Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

69 - Make a Wish

"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun, Ana."

Apa yang kubilang tentang Killian yang serbabisa? Di ulang tahunku yang ketujuh belas, dia bahkan rela belajar bermain gitar dan mengaransemen lagu selamat ulang tahun dengan versinya agar bisa dibawakan dengan gitar. Aku tidak pernah tahu kapan dia berlatih, tahu-tahu dia datang ke kamarku tengah malam dengan kue dan gitar. Tadinya aku hampir menertawakan kalau ternyata dia akan memainkannya asal-asalan. Lagi pula, suaranya saja sudah cukup enak didengar meski tidak diiringi alat musik, tetapi dia memilih untuk mempersulit dirinya sendiri.

Kejutan darinya sama sekali tidak membuatku terkejut, pada awalnya. Dia selalu melakukan ini; datang ke kamarku tepat pukul dua belas malam di tanggal 20 Maret dengan membawa kue ulang tahun. Hari ini pun aku tetap terjaga karena tahu dia akan datang, apalagi perutku lapar. Namun, kali ini dia berhasil membuatku melongo ketika sebuah tas gitar tersampir di bahunya. Karena masih tidak bisa percaya Killian tiba-tiba bisa bermain gitar, aku menantangnya untuk memainkan lagu yang lain, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Dia hanya mempelajari chord untuk dinyanyikan malam ini. Yah, itu benar-benar sangat Killian dan aku menerimanya.

"Tidak buruk, 'kan?" Aku mengerti Killian bertanya tentang permainannya tadi. Yah, bahkan aku tidak bisa menutupi betapa aku merasa takjub dengan usahanya kali ini.

"Cukup kecewa karena kau tidak bisa memainkan lagu kesukaanku."

Killian menyingkirkan gitarnya dan meletakkan kue yang dibawanya tadi ke tengah-tengah kami. Kami duduk berhadapan di kasur, dan dia mulai menyalakan dua lilin panjang yang nyaris sekurus lidi. Kami tidak suka memakai lilin berbentuk angka karena menganggap itu akan mengingatkan bahwa kami bertambah tua, padahal kenyataannya memang begitu.

"Aku akan menyanyikannya untukmu nanti. Ayo buat harapan dan tiup lilinnya." Dia mengangkat kue itu menjadi lebih dekat denganku.

Aku memandang kue itu sebentar. Kue berbentuk emoji kepala bayi yang biasa ada pada kibor ponsel yang tidak terlalu besar, setidaknya cukup untuk langsung kami habiskan berdua. Aku tidak tahu kali ini atas dasar apa dia memilih model begitu, tetapi aku tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting adalah logo yang terlihat pada alas kue, yang merupakan toko kue kesukaanku.

Aku berpejam sebentar dengan dua telapak tangan menempel pada dada. Dalam hati aku mengucapkan keinginanku, kemudian meniup lilinnya. Killian lantas bersorak seorang diri dan menurunkan kembali kuenya. Dia memberikan garpu untukku setelahnya. Tidak ada sesi potong kue, kami akan memakan kuenya langsung menggunakan garpu.

"Kau meminta apa? Aku akan mewujudkan keinginanmu."

Mulutku sedang sibuk mengunyah kue, jadi hanya mataku yang menyipit sebagai reaksi tidak terima. "Kudengar harapan akan dikabulkan jika tidak diberi tahu kepada siapa pun."

Dia tertawa meledek. "Kau percaya itu? Bukankah akan lebih mudah diwujudkan jika orang lain juga mengetahuinya?" Killian bodoh. Kenapa tidak mengiakan saja dan makan dengan tenang? Aku ingin berkonsentrasi pada rasa tiramisu dari kuenya, bukan diajak berdebat.

Aku menggeleng. "Kalau aku meminta dibelikan sesuatu, baru aku bisa menyebutkannya."

"Jadi, kau tidak mau memberitahuku?"

"Tidak. Ngomong-ngomong mana hadiahku?" Aku melihat ke sekitarnya, bahkan saat datang tadi dia tidak membawa bingkisan apa pun. Tidak mungkin gitar itu akan ditinggal di sini meski Killian tidak membutuhkannya.

Dia mengangkat bahu. "Tadinya kupikir hadiahku adalah mewujudkan harapanmu." Dia baru saja menyantap kue yang dibawanya.

Aku menatap Killian cukup lama. Dia tidak menyadari itu karena sibuk menyantap kue. Aku tidak meminta yang aneh-aneh sebetulnya, tetapi aku tidak yakin itu akan mudah untuknya. Aku takut dia merasa terbebani karena berusaha untuk mewujudkannya. Untuk yang satu itu, aku akan memercayakannya menjadi tugas langit.

Aku berharap persahabatan kami akan bertahan lebih lama lagi.

•••

Hari ini aku menemukan gumpalan surat pengajuan perceraian lagi di tempat sampah. Kali ini bukan di kamar atau ruang kerjanya, tetapi di tempat sampah dapur. Kurasa pagi-pagi sekali sebelum pergi jogging, dia sudah ke dapur sambil membacanya. Yah, setidaknya ada kemajuan, dia tidak langsung membuangnya seperti hari-hari kemarin. Sebetulnya aku penasaran bagaimana perasaannya saat melihat kertas-kertas tersebut setiap hari. Killian tidak pernah membicarakannya sedikit pun, bahkan saat kami sarapan bersama pun, dia tidak pernah terlihat kesal. Dia mungkin berpikir aku akan menyerah begitu saja, atau keinginanku itu hanya seperti angin lalu baginya.

Terkadang muncul keinginan untuk membicarakannya dengan benar, saling mengungkapkan apa yang dirasakan satu sama lain tentang pernikahan ini. Aku ingin mendengar alasannya untuk mempertahankan semua ini. Mungkinkah karena kami sudah terbiasa bersama seperti ini sejak dulu hingga dirasa tidak perlu memulai sesuatu yang baru lagi bersama orang lain, atau Killian sadar perasaannya pada Gabby sudah terlalu kuat hingga tidak mungkin untuk jatuh cinta lagi pada wanita lain? Seandainya kami akan bicara hari ini, apa aku sanggup menahan diriku untuk tetap mendengarkan tanpa meminta tiba-tiba mengakhirinya seperti yang sudah-sudah?

Semua pemikiran itu sungguh membuatku sakit kepala. Tanganku bertumpu pada kedua sisi wastafel yang penuh dengan peralatan kotor sisa aku memasak pagi ini. Rencana untuk mencucinya pun kuurungkan.

Akhir pekan kali ini aku memutuskan untuk berada di studio di rumah saja. Salinan desain dan gambar detail pola per potongan kain juga sudah kuberikan pada rekan-rekan kerjaku. Aku memercayakan mereka untuk menjahitnya di gedung. Hari ini aku ingin bekerja sedikit lebih santai meski Killian mungkin juga akan berada seharian di rumah. Sambil menunggu Killian pulang untuk sarapan bersama, aku mengambil puding kemasan rasa cokelat dari dalam kulkas dan ingin menyantapnya sambil menonton TV. Tayangan kartun Spongebob yang biasanya membuatku antusias hanya kusaksikan dengan wajah datar.

"Kukira itu kartun favoritmu."

Killian akhirnya pulang dan dia sama sekali tidak berkeringat, padahal kaos dan celana selututnya merupakan yang biasa dia pakai untuk jogging. Sampai dia duduk di sebelahku, aku tidak berhenti menatapnya. Karena tidak berkeringat, aku tidak mengusirnya, justru menikmati aroma parfumnya yang lembut.

"Kapan kau akan tanda tangan?" Aku meletakkan mangkuk puding yang sudah kosong dan membenahi posisi duduk hingga bersandar lebih nyaman di sofa. Aku kembali menyaksikan kartun di TV.

Sebelah tangannya memainkan rambutku yang kini panjangnya sudah hampir melewati bahuku. Kali ini aku membiarkannya tumbuh panjang. "Kapan kau berhenti memintaku melakukannya? Apa tidak bosan?"

"Pernikahan ini hampa, apa kau tidak merasakannya?"

Napasku tertahan untuk sepersekian detik ketika dia tiba-tiba mendekat. Aku bahkan tidak menghindar ketika dia mendaratkan bibirnya di bahuku yang tidak tertutupi oleh tali gaun tidurku. Satu hal yang kutahu, aku menyukai itu. "Apa tidak bisa menganggap ini sebagai bentuk dua orang sahabat yang tinggal bersama?"

Aku menelengkan kepala tanpa sadar ketika Killian terus mendaratkan kecupan-kecupan ringan di bahuku. "Kau tidak bisa melakukan ini kalau hanya sahabatku." Tunggu, itu justru terdengar seperti aku tidak menginginkan perceraian di antara kami. Aku jadi tidak bisa fokus karena perbuatannya. "Tapi aku juga tidak ingin kau memanfaatkan status kita sebagai suami istri dan berbuat sesuka hatimu. Kejadian yang kemarin, biar cukup sekali saja. Aku tidak ingin itu terjadi lagi."

Killian menghentikan aktivitasnya, tetapi dagunya masih berada di bahuku. "Kau tidak mau melakukannya lagi denganku?"

Maksudnya ... itu, 'kan?

Pria ini harus diberi pelajaran. Aku menurunkan bahu, kemudian menaikkannya tiba-tiba hingga membentur dagunya dengan keras. Sekarang dia tidak lagi terlalu menempel padaku. Sayangnya tidak hanya dia yang kesakitan, tulang bahuku juga nyeri, tetapi aku berusaha menutupinya dengan mengulum bibir untuk menahan ringisan. Aku tidak sampai mempertimbangkan apakah itu akan menyakitiku juga karena yang kupikirkan hanya membuatnya jauh dariku. Setidaknya aku cukup puas hanya dengan melihat dia lebih kesakitan daripada aku.

"Namanya saja bercinta. Kalau aku mau, aku hanya akan melakukannya pada pria yang kucintai dan yang mencintaiku. Itu baru benar, 'kan?"

Selama beberapa detik berlalu, Killian masih diam. Rupanya salah ketika kupikir benturan tadi akan membuatnya jera. Dia menghampiriku lagi dan kali ini dagunya yang mendarat di bahuku, mempersilakan aroma samponya membaur dengan udara yang kuhirup.

"Kalau sejak dulu kita saling mencintai, apa yang terjadi pada kita sekarang, Ana?"

Kali ini aku yang terdiam agak lama. Aku tidak pernah memikirkan tentang itu karena percaya bahwa kami bisa mematahkan pemikiran orang-orang bahwa laki-laki dan perempuan bisa bersahabat selamanya. Kupikir kami akan menjadi satu yang berhasil, tetapi tetapi aku juga yang lebih dulu mengacaukannya.

"Kita mungkin tidak akan bersama lagi."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

Aku tersenyum, bertepatan dengan tayangan kartun yang berakir. Aku jadi ingat seharusnya kami sedang sarapan sekarang. "Karena kau akan jatuh cinta lagi ... pada Gabby."

•••

Sudah lewat pukul satu malam dan aku masih terjaga di studio di rumahku. Tidak banyak yang kulakukan, hanya mengerjakan detail satu gaun yang sudah selesai dijahit. Aku sengaja membawanya pulang kemarin, tanpa alasan khusus. Terkadang ada hari di mana aku ingin berada di rumah saja dan tidak membuang total satu jam waktu di perjalanan. Karena dalam satu jam itu, aku bisa menghasilkan dua atau tiga rancangan busana di buku sketsa. Tentunya hanya jika aku tidak sedang kehabisan ide.

Aku menguap, dan itu merupakan alarm pengingat untuk berhenti. Aku perlu tidur agar besok pagi mataku bisa terbuka. Sepertinya kafein bekerja cukup baik untukku hari ini, atau justru target untuk menyelesaikan gaun yang membuat mataku masih mampu terbuka sampai sekarang. Yang jelas, aku akan istirahat setelah ini. Segera kubereskan sisa pekerjaanku tadi dan menggantung gaun ini ke rak menggunakan hanger.

Kegelapan menyambutku ketika pintu kamar kubuka. Aku tidak ingat apa sebelumnya memang kumatikan atau sistem yang dipasang Killian di rumah ini agar lampu menyala dan mati secara otomatis sedang bermasalah. Yang pasti, makin lama gelap, makin membuat dadaku sesak. Aku takut, sedikit. Karena terlalu gelap mencari tombol lampu dan tidak ingin menabrak sesuatu, aku menyalakannya menggunakan aplikasi di ponselku.

Sayangnya, aku nyaris menjatuhkan ponsel karena Killian tahu-tahu berdiri di depanku dengan membawa kue. Ada dua lilin di atasnya yang belum dinyalakan.

"Aku menunggu lama di sini, selamat ulang tahun, Ana." Killian masih tersenyum meski dengan mata yang sayu karena mengantuk.

Memangnya sudah tanggal berapa sekarang ini? Pertanyaan itu muncul di kepalaku begitu saja dan aku langsung memastikannya di ponsel. Sudah tanggal 20 Maret sejak satu jam yang lalu dan aku tidak menyadarinya. Tidak hanya itu, sejak kemarin-kemarin aku juga tidak menantikan tanggal ini akan tiba. Aku terlalu sibuk atau bagaimana? Jangan sampai setelah ini aku akan melupakan ulang tahun Killian juga.

Kamarku juga dipasangi balon, di atas nakas ada sebotol anggur yang saat di Napa aku bilang pada Killian kalau itu adalah kesukaanku, tidak ketinggalan dua gelasnya. Di atas kasur ada beberapa kotak hadiah dengan berbagai ukuran. Killian sungguh tidak pernah gagal menjadi orang pertama merayakan bertambahnya usiaku. Aku jadi terharu, meski terus mendesaknya agar kami bercerai, tetapi Killian masih mau bersusah payah seperti ini. Aku menghargainya meski ini sangat sederhana.

Yah, lagi pula, sesuatu seperti ini jelas bukan hal istimewa lagi bagi Killian. Dia selalu melakukannya meski kami belum menikah. Tidak ada alasan untuk membiarkan momen ini menggoyahkan keputusanku. Killian saja mampu membedakan situasi kami; sebagai sahabat atau sebagai suami.

"Sampai kapan kau akan melihatnya seperti itu terus?"

'Selamat ulang tahun, istriku', begitu yang tertulis di atas kuenya. Dia tidak melakukan sesuatu yang aneh kali ini. Kuenya normal, berbentuk persegi dengan topping bunga mawar yang mengelilingi, tidak seperti biasa dia memesan dengan model yang aneh. Entah dari mana dia mendapatkan lilin yang berbentuk seperti sebuah gaun.

"Istri, serius?" Aku berusaha menyingkirkan rasa terharu sejenak dan menjadikan kuenya sebagai lelucon.

Dia hanya mengedikkan bahu. "Tidak bisa mengabaikan fakta yang satu itu." Dia mulai merogoh kantong atasan piamanya demi sebuah pemantik dan mulai membakar lilinnya. "Aku akan menyalakan lilin, kau pilih apakah ingin berharap dalam diam atau memintaku mewujudkan sesuatu untukmu?"

"Apa pun?"

"Ya, kecuali bercerai."

Aku spontan meniup helai-helai rambutku yang berantakan di depan wajah dengan wajah yang masam. Dia benar-benar tahu bahwa untuk saat ini hanya itu satu-satunya yang kuinginkan. "Tidak, aku hanya ingin kau menandatangani surat pengajuannya." Aku tersenyum puas, dia pasti tidak menyangka aku akan meminta itu. Auranya seketika menjadi suram, jelas itu bukan ekspresi yang bagus untuk memberi kejutan.

"Tawaran mewujudkan keinginanmu kutarik kembali. Cepat buat harapan sebelum lilinnya habis."

Ekspresi kesal Killian saat ini sungguh lucu. Sebenarnya wajah merengut tidak cocok untuk perawakannya. Terkadang pria yang tangguh pun bisa jadi sangat menggemaskan, aku sampai tidak bisa menahan diri dan mencubit kedua pipinya dengan kuat. Dia harus tahu betapa tidak menyenangkannya ketika pipimu ditarik-tarik.

Aku berpejam, mengucapkan harapanku dalam hati, kemudian mengembuskannya bersama udara dan membiarkannya berbaur dengan asap dari lilin yang mati. Harapan itu mengudara, berharap bisa sampai ke langit. Namun, tatapan kosong Killian saat menyaksikan lilin itu mati mulai menggangguku.

Untuk menyadarkan Killian, aku mencolek sedikit mentega dari kue itu dan kusapukan ke hidungnya. Aku lantas tersenyum jenaka ketika dia mulai mengalihkan pandangan ke wajahku. Ini ulang tahunku, seharusnya kami bersenang-senang, tetapi dia justru merasa hampa.

"Apa yang kau minta?" Katanya dengan nada yang terlampau datar.

"Sudah kubilang kalau harapan tidak boleh diberitahukan ke orang lain." Aku menjatuhkan tubuh ke kasur dan tatapanku tertuju pada botol anggur. Aku jadi ingin mengajaknya minum untuk menyingkirkan situasi yang mulai terasa canggung ini.

"Apa kau meminta agar kita bercerai?" Dia mendekat dan menyusul meletakkan kue yang dibawanya sejak tadi ke atas nakas. Kue itu kecil, cukup untuk dimakan berdua saja.

"Um, mungkin saja?"

Dia berdiri di depanku dengan tatapan yang aneh. Aku sampai menelan ludah ketika situasinya mulai mengingatkanku pada saat kami di Napa. Rasanya ingin sekali aku buru-buru menyembunyikan botol anggur tadi agar kami tidak meminumnya malam ini. Kutarik kembali rencanaku ingin mengajaknya minum. Ini jelas bukan waktu yang tepat.

'Bukankah sudah saatnya kita tidur?' Tidak, pertanyaan itu hanya akan membuat situasi kami menjadi lebih canggung.

Killian mencondongkan badan hingga kedua tangannya bertumpu pada kedua sisi tubuhku. Aku nyaris berbaring seandainya wajah kami terlalu dekat. "Apa aku sungguh tidak bisa membuatmu berubah pikiran?"

"Kau bahkan tidak berusaha meyakinkanku." Sikapnya memang jauh lebih manis akhir-akhir ini, tetapi aku tidak bisa menjadikan itu sebagai sebuah usaha untuk membuatku tetap bertahan. Terlebih lagi, belum ada sebulan sejak hubungannya berakhir dengan Gabby. Akan ada masanya di mana dia tiba-tiba termenung dan memikirkan kembali cinta lamanya. "Setidaknya beri aku kesempatan untuk dicintai orang lain dulu agar kita impas."

"Apa sudah terlambat kalau baru kusadari bahwa aku jatuh cinta padamu?"

Sepuluh tahun lalu, aku meminta agar persahabatan kami bertahan lebih lama dan yang kudapatkan melebihi dari yang kuharapkan. Sekarang di usiaku yang kedua puluh tujuh, aku meminta agar apa yang kurasakan padanya berbalas suatu saat nanti. Namun, rasanya aneh kalau harapanku dikabulkan terlalu cepat.

"Kau seharusnya tidak bercanda di saat seperti ini."

•••

:")
Kayaknya makin ke sini makin mengecewakan.

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
8 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro