23 - Emergency
Ini darurat. Sungguh.
Aku berlari segera setelah keluar dari mobil. Ini belum waktunya tenant-ku untuk tutup, tetapi aku sudah harus pulang. Bahkan aku tidak sempat mampir ke sana. Emma juga kuberi tugas mendadak untuk menggantikan peranku dan memintanya agar tidak menghubungiku sampai aku lebih dulu melakukannya. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain berusaha agar dapat meraih Killian. Gara-gara dia, aku jadi terburu-buru seperti ini.
Namun, langkahku seketika terhenti saat baru saja melewati mobil Killian yang sudah terparkir. Aku terlalu panik sampai tidak sadar sudah parkir di belakang mobilnya. Ini benar-benar melegakan, Killian sudah pulang. Kami harus menuntaskan sesuatu dalam waktu yang tidak lama.
"Killian!" Aku menyerukan namanya. Dua kali, tiga kali, masih belum mendapat jawaban. Rumah kami tidak terlalu besar, seharusnya Killian bisa mendengar suaraku meski sedang berada di lantai dua, kecuali dia berada di ruang kerjanya.
Aku meninggalkan tas dan mantel di sofa ruang tengah. Berlari menyusul Killian dengan membawa-bawa itu akan merepotkan. Pertama aku ke kamarnya, tidak ada. Lalu ke ruang kerja, juga tidak ada. Kamar mandinya juga sudah kuperiksa, tetapi nihil. Sekarang aku kelelahan, berhenti dan berjongkok sebentar dekat terali pembatas sambil menetralkan napas.
Apa rumah ini memiliki ruang rahasia yang tidak aku ketahui?
"Ana?"
Aku berbalik dan menemukan Killian baru saja keluar dari kamarku. Dia masih memakai pakaian kerjanya, persis seperti yang kulihat tadi pagi saat sarapan. Bedanya kemeja yang dia kenakan sudah kumal dan basah karena keringat, kurasa.
"Aku meneleponmu belasan kali tapi tidak kaujawab. Apa yang kaulakukan? Jaden akan datang dan menginap!" Aku benar-benar menyemburnya dengan kefrustrasian. Tidak lagi peduli dengan apa alasannya sudah di rumah. "Kita harus memindahkan barang-barangmu."
Killian mendekat dan ikut berjongkok di sebelahku. Namun, tidak lama sampai dia duduk bersandar dan meluruskan kaki, punggungnya disandarkan ke barisan besi terali pembatas. Dia juga terengah, aku baru menyadari itu ketika dia mengusap kepalaku. Killian tampak kelelahan dan aku justru langsung mengomel seperti tadi.
"Tenang saja, Jaden juga meneleponku. Aku segera pulang setelah itu. Aku ingat kau harus mengantar pesanan klien, jadi aku memindahkan barang-barangku lebih dulu tanpa menghubungimu. Maaf, storage room-mu sekarang sangat berantakan."
Ya Tuhan, itu melegakan. Aku menyusul duduk di sebelahnya. Saat menyelonjorkan kaki, baru aku sadar kalau terasa penat. Lari mondar-mandir, menapaki dua anak tangga sekaligus dalam satu langkah, belum lagi rumah ini termasuk tinggi untuk satu lantainya.
"Aku benar-benar panik. Jaden tidak mengatakan apa-apa tentang menghubungimu, jadi kukira hanya aku yang ditelepon. Jaden keterlaluan."
Kalau saja dia bukan saudaraku, pasti aku sudah mengumpat, menyumpahinya dengan kata-kata yang indah.
Killian hanya terkekeh. "Bukankah dia memang selalu seperti itu?"
Seperti biasa, Killian selalu menanggapi kenakalan saudaraku itu. Bagaimana bisa dia tidak merasa kesal meski sudah dibuat repot oleh Jaden? Killian benar-benar berhati besar. Aku takjub pada kesabarannya.
"Mungkin kau harus memberinya pelajaran sesekali. Bukan satu dua kali dia membuat kita seperti ini, tapi berkali-kali!" Aku bahkan memukul lantai saking kesalnya. Sekarang telapak tanganku terasa pedas.
Aku ingat, saat itu aku masih kelas lima dan Killian kelas enam. Dia memberi tahu kalau liburan musim panas keluarga kami ditunda keberangkatannya. Bodohnya, aku dan Killian percaya tanpa mengonfirmasi dengan orangtua kami. Gara-gara itu, kami tidak mempersiapkan apa-apa. Ternyata jadwalnya tidak berubah, dia hanya salah mendengar, tetapi keperluannya sudah disiapkan semua. Sedangkan aku dan Killian harus melewatkan banyak hal karena tidak sempat mempersiapkannya. Kami sudah membuat daftar yang akan dilakukan saat di pantai, tetapi semuanya gagal terlaksana sesuai rencana.
Insiden itu membuatku enggan bicara dengan Jaden sampai berminggu-minggu. Andai bukan karena bujukan Killian, aku pasti masih bermusuhan dengannya.
"Dia saudaramu, dan sudah menjadi saudaraku juga. Mana mungkin aku membalas perbuatannya, dia lebih tua."
Kami masih bertahan dalam posisi ini, sama-sama enggan beranjak pergi.
"Dia memberi tahu terlalu mendadak. Padahal aku yakin perjalanan dinas ke luar negeri tidak mungkin diberitahukan secepat ini. Atau dia memang sengaja mengerjai kita?"
"Bisakah kita lupakan dulu? Masih ada hal lain yang harus kita bereskan."
Aku mengernyit. Kalau barang-barangnya sudah dipindahkan? Apa lagi yang harus diurus?
"Barang-barangku harus terlihat seperti sudah berada di kamarmu sejak lama. Sekarang itu semua berantakan, terlalu tampak kalau baru saja dipindahkan."
Ah, iya, benar juga. Untuk yang itu, tidak mungkin kubiarkan Killian melakukannya sendirian.
•••
Aku dan Killian duduk di ruang tengah sembari menikmati kue kering dan cokelat panas. Piyama sudah membalut tubuh kami, tampak sangat siap untuk tidur. Seharusnya kami berada di kamar sekarang, tetapi tamu tidak diundang dan tidak diharapkan kedatangannya masih belum tiba juga. Padahal sejak pukul lima sore tadi berkata kalau sedang di jalan menuju rumah kami. Lihat sekarang jam berapa, jam sepuluh malam lewat dua puluh tiga menit. Sekarang dia tidak bisa dihubungi.
"Apa kita dibohongi?" Aku menggerutu lagi. Kue kering di mulut kukunyah dengan kasar, sampai suaranya terdengar keras.
"Atau mungkin tersesat."
"Parah kalau dia tersesat. Aku sudah mengirimkan lokasi dengan titik yang sangat akurat. Lagi pula, komplek kita lumayan terkenal dan mudah ditemukan. Dia seorang pria yang seharusnya lebih paham peta daripada wanita."
"Dia juga manusia, Ana."
Aku menoleh dan memicing ke arah Killian. Matanya tidak beralih dari ponsel meski TV sedang menayangkan acara favoritnya. Aku sadar tidak pantas melakukan ini, tetapi juga tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat layar ponselnya. Lalu kontak Gabby tertera di atas tampilan layar chat-nya. Aku jadi makin kesal.
"Kenapa kau terus membelanya?"
Akhirnya Killian menatapku. "Siapa?"
"Jaden. Kau selalu tenang, padahal dia sangat menyebalkan." Sebenarnya aku tidak yakin, apakah aku kesal pada Killian karena dia terlalu tenang menghadapi kelakuan Jaden, atau karena dia terlalu asyik berkirim pesan dengan Gabby di saat-saat seperti ini. Yang pasti, aku merasa ingin meledak.
Killian mematikan ponselnya dan diletakkan ke atas meja sebelum menatapku lamat-lamat. Cukup lama sampai keningnya berkerut. Aku yang merasa risi lantas dengan ketus bertanya, "Apa?"
"Apa kau sedang dalam masa tamu? Sensitif sekali," balasnya dengan nada menyindir.
Ah, dia sudah hafal soal itu, tetapi aku tetap mengangguk untuk mengafirmasi. Dan aku memang tidak pernah menyembunyikan itu darinya. Bisa dibilang terlalu ekspresif, tetapi aku lebih suka menyebutnya tidak munafik. Apa yang kutunjukkan pada Killian adalah aku apa adanya. Namun, biasanya aku tidak akan banyak menggerutu seperti hari ini. Ibaratkan saja api yang disirami minyak bumi, begitulah emosiku sekarang.
"Aku membencinya." Baiklah, itu bisa berarti Jaden atau Gabby. Alasan membenci Jaden sudah sangat jelas. Untuk Gabby, aku tidak suka karena dia harus membuat atensi Killian teralihkan.
"As much as you love him."
"Well, he is my brother."
Tentu saja Killian tidak tahu kalau wanita incarannya juga menjadi alasan kekesalanku.
Hening menyelimuti kami. Takada suara kunyahan kue kering, atau suara-suara dari aktivitas kami. Hingga membuat suara TV terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Aku memosisikan diri seolah-olah sedang menonton TV, tetapi sebenarnya diam-diam akan melirik Killian yang kembali asyik bermain ponsel.
"Pesta Halloween di Macy's, kau ikut?"
Mendengar Killian menanyakan itu membuatku berpikir dia akan mengajak pergi bersamanya. Walau tidak bisa kuterima karena sudah telanjur setuju pergi bersama Allen. Lagi pula, aku belum tahu dan dia belum bercerita tentang rencana pergi ke sana bersama Gabby.
"Aku menghasilkan uang di sana, mana mungkin kulewatkan? Itu bisa jadi ajang memamerkan kostum sekaligus brand-ku."
"Benar juga. Kita akan bertemu di sana."
"Oh, bertemu di sana?"
Sebenarnya aku tidak sepolos itu sampai tidak sadar kalau Killian tidak akan pergi bersamaku. Namun, mendengar alasannya langsung mungkin akan lebih melegakan daripada terus memikirkannya sampai berujung menduga-duga. Walau nyatanya, semuanya jelas terbaca, dengan siapa dia akan pergi.
"Aku mau datang bersamamu, tapi Gabby sudah lebih dulu mengundangku dan waktu itu mengajakku untuk mengukur tubuh. Dia sudah memesan kostum berpasangan untuk kami." Killian tidak menatapku saat mengatakannya. Kuharap itu rasa bersalah karena dia sudah membuatku kecewa.
"Kau, kan, bisa menolaknya." Aku membalas dengan suara rendah. "Maksudku, kau sudah biasa melakukannya dulu, memulangkan semua perempuan di hari ulang tahunmu, tapi yang ini ... kau tidak bisa menolaknya?"
Killian tidak mengatakan apa-apa, tetapi menatapku dengan cara yang--entahlah, sulit kuartikan. Dan aku merasa sedang menatap Killian yang lain. Killian yang kukenal akan lebih banyak menatapku dengan tatapan jenaka, bukan seperti ini, sendu dan mengharapkan ampun. Aku tidak yakin tatapannya seperti itu, tetapi agak mirip. Dia jadi sangat lemah hanya karena berhasil ditaklukkan oleh wanita seperti Gabby.
Aku tidak mengerti kenapa rasanya tidak tenang melihat mereka bersama. Mereka tampak cocok satu sama lain, tetapi aku tidak yakin mereka akan bertahan. Gabby tidak tahu apa yang akan dia hadapi ketika saat menikahi Killian. Well, bukan berarti Killian adalah pria yang rumit, tetapi ... sulit untuk kujelaskan.
Tunggu, apa aku baru saja menganggap kalau hanya aku yang tepat untuk Killian? Gila saja!
"Kurasa aku mulai berubah."
Lucu mendengar itu dari seseorang yang sadar kalau dirinya berubah.
"Ya, menjadi pria yang lemah," sahutku sebelum suara kunyahan kue kering menambah kecanggungan saat ini.
"Kenapa aku jadi pria yang lemah?"
Beruntung sekali aku tidak harus menjawab pertanyaannya karena bel rumah berbunyi. Siapa yang lagi akan bertamu semalam ini kalau bukan sosok yang kami tunggu kedatangannya sejak tadi sore?
Aku membawa tutup stoples kue kering ketika beranjak dari sofa. Keinginan untuk menghajar Jaden sudah berada di level tertinggi. Lihat saja, begitu pintu kubuka, benda ini akan langsung melayang ke wajah--
"Gabby?"
Gabby menatap tutup stoples yang kuangkat tinggi dan tampak cemas. Kuturunkan tanganku dan dia tersenyum hangat padaku. Apa yang dia lakukan bertamu malam-malam seperti ini? Jaden bisa datang kapan saja dan dia akan bertanya-tanya kenapa ada Gabby di sini.
"Hai Ana. Bisa bertemu Killian?"
Aku sudah membuka mulut akan menjawab, tetapi kuurungkan karena Killian baru saja melewatiku, menyambut kedatangan wanita yang segera akan menjadi kekasihnya.
"Kukira kau bercanda saat berkata sedang berada di daerah sini."
Aku bergidik ketika Gabby tertawa dengan nada yang kelewat manja. "Ya, dan aku mampir membeli ini. Untukmu."
"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot."
Aku enggan mendengarkan apa yang mereka bicarakan dan memilih pergi ke kamar. Terserah Jaden akan menanggapi seperti apa ketika menyaksikan adik iparnya sedang bersama wanita lain. Kuletakkan kembali tutup stoples tadi dan menggantinya dengan ponselku. Benda segi empat itu berdering dalam genggaman.
"Aku akan menghajarmu kalau tidak muncul segera!" Aku memekik tepat ketika ponselku sudah menempel ke telinga. Siapa lagi yang menelepon kalau bukan Jaden.
Parahnya, dia justru tertawa geli di seberang sana. "Rencana berubah, aku baru bisa datang besok, malam ini ada sistem keamanan yang bocor dan harus kami tangani segera. Jangan terlalu merindukanku, suamimu bisa cemburu. Oh, dan beri tahu dia juga, ya. Sampai jumpa adikku yang cantik."
Sesingkat itu dan dia sudah mengakhiri sambungan teleponnya. Bisa-bisanya aku memiliki saudara sepertinya. Terlalu menyebalkan sampai rasanya aku ingin menghapusnya dari hidupku. Tidak, tidak, mungkin menghapusnya dari bumi ini agar tidak terjadi pencemaran emosi.
Sekarang bagaimana aku memberi tahu Killian kalau Jaden tidak jadi datang? Dari puncak tangga, aku masih bisa melihat betapa asyiknya mereka mengobrol di ruang tamu. Mungkin kubiarkan saja Killian menunggu sesuatu yang sia-sia, sebagai balasan karena sudah membuatku kecewa. Aku akan tidur saja.
Oh, and thanks to Jaden, dia memberi kesempatan besar untuk mereka bermesraan malam ini.
•••
Update lagi setelah sekian lama.
Mohon maaf lahir batin, ya, teman-teman. Besok udah lebaran. Nggak terasa, ya.
Baiklah, itu aja.
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
1 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro