62 - [Killian] I Can't Let You Go
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."
Sial. Aku tidak bisa menghubungi Gabby. Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti mencoba meneleponnya, tidak ketinggalan mengirim pesan yang menyatakan bahwa aku perlu bicara dengannya. Kalau dia tidak ingin bertemu, cukup bicara di telepon saja. Aku ingin menyelesaikan masalah kemarin. Dia pasti marah besar padaku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan bahwa dia akan membenciku setelah ini. Tinju dari Emma tidak terasa semenyakitkan tamparannya.
Killian
Gabby, kumohon.
Aku hanya perlu bicara sebentar.
Aku tidak peduli bagaimana hubungan kami setelahnya, yang kubutuhkan hanya kesempatan untuk menjelaskan situasi kami dengan benar. Kemarin aku tidak bisa memikirkan hal lain selain menjadi orang pertama yang mampu diandalkan ketika Ana mengalami kesulitan. Gabby tidak akan menamparku jika dia tidak mendengarnya dengan jelas, apalagi aku mengucapkannya dengan lantang. Ana benar saat itu, lebih baik berpisah segera daripada orang lain mengetahuinya seperti ini. Ini sudah terjadi, tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku dan Gabby bisa saja selesai.
Kupikir aku akan merasa khawatir kehilangan Gabby. Itu benar, aku merasakannya, tetapi tidak lebih besar dari ketakutanku kalau segera bercerai dengan Ana. Selama ini aku terus meyakini bahwa apa yang kurasakan pada Gabby akan bertahan selamanya; bahwa dia yang akan kubahagiakan kelak, dan dia juga yang akan melahirkan anak-anakku. Namun, semua itu seperti tidak berarti apa-apa lagi saat ini. Harapan itu sirna, tertiup bersama
Killian
Aku ingin menjelaskan padamu dengan cara yang benar.
Aku sadar, aku salah.
Maafkan aku.
Seperti seorang dokter yang salah mendiagnosis, sudah berbagai macam pengobatan kulakukan, tetapi masalah kesehatan yang kurasakan masih mengganggu. Aku salah mengira kalau Gabby adalah wanita yang kucintai, ketika perhatianku terus saja terpusat pada Ana. Gabby pernah sakit dan aku juga sangat khawatir, tetapi begitu saja, tidak sampai membuatku merasa harus berada di sisinya sepanjang waktu. Dengan Ana, mengorbankan banyak hal terasa mudah, aku tidak membutuhkan balasan apa pun.
Aku bukan bermaksud membandingkan keduanya, aku hanya berusaha mencari tahu alasan di balik sikap impulsifku terhadap keduanya. Aku tidak akan memikirkan tentang itu seandainya Emma tidak mempertanyakan bagaimana sosok Ana bagiku. Kami tumbuh bersama, saling menjaga ketika kedua orang tua kami sibuk dengan pekerjaan. Kami tidak pernah melewatkan satu momen penting satu sama lain. Ana adalah orang pertama yang akan kucari ketika hal baik terjadi, bahkan sebelum orang tuaku. Begitu juga sebaliknya.
Aku tidak pernah berpikir kalau itu merupakan sesuatu yang melebihi dari hubungan persahabatan. Ketika Ana lebih dekat dengan pria lain, aku terus merasa gelisah. Tidak banyak pria baik-baik yang ingin dekat dengannya, kebanyakan hanya untuk bermain-main atau taruhan apakah mereka bisa menandingiku. Sesuatu di dalam diriku bergejolak begitu memikirkan dia akan mencari pria lain untuk menjaganya. Kukira aku hanya khawatir prioritasnya akan terbagi, tetapi sahabat seharusnya saling mendukung dengan siapa saja yang dipilih untuk menjadi pasangannya. Persis seperti ketika Ana selalu mendukung dengan siapa saja aku berkencan.
Jadi, perasaan gelisah ini apakah juga dirasakan Ana? Kalau iya, mungkin itu normal terjadi pada dua orang yang bersahabat.
Kemudi yang tidak berdosa menjadi sasaran pelampiasan kekesalanku. Panggilan yang kulakukan sudah menunjukkan tanda-tanda menyambungkan, menunjukkan bahwa ponselnya menyala dan kontakku tidak diblokir. Namun, Gabby menolaknya. Tiga kali. Dia enggan bicara denganku.
Sudah lima belas menit seperti ini. Aku masih berada di dalam mobil di depan sebuah kedai kecil. Hanya tempat ini yang bisa kutemukan, yang sudah buka dan tidak jauh dari rumah sakit. Namun, aku belum keluar karena masih mencoba menghubungi Gabby. Kalau seperti ini terus, mau tidak mau aku harus menemuinya dan bicara dengan benar. Itu pun jika dia mau menemuiku. Hari ini dia pasti ada di kantor, tetapi aku tidak akan muncul di sana setelah mengajukan izin untuk tidak datang dan mengerjakan bagianku di rumah sakit.
Akhirnya aku keluar dari mobil. Kedai kecil yang kudatangi menjual makanan khusus ikan dan daging-dagingan. Ana perlu makanan yang mampu menjadi asupan untuk pembentukan darah di tubuhnya. Kedai ini sangat cocok, Ana tidak akan menolak ikan. Kuharap dia bisa segera pulih dan dipulangkan. Aku sungguh tidak tega melihatnya sepucat itu.
Kedai ini bersebelahan dengan sebuah taman kanak-kanak. Selagi mengantre, aku memperhatikan para orang tua mengantar anak-anaknya yang berusia kira-kira empat sampai enam tahun. Tidak sedikit yang akan melakukan salam perpisahan bersama sebelum si orang tua pergi meninggalkannya. Itu sungguh pemandangan yang manis. Aku tidak pernah membayangkan punya satu, tetapi melihat interaksi yang begitu intens seperti itu mulai memunculkan keinginan untuk memilikinya.
Aku mungkin terlalu asyik memperhatikan sampai tersenyum sendiri, tidak tahu kalau dari belakangku ada sepasang kaki kecil yang berlari ke arahku hingga tahu-tahu sudah menabrak kakiku. Aku berbalik untuk menemukan seorang gadis kecil yang kira-kira berusia lima atau enam tahun sudah jatuh terduduk di depan kakiku. Lantas kuulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Maafkan aku, Tuan." Suaranya sangat kecil, nyaris berbisik. Aku tidak akan mendengarnya jika tidak sedang berjongkok sekarang. Gadis kecil ini terus menunduk, meski rambutnya dikepang dua, tetapi poninya tetap menghalangiku untuk melihat wajahnya.
"Apa ada yang sakit?" Alih-alih merespons kata-katanya, aku lebih khawatir dia terluka di suatu tempat. Namun, dia menggeleng kecil. Kuharap dia tidak berbohong. Dia menabrak kakiku sangat kuat, dan mungkin sama kuatnya dengan entakan pantatnya di atas aspal.
"Hei." Tanganku mendarat dengan kaku di bahunya. Aku berusaha untuk membuatnya tenang meski tidak tahu bagaimana caranya, tetapi aku justru membuatnya berjengit kaget. "Aku tidak marah, jadi kau tidak perlu takut." Akhirnya dia menatapku. Aku tersenyum sebaik mungkin, berharap itu sepadan dengan keberaniannya. "Kau tersesat? Di mana orang tuamu?"
Gadis kecil itu menoleh ke kiri dan kanannya, lalu berbalik ke belakang, seperti mencari keberadaan orang tuanya. "Itu Ayah." Telunjuknya mengarah pada seorang pria yang berdiri di samping pintu gerbang sambil memegangi tali balon. Pria itu akan memberi masing-masing satu balon pada siswa yang datang di sana.
"Apa kau juga sekolah di sana?"
Dia mengangguk. Aku tidak tahu apakah dia memang pendiam, atau hanya takut pada orang asing. Kerjapan matanya yang bulat membuatku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.
Kuperhatikan lagi pria yang dia anggap sebagai ayahnya. Dia terlalu sibuk memberi senyum pada anak-anak yang datang dan mengabaikan putrinya sendiri. Boleh jadi itu memang pekerjaannya. Aku ingin bertanya apakah ibunya ada di suatu tempat, tetapi sejak tadi tidak ada yang mencarinya, maka kuputuskan anak ini tetap bersamaku sampai ayahnya selesai.
"Ayahmu sedang sibuk. Untuk sementara waktu, kau akan bersamaku, kita bisa beli makanan kesukaanmu, bagaimana?"
Cara yang bagus untuk membuat seorang gadis kecil makin ketakutan, Killian. Mana mungkin dia akan percaya begitu saja pada orang asing yang baru dia temui. Apalagi matanya bergulir gelisah pada wajahku. Sejak tadi aku tidak yakin kalau dia menatap mataku, melainkan sesuatu di bawahnya. Aku lupa lebam di wajahku mungkin terlihat mengerikan baginya.
Lagi pula, kenapa aku masih bersamanya? Bisa saja aku mengantarnya langsung pada ayahnya, tetapi bukan tidak mungkin anak ini akan bermain-main lagi dan berujung menabrak orang lain.
"Begini, aku akan mengantarmu ke sana, tapi bagaimana kalau kita membeli sesuatu dulu?" Aku menunjuk kedai di sisi kiriku. "Aku berjanji tidak akan melakukan apa-apa padamu. Apa kau percaya padaku?"
Mata bulatnya masih dipenuhi keraguan. Daripada dia merasa tertekan bersamaku, memang lebih baik kalau kuantar dia kembali pada ayahnya, meski jujur saja aku enggan berpisah secepat ini. Entah dari mana munculnya keinginan untuk seorang gadis kecil yang cukup asing ini lebih lama lagi. Gadis kecil ini juga mengingatkanku pada Ana. Dia tidak akan banyak bicara pada orang asing. Ya, persis sekali.
"Baiklah, ayo kuantar kembali pada ayahmu." Aku berdiri, mengulurkan sebelah tangan padanya, berharap bergandengan tangannya. Ada kesenangan yang muncul ketika tangan kecilnya menggenggam jari-jariku. Sebetulnya aku ingin mencoba menggendongnya, tetapi aku khawatir itu akan membuatnya lebih ketakutan.
Kami tiba di sebelahnya tepat ketika dia memberikan balon terakhir untuk anak kecil lain yang baru datang. Aku belum mengatakan apa-apa sampai gadis kecil ini yang memanggilnya.
Pria itu menoleh, hanya sebentar melihatku sebelum seluruh perhatiannya tertuju padaku. "Astaga, Lucy, kau dari mana saja?"
Lucy. Luciana. Namanya bahkan mirip dengan Ana.
"Apa dia membuatmu repot?" Dia bertanya setelah memastikan tidak ada masalah dengan putrinya. Dengan wajahku yang seperti ini, aku tidak heran kalau dia pun turut waswas.
"Tidak. Dia sangat sopan." Terlalu sopan sampai aku merasa gemas karena dia tidak kunjung bicara.
Bel masuk sekolah itu berbunyi. Si pria buru-buru memasuki gedung sekolah dan meninggalkanku begitu saja. Aku bahkan belum sempat mendengar kata terima kasih atau mengucapkan salam perpisahan kepada putrinya yang manis. Bukan masalah besar, anak itu memang harus segera berada di kelas begitu bel masuk berbunyi. Dan aku akan kembali pada tujuan awalku berada di daerah ini.
Aku masuk ke kedai, memesan beberapa porsi ikan dengan menu berbeda. Sembari menunggu, aku memesan segelas kopi hangat. Semalam aku tidak bisa tidur dengan benar dan mulai mengantuk. Namun, pria tadi justru datang menemuiku, menyapa, lalu bertanya apakah dia bisa menempati kursi di seberang meja yang kutempati dan memesan teh.
"Aku belum berterima kasih padamu tadi." Begitu kalimat yang dia ucapkan setelah pantatnya mendarat di kursi.
"Bukan masalah besar. Belnya berbunyi."
Dia mengangguk canggung. "Aku sering kelepasan menjaganya. Tidak mudah mengurus anak sendirian sambil bekerja. Oh, ngomong-ngomong aku pengajar olahraga di sekolah itu. Kau bisa memanggilku Teddy."
Aku tersenyum, menghargai niat baiknya untuk menyapaku kembali. "Aku Killian." Kuulurkan tangan agar sesi perkenalan ini terasa sedikit lebih formal. "Apa ibunya juga bekerja?"
"Oh, itu ... dia meninggal saat melahirkan Lucy." Dia tersenyum getir sembari memandangi pusaran teh yang diaduk dalam gelasnya. Kecantikan Lucy sebagian besar berasal dari fitur wajah Teddy.
"Maafkan aku." Aku sudah penasaran sejak Lucy masih bersamaku, tetapi tidak kukira akan menerima jawaban yang menyesakkan begitu aku bertanya.
"Tidak apa-apa. Kau sudah menikah." Matanya lantas tertuju pada jari manisku. Sejak kemarin aku memasang cincin pernikahan, tanpa ada alasan khusus. Mungkin karena aku melihat Ana masih memakainya. Itu terlihat cantik di jari manisnya.
"Iya. Kami merantau ke sini setelah menikah."
"Kau memang tidak terlihat seperti orang sini. Kalian sudah punya anak?"
Kali ini aku yang tersenyum getir. Sejak kemarin aku terus mengkhawatirkan Ana, sampai tidak mengira kalau aku akan merasa kehilangan calon anak kami juga. Kali ini aku mulai merasakan apa yang Ana rasakan meski tidak pernah menjumpai wujudnya sekalipun.
"Istriku baru saja keguguran, sedang dirawat di rumah sakit saat ini. Tapi kondisinya sudah membaik."
Dia memberiku senyum penuh simpati. "Kau mungkin merasa kehilangan, tapi jangan sampai membuatnya merasa bersalah. Wanita mengalami masa-masa yang sulit saat mengandung."
Aku ingin bertanya apakah itu benar, tetapi tidak berani menyuarakannya. Teddy terdiam memandang teh dan tatapannya kosong. Dia persis seperti seorang pria yang sedang menyimpan penyesalan besar, tetapi aku tidak tega menanyakan itu padanya.
"Saat istriku hamil, aku bekerja terlalu keras. Yang kupikirkan hanya kami perlu uang untuk membesarkan anak kami bersama. Tapi itu membuatku tidak punya waktu untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Dia pergi sendiri dan selalu berkata bahwa kondisinya baik-baik saja. Aku berusaha untuk percaya, tapi lebih percaya kalau dia berusaha menyembunyikannya. Dia tahu aku lelah dan tidak ingin mengeluh."
Dia menyesap tehnya sebentar, sementara aku tetap diam dan menjadi pendengar yang baik saja untuk saat ini.
"Rupanya kehamilan tidak sesederhana membesarkan janin di dalam perut. Peningkatan hormonnya memengaruhi kondisi tubuhnya. Kondisinya sangat buruk saat akan melahirkan hingga dokter hanya bisa menyelamatkan salah satunya." Matanya mulai berkaca-kaca dan dalam waktu singkat air matanya mengalir. Ini merupakan situasi di mana aku tidak tahu bagaimana cara menenangkan seorang pria. Tidak mungkin aku memeluknya di sini seperti yang biasa kulakukan untuk menenangkan Ana. Akhirnya yang kulakukan hanya menyodorkan kotak tisu di atas meja menjadi lebih dekat dengannya.
"Kau suami dan ayah yang baik. Istrimu akan berterima kasih padamu suatu saat nanti." Kalimat klise, tetapi kuharap itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
"Aku tidak bermaksud menakutimu. Aku sering menceritakan ini pada orang lain, hanya agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Sungguh, sama sekali tidak ada maksud menyindir."
Aku juga awalnya tidak merasa tersindir, tetapi setelah dia mengatakannya, aku tidak bisa tidak tersentil karena selama Ana hamil, aku tidak mengurusnya sama sekali. Ana berjuang sendirian meski hanya beberapa minggu. Waktu yang singkat bagi orang lain, tetapi pasti sangat berat untuknya. Apalagi dia harus menghadapi keinginan untuk mencoba jus sayur meski sangat membencinya.
"Aku mengerti. Terima kasih sudah mau berbagi, Teddy."
Kami masih mengobrol beberapa waktu setelahnya, sampai kemudian pesananku sudah siap. Aku langsung berpamitan dengan Teddy dan segera kembali ke rumah sakit. Rasanya aku sudah terlalu lama meninggalkan Ana.
•••
Ana duduk menyamping di ranjangnya sambil menatap ke luar jendela. Kakinya menjuntai ke bawah. Ada sedikit pantulan wajahnya di kaca, dan kutemukan tatapannya yang kosong. Dia sedang melamun sampai tidak menyadari aku sudah kembali. Aku benar-benar tidak tahan melihatnya seperti ini, tetapi aku tidak bisa memaksanya untuk melupakan kepergian janin itu begitu saja. Dia perlu waktu untuk terbiasa, dan aku berjanji akan selalu ada di sisinya.
Aku meletakkan laptop di atas kasur lain di ruangan ini dan makanan yang kubeli kuletakkan di atas meja. Kemudian menghampiri Ana dan menyentuh bahunya dengan lembut. Dia mengerjap sebentar, lalu mendaratkan kepalanya ke dadaku, masih dengan tatapan tertuju pada langit di luar jendela. Aku menghapus jarak di antara kami dan memeluknya cukup erat, dia membutuhkannya.
"Aku menunggumu sampai tertidur." Ana akhirnya bersuara setelah beberapa saat hanya diam.
"Maaf." Aku tidak tahu harus mengatakan apa, karena apa pun alasanku tidak akan pantas untuk dimaklumi. "Ke mana Emma?
Wanita itu, aku memaklumi ketidaksukaannya padaku, tetapi tidak dengan meninggalkan Ana sendirian.
"Macy's memerlukannya, jadi kubiarkan dia pergi. Saat tidur tadi, aku memimpikan anak kita. Dia memanggilku untuk ikut dengannya."
Aku tidak lagi bisa tersenyum. Ajakan itu sama artinya dengan membawa Ana pergi dariku. Lingkar tanganku refleks mengerat di punggungnya, seakan-akan kami sedang berada di udara dan jika pelukanku longgar sedikit saja Ana akan terjatuh. Aku tidak bisa membiarkan Ana pergi dariku meski jika benar anak kami yang memintanya.
"Lalu apa lagi?" Jantungku berdebar kencang, dan mungkin Ana pun mampu mendengarnya saat ini. Kepalanya tepat berada di posisi jantungku berada.
"Aku memintanya untuk bersabar."
Astaga. Sabar untuk apa? Aku mendorongnya sekadar untuk melihat apakah dia serius mengatakan itu atau tidak. Namun, yang kutemukan adalah wajah bingungnya.
"Kau ... ." Aku bahkan tidak mampu bertanya karena takut mendengar jawabannya.
"Apa?" Dahinya berkerut curiga, seperti berhasil membaca kegelisahanku. "Kau tidak berpikir aku akan bunuh diri, 'kan?"
Aku merespons dengan satu cengiran yang dipaksakan. Mungkin akan terlihat aneh, tetapi tidak masalah kalau di depan Ana. Kedua tanganku beralih dari lengannya menjadi merapikan rambutnya. Sebetulnya tidak ada masalah dengan rambut, itu hanya akal-akalanku saja demi bisa menyentuh wajahnya. Sekarang aku menangkup wajahnya yang pucat dan masih hangat.
"Mau kubantu membersihkan diri?" Itu tawaran serius, bukan untuk menggodanya atau sekadar ingin menyentuhnya.
"Tadi perawat datang memberi pembalut, dan aku sudah menggantinya. Sekarang aku masih lapar." Ana cemberut, fenomena yang hampir tidak pernah kulihat lagi selama beberapa bulan terakhir. Aku tidak pernah mengira akan merindukan momen ketika dia bersikap manja.
Aku mengambil satu kantong plastik berisi tiga kotak stirofoam dan menarik meja sampai posisinya melintang di atas ranjang tempat Ana berbaring. Dia sudah menyamankan posisi selagi aku membuka bungkusnya. Ikan yang kubeli ini sudah kuminta agar dibuang tulangnya. Dengan begitu, Ana bisa langsung memakannya. Tidak ketinggalan aku juga membelikan jus jeruk dan salad buah. Sementara aku akan menyimpannya ke kulkas.
"Kau tidak makan?"
Aku menggeleng, lalu menarik satu wadah berisi makanan yang disediakan dari rumah sakit di atas meja lain. "Aku akan menghabiskan yang ini."
"Aku akan menyisakan satu bungkus ini untukmu." Dia menutup salah satu stirofoam dan menyisihkannya.
Beberapa waktu berikutnya kuhabiskan dengan menyaksikan Ana makan. Dia memakannya dengan lahap, terbukti kalau kondisinya sangat baik. Stirofoam yang isinya sudah habis segera kubuang ke tempat sampah agar tidak memenuhi meja. Ana seorang yang pembersih dan sangat rapi, itu membuatku juga ikut rajin menjaga kebersihan kalau mau dia tetap menjadi temanku. Awalnya terpaksa, lama-lama menjadi kebiasaan.
Keheningan yang tercipta ini membuatku kembali memikirkan obrolanku bersama pria asing di kedai tadi.
"Boleh kutanya sesuatu?"
Ana menatapku dengan sendok salad buah di mulutnya. "Sepertinya aku tahu kau mau bertanya apa." Dia menunduk bersama sendok yang dikembalikan ke mangkuk.
"Kenapa tidak memberitahuku?" Satu hal yang membuatku penasaran sejak kemarin, tetapi tidak bisa kutanyakan.
"Entahlah? Kukira itu hanya akan membuat situasi kita makin rumit? Lagi pula, itu bukan salahmu. Aku yang meyakinkanmu untuk melakukannya--meski seharusnya kau menolak."
Satu tamparan telak untukku. Sampai sekarang aku masih tidak yakin dengan alasan kenapa aku mau melakukan itu dengannya. Bahkan aku tidak menyesalinya, itu adalah pengalaman pertama yang tidak akan kulupakan.
"Aku tidak mau merusak rencanamu, Killian. Kau ... sudah punya rencana masa depan bersama Gabby. Dan lagi, aku tidak mau anakku kebingungan kenapa ayahnya tidak tinggal bersama ibunya. Daripada menceritakan hubungan kita yang aneh, aku lebih memilih mengurusnya sendirian dan berkata bahwa ayahnya sudah tiada."
Ana tidak menatapku lagi sejak jawaban pertama. Jawaban kedua sungguh di luar dugaanku. Aku mengira dia akan mengatakan jawaban serupa seperti yang diceritakan Teddy, bahwa Ana tidak ingin menggangguku yang sudah banyak pekerjaan ini. Namun, dia masih memikirkan tentang aku. Kalau dia seperti ini terus, mana mungkin aku bisa meninggalkannya.
"Itu tidak masuk akal, Ana. Bahkan kalau kau mau, aku akan meninggalkan Gabby dan kita akan mengurus anak itu bersama." Aku sudah membayangkannya di kepalaku dan tersenyum begitu saja.
Namun, Ana tampaknya tidak senang dengan ide itu. Dia menatapku dengan senyum getir, matanya menyorotkan rasa kecewa yang aku tidak tahu apa alasannya.
"Menurutmu dia akan bahagia kalau tahu kedua orang tuanya tidak saling mencintai?"
Senyumku luntur begitu saja. Punggungku terempas ke sandaran kursi di sisi kanan ranjang, yang kududuki sejak Ana menyantap ikan yang kubelikan. Setiap kata yang Ana lontarkan seakan-akan mematahkan harapanku. Risiko jika aku ingin terus membersamai Ana adalah melepaskan Gabby. Dan aku mulai mempertanyakan seperti apa yang kurasakan pada keduanya.
Urusanku dengan Gabby belum benar-benar selesai. Aku masih perlu menjelaskan semua ini dengannya, dan tidak peduli apa yang akan terjadi setelahnya. Yang kupikirkan hanya wanita yang saat ini berada di hadapanku. Aku tidak ingin terpisah darinya.
"Rencana bercerai itu bisakah kita batalkan?"
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
8 Agustus 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro