Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46 - Big Baby Boy

Aku menghindari Killian lagi sejak malam itu, kira-kira hampir dua minggu lamanya. Kami persis dua orang kenalan biasa yang menempati asrama kampus yang sama. Kami bicara hanya jika ada sesuatu yang benar-benar perlu didiskusikan, seperti aturan tempat tinggal.

Pertama, aku mengingat jelas hal memalukan apa yang kukatakan padanya saat bir mengambil alih sebagian kesadaranku, begitu juga dengan reaksinya yang tidak bisa kubilang bagus. Kedua, demi mendapatkan cuti panjang, Killian harus menyelesaikan lebih dulu beberapa pekerjaannya. Mungkin karena alasan itulah Killian tidak menyadari kalau aku membatasi komunikasi dengannya. Selain itu, aku juga cukup sibuk dengan menjahit sampel dari hasil rancanganku sebelum diproduksi dalam jumlah besar. Kerja sama dengan Soppaholik membuatku sangat berdebar.

Namun, cukup sampai kemarin saja aku menghindarinya. Hari ini kami harus bicara. Tiga hari lagi kami pulang, tidak mungkin jika dengan tangan kosong.

Demi bisa menyempatkan waktu untuk bicara, aku bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan. Killian berangkat pagi sekali dan pulangnya bisa lebih lambat dariku, atau lebih awal dan mendekam di ruang kerjanya. Kami benar-benar tidak mengganggu satu sama lain. Ini menyebalkan, di mana dulu kami bisa berdiskusi kapan saja tanpa harus mempertimbangkan apakah dia sedang sibuk atau tidak, sekarang justru digeluti oleh rasa tidak nyaman.

"Kau sudah rapi." Killian tiba di dapur dengan tangan yang sibuk melilitkan dasi di kerah kemejanya. Sebelumnya aku sempat ke kamarnya dan memberi tahu kalau ingin bicara. Dia segera bangun dan bergegas mandi.

"Sarapan dulu." Aku mendorong semangkuk sereal lebih dekat ke badannya. Namun, dia tidak segera menyantapnya karena masih sibuk.

Killian tidak punya masalah dalam memakai dasi, bahkan hasil ikatannya jauh lebih rapi dariku, tetapi untuk yang pertama kali aku ingin melakukannya. Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukan peran sebagai istrinya dengan benar. Setidaknya waktu-waktu kebersamaan kami terasa lebih berkualitas. Satu lagi muncul keinginan yang konyol di saat seharusnya aku memikirkan cara untuk jatuh cinta dengan orang lain.

"Apa dasiku tidak rapi?"

Mataku buru-buru naik kembali ke wajahnya, agak kikuk setelah dia menyadari aku terlalu lama memperhatikan pergerakan tangannya pada dasi.

"Tidak. Aku hanya ingin tahu bagaimana caramu mengikat dasi." 

Dia memicing dan aku tahu dari wajahnya kalau aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Killian tidak menerima alasan itu. "Kau tahu aku selalu mengikatnya seperti ini. Tidak pernah ada cara lain."

Aku tersenyum dengan sendok terjepit di antara mulut karena baru saja menyuap sereal. "Ya, aku tahu."

Kami menikmati sarapan dalam hening. Meski ada banyak yang bisa dibicarakan, tetapi aku cukup tahu jika saat ini bukan waktu yang tepat untuk bisa menerima cerita satu sama lain. Terlebih lagi Killian juga sambil mengerjakan sesuatu pada ponsel yang aku tidak sadar dia membawanya.

"Jadi, kau mau bicara apa?" Mangkuk yang sudah kosong itu didorongnya agak ke tengah meja dan menyusul menenggak air putih dari gelas yang sudah kusiapkan sebelumnya. "Terkesan seperti ada sesuatu yang serius."

"Sebenarnya tidak begitu serius." Aku mengatakan itu sembari menghindari tatapan matanya. "Tapi kupikir kita perlu menyiapkan sesuatu untuk kepulangan kita?"

"Menyiapkan sesuatu seperti apa?"

Aku merasa lega ketika dia meletakkan ponsel ke atas meja dan memperhatikanku dengan benar kali ini. Kedua alisnya nyaris bertaut dan itu membuktikan bahwa dia sedang fokus dengan pembicaraan kami. Detik berikutnya dia bersandar pada kursi dan bersedekap. Kemejanya jadi menempel pada tubuhnya makin erat karena kontraksi otot-otot lengannya. Damn. Aku bahkan memperhatikan sampai sedetail itu.

"Hadiah mungkin? Tidak mungkin kita hanya datang tanpa membawa sesuatu untuk mereka, 'kan?"

Killian memikirkannya sebentar sebelum akhirnya tertawa kecil. Dia menularkan kerutan di dahinya tadi padaku, entah apa yang menurutnya begitu lucu untuk ditertawakan.

"Kau tahu, apa yang mereka inginkan bukan sesuatu yang bisa kita beli." Saat dia mengatakan itu, bibirnya menyunggingkan seringai nakal. Itu membuatnya berkali-kali lipat lebih menggoda. Namun, aku masih belum bisa menebak apa yang dia maksud.

"Masih ada tiga hari lagi, mungkin kita bisa mencarinya?--yang kau maksud itu."

Dia tersedak oleh air putih yang sedang diminumnya sendiri. Dan dalam posisi duduk yang berseberangan seperti ini aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan segera. Lucu kalau memberinya minum lagi ketika airlah yang membuatnya tersedak. Akhirnya aku hanya menunggu sampai dia berhenti terbatuk.

"Ana, kita tidak mungkin mendapatkannya dalam waktu tiga hari. Mereka menginginkan kabar baik, kau tentu tahu mengerti maksudku sekarang, 'kan?"

Oh. Ternyata itu. "Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kita berikan, ya."

"Sebenarnya bisa." Jeda sebentar karena Killian mengelap mulutnya dengan tisu. "Kita bisa melakukan itu, tapi aku tahu kau tidak ingin punya satu dengan seseorang yang tidak kaucintai, 'kan?"

Seharusnya aku yang bertanya itu kepadanya. Aku mencintai Killian dan aku ingin pernikahan ini bertahan selamanya. Punya anak dengannya mungkin akan membuat kebahagiaan itu menjadi lebih sempurna. Killian pernah membicarakan tentang melakukannya selayaknya pasangan suami istri. Namun, dia ingin melakukannya atas dasar kebutuhan hormon, bukan untuk meneruskan garis keturunan orang tua kami.

Terlalu pagi untuk membicarakan tentang ini.

"Akan sangat buruk jika anakku tumbuh tanpa didampingi ayahnya."

Kata-kata itu menciptakan kecanggungan di antara kami. Sebelumnya obrolan tentang anak hanya sebatas gurauan karena kami tidak pernah menganggap serius pernikahan kami, itu pun hanya satu kali. Topik ini terlalu tiba-tiba untuk dibicarakan dan kami sama-sama tidak tahu bagaimana menghadapinya.

"Ya. Memang lebih baik memilikinya bersama seseorang yang benar-benar kita cintai dan pastinya seseorang yang akan mendampingi seumur hidup. Kita masih terlalu muda untuk memikirkan soal itu."

Aku tertawa hambar. "Aku juga tidak berharap untuk punya cepat-cepat. Masih banyak hal yang ingin kucapai. Bukan menganggapnya sebagai penghambat, tetapi aku tidak ingin gagal mengurusnya karena terlalu sibuk."

Killian ikut mengangguk karena ucapanku. Ketika seulas senyum tersungging tipis di bibirnya, aku penasaran apakah dia sedang membayangkan masa depan yang baik bersama Gabby, atau sesuatu yang lain.  Aku kesal terus merasa seperti ini, tetapi tidak mudah dekat dengan orang lain, apalagi sampai memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi.

Dengan Allen sejauh ini baik-baik saja. Kami akan pergi makan sesekali dan karena dia cukup terbuka, aku pun merasa nyaman menceritakan tentang diriku sedikit demi sedikit. Namun, aku masih belum benar-benar bisa merasakan sesuatu padanya selain sebagai seorang teman. Aku mungkin masih perlu waktu untuk benar-benar bisa memercayainya, tetapi apa harus selama ini? Sulit menyingkirkan seseorang yang sudah bertahun-tahun membersamaiku demi memasukkan orang baru ke hidupku.

"Kalau memang mau memberi sesuatu untuk mereka, ayo belanja dulu saat di jalan menuju bandara. Pesawatnya lepas landas siang, kita bisa berangkat dari rumah lebih pagi."

"Baiklah."

•••

Namun, kenyataannya, kami tidak bisa mampir ke mana-mana.

Killian demam di hari di mana kami akan berangkat. Dia terlalu memforsir diri bekerja terlalu banyak sampai akhirnya tumbang, bahkan kemarin dia masih sempat lembur dan pulang tengah malam. Demamnya tidak begitu buruk, tetapi jika dibiarkan tanpa istirahat, mungkin akan memburuk besok harinya. Aku sudah memberitahunya kalau tidak apa-apa menunda pulang dua sampai tiga hari lagi, tetapi dia menolak. Akhirnya kami tidak bisa mampir dulu untuk berkeliling mencari sesuatu untuk keluarga kami. Beruntungnya, kami tidak membawa banyak barang, hanya satu koper kecil berisi kebutuhan harian kami. Serta tas yang kami jinjing masing-masing.

Sebetulnya aku bisa mampir sendiri dan membeli beberapa barang. Lagi pula, ada supir taksi yang kami tumpangi yang akan membantuku mengangkatnya ke bagasi. Namun, aku sedang berbicara tentang Killian, yang akan menjadi sangat manja saat sedang sakit. Aku tidak keberatan mengurusnya, tetapi cenderung tidak membiarkanku pergi ke mana-mana.

Seperti saat di taksi ini saja, dia tidur dengan kepala bersandar di bahuku. Dia memaksaku turut merasakan demamnya dengan menggandeng erat sebelah tanganku. Aku tidak bisa ke mana-mana jika seperti ini. Bahkan seandainya aku pergi belanja oleh-oleh, dia pasti akan mengekor. Mungkin memang sudah tiba saatnya aku bergantian mengurusnya.

"Kau harus minum obat lagi." Aku mengeluarkan kotak obat harian yang sudah dibuka beserta satu botol air mineral. Kami sudah makan siang di sebuah resto bandara setengah jam lalu, dan sekarang sudah waktunya dia minum obat lagi.

Dengan mata sayu, Killian menjumput dua butir obat berbeda dari kotak tersebut dan menelannya dalam sekali tegukan. Aku meringis membayangkan akan seperti apa rasanya menelan dua obat sekaligus, sebiji tablet saja sudah susah payah aku menelannya.

"Kau serius baik-baik saja?"

Kali ini dia benar-benar membuka mata untuk menatapku. "Tidak apa-apa. Aku sudah bekerja keras dua minggu terakhir, sudah saatnya menikmati libur. Lagi pula, kalau sesuatu terjadi, aku punya kau untuk mengurusku." Dia menyentil hidungku dan tertawa kecil.

"Aku bukan pengasuh."

"Tapi kau istriku."

Tidak bisakah dia berhenti memakai itu sebagai bahan gurauan? Aku harus membuang muka sambil berpura-pura batuk, padahal hanya untuk menyembunyikan wajah yang mungkin jadi merah.

"Jangan tidur dulu. Sebentar lagi kita akan memasuki pesawat." Aku menegurnya ketika tiba-tiba menjatuhkan kepala di bahuku. Efek obatnya akan menimbulkan ngantuk, tetapi aku akan repot menuntunnya berjalan memasuki pesawat jika dia tertidur sekarang.

"Ya. Aku tahu. Sebentar saja, kepalaku berat sekali rasanya."

Matanya terpejam, tetapi aku tahu dia tidak akan tertidur. Dahinya yang hangat menyapa kulit telapak tanganku saat aku bermaksud untuk menyugar rambutnya. Sementara sebelah tanganku yang lain merangkul pinggangnya. Seharusnya dia bisa berkeringat agar demamnya lebih cepat turun, tetapi tidak memungkinkan di cuaca sekarang; terlalu dingin.

Ponsel di saku jaketku bergetar, dan posisinya ada di sisi di mana Killian bersandar padaku. Aku bersusah payah mengambilnya sampai dia terpaksa kembali menegakkan badan. Ada sebuah pesan masuk dan itu dari Allen.

Allen
Hati-hati di jalan.
Kabari aku kalau sudah sampai?

Aku tersenyum tipis. Beberapa hari lalu memang aku bercerita kalau akan pulang hari ini, tetapi aku lupa memberitahu waktu keberangkatan. Namun, dia mengirim pesan di saat yang tepat.

Luciana
Tentu saja.

Dia cepat sekali membalas.

Allen
Kalau kau tidak terlalu sibuk, aku ingin meneleponmu.
Atau panggilan video?

Keningku berkerut memikirkan bagaimana cara menyisihkan waktu untuk bisa bertelepon dengannya saat di rumah nanti. Maksudku, orang tuaku atau orang tua Killian mungkin akan menahan kami jika mengingat betapa posesifnya mereka. Terlebih lagi setelah beberapa bulan tidak bertemu. Mereka akan punya banyak pertanyaan jika seorang wanita yang sudah menikah mengobrol bersama seorang pria terlalu lama di telepon.

Luciana
Baiklah. Akan kukabari nanti.

"Kau sibuk berkirim pesan dengan pria lain di saat aku sedang sakit?"

Ini yang kumaksud saat kukatakan Killian sangat merepotkan jika sedang sakit. Dia benar-benar haus perhatian. Beruntungnya, dia tidak sakit sesering aku.

"Aku masih di sini bersamamu, Killian." Bola mataku berputar saat mengatakan itu. Ponsel yang baru saja bergetar lagi terpaksa kusimpan kembali. Aku juga tidak nyaman jika terus berkirim pesan ketika Killian bisa melihat layar ponselku.

Lengan kiriku, yang sebentar saja terbuka untuk memasukkan ponsel ke saku, sudah digamit Killian. Dia benar-benar tidak akan membiarkanku pergi ke mana-mana. Bedanya, kali ini dia tetap duduk tegak sembari memandang ke luar jendela.

Namun, tidak lama kemudian, terdengar pemberitahuan kalau kami sudah bisa memasuki pesawat. Killian memesan untuk penerbangan Business Class, lebih tepatnya dia selalu memesan yang itu. Dia ingin memastikan kami selalu nyaman selama perjalanan. Dan kali ini dia juga bisa berbaring dengan nyaman untuk beristirahat selama kira-kira enam jam ke depan. Aku akan lebih senang kalau dia tidur saja selama perjalanan nanti.

"Kau mau makan dan minum apa nanti?" Aku bertanya sembari memasang selimutnya. Pesawat sudah berada di udara dan Killian sudah mengatur kursinya agar bisa dipakai berbaring.

"Kupercayakan padamu saja," sahutnya.

"Oke." Aku duduk di kursiku sendiri dan menyalakan TV kecil yang disediakan.

Awalnya aku berpikir akan menggambar jika tidak ada tayangan yang seru, tetapi Killian meraih tangan kananku untuk diletakkan di kepalanya. Dia memintaku mengusap kepalanya menggunakan tangan yang biasanya kupakai menggambar. Yah, posisi kursinya memang di sebelah kananku.

"Aku akan bangun kalau kau tanganmu berpindah."

Lihat, dia sungguh menyebalkan, bukan?

•••

Annyeong!
Serius nanya, bab ini nanggung banget kan?
Harusnya masih ada lanjutannya, tapi nanti kepanjangan dan makin lama lagi gak apdetnya. :")
Temenku pernah bilang kalau tulisanku lebih cocok buat skrip TV series gitu, dan entah kenapa aku bangga wkwk. Tau kan, kalo semisal dibukukan, akan ada banyak adegan yang dipangkas, nah karena aku sayang tokoh-tokohku, aku lebih senang mereka hidup lebih lama.
Jadi, buat teman-teman yang mungkin mengharapkan 'hal ini dan hal itu' segera terjadi, mohon maaf, di tulisanku enggak akan begitu. :")

Bulan yang padat udah berakhir yee. Dah senggang ni, InsyaAllah lebih cepet updatenya.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
1st June, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro