Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Overthinking

Emma tidak berhenti memelototiku sejak tadi. Andai mata tidak akan terasa perih jika terus-menerus terkena udara, mungkin dia tidak akan berkedip. Emma sukses membuatku menjadi seseorang yang sedang melakukan kesalahan besar. Jika sudah ketahuan seperti ini, mau tidak mau harus kuceritakan, bukan?

"Kau mungkin penasaran bagaimana aku mengetahuinya. Tapi jangan salahkan aku karena kau sendiri yang memintaku mencari buku agenda di laci." Karena aku juga tidak berhenti membalas tatapannya, Emma jadi bersikap defensif.

Kepalaku tiba-tiba berdenyut lagi dan sekarang aku memijatnya, tanpa sengaja menjatuhkan handuk kompres yang diletakkan Killian di dahiku tadi sebelum berangkat. Aku tidak ingin menyembunyikannya lama-lama, tetapi tidak siap juga ketahuan orang lain secepat ini. Setidaknya aku masih bisa bersyukur kalau orang itu adalah Emma. Tidak bisa kubayangkan kalau orang lain.

"Aku lupa kalau menyimpannya di sana," keluhku sekaligus agar Emma berhenti merasa bersalah.

"Sebenarnya aku kurang percaya saat kau memperkenalkan Killian sebagai sahabat. Tidak sedikit memang, dua orang sahabat yang memutuskan tinggal bersama, tetapi biasanya di apartemen. Sedangkan kalian membeli rumah di sini. Seolah-olah memang ingin menetap di sini selamanya. Oh, dan ruam merah itu--" Emma langsung menutup mulutnya seperti baru saja mengatakan sesuatu yang terlarang. "Kau bilang itu gatal-gatal, tapi pasti bekas Killian, 'kan?"

Aku sudah demam, dan sepertinya suhu tubuhku makin panas ketika Emma mengingatkan tentang ruam-ruam di sekitar leherku waktu itu. Sekarang adegan ketika Killian melakukannya mulai membayang lagi di kepalaku.

"Bisa-bisanya kau masih mengingat itu." Aku bersikap sok sibuk dengan membalik halaman buku agendaku. Ini sulit, angan kiriku benar-benar tidak terbiasa melakukannya.

"Kalian menyembunyikannya, ya? Kenapa?" Dia terdengar menyayangkan hal itu terjadi. "Padahal, kalian sudah punya chemistry yang kuat. Bahkan Killian menitip pesan lagi padaku agar merawatmu dengan benar. Dia benar-benar menyayangimu, kurasa."

Aku menyugar rambut tanpa mengalihkan pandangan dari wajah serius Emma. "Memang sudah seharusnya begitu, 'kan? Kami dekat sejak sangat kecil, selalu melakukan banyak hal bersama, akan aneh kalau dia tidak menyayangiku."

Aku mulai memikirkan apa yang harus kulakukan dalam situasi ini. Perlukah Killian tahu tentang ini? Dia mungkin akan menyalahkanku karena menyimpan foto itu sembarangan, atau karena membiarkan orang asing masuk ke ruangan itu tanpa pengawasanku. Terlebih lagi, Killian bukan orang yang akan merasa terganggu ketika privasinya terusik–dan itu juga termasuk privasiku.

Alih-alih mengkhawatirkan Emma yang bisa saja menceritakan soal ini kepada orang lain, aku justru memikirkan reaksi Killian kalau mengetahuinya. Bagiku, lebih sulit menyembunyikan sesuatu dari Killian daripada ratusan orang.

"Sekarang kau melamun, padahal pertanyaanku belum dijawab." Emma meraih handuk kompres yang tadi terjatuh dan membuat kesadaranku kembali ketika dia menempelkannya di dahiku.

"Aku akan bertanya pada Killian kalau kau tidak bercerita."

"Jangan!" Seluruh tubuhku langsung memberi sinyal bahwa itu bahaya. Aku sampai terduduk dan meraih tangan Emma, seolah-olah wanita itu akan pergi menemui Killian saat ini juga. Padahal Emma sama sekali tidak berencana akan beranjak dari posisinya. "Killian tidak boleh tahu kalau kau menemukan foto itu. Kami sudah membuat perjanjian."

"Perjanjian apa? Untuk menyembunyikan status kalian?" Emma tampak kehabisan akal untuk bisa menerima situasi kami. Aku tidak mengerti kenapa hal-hal seperti ini bisa membuatnya sangat kesal.

"Kami terjebak, Em. Pernikahan ini bukan sesuatu yang kami inginkan." Suaraku mulai serak karena belum minum sejak tadi.

Emma membenahi posisi duduknya menjadi menghadap TV. Dia bukan mau menonton TV, tetapi sorotnya yang kosong memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang selalu penuh semangat. Emma yang seperti ini, baru sekali kulihat.

"Aku khawatir akan ada orang lain yang mendekati satu di antara kalian karena tidak tahu kalau kalian sudah menikah."

Itu bahkan sudah terjadi.

"Itu baru satu kemungkinan. Kemungkinan lainnya adalah kalian akan menyakiti perasaan orang lain. Allen tampaknya tertarik padamu, dan kau justru menyambutnya dengan mengesampingkan status kalian. Pikirkan saja, kalau dia tahu, pasti akan sangat patah hati."

Kata-kata Emma membuatku tidak tahu harus berkata apa lagi. Bagaimana mungkin aku atau Killian tidak berpikir sampai ke sana. Yang selama ini kupikir akan terjadi adalah, kami akan bercerai sebelum mulai serius dengan orang yang kami cintai. Dengan begitu, mereka tidak akan sempat mengetahuinya. Namun, kecelakaan kecil seperti yang terjadi pada Emma hari ini mungkin akan terjadi lagi.

"Kau mau tahu sesuatu?"

Aku menatapnya segera karena rasa penasaranku terpancing.

"Aku pernah berada di posisi Allen. Aku mencintai pria itu, sangat. Bisa dibilang mungkin cinta pertamaku. Dia juga sangat menyukaiku, bahkan kami sudah merencanakan masa depan bersama. Dia menyembunyikan statusnya karena pernikahan itu untuk urusan bisnis. Tapi kemudian istrinya hamil. Pria itu mungkin menginginkan seorang anak, jadi dia meninggalkanku begitu saja tanpa berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Bahkan aku mengetahui itu dari orang lain."

Aku tidak mengerti bagaimana rasanya, tetapi tampaknya Emma benar-benar sangat terluka karena kejadian itu. Matanya sudah berkaca-kaca. Dan aku mulai panik karena tidak tahu harus berbuat apa seandainya dia menangis.

"Gara-gara itu, aku jadi takut untuk jatuh cinta lagi, Ana. Aku takut perasaanku tertuju pada pria yang salah lagi. Terlalu banyak rahasia yang orang-orang sembunyikan. Aku tidak mau ada lebih banyak orang yang mengalami apa yang kurasakan. Aku juga tidak mau kalian dianggap jahat karena sudah memberi harapan pada orang lain dan mematahkannya."

"Em ... ." Aku meraih lengannya, memberi usapan yang kuharap bisa sedikit menenangkannya.

Emma menghela napas panjang satu kali sebelum sorot matanya kembali seperti sebelum dia menceritakan tentang pengalaman buruknya.

"Jadi, setelah aku menceritakan masa laluku, apa kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku tadi?"

Aku takjub, dia sudah kembali bersikap seolah-olah dia tidak hampir menangis tadi. Emma wanita yang luar biasa ternyata. Di balik gayanya yang agak konservatif, tidak pernah kuduga akan mengalami hal seburuk itu.

Lalu apa aku punya pilihan lain sekarang? Aku tidak bisa membiarkan Emma bertanya langsung pada Killian.

"Um, tapi berjanjilah kau tidak memberitahukan ini kepada siapa pun."

•••

Kupikir aku sedang bermimpi ketika Killian membangunkanku dan bersiap mengangkat tubuhku dari sofa. Aku mulai mengantuk tidak lama setelah Emma pulang. Kesadaranku dipaksa kembali sepenuhnya ketika dia sudah menyelipkan tangan di punggung dan di lipatan kakiku. Karena merasa tidak nyaman, aku mengulurkan tangan untuk menahan dadanya.

"Kau sudah pulang?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja sambil berusaha menajamkan penglihatanku.

Killian menarik tangannya lagi begitu sadar aku menolak digendongnya dan memungut selimut di lantai. "Kenapa tidak ke kamar? Di sini dingin. Selimutnya juga jatuh," ujarnya sembari menyelimutiku.

"Aku menunggumu dan terlalu lemas." Aku menggeliatkan badan pelan-pelan. Baru terasa penatnya karena terlalu lama berbaring di tempat sempit seperti sofa ini.

"Menungguku untuk apa?" Killian menyugar rambutnya dengan kasar. "Jaden belum pulang? Kenapa tidak minta tolong Emma untuk ke kamar?"

Aku tersenyum lemah. Entah kenapa rasanya menyenangkan melihatnya secemas ini, padahal biasanya aku akan protes kalau dia terlalu cerewet. Killian yang seperti ini ... manis juga.

"Jaden belum bisa pulang karena masalahnya sulit diatasi dan memangnya kau mau Emma tahu kita tidur sekamar? Barang-barangmu tersebar di hampir semua sudut kamarku tahu." Dahiku mendarat di atas telapak tangan kanan ketika tiba-tiba berdenyut. Benar-benar, hari ini kepalaku gampang berdenyut dan itu sangat menyiksa.

"Kau benar. Maaf aku baru pulang." Killian menjatuhkan badannya di sebelahku dan menghela napas lagi. "Sudah jam dua belas lewat. Ayo tidur."

Wow. Sudah hampir tengah malam dan Killian baru pulang. Aku jadi penasaran apa saja yang dia lakukan bersama Gabby. Tadi sore, aku tidak sengaja membaca pratinjau pesan dari Gabby yang mencuat di ponsel Killian. Saat itu juga aku merasa kalau tidak adil membiarkan Killian mengurusku seharian, padahal ada hal lain yang lebih menyenangkan yang bisa dia lakukan.

Namun, sekarang rasanya aku yang menerima ketidakadilan ini. Dia bersenang-senang di luar sana, meninggalkan aku yang sedang sakit. Setelah mendengar cerita Emma dan menceritakan tentang kami, aku jadi sedikit lebih sentimental. Bahkan hal sepele seperti ini saja sudah membuatku ingin menangis.

"Apa kau bersenang-senang?" Lagi, aku menanyakan sesuatu secara impulsif. Mungkin sakitku makin parah.

Kening Killian lantas berkerut. "Kenapa menanyakan itu?"

"Entahlah, hanya penasaran." Karena tidak ingin membicarakannya lagi, aku membalik badan memunggunginya. Ini masih di sofa dan aku jadi makin malas ke kamar setelah memikirkan akan tidur dengannya.

Killian menyentuh dahiku. "Demammu sepertinya makin tinggi, pantas saja bicara aneh sejak tadi. Obatnya sudah diminum?"

"Sepertinya aku lupa." Walau nyatanya, aku memang malas meminumnya lagi, meski tahu efeknya adalah aku tidak akan cepat sembuh. Lagi pula, aku punya Emma untuk membantu. "Oh, iya, aku tidur di sini saja."

"Kau gila? Jaden bisa mengamuk karena membiarkanmu tidur di sini padahal sedang sakit." Killian jadi histeris setelah kupancing seperti itu. Aku kembali telentang hanya untuk melihat reaksinya.

"Nanti kau tertular."

"Memangnya kau sedang sakit apa?"

"Entahlah. Kurasa besok aku masih mau istirahat. Kau tidak perlu ikut libur juga."

Killian mengusap wajah sama kasarnya seperti menyugar rambut tadi. "Mana mungkin aku akan meninggalkanmu."

Alisku terangkat sebelah. Kusuruh pergi saja dia langsung setuju tanpa pikir panjang. Apalagi setelah tahu Gabby ingin bertemu dengannya. Rasanya udara tidak pernah membuatku merasa sesak seperti sekarang. Hanya Killian yang mampu melakukannya. Kurasa itu bakat baru yang kutemukan dari dirinya.

"Besok, kan, jadwalmu ke gym." Sekarang lihat bagaimana cara Killian bisa melepas rutinitasnya itu barang sehari saja. Aku tahu, dia tidak akan bisa. Lihat, dia saja perlu berpikir untuk memutuskannya.

"Padahal aku lupa."

Sekarang aku justru menyesal sudah mengingatkannya. Kalau dulu, dia akan membuat janji dengan teman-teman di kantornya untuk pergi ke gym bersama. Sekarang dia punya Gabby yang akan selalu menemaninya. Memikirkan itu lagi membuatku tidak tenang. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?

"Lebih baik kuingatkan sekarang daripada besok kau mendadak jadi orang panik karena melupakannya."

Kami sama-sama diam. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan dan Killian juga tampaknya sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan besok. Di tengah kesunyian ini, aku justru kepikiran tentang cerita Emma. Kurasa demam membuatku jadi jauh lebih overthinking daripada biasanya. Sayangnya, waktu istirahatku tidak bisa dipakai untuk menggambar. Tangan kananku benar-benar menyedihkan saat kulihat lagi.

"Killian."

"Hm?"

Aku menunjukkan tangan kanan yang perbannya memiliki noda kemerahan. Kalau aku tidak salah ingat, itu di bagian yang lukanya agak besar dibanding yang lain. "Sepertinya saat tidur tanganku tidak sengaja mengenai sesuatu, atau aku menindihnya--entahlah. Berdarah lagi."

Melihat Killian mulai panik adalah hal terbaik yang terjadi hari ini. Dia menggulung lengan bajunya sampai siku dan mulai menyelipkan lagi tangannya di bawah lutut dan punggungku, bersiap menggendongku seperti yang akan dia lakukan tadi. Aku sudah akan protes seandainya wajah Killian tidak tiba-tiba berada sangat dekat dengan milikku.

"Menurut saja dengan suamimu. Atau aku akan melakukan sesuatu yang akan kausesali besok harinya."

Aku tidak tahu apakah aku hanya sedang berpikiran buruk, atau memang itu yang dimaksud Killian. Aku juga cukup sadar Killian adalah pria dewasa. Namun, sejak kapan dia terbiasa mengancam orang lain dengan cara seperti itu.

"Sikapmu akhir-akhir ini terus membuatku terkejut, Killian, kurasa kau banyak berubah semenjak kita menikah."

Killian berhenti melangkah di pertengahan anak tangga dan menatapku seperti orang bingung. "Menurutmu karena apa aku seperti ini?"

"Karena kau sudah bergaul dengan orang-orang New York?" Aku sudah sadar kalau itu jawaban yang konyol, tetapi dengan Killian menahan tawa seperti itu, membuatku merasa seperti orang yang benar-benar sakit.

"Salah. Karena sikapmu juga aneh, Ana. Terlalu banyak berterima kasih dan selalu merasa merepotkanku."

"Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kau terus menggodaku. Candaanmu terlalu ... sensual."

Sulit sekali memiliki suami yang tampan--bahkan aku sudah terbiasa menyebutnya seperti itu. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Tidak peduli seberapa sering dia memamerkan seringai yang menawan atau senyum yang membuat wanita-wanita menjerit, aku tidak akan bereaksi atau terpesona lagi. Namun, kali ini kurasa aku benar-benar merasakan apa yang dirasakan wanita-wanita itu. Rasanya ingin kusimpan sendiri senyuman itu, agar hanya aku yang bisa melihatnya.

"Kalau begitu salahkan gejolak hormonku, Ana. Aduh!"

Bisa-bisanya dia membicarakan tentang hormon di saat seperti ini. Rasakan pukulanku itu, Killian.

•••

Tuteyoo makin bersoda aja ya.
Sudah lama updatenya, ceritanya menggaje pula. Entah apa yang dia tulis ini.
Hehe :")
Terima kasih jika masih berkenan mampir ^,^

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
10 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro