Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Debate

#1
Jangan sampai ada yang tahu kalau kita adalah pasangan suami istri, kecuali orang-orang yang berhadir di acara pernikahan kita.

•••

"Ana, perkenalkan dia Gabby. Gabriella Rhodes." Killian mempersilakan kami untuk berjabat tangan. Dia pasti wanita yang dimaksud Killian tempo hari, yang menarik perhatiannya.

Aku menggenggam tangan yang halus itu dengan erat, serta tidak lupa menghadirkan senyum sebagai etika berkenalan. "Senang bertemu denganmu," adalah kalimat yang tidak pernah absen diucapkan oleh siapa pun kepada orang yang baru mereka temui. Meski kenyataannya pertemuan itu tidak benar-benar diharapkan.

Namun, dalam kasusku, takada masalah. Aku memang ingin menemui wanita ini, yang berhasil menarik rasa penasaranku. Dan aku tidak akan berbohong kalau wanita yang lengannya menempel erat dengan Killian ini benar-benar memesona. Baru melihat saja, aku sampai tercengang. Tersenyum pun minder, karena sudah dipastikan kalah cantik.

Aku tidak tahu dia lebih tinggi dariku atau tidak karena dia memakai hak dan saat ini dia hanya lebih tinggi sedikit dariku. Sedangkan aku hanya mengenakan sneakers. Rambut panjang bergelombang dengan volume penuh itu dibiarkan terurai, pasti sangat halus. Porsi tubuhnya bagus, meski memakai jeans dan atasan rajut, lekuk tubuhnya tercetak jelas. Bukan tipe tubuh model, tetapi mengingatkanku pada jam pasir. Biasanya pria Amerika sangat menggilai bentuk tubuh seperti itu.

Killian mungkin pria Inggris, tetapi aku yakin dia juga tergoda.

"Killian bercerita banyak tentangmu," ucapnya begitu jabatan tangan kami berakhir.

Aku sering mendengar kalimat itu ketika seorang teman memperkenalkanku dengan teman yang lain. Namun, yang satu ini aku agak sulit memercayainya. Tenang saja, aku akan merespons dengan baik kali ini.

"Oh, ya? Apa saja? Kuharap bukan sesuatu yang memalukan."

Gabby melirik Killian, seolah-olah meminta pertolongan. Sudah kuduga Killian tidak akan serepot itu bercerita panjang lebar tentangku kepada orang lain, apalagi kepada seseorang yang baru beberapa kali menghabiskan waktu dengannya. Dia bukan orang yang suka membicarakan orang lain.

"Banyak, Ana, kau harus tahu betapa aku sangat bangga kepadamu." Killian bersikap natural, membenarkan ucapan Gabby. Sayang sekali, aku tidak bisa dibohongi.

Ya, sudahlah. Aku hanya merespons dengan anggukan ringan.

"Semua itu milikmu? Kau yang membuatnya sendiri?" Aku berbalik, mengikuti arah telunjuknya. Dia memandang tiga baju yang dipasang di manekin dengan tatapan memuja. Sisanya hanya kami gantung di rak di sebelah manekin tersebut.

"Membuat adalah kata yang kurang tepat. Aku menggambarnya untuk kemudian dijahit bersama mereka. Ilustrasi yang kugambar tidak akan jadi seperti itu tanpa bantuan orang-orang yang hebat." Aku tersenyum puas. Reaksi Gabby membuatku bangga dengan rekan kerja yang kumiliki saat ini.

"Aku pasti akan membeli baju-baju itu kalau dijual, berapa pun harganya."

Kedua alisku spontan naik hanya karena dia berucap seperti itu dengan mantap. Namun, aku tidak cukup senang mendengarnya. Gabby baru saja membuktikan kalau dia memiliki banyak uang. Entah itu karena gajinya yang besar, atau sebelum bekerja, dia sudah hidup berkecukupan. Aku lebih yakin pada opsi kedua.

"Aku tidak suka menjual sampel pertama, Gabby. Tak peduli kalau aku sedang memerlukan uang dan kau menawarkan harga fantastis sekalipun. Itu prinsipku."

Aku suka menyimpan rancangan pertama dari busana-busanaku. Di California, aku punya ruangan khusus kecil, a closet room, untuk menyimpan mereka. Terkadang aku perlu terus disadarkan tentang sejauh mana usahaku, dan selama ini cukup berhasil menyadarkanku bahwa hasil yang kukerjakan masih belum ada apa-apanya, belum cukup memuaskan.

Kembali pada Gabby, aku tidak tahu seberapa inginnya dia akan busana-busana itu sampai kini mencebikkan bibir tebalnya. Jujur saja, itu menggelikan.

"Aku ingin membantumu, katanya kau sedang berusaha untuk mencari uang. Bisa dibilang, tawaranku itu untuk berjaga-jaga. Bagaimana kalau kau tidak berhasil lolos besok?"

Tidak peduli semanis apa seseorang mengatakannya, sekali tujuannya untuk menyindir, akan selalu berhasil melukai perasaan lawan bicaranya. Dia pikir uang bisa membantu menyelesaikan permasalahan seseorang? Pikirnya mungkin begitu, seandainya uang adalah satu hal yang membuatnya merasa lebih dari orang lain.

"Terima kasih, tetapi aku aku lebih suka memikirkan cara lain selain menghancurkan prinsipku sendiri."

Kesan pertama yang tidak terlalu baik, kurasa. Aku menatap Killian yang sedang memainkan ponsel—sepertinya dia tidak benar-benar memperhatikan obrolan kami tadi, sedangkan Gabby sudah membuka mulutnya lagi ingin bicara. Sengaja memang, aku enggan mendebat uang yang dia punya.

"Kenapa datang? Aku belum selesai dan belum memintamu menjemputku."

"Kami baru pulang dari kantor dan sengaja mampir. Siapa tahu kau sudah mau pulang." Killian membalas sembari menyimpan kembali ponselnya.

Kuperhatikan penampilan mereka sebentar. Killian masih mengenakan kemeja dan celana bahan, tetapi yang dikenakan Gabby bahkan terlalu santai untuk ukuran pergi ke kantor.

Aku berbalik, memandang rekan-rekan setimku yang mulai berkemas. Itu pertanda kalau aku juga harus pulang. Lagi pula, semuanya sudah selesai, tidak ada lagi yang dilakukan setelah ini. Hanya besok aku harus datang pagi-pagi untuk gladi.

"Kurasa sudah selesai. Sebentar, aku mengemas barangku dulu." Aku tersenyum pada Gabby sekilas dan meninggalkan mereka.

Aku ke kamar kecil lebih dulu, sekadar untuk menyisir rambut yang berantakan dan mengikatnya kembali agar lebih rapi. Meski sudah pendek, aku tetap tidak bisa membiarkan rambutku menempel ke leher jika sedang berkeringat.

Ketika aku memandang cermin, wajah Gabby membayang di kepalaku. Dia terlalu cantik. Bahkan sangat serasi ketika disandingkan dengan Killian yang pernah dinobatkan sebagai Prom King saat SMA dulu. Sayangnya, aku yang menikah dengannya. Kasihan sekali para pengagumnya.

Aku meraih tas di loker dan memasukkan beberapa barangku yang tersebar di beberapa sudut studio, mulai dari sketchbook sampai stoples kecil berisi jarum pentol. Setelah memastikan takada yang tertinggal, aku kembali menghampiri mereka.

"Oke. Aku siap."

Killian membiarkan aku berjalan lebih dulu, sementara dirinya bersama Gabby di belakang.

Killian memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu keluar parkiran. Aku meraih pembuka pintu penumpang di bagian depan ketika di saat yang sama Gabby juga akan melakukannya. Aku melihatnya sebentar, tersenyum sekilas, lalu masuk ke mobil tanpa bertanya apakah dia ingin duduk di depan atau tidak.

Apa Killian akan memprotes sikapku? Tidak. Dia bahkan tetap tenang saat memasang sabuk pengaman, tanpa tahu seperti apa keadaan wanita di belakang sana.

"Habis ini kita mau ke mana?" Suaraku memecah keheningan ketika mobil Killian sudah melaju di jalanan.

"Gabby, kau mau pergi ke suatu tempat?" Manis sekali cara Killian bertanya. Aku sering mendengarnya ketika dia mencoba mendekati perempuan yang menarik perhatiannya.

"Tidak tahu. Aku hanya akan mengikuti kalian," balas wanita cantik itu.

"Tapi kami tidak berencana pergi ke mana-mana." Aku yang membalas.

Aku sudah tidak memiliki hasrat untuk mampir ke mana pun, meski untuk membeli makan sekalipun. Hari ini cukup melelahkan dan aku berpikir ingin tidur cepat malam ini, mengingat besok adalah hari penting. Kuharap Killian mengerti dan tidak membawaku pergi ke mana pun yang ingin dia tuju bersama Gabby. Atau antar aku pulang dulu, baru dia pergi lagi. Ya ... hanya jika Killian bersedia.

"Kami akan mengantarmu pulang, Gabby. Kita sudah banyak berkeliling hari ini, kau perlu istirahat."

Jadi, maksudnya aku tidak perlu istirahat juga?

💍

Mobil Killian akhirnya berhenti di garasi rumah. Pulang ketika matahari belum menunjukkan tanda-tanda ingin bersembunyi, dan tiba di rumah ketika hari sudah gelap. Perjalanan ke apartemen tempat tinggal Gabby yang berada di distrik elite menghabiskan waktu setengah jam dari studio. Belum lagi jalanan macet. Aku saja sempat tertidur di mobil, dan Killian baru membangunkanku beberapa saat sebelum tiba di rumah.

"Ana." Killian memanggil ketika aku baru akan menaiki tangga. Dia berdiri di samping meja mini bar, menatapku sembari menggulung lengan kemejanya.

"Ya?" Aku memutuskan kembali menghampirinya. Postur tubuhnya yang agak tegang membuatku percaya bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan.

"Mungkin lain kali kalau kita pergi bertiga, biarkan Gabby duduk di depan, di sebelahku."

Oh? Kukira ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Pembahasan yang tidak penting ini lantas membuat dahiku berkerut. "Kita membicarakan ini?"

"Dia mungkin ingin mengobrol denganku." Killian tidak mengindahkan pertanyaanku.

"Aku tidak menghalangi kalian bicara, 'kan? Bahkan aku yang lebih banyak diam." Aku tiba-tiba merasa disalahkan di sini.

Killian menyugar rambutnya dan mengembuskan napas yang berat, seolah-olah dia baru saja ditimpa oleh beban hidup yang berat. Jujur saja, aku cukup tersinggung karena sikapnya. Apa dia juga menyesal sudah menikah denganku?

"Dia ingin duduk di depan, sebelum kau memasukinya."

"Ya. Karena aku meraih pintunya lebih dulu. Lagi pula, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku bahkan tidak merasa harus mengalah untuknya. Dia belum jadi siapa-siapamu." Kurasa aku perlu membuktikan bahwa aku tidak melakukan kesalahan karena Killian juga tidak lebih dulu memberi tahuku tentang keinginannya duduk bersama di depan.

"Hanya karena kau berstatus sebagai istriku, bukan berarti kau unggul darinya, Ana." Killian tampak sedang menahan kesal sekarang. Dia sampai menghindari menatap mataku.

Tasku jatuh. Sejak tadi aku menahannya agar tetap berada di bahuku, tetapi pada akhirnya kubiarkan meluncur bebas begitu bahuku terkulai lemas.

"Kaupikir aku bangga dengan status yang harus disembunyikan ke semua orang ini? Memangnya keinginanku untuk menikah? Ingat, siapa yang mendesakku agar tidak menggagalkan pernikahan kita?"

Aku merangsek maju, menghapus jarak hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. "Kau, Killian." Telunjukku menusuk-nusuk dadanya beberapa kali. Dia bergeming, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melawanku. Mungkin dia sadar kalau ucapanku benar.

Sudut bibirnya berkedut, kupikir dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ditahannya. Ini adalah kali pertama sikap Killian menyakiti hatiku. Kami sering berselisih pendapat, dan seperti yang kubilang, sering sekali mengacaukan satu sama lain. Namun, tidak sampai menimbulkan situasi yang tidak mengenakkan ini. Kalau di film-film, momen ini sama tegangnya dengan ketika seorang istri menuntut sang suami agar mengakui kecurangannya.

Sial. Sekarang aku jadi membenci status yang tersemat di diriku itu.

Aku menjauh lagi darinya dan meraih tasku yang tergeletak di lantai. Karena mungkin tidak ada yang ingin dikatakan Killian lagi, sebaiknya aku ke kamar dan istirahat.

"Kau menyebalkan sekali, Killian." Itulah salam perpisahan yang kuucapkan kepadanya sebelum beranjak ke kamar.

Hanya perkara tempat duduk mobil saja sampai seperti ini. Killian bahkan tidak sadar wanita cantik itu sudah menyindirku soal mendapatkan uang. Ugh. Meski kesal, aku masih sempat memujinya. Bagaimana kalau kubilang sikapku tadi sebagai ajang balas dendam? Tentu saja Killian akan semakin menyalahkanku.

Ketika seseorang sedang jatuh cinta, orang itu akan selalu benar di matanya. Cinta itu membutakan. Setidaknya itu yang pernah kubaca dari sebuah buku. Kupikir aku sedang menyaksikan itu dengan mata kepalaku sendiri saat ini.

Aku nyaris melepas kemeja ketika pintu kamar terbuka. Dari cermin di pintu lemari, aku menemukan Killian berdiri di ambang pintu dan menatapku. Cepat-cepat kupasang kembali beberapa kancing kemeja agar dia tidak melihat apa yang kukenakan di baliknya.

"Apa yang kaulakukan di sini?"

Killian tidak mengatakan apa-apa dan berjalan masuk. Mataku memicing pada langkahnya yang gontai. Hari ini aku sungguh tidak bisa mengerti dirinya. Dia jadi sosok yang berbeda dan aku tidak suka bersamanya saat ini.

"Sepertinya aku melukai perasaanmu," ujarnya setelah berhenti dan menyisakan jarak selangkah saja dariku.

"Kau tahu aku akan melupakannya besok."

Killian mengangguk pelan. "Seharusnya aku meminta dengan cara yang baik kepadamu. Aku hanya ... diambil alih oleh dugaan kalau Gabby bisa saja sakit hati karena dibiarkan duduk di belakang."

"Kau benar-benar jatuh cinta padanya, ya?" Pertanyaan itu meluncur bebas seperti air yang mengalir dari tempat tinggi.

"Aku sedang mencoba mendalami perasaanku, tapi kurasa kau benar."

Kali ini aku yang mengangguk pelan. Aku tidak tahu harus berkata apa dan tak tahu harus bersikap seperti apa. Lagi pula, ini situasi yang baru. Jatuh cinta setelah menikah. Kalau kepada pasangan sendiri, ya, wajar saja.

"Lalu, apa yang akan kaulakukan setelah yakin akan perasaanmu kepadanya?" Yap. Apa rencananya setelah ini? Dia pasti sudah memikirkan sesuatu.

"Aku sudah memikirkan kesepakatan yang lainnya."

Bolehkah aku mengkhawatirkan idenya kali ini? Yang satu saja rasanya berat sekali. Menyembunyikan status sebesar ini kepada semua orang? Aku sampai harus berhati-hati saat bicara agar tidak keceplosan.

"Apa itu?" Aku ingin tahu meski aku tidak siap untuk mendengarnya.

"Ayo bercerai setelah menemukan cinta kita masing-masing."

***

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
25 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro