tanpa mempertimbangkan apakah itu akan menyulitkannya atau tidak. Aku lupa kalau sejak dulu selalu merasa khawatir dia akan lebih dekat dengan pria lain. Kegelisahan itu menjadikanku pria yang egois, merasa hanya diriku yang mampu menjaganya.
Setelah membuat Ana kesulitan dengan kesepakatan yang kami buat di awal pernikahan kami, lantas aku mengaku jatuh cinta padanya? Yang kupikirkan hanya bagaimana agar tidak berpisah dengannya. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuatnya bertahan di sisiku. Dan itu bukan sekadar bualan, kekhawatiran dan kegelisahan ini jelas bersumber dari perasaan itu.
Malam itu, ketika Ana terlambat pulang dan tidak ada kabar, bahkan sampai tidak merespons ketika kuhubungi, orang pertama yang kutanya adalah Emma. Suara serak wanita itu sudah cukup jelas menunjukkan betapa dia sangat membenciku. Kehamilan Ana memang karena kecerobohanku, tetapi aku tidak merasa hanya itu penyebab Emma begitu membenciku. Entah sebanyak apa yang dia ketahui tentang kami sampai dia menganggapku ancaman untuk kebahagiaan Ana. Setidaknya dia masih memberitahuku di mana Ana berada tanpa aku harus memohon.
Tidak hanya itu, Emma juga berpesan agar aku tidak mengganggu seandainya Ana sedang bersama Allen. Membayangkan mereka bersama, hanya berduaan di studio, berhasil membuatku terbakar. Namun, aku tetap menuruti Emma, saat tiba di studio Ana, aku hanya menunggu sampai dia selesai bicara dengan Allen di telepon. Itu tidak seburuk yang kubayangkan, tetapi dengan Ana tersenyum begitu manis--tidak, senyumnya memang selalu semanis itu--aku makin tidak bisa pergi meski dia meminta.
Apa terlambat kalau jatuh cinta padanya sekarang? Bahkan orang bodoh pun akan setuju bahwa sudah sangat terlambat. Ada pria lain yang sedang mendekatinya. Ana pun menganggap pernyataanku sebagai angin lalu, responsnya sama seperti yang kuucapkan padanya ketika dia membual tentang jatuh cinta padanya.
"Kau seharusnya tidak bercanda di saat seperti ini."
Aku yakin saat itu sama sekali tidak ada nada jenaka di suaraku. Sejak dia bertanya kapan aku tanda tangan, aku sudah putus asa. Tidak mungkin aku bercanda di saat-saat seperti itu.
"Aku tidak bercanda."
Ana hanya menggeleng, tetap tidak memercayai pengakuanku.
"Kau terbawa suasana dan tidak berpikir jernih, Killian. Ini pasti karena tulisan di kuenya dan kau ... sedikit bau alkohol. Kita tetap akan bercerai seperti kesepakatan awal."
Tadinya kuharap setidaknya itu akan membuatnya berubah pikiran, tetapi sudah tiga hari berlalu, dia masih meletakkan surat pengajuan bercerai. Bagian terburuk pada malam itu adalah aku tidak berusaha meyakinkannya.
Perceraian akan dilaksanakan di California, yang berarti kami harus pulang. Orang tua kami akan tahu. Mereka tidak akan membantu mencegah perceraian kami terjadi jika Ana yang menginginkannya. Terlebih lagi, Mom; ibuku, lebih menyayangi Ana daripada aku.
Biasanya surat itu akan segera berubah bentuk menjadi gumpalan dan mendarat ke tempat sampah tidak sampai satu menit aku melihatnya, tetapi kali ini aku membawanya sarapan bersamaku. Tulisan-tulisan itu sama sekali tidak kubaca, aku hanya memandangnya sedikit lebih lama dari hari-hari biasa sebelum akhirnya kubuang. Aku sarapan sendiri karena Ana sudah pergi. Dia meninggalkan selembar catatan yang ditempel di kulkas. Di situ tertulis dia akan pulang terlambat atau mungkin menginap di gedung baru dan aku tidak perlu menunggunya. Pikirnya itu akan membuatku tetap tenang? Tentu tidak.
Kacau. Seharusnya tidak sampai seperti ini. Aku punya jadwal yang cukup padat hari ini dan seharusnya bisa berkonsentrasi. Perihal perceraian ini terus mengganggu pikiranku. Aku berusaha keras untuk mempertahankan kinerja selama bekerja dan terus fokus pada apa yang sedang kukerjakan, tetapi usaha itu membuat tenagaku cepat terkuras. Aku mudah lelah dan cepat tidur pada malam hari. Sudah dua minggu terakhir seperti itu, bahkan di hari ulang tahun Ana pun, aku menunggu sampai tertidur di kamarnya.
Pagi ini sudah cukup buruk. Tentang Ana, perceraian, tetapi aku harus tetap datang ke kantor dengan wajah baik-baik saja. Aku merutuki elevator di depanku yang tidak segera turun untuk menjemputku naik dan harus berhenti di beberapa lantai dulu sebelum akhirnya terbuka di hadapanku. Aku jadi tidak punya waktu untuk menghindari seseorang yang sudah kusakiti hatinya. Sekarang dia bersamaku, menaiki elevator yang sama dan secara impulsif aku juga menekan tombol lantai untuknya.
"Selamat pagi, Killian." Bahkan dia yang menyapa lebih dulu.
"Selamat pagi, Gabby."
"Jadi ... kalian sudah bercerai?"
Dahiku spontan berkerut karena pertanyaannya. Itu tidak terdengar seperti sindiran, terlalu datar untuk sesuatu yang mengandung rasa dendam. Aku juga tidak bisa bilang kalau itu merupakan bentuk rasa peduli. Dia bahkan tidak menatapku saat menanyakan itu. Satu menit penuh kuhabiskan dalam diam. Aku memang bercerita tentang rencana bercerai ketika berusaha meluruskan masalah kami, tetapi bukan untuk dia campuri.
"Kau perlu sesuatu dariku?" Lebih baik tidak menjawab pertanyaan yang membuatku uring-uringan. Sebaiknya tidak memikirkan tentang itu di sisa hari ini.
"Untuk seseorang yang akan dilantik sebagai submanajer, kau tidak terlihat begitu senang. Aku tidak ingin Dad menyesali keputusannya."
"Jadi, rencana itu tidak dibatalkan."
Rencana menaikkan jabatanku di perusahaan memang sudah terdengar saat kami masih bersama. Ini bukan berarti aku mengencaninya demi karier, bahkan aku baru tahu kalau Gabby putri dari pimpinan setelah satu bulan kami berkencan. Aku sempat berpikir rencana itu dibatalkan begitu hubungan kami berakhir. Terlebih lagi, Gabby adalah putri tunggalnya, pimpinan tentu akan mendengarkan jika anaknya sendiri meminta agar aku tidak jadi dinaikkan jabatannya. Aku bahkan siap pindah seandainya Gabby sendiri meminta agar aku dipecat.
"Sialan kau, Killian." Gabby mendengkus keras. "Aku sangat membencimu karena sudah mematahkan hatiku. Kupikir kau sudah mengerti aku dengan baik. Aku bisa membuatmu tersiksa di perusahaan ini kalau aku mau. Tapi aku tahu kau menginginkan pekerjaan ini, kau juga melakukannya dengan baik. Dad memerlukan karyawan sepertimu untuk bekerja di kantornya. Aku tidak manja."
Aku tahu Gabby memang seperti itu, makanya aku tidak percaya dia akan menyudutkan Ana seperti yang pernah dilakukan mantan-mantanku dulu.
"Maaf. Aku tidak bisa berpikir jernih akhir-akhir ini." Kuharap itu akan mengakhiri pembicaraan kami, sayangnya aku tidak pernah tahu kalau elevator rupanya bergerak selambat ini. Masih tujuh lantai lagi sebelum tiba di tujuan Gabby, yaitu tujuh belas.
"Itu berarti Ana tetap akan menceraikanmu?"
"Itu bukan urusanmu."
Dia tersenyum, seakan-akan pembicaraan ini memuaskannya. "Kau akan menyesal seumur hidup kalau itu sampai terjadi."
Aku melakukan kesalahan ketika membiarkan dia tahu tentang situasi kami.
•••
Aku merindukan Ana, padahal dia tidak jauh dariku. Dia masih beraktivitas seperti biasa, menyiapkan sarapan untukku, tetapi aku tidak merasakan kehangatan di sana. Dia masih berbagi hal-hal menarik yang terjadi padanya, tetapi aku tidak merasakan apa-apa. Biasanya aku akan tertawa ketika dia menceritakan hal yang menyenangkan, aku akan turut merasa kesal ketika sesuatu yang menyebalkan terjadi padanya. Sudah tidak ada emosi yang sampai padaku dari cerita-ceritanya.
Ana tidak sepenuhnya bersalah jika memilih menjaga jarak dariku. Jika ada yang harus disalahkan atas buruknya hubungan kami sekarang, orang itu adalah aku. Pernikahan kami seharusnya baik-baik saja jika tidak kubuat kesepakatan yang egois.
Sekarang sudah hari ketiga Ana tidak pulang. Meski begitu dia tetap mengabari kalau pekerjaannya diselesaikan di gedung baru. Namun, tidak mengatakan dia mengerjakannya bersama siapa. Si pria tetangga mungkin turut menemuinya di sana, aku merasa terbakar meski baru memikirkannya. Paris Fashion Week tinggal dua minggu lagi, dan dia akan pergi ke sana selama sepuluh hari. Yang ini saja sudah membuatku tersiksa meski aku bisa mendatanginya kapan saja, bagaimana jika sepuluh hari kepergiannya ke Paris? Dia akan disambut oleh mayat hidup saat pulang nanti.
Ana tidak suka diganggu saat bekerja. Konsentrasinya akan tertuju penuh pada jarum, benang, dan mesin jahit. Itu yang menjadi alasan kenapa kubuat studionya di rumah ini menjadi kedap suara. Aku tidak ingin dia terganggu oleh suara-suara dari luar saat sedang bekerja. Bukan tidak mungkin aku akan mengundang rekan kerjaku sesekali dan membuat keributan. Ana akan makin cantik ketika sedang fokus terhadap sesuatu. Saat kami masih kuliah, aku sering menemani mengerjakan tugas dan aku tidak berhenti menatap wajahnya. Itu membuatnya risi hingga aku tidak diizinkan mengganggunya. Dan itu menjadi alasan kenapa aku menurutinya untuk tidak menyusul ke gedung baru.
Namun, hari ini aku tidak tahan lagi. Aku menenggak gelas terakhir Tequila dan botolnya sudah kosong. Tadinya aku berharap ini akan membuatku sedikit lebih tenang, tetapi minum-minum seorang diri membuatku lebih-lebih frustrasi. Setelah ini aku berencana untuk menyusulnya, tidak peduli kalau sudah menjelang tengah malam. Dia tidak akan pulang lagi kalau kubiarkan, apalagi mobilnya sudah diantar Allen ke rumah sejak dua hari lalu. Kalau beruntung, aku bisa sekalian menjemputnya pulang.
Jalanan yang sepi membuatku tiba di gedungnya lebih cepat, tetapi mampir dulu tadi untuk membeli makanan dan dua botol bir. Ini tidak akan cukup seandainya rekan-rekan kerja Ana juga turut menemani. Namun, aku tidak berencana ingin menemui mereka.
Salah seorang rekan kerja Ana yang mendiami gedung ini membukakan pintu untukku. Setelah dia memberi tahu bahwa Ana bekerja sendirian di atas, aku memberikan separuh makanan yang kubeli untuknya sebagai bayaran agar dia tidak menyusul kami. Dia setuju dan aku langsung naik ke lantai dua menuju studio mereka.
Jantungku berdebar tidak karuan. Anak tangga yang kupijak turut mempercepat laju detak jantungku. Aku tidak pernah tahu kalau akan ada perasaan seperti ini untuk Ana. Makin dekat aku dengannya, rasa rindu yang mencekik ini mulai terurai bagaikan membuka kerumitan simpul yang menjeratku.
Aku sudah di ambang pintu, tetapi langkahku terhenti. Wajah serius Ana saat sedang memeriksa detail gaun di manekin membuatku tidak ingin mengganggu. Sayangnya, hanya dengan melihat tidak cukup untuk mengatasi kegelisahan yang menyebalkan ini. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya, mengikat tangannya denganku agar dia tidak bisa jauh dariku, kemudian mengumumkan pada semua orang bahwa dia adalah milikku agar tidak ada lagi yang berusaha mendekatinya.
Baru tiga hari. Padahal baru tiga hari kami tidak bertemu dan aku sudah seperti ini.
Si bodoh ini masih berdiri di ambang pintu sampai akhirnya Ana menyadari keberadaanku. Rambut yang diikat asal-asalan membuatnya terlihat seksi meski berbalut piama panjang bermotif kartun. Aku menelan ludah ketika muncul sebuah keinginan yang tidak pantas di kepalaku, hasrat seksual yang seharusnya bisa kutahan. Tanpa dipersilakan, aku masuk ke studio mendekatinya dan tidak lupa menutup pintu di belakangku.
"Aku sudah bilang kau tidak perlu menyusul ke sini."
Kata-kata itu terdengar menyakitkan.
"Aku ... merindukanmu." Mengungkapkan perasaan kepada satu sama lain tidak pernah sekaku ini. Dulu kami langsung mengutarakannya tanpa pikir panjang, tanpa ada rasa ragu. Yang kami pedulikan hanya bagaimana caranya agar yang kami rasakan bisa diketahui oleh satu sama lain.
Ana menatapku cukup lama. Dari cara menatapnya, rindu itu tidak dirasakan hanya sepihak. Jika bukan karena bantalan jarum di pergelangan tangannya, aku pasti sudah memeluknya. Setelah cukup lama saling tatap, kukira dia akan mengatakan sesuatu, tetapi nyatanya tidak. Aku duduk bersila di atas karpet begitu dia berpaling.
"Kenapa kau melakukannya sendirian? Di mana yang lainnya?"
Aku tidak tahu apakah wanita yang membukakan pintu untukku seharusnya berada di sini membantunya atau tidak. Aku akan merasa sangat bersalah jika seharusnya wanita itu membantu Ana di sini.
"Ini sudah di luar jam kerja mereka."
Aku spontan tersenyum. Ana tetaplah Ana, siapa pun yang bekerja dengannya akan sejahtera. Sejauh ini, tidak pernah ada pekerja di bawahnya yang mengundurkan diri. Bahkan yang di California pun masih meneruskan pekerjaannya.
"Kau bisa meminta mereka untuk lembur." Aku berbasa-basi meski sudah bisa menebak dia akan menjawab apa. Situasi ini menyiksa, aku haus mendengar suaranya.
"Sudah kulakukan saat mengerjakan pesanan minggu lalu. Mereka perlu istirahat." Ana tidak sedikit pun berpaling dari gaun di depannya, seperti aku tidak ada di sini dan dia sedang bicara di telepon dengan earphone tersumbat di telinganya.
"Dan kau tidak?"
Gerakan tangannya terhenti pada bagian garis pinggang gaun tersebut. Itu berhasil membuatnya melihat ke arahku, tetapi bukan cara yang tepat. Dia merasa sangat terganggu. "Kalau kau hanya ingin mengganggu, sebaiknya pulang saja, Killian. Kau tidak lihat aku sedang repot?"
"Setidaknya kau makan camilan yang kubawa dulu."
Ana menghela napas, menyerah menjadi lebih keras kepala dariku. Dia memeriksa gaunnya sekali lagi dan menyusul duduk di sampingku. Namun, dia tidak langsung menyantap taco yang kubeli untuk dimakan bersama, melainkan menjatuhkan kepala pada sofa di belakangnya dan berpejam. Kerutan di dahinya menunjukkan bahwa dia kelelahan.
Aku memijat pelipisnya dengan sebelah tangan. Kantung matanya yang menggelap terlihat lebih jelas ketika wajahnya menghadap langsung pada lampu di langit-langit ruangan. "Kau harus pulang agar aku bisa memijatmu. Kau perlu istirahat lebih banyak sebelum berangkat. Bagaimana kalau kau sakit di sana?"
Seulas senyum terukir di bibirnya yang merah muda. Hormon sialan, aku menelan ludah karena tergoda ingin menciumnya. "Aku tidak sendirian, akan ada yang menjagaku di sana. Ya ... meski tidak sebagus dirimu."
"Kau yakin aku tidak perlu ikut?"
Kelopak matanya terbuka, memperlihatkan pupil cokelat terangnya yang indah. Ana selalu cantik, tetapi dia tidak pernah merasa percaya diri tentang itu.
"Kita sudah membicarakannya berkali-kali. Kau tidak boleh libur terlalu banyak, apalagi mau naik jabatan."
Tentu saja Ana tahu soal itu. Tidak boleh ada yang terlewatkan untuk dia ketahui. "Aku berusaha percaya Allen akan menjagamu, tapi tidak bisa. Aku ... merasa tidak tenang kalau tetap tinggal di sini."
"Killian, kau sahabat yang baik, kau luar biasa. Satu hal yang paling kusyukuri dalam hidupku adalah memilikimu di sisiku." Untuk yang pertama kalinya aku tidak senang mendengarnya menyebutku sahabatnya. Batinku menjerit bahwa aku adalah suaminya. Aku menelan ludah sekali lagi saat sebelah tangannya berada di pipiku. Ujung jari-jarinya terasa kasar karena beberapa kali tertusuk jarum. "Tapi kau tidak harus merasa bertanggung jawab atas diriku. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Kau perlu bebas sesekali. Jangan pedulikan aku, aku bisa menjaga diriku sendiri."
Kau sangat berharga untukku, tidakkah kau menyadari itu, Ana?
Lama-lama dia membuatku gila. Tidak, aku yang sudah tergila-gila padanya entah sejak kapan. Pria mana yang rela melihat wanita berharganya bersama pria lain di tempat yang jauh? Mana mungkin aku mampu untuk tidak peduli. Aku ingin sekali menghapus batasan-batasan yang membuatku sangat frustrasi. Aku ingin melakukan lebih banyak hal padanya, minimal meninggalkan jejak yang menunjukkan bahwa dia adalah milikku. Jejak yang kuharap tidak akan pernah hilang sampai orang-orang melihatnya; jejak yang menyatakan bahwa Ana tidak boleh diganggu karena dia adalah milikku.
Dahi kami bertemu. Aku memajukan wajah begitu saja dan dia tidak menolak. Napas kami yang panas saling beradu, memunculkan hasrat yang tidak tertahankan dalam diriku. Aroma tubuhnya yang manis membuatku kehilangan akal. Aku tidak mengira Tequila akan memiliki kandungan yang sama dengan wine, karena saat ini aku merasakan ketegangan yang sama seperti saat di Napa. Suara jantungku sendiri bergemuruh di telinga.
"Kau membuatku frustrasi, Ana." Suaraku serak dan pelan, nyaris seperti bisikan yang sensual. Ana akan tahu kalau aku sedang menahan sesuatu. Tentunya tidak akan kulakukan tanpa persetujuan Ana.
"Kau seharusnya tidak datang ke sini." Ana balas berbisik.
"Aku sudah tidak tahan lagi tidak bertemu denganmu."
"Kau pasti menghabiskan satu botol Tequila hari ini. Itu punyaku, 'kan?"
"Pemiliknya tidak datang, jadi aku membantu menghabiskannya. Tapi aku tidak mabuk, Ana. Aku sangat sadar untuk bisa sampai di sini."
Ana tersenyum ketika matanya terpejam. "Bisa menjauh? Aku tidak ingin kehilangan kewarasanku."
Astaga. Kuharap aku tidak salah mengartikan bahwa dia juga merasakan apa yang kurasakan sekarang. Napas yang panas, ketegangan yang menyebalkan, gejolak yang terus mendorong untuk menyentuh lebih banyak. Aku tidak lagi merasa ragu untuk mengungkapkan apa yang kuinginkan.
"Aku sangat ingin menciummu."
Sahabat tidak boleh melakukannya, kata-kata itu akan terlontar darinya. Betapa situasi ini sangat mengecewakan. Dia saja langsung menjauh dariku. Ana akan marah kalau aku mengungkit status kami sebagai suami istri dan menyimpulkan bahwa aku hanya berusaha mengambil keuntungan untuk memuaskan diri, padahal tidak seperti itu.
Benar katanya, seharusnya aku tidak datang. Matanya tertuju ke bibirku sebentar sebelum kembali ke mataku.
"Aku juga merindukanmu." Tatapannya turun lagi ke bibirku. Ana benar-benar tahu cara mengguncang pertahananku. "Kalau begitu lakukan sebagai suamiku."
Aku segera melahapnya tanpa pikir panjang lagi, seperti orang yang tidak makan seminggu. Selayaknya ciuman terakhir, kesempatan ini mungkin tidak akan terjadi lagi jika kami benar-benar bercerai. Ini seperti mimpi yang tidak ingin membuatku bangun. Kedua tanganku meraih pinggangnya, menariknya sampai berada di pangkuanku. Ana merespons dengan baik, kedua tangannya mengalung di leherku dan aku berbalas meraih tengkuknya dengan sebelah tangan untuk memperdalam ciuman kami. Sementara satu tanganku yang lain menahan pinggangnya. Mulutnya terasa manis, seperti susu cokelat yang aku yakin adalah minuman terakhirnya. Kuharap waktu bisa berhenti saat ini karena aku tidak ingin mengakhirinya.
Napasnya berderu ketika bibirku menuruni rahang sampai lehernya. Hanya kecupan ringan, tidak ada jejak yang ditinggalkan meski aku menginginkannya. Aku berhenti agak lama di bawah lehernya, tepat di antara tulang selangkanya dan menghirup agak lama aroma tubuhnya di sana. Ini seperti membuatku kecanduan.
"Kita harus pulang." Suara Ana terdengar begitu seksi.
"Ini akan berakhir begitu kita pulang." Aku menciumi lehernya lagi, bermaksud menggodanya.
Ana mendorongku hingga ada ruang udara di antara kami. Wajahnya merah dan kunciran rambutnya yang asal-asalan makin berantakan. Penampilannya membuatku ingin melakukan lebih dari ini.
"Memang harus diakhiri. Kau datang untuk menjemputku, 'kan?" Dia beranjak dariku, kemudian membenahi rambut dan piamanya. Camilan yang kubawa, dua botol bir yang kubeli, semuanya tidak tersentuh. Lagi pula, dia benar, aku datang untuk membawanya pulang. Itu lebih baik daripada dia memutuskan tidur di sini lagi.
Jantungku masih berdebar kencang, sisa dari yang kami lakukan tadi. Ah, betapa aku sangat mencintainya, kali ini bukan lagi sebagai sahabat.
•••
Aku merasa nggak puas sama bab ini, zuzur. Ke depannya akan kuperbaiki, hehe.
See you on the next chapter~
Lots of Love, Tuteyoo
17 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro