Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

52 - The Bond

Menyibukkan diri adalah salah satu cara yang cukup ampuh bagiku untuk melupakan satu atau beberapa hal yang mengganggu pikiran. Waktu pun menjadi semakin cepat berlalu, bahkan sudah satu bulan berlalu setelah kembalinya kami dari Napa Valley. Sejak tiga minggu lalu, aku lebih banyak bekerja di luar Macy's. Entah itu mengurus pengepakan pesanan dari pelanggan Soppaholik di rumah, atau ke studio foto sesekali untuk melihat pemotretan katalog toko.

Aku melupakan soal katalog karena terlalu fokus pada rencana produk yang akan dipasarkan. Awalnya pakaian-pakaian itu hanya difoto ketika dipasang di manekin dan ditata sedemikian rupa agar tampak berestetika, tetapi seseorang yang kupekerjakan di Macy's menyadarkanku kalau itu justru tampak kurang elegan, jadi begitu kembali ke New York, kami langsung mengurus persiapan untuk pemotretan. Karena terlalu mendadak dan kurangnya dana untuk membayar model, kami sendiri yang berfoto menggunakan produk, kecuali Emma. Dia tidak suka berpose, tetapi lihai mengarahkan orang lain dalam berfoto.

Berkat kesibukan itu, aku tidak sempat memikirkan terlalu banyak tentang Killian dan apa yang terjadi saat di Napa. Kupikir aku tidak akan berhenti merasa sedih kalau harus memikirkannya terus, apalagi ketika bertemu tatap dengannya. Aku yang memintanya untuk melupakan, tetapi itu justru terus menghantuiku.

Pagi ini, kami sarapan bersama--sesuatu yang menjadi jarang dilakukan karena aku atau Killian kerap kali menghilang lebih awal. Hari ini aku sudah tiba di ruang makan lebih dulu dan tidak bisa mencari alasan untuk buru-buru pergi.

Kecanggungan ini membuatku paham kenapa banyak orang mengatakan kalau hubungan dua orang yang bersahabat tidak lagi sama setelah melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan pasangan. Jujur saja, agak sulit menyebut 'bercinta' mengingat kami tidak saling merasakan hal yang sama.

"Kulihat kau sangat sibuk akhir-akhir ini?" Dia memulai pembicaraan, tanpa menatapku. Selembar roti bakar dia oles mentega dengan penuh konsentrasi. Aku yang duduk di seberangnya pun tidak berminat untuk menatap lama-lama.

"Kau juga sering lembur." Rupanya aku masih cukup memperhatikan meski sudah berusaha mengabaikan. "Soppaholik membuatku sibuk. Jadi, maaf, aku memakai garasi yang tidak terpakai untuk menyimpan barang. Aku berjanji hanya sementara sampai menemukan tempat untuk disewa."

Dia mengangguk. Gelagatnya menunjukkan seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi selain mulutnya sedang sibuk mengunyah, kerutan di dahinya juga membuktikan dia sedang mempertimbangkan apakah harus diucapkan atau tidak. Aku bisa saja pergi sekarang, melepaskan diri dari kecanggungan yang menyiksa. Namun, aku justru tidak mampu mengangkat tubuhku dari kursi yang tidak nyaman ini.

"Kau bisa menjadikan itu sebagai ruang penyimpanan." Satu jeda yang panjang lagi sebelum dia melanjutkan, "Wajahmu terlihat seperti orang yang kurang istirahat. Istirahatlah setidaknya satu hari."

"Ya. Tapi tidak hari ini." Aku tidak akan berbohong kalau memang sangat lelah.

Semua yang kukerjakan akhir-akhir ini, kalau boleh jujur, tidak seberat saat aku benar-benar baru membuka butik. Aku harus ke sana kemari sendiri untuk mencari sponsor sampai akhirnya mampu mempekerjakan beberapa orang. Namun, yang ini justru lebih melelahkan. Beban pikiran mungkin ikut andil dalam menguras tenaga. Bahkan begitu pulang ke rumah malam harinya, aku langsung tidur, tidak melakukan aktivitas apa-apa lagi selain membersihkan diri. Sebenarnya mudah saja meminta orang lain melakukannya, tetapi aku juga bukan orang yang semudah itu menjatuhkan beban kerja ke orang lain.

"Aku tidak mau kau sakit."

Aku tersenyum hanya karena perhatian kecilnya. "Kau berkata begitu seolah-olah kau menjaga diri dengan benar."

"Setidaknya aku lebih tangguh darimu."

"Tapi merengek seperti bayi saat sakit."

Killian memicing, bukan dalam arti yang buruk seperti tersinggung, tetapi lebih seperti kesal yang dibuat-buat. Karena reaksinya, itu, aku jadi bisa tertawa. Puas sekali. Kecanggungan yang membekukan kami perlahan-lahan mulai meleleh.

"Kau bisa pulang lebih awal hari ini?" Itu pertanyaan tidak terduga yang akan keluar dari mulutnya. Mulutku sampai terbuka selama beberapa saat karena tidak jadi meminum sisa susu cokelatku. "Kita bisa pergi makan di luar, atau jalan-jalan. Sudah lama kita tidak melakukannya."

Aku ingin sekali menerima ajakannya, tetapi ... .

"Aku memang berencana pulang lebih awal hari ini, tapi untuk pergi bersama Allen."

Kemarin aku cukup antusias memikirkan akan pergi bersama Allen. Setidaknya itu bisa mengobati rasa lelahku sedikit, apalagi setelah melakukan banyak hal seharian. Tawaran Killian seperti suguhan wine saat makan malam, padahal sudah punya teh hangat untuk diminum. Tentu saja aku akan memilih wine. Namun, ini tidak semudah memilih dua minuman. Teh bisa menjadi dingin dan setelahnya dibuang, tetapi kekecewaan seseorang tidak akan hilang dengan mudah. Itu bertahan sangat lama.

"Apa itu semacam kencan?" Aku tidak tahu kalau itu termasuk pertanyaan yang berbahaya sampai-sampai dia harus berhati-hati menanyakannya.

"Ya. Semacam itu." Sengaja kubenarkan ucapannya agar tidak memicu lebih banyak pertanyaan.

Benar saja, Killian menghabiskan air putih di gelasnya dan beranjak pergi dengan sisa roti di tangannya. "Baiklah. Semoga kencan kalian menyenangkan."

Hanya itu? Dia benar-benar tidak berusaha untuk membuatku lebih memilih menerima ajakannya, atau memprotesku karena tidak lagi memprioritaskannya, seperti aku yang marah saat dia tiba-tiba membatalkan janji. Yah, memangnya apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang tidak akan pernah jatuh cinta padaku?

•••

Seperti yang sudah direncanakan, aku meninggalkan Macy's pukul tujuh malam. Itu jelas waktu kepulangan yang jauh lebih cepat dibandingkan kemarin-kemarin, tiga sampai empat jam lebih awal. Kemudian membayar taksi ketika tiba di depan gedung teater. Allen bilang ada pertunjukan teater modern yang ingin dia tonton, dan aku setuju saja mengingat hiburan seperti itu mungkin sedang kubutuhkan akhir-akhir ini. Dia sedang mengantre untuk membeli tiket ketika kuberitahu kalau sudah sampai.

Selagi menunggunya selesai, aku pergi ke konter camilan. Allen sudah membeli tiket untuk kami, yang kemungkinan akan ditolak jika kubayar, sebagai gantinya aku yang membeli makanan dan minuman untuk kami santap selama menonton.

Setelah membayar dan menerima pesananku, aku bermaksud ingin menyusul Allen, ikut mengantre bersamanya meski sebelumnya diminta mencari tempat untuk duduk. Dan aku menolak. Tidak mungkin aku bersantai sementara dirinya harus mengantre panjang demi dua lembar tiket. Sayangnya, aku harus bertemu seseorang yang tidak kuharapkan pertemuannya akan secepat ini.

"Hai, Ana." Seperti biasa, Gabby menyapa begitu ramah. Seperti biasa, penampilannya selalu menakjubkan. Aku tidak pernah mencoba memadukan celana kulit nyaris ketat itu dengan jaket berbulu, tetapi dia membuatnya terlihat menarik.

Aku membalas sapaan itu dengan senyuman. "Kau datang bersama Killian?" Entah kenapa pertanyaan itu yang justru keluar dari mulutku.

"Kau tidak pergi dengan Killian?" Alih-alih menjawab, dia justru syok dengan pertanyaannya sendiri. "Seharusnya iya, aku pergi dengannya hari ini. Tapi dia menolak karena ingin pergi denganmu."

Astaga. Aku sudah mengira Killian membuat janji pergi dengan Gabby setelah aku menolak ajakannya. Sekarang aku jadi membuat Killian terlihat seperti seorang pembohong di depan kekasihnya. Jika bukan pergi denganku, lalu dengan siapa lagi? Pemikiran itu pasti sedang memenuhi kepala Gabby saat ini.

"Benar. Dia memintaku pergi hari ini, tapi aku menolak karena sudah membuat janji dengan orang lain. Kukira dia akan pergi denganmu setelah batal pergi denganku."

Gabby menutup mulut untuk menyembunyikan senyum yang terkesan mengejek, yang menurutku percuma karena dia tidak berusaha menyembunyikan tatapan matanya yang terkesan seperti mengejek.

"Aku bukan backup plan, Ana, yang akan diajak pergi ketika sahabat terbaiknya tidak bisa pergi dengannya." Gabby menekankan kata sahabat seperti sedang mengeja sebuah kata baru. "Boleh kukatakan sesuatu?"

"Silakan."

"Lupakan soal rencana liburan kalian. Tahu kalian pergi hanya berdua membuatku terbakar. Aku tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu terjadi pada kalian, tidak peduli Killian terus meyakinkanku kalau tidak ada apa-apa di antara kalian."

Dilupakan, katanya?

Jadi seperti ini permasalahan dua wanita hanya karena seorang pria, ya. Aku sudah cukup baik menahan diri tidak mengatakan apa-apa soal Napa Valley, tetapi aku tidak terima orang baru seperti dirinya tiba-tiba mengusik apa yang sudah berjalan di antara kami.

"Maaf, aku tidak bisa. Itu adalah liburan yang disepakati bersama. Kami sudah sering pergi bersama, dan tidak apa-apa di antara kami. Apa kau tidak percaya padanya?"

Gabby menelan ludah. Sejujurnya, aku sudah muak menghadapi pembicaraan sepele seperti ini, apalagi jika berujung memintaku menjauhi Killian. Aku sudah sering menerimanya, jadi tatapan murka dari Gabby sama sekali tidak membuatku takut. Dia terlihat tegang, tetapi aku masih dengan santai menghadapinya.

"Aku merencanakan liburan dengannya, tetapi dia selalu berkata aku akan pergi ke sana dengan Ana, atau Ana belum pergi ke sana, jadi aku akan menemaninya. Kenapa tidak cari pria lain saja untuk pergi denganmu? Setidaknya untuk melepaskan beban tanggung jawab menjagamu yang dipikul Killian." Gabby ngos-ngosan setelah berbicara panjang dengan tempo yang cepat. Sayangnya, itu tidak mampu meruntuhkan tiang yang sudah tertanam begitu dalam di tanah.

"Aku tidak pernah memaksanya untuk menjagaku. Kami melakukannya atas kemauan sendiri. Kukira kau berbeda, Gabby, tidak seperti remaja labil yang berusaha menyingkirkan sahabat dari kekasihnya. Aku sudah cukup sering mendengar yang seperti ini dari mantan kekasihnya, jadi aku sangat terbiasa."

Gabby menghapus jaraknya denganku. Awalnya kukira hanya untuk memberi jalan sepasang kekasih yang lewat di belakangnya, tetapi justru memberiku tatapan yang mengintimidasi.

"Itu membuktikan kalau selama ini kau adalah penghalang keberhasilan hubungan Killian. Kau terlalu menempel seperti benalu. Tidak pernahkah kau berpikir keberadaanmu akan menghalangi Killian untuk bahagia bersama wanita yang dia cintai?"

Tentu aku pernah memikirkannya. Aku peduli pada Killian dan ingin dia bahagia, tetapi aku mulai sadar kalau aku juga ingin menjadi egois sesekali. Dia bisa pergi kalau dia mau dan aku tidak menahannya. Kalau dia ingin bertahan, maka itu keputusannya, aku akan menerima.

"Kami saling mengenal lebih dari dua puluh tahun. Simpul yang diikat lama akan sulit dibuka, sama seperti kami. Mungkin butuh bertahun-tahun untuk memisahkan kami."

"Lima detik," katanya agak buru-buru. "Aku akan dengan senang hati menjadi gunting untuk memotong simpulnya."

Apakah itu sebuah ancaman? Bukankah dengan mencintai seseorang juga berarti menerima semua hal dalam hidupnya? Kalau Gabby ingin mendampingi Killian, itu berarti dia harus menerima kalau aku adalah sahabatnya dan kami memang dekat. Dia tidak bisa membuangku dari hidup Killian, seperti aku yang tidak akan menyingkirkannya demi memiliki Killian untukku sendiri.

"Kau tahu, orang tua kami tidak pernah membiarkan kami pergi ke luar negeri tanpa satu sama lain. Itu menjadi kebiasaan sampai kami membuat daftar destinasi liburan bersama. Sama halnya dengan kepindahan kami ke New York. Killian tidak diizinkan pergi sendiri meski karena alasan pekerjaan sekalipun. Aku tidak mengekor Killian, Gabby, tapi dia membutuhkanku. Kalian tidak akan bertemu kalau aku tidak bersamanya di sini."

Untuk yang pertama kalinya, aku merasa jauh lebih unggul. Aku bisa tersenyum dengan perasaan bangga yang meletup-letup. Gabby tampaknya tidak senang dan itu membuatku puas. Aku bukan orang yang suka pamer, jadi perasaan seperti ini adalah sesuatu yang baru.

Gabby tampaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada dua wanita yang memanggilnya dari kejauhan. Dan itu membuatnya menggeram pelan. Dia menoleh sebentar pada dua temannya, meminta mereka menunggu sebentar lagi dengan isyarat tangan, kemudian kembali padaku dengan seulas senyum.

"Kalau memang begitu, kenapa kalian tidak menikah saja sekalian?" Dia kembali menoleh ke belakang sebentar, seperti sedang memastikan apakah teman-temannya masih berdiri di sana atau tidak. "Aku harus pergi sekarang, Ana. Sejujurnya, aku berharap bisa menerimamu dengan benar sebagai sahabat Killian. Aku sedang berusaha untuk itu, jadi tolong dukung kami. Sampai jumpa."

Dia benar-benar wanita yang aneh. Meminta dukungan setelah mengusulkan agar kami menikah? Seolah-olah dia tidak akan patah hati saja kalau tahu kebenaran di antara kami.

"Ana."

Allen sudah kembali. Dia berada di belakangku entah sejak kapan. Namun, wajah kebingungannya membuktikan bahwa dia tidak mendengarkan pembicaraan kami tadi.

"Kau sudah dapatkan tiketnya?"

Allen menunjukkan dua lembar tiket yang dijepit di antara telunjuk dan jempolnya. Wajah semringahnya menghapus tanya yang mungkin bersarang di benaknya. "Sayangnya tidak berhasil mendapat posisi strategis."

"Jujur? Mungkin aku lebih suka makan daripada menikmati acaranya." Bergantian aku mengangkat makanan dan minuman yang kubeli tadi.

"Ayo kita ke dalam."

•••

Pertunjukan teater yang kami saksikan tadi nyaris mengurai air mata, tetapi aku tidak jadi menangis setelah melihat Allen sudah menyeka air matanya. Aku jarang menyaksikan pertunjukkan melodrama, jadi rasanya agak aneh melihat seorang pria menangis karena alur ceritanya yang menyedihkan. Saking bagusnya akting para pemain, Allen sampai terhanyut dan tidak menyentuh berondong jagungnya sama sekali. Padahal posisi kami tidak bisa dibilang terlalu di belakang.

"Sayang sekali aku tidak punya tisu." Aku bergurau. Kami sedang berjalan beriringan di trotoar yang belum jauh dari gedung teater.

Allen masih menyeka sisa-sisa dari rasa terharunya sembari tertawa. "Aku sangat malu sekarang, menangis di depanmu."

"Laki-laki juga manusia. Dan kau punya rasa simpati yang tinggi. Aku tidak akan mengejekmu cengeng, tenang saja."

"Itu. Kau baru saja melakukannya!" Allen berucap histeris dan dua jarinya menunjuk ke arahku. Aku mundur menghindarinya seakan-akan dua jari itu akan menembakku. Namun, setelahnya dia tertawa sendiri. "Apa kau tidak merasa sedih sedikit pun?"

Aku bergidik pelan. "Tadinya hampir, apalagi di bagian ketika Serena tidak punya siapa pun lagi untuk bergantung. Semua orang mengkhianatinya, itu memilukan."

"Perlu kuakui dia sangat kuat. Aku takjub dia tidak memilih untuk mengakhiri hidupnya."

"Ada banyak pilihan. Hidupnya terlalu berharga kalau diakhiri begitu saja. Usianya masih sangat muda."

"Ya, kau benar."

Kami membicarakan tokoh teater tadi seolah-olah dia benar-benar hidup. Satu jam pertunjukan tadi benar-benar menguras emosi. Aku tidak tahu kalau menonton teatrikal akan begitu menakjubkan. Selain pertunjukan di sekolah, baru kali ini aku benar-benar menyaksikan teater yang sesungguhnya. Aku dan Killian sama-sama tidak merasa tertarik menyaksikannya, padahal para pemerannya patut diacungi jempol berkat one-take acting mereka.

"Masih jam sembilan, kau mau mampir ke suatu tempat lagi? Untuk makan malam, misalnya?" Allen menawarkan setelah kami saling diam selama beberapa saat dan hanya menikmati embusan angin di malam penghujung musim dingin ini.

"Tergantung. Apa kau lapar? Rasanya aku menghabiskan dua kotak berondong jagung tadi, jadi tidak begitu lapar." Aku sudah lapar sejak pertunjukan dimulai, sedangkan kemasan berondong jagung yang kubeli tidak begitu besar. Tidak hanya milikku sendiri, tetapi kuhabiskan juga milik Allen. Dia hanya minum sejak tadi. Wajar kalau dia lapar sekarang.

"Mau mampir ke truk burger lagi?"

Aku berusaha mengingat-ingat nama pria si pemilik truk tersebut. "Tempat Mike?"

"Ya. Benar. Tidak kusangka kau mengingatnya."

"Burgernya enak. Biasanya kepalaku lebih mudah mengingat sesuatu setelah menyantap makanan enak."

Dia tertawa keras sembari kami meneruskan jalan. Posisi taman beserta truknya tidak begitu jauh dari gedung teater. Kami berjalan kira-kira sepuluh menit, tetapi tidak terasa selama itu karena kami tidak berhenti mengobrol.

Mike menyambut kami dengan salam yang hangat, sebagaimana dua orang yang akrab bertemu. Kami tidak lagi memilih menu karena Mike berjanji akan menyajikan yang spesial secara khusus. Tanpa menunggu lama, aku dan Allen sudah menerima burger disertai satu gelas minuman hangat masing-masing. Kami menempati sebuah kursi dengan kanopi di atasnya dan menghadap kolam ikan.

Sekali lagi hening menyelimuti ketika kami menyantap burger. Hanya suara keramaian pengunjung di sekitar kami. Satu hal yang tidak kupercaya adalah aku cukup menikmati kesunyian ini. Allen membuktikan bahwa bersamanya bisa memberikan rasa aman.

"Aku ingin bertanya." Allen sedang meremas bungkus burger ketika berkata demikian. Aku merespons dengan gumaman untuk mempersilakan dia bertanya, mengingat mulutku masih sibuk mengunyah potongan burger terakhir. "Apa yang kita lakukan hari ini bisa disebut kencan?"

Kunyahanku terhenti dan aku langsung menelannya. Kencan? Seperti apa bentuk dari kencan sebenarnya?

"Entahlah. Bagaimana menurutmu?"

Dia menggumam begitu panjang hingga aku mulai gugup menantikan responsnya. Itu bukan gugup yang menyenangkan, sayangnya. Aku mengharapkan hubungan yang berhasil dengannya, tetapi aku justru takut kalau dia akan menganggap ini kencan sungguhan. Maksudku, ini terlalu cepat dan aku belum siap.

"Sudah seperti kencan. Tapi kurang satu hal lagi." Melihatnya tersenyum lebar justru mengganggu ketenanganku.

Aku menelan ludah sebelum memaksakan seulas senyum untuk hadir. "Apa itu?"

Tatapannya turun pada tanganku yang berada di pangkuan, sedang meremas bungkus burger. Dia menatapku lagi dengan sorot meminta izin atas apa pun yang akan dia lakukan setelah ini. Aku tidak bereaksi apa-apa, tetapi dia menganggap kalau aku memberi izin.

"Kita belum bergandengan tangan." Allen meraih tanganku, membungkusnya di antara dua tangannya dingin. Dia melakukannya dengan sangat hati-hati. Melalui sentuhan itu aku turut merasakan kegugupannya. "Ini sudah seperti kencan, 'kan?"

Aku memandang tangannya dengan pikiran yang berkecamuk. Seharusnya ini bisa sangat mudah. Maksudku, hanya bergandengan tangan, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sejauh apa yang kulakukan bersama Killian. Aku bersungguh-sungguh berharap mampu jatuh cinta padanya juga. Perasaan itu mungkin akan muncul setelah aku menerima cintanya dan menghabiskan banyak waktu dengannya. Namun, aku tidak ingin memulai sesuatu dengan kebohongan. Meski secara teknis, aku tidak membohonginya soal statusku karena tidak pernah kami bicarakan.

Tetap saja, aku tidak ingin memulainya dengan cara seperti ini. Aku menarik tanganku darinya dan segera mencari objek lain untuk dipandang. Aku yakin tidak akan mampu melihat raut wajah kecewanya.

"Maaf, aku belum siap untuk itu."

"Tidak. Aku yang minta maaf, apa aku terlalu terburu-buru?"

Aku menatapnya sebentar dan perasaan bersalah segera menyergapku. Aku ingin sekali jujur dan ingin tahu bagaimana reaksinya. Kebohongan bisa menjadi bumerang untuk hubungan kami di masa depan jika tetap dilanjutkan. Sebaik-baiknya bangkai disimpan, baunya akan selalu punya cara untuk tercium orang lain.

"Aku percaya padamu, Allen. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, dan seharusnya kukatakan sejak awal."

"Apa itu?" Keningnya berkerut karena penasaran.

Aku mengeluarkan kalung berbandul cincin pernikahan yang tersembunyi dalam sweterku. "Aku sudah menikah."

Seperti yang kubayangkan, reaksi Allen persis sekali seperti itu. Dia memandangku tidak percaya dan langsung berpaling, menghadap lurus ke depan, tidak lagi menyerong ke arahku.

"Aku benar-benar minta maaf, Allen. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya, tapi situasinya agak rumit." Aku mendesah frustrasi. "Aku harus menyembunyikannya karena sebuah kesepakatan."

Allen memicing ke arahku sekarang. "Pria itu Killian?"

Aku hanya mengembuskan napas agak panjang. Allen pasti tahu jawabannya benar meski aku tidak mengatakan apa pun.

"Bukankah dia punya kekasih? Aku ... aku tidak mengerti."

Aku tersenyum agak kaku. "Itu tidak berarti apa-apa." Kemudian aku beranjak dari kursi. "Sudah cukup larut, bagaimana kalau kita pulang?" Aku bahkan tidak menunggunya dan mulai melangkah menjauh, tetapi Allen kemudian menahan tanganku.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ana. Kalau Killian saja bisa bersama orang lain, kenapa kau tidak?"

"Karena aku sangat bodoh sudah jatuh cinta padanya."

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
27 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro