Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - Complicated

"Ana."

Aku menoleh ketika Killian memanggil. Dia pulang cepat hari ini dan sekarang aku sedang menyiapkan makan malam untuk kami berdua--sesuatu yang sangat jarang terjadi di dua minggu terakhir ini.

Aku terpaksa melepas wajan karena Killian tidak kunjung bicara. Api kompor sudah kukecilkan, aku bisa menatapnya tanpa merasa waswas membiarkan masakan tidak terjangkau pandangan. Sebenarnya sebentar lagi selesai, tetapi aku telanjur tidak tahan menunggu dan penasaran pada apa yang ingin Killian katakan. Namun, dia masih bergeming dan menatapku dengan kening berkerut.

"Soal rencana memesan gaun pengantin yang Gabby katakan."

Entah sebesar apa aku tidak menyukai wanita itu sampai mendengar namanya saja sudah membuatku spontan merotasikan mata. Aku tidak ingin jadi seorang pembenci, sungguh. Namun, kepribadiannya benar-benar sangat tidak cocok untukku—mungkin untuk Killian juga. Entah bagaimana Gabby mampu mencuri perhatiannya.

"Aku terkejut kau bergerak cepat." Hanya itu yang bisa kukatakan, kemudian mendekatinya untuk mengambil semangkuk kentang mentah yang sudah dia potong kecil-kecil untuk sup—dia sedang ingin makan itu, jadi sekalian saja kuminta membantu. "Aku bahkan belum menemukan satu yang menarik."

"Sebaiknya jangan terima." Ucapan Killian mengejutkanku. Aku menatapnya dengan mata menyipit hanya untuk menuntut penjelasan lebih darinya. "Jangan rancang gaun untuknya. Aku akan merasa sangat bersalah padamu."

"Merasa bersalah seperti apa maksudmu?" Aku kembali berada di depan kompor, mengaduk masakanku sebentar dan mematikan kompornya. Seharusnya disambung dengan memasak sup, tetapi aku lebih memilih untuk fokus pada pembicaraan ini, sepertinya agak serius.

Killian meletakkan pisau ke wastafel bersama tumpukan alat-alat dapur yang kotor lainnya. Namun, kurasa itu pisau itu agak dilemparnya karena berhasil menciptakan suara dentingan yang lumayan keras. Cara pisau itu terlempar dari tangannya seperti dia baru saja melepaskan sesuatu yang menjijikkan. Padahal seingatku suasana hatinya tidak seburuk ini tadi.

"Hubungan kita berakhir, tapi aku justru merepotkanmu dengan merancang gaun untuk pernikahan kami. Ya ... aku hanya jadi merasa tidak tahu diri. Seperti memasukkan kembali makanan yang baru keluar dari mulut."

Kalau begitu jangan akhiri pernikahan kita. Ingin sekali kukatakan itu pada Killian. Sayangnya, aku tidak punya alasan untuk mempertahankannya. Kukira sahabat juga bisa berarti sebagai teman hidup, tetapi itu tidak cukup kuat untuk menjadi alasan agar kami tidak lagi mencari teman hidup lainnya.

"Apa masalahnya? Toh aku akan diuntungkan jika dia memesan gaun yang super mewah. Aku akan mendapat uang banyak." Tadinya aku ingin lanjut memasak sup, tetapi karena Killian tampaknya ingin bicara membahasnya lebih banyak, aku justru menarik kursi dan duduk berseberangan dengannya.

"Ayolah, aku tidak bisa merepotkanmu lagi setelah bercerai."

"Apa dengan bercerai berarti kita tidak berteman lagi? Permintaanmu aneh, Killian."

Killian mengetuk-ngetuk meja dengan jari. Tatapannya berkeliaran ke mana-mana, kecuali menatapku. Biasanya Killian seperti itu jika mencari-cari jawaban untuk pertanyaan yang dia terima. Dan aku tidak menyangka kalau pertanyaanku akan sesulit itu.

"Entah. Apa menurutmu kita masih bisa berhubungan baik?" Lucu sekali ekspresinya saat ini. Caranya menatapku seperti anak kecil yang penasaran terhadap hal baru, lalu aku adalah si ibu yang akan mengawasi saat dia mencobanya.

"Kau mau kita berakhir? Maksudku, kebersamaan kita selama bertahun-tahun tidak akan berarti apa-apa di hari di mana palu diketuk di pengadilan? Tunggu, apa Gabby jauh lebih berharga dari hubungan kita, Killian?"

Dia tampak ragu pada banyak hal dan itu seketika membuatku frustrasi. Jari-jariku sudah menyisir rambut berkali-kali sebelum akhirnya menopang kepala. Wajah Killian kutatap sekali lagi. Wajah yang dulu selalu menciptakan banyak ekspresi konyol demi membuatku tertawa itu kini tampak begitu hampa. Sulit untuk menebak-nebak apa yang ada di pikirannya di saat seperti ini.

Sekali lagi, Killian yang ada di hadapanku sekarang terasa berbeda.

"Kau sudah yakin dengan perasaanmu? Kau yakin Gabby adalah pilihan yang tepat? Yang ... suatu saat akan kausebut rumah?"

Saat pertanyaan itu meluncur dari bibirku, aku justru merasa bahwa setuju menikah dengan Killian adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Andai dulu aku lebih berani, seharusnya aku kabur sendiri waktu itu, bukan malah mengajak Killian dan membuatnya berhasil memengaruhiku.

Sekarang, menghirup napas di bawah naungan yang sama dengan Killian saja berhasil membuatku merasa sesak. Belum lagi detik-detik menunggu jawabannya terasa menyiksaku pelan-pelan. Makin kupikirkan, makin kusadari pula betapa tidak siapnya aku kalau kami berpisah.

"Aku mencintainya, ya ... selebihnya belum yakin. Aku hanya berjaga-jaga, oke?"

Wajahku mengerucut dan sama sekali tidak tertolong oleh senyumnya. Tentu saja karena Killian bukan melakukannya untuk menghiburku, tetapi sosok Gabby mungkin sedang membayang di kepalanya tepat saat nama itu disebutkan.

"Antisipasimu terlalu dini dan sangat menyebalkan." Aku beranjak dari kursi untuk menghampiri masakanku yang masih berada di wajan. "Masih mau sup? Masak sendiri saja, aku sudah tidak berselera untuk memasak."

💍

Halloween makin dekat. Namun, aku tidak harus repot-repot menata tenant karena semuanya sudah kuserahkan pada Emma dan empat pegawai lain—kuputuskan untuk menambah dua lagi semenjak ada banyak pesanan khusus dari pelanggan. Dan akhir-akhir ini aku menerima beberapa pesanan yang super merepotkan, sampai menghabiskan waktuku selama seminggu penuh.

Hari ini aku akan mengantar satu pesanan ke daerah Manhattan. Bangunan-bangunan elite berhamburan di sana. Ya, aku langsung yang mengantarnya, tidak seperti pelanggan lain yang berkenan mengambil sendiri di tanggal yang sudah mereka tentukan. Mengingat aku masih baru dan belum punya tim pengantar barang, aku tidak meminta pegawaiku yang melakukannya. Karena jika ada lecet atau si pemesan merasa tidak puas dengan hasilnya, dia bisa langsung protes padaku sebagai si perancang gaun.

"Kau siap?"

Aku tidak menjawab, tetapi hanya menatap wajahnya dan tas karton besar yang menggantung di lipatan sikuku. Tidak mungkin aku akan berdiri di parkiran Macy's dengan membawa gaun yang akan kuantar jika belum siap pergi.

"Kau tahu? sepertinya aku harus memijat tanganku dulu karena sudah pegal membawa ini. Aku khawatir saat di jalan justru kelepasan membawanya dan terjatuh."

Allen tertawa, dia menggeleng ringan dan mengambil alih tas karton yang kubawa. Pagi-pagi dia sudah mampir ke tenant, lalu bertanya apa yang kulakukan hari ini. Dan setelah kujawab akan mengantarkan pesanan gaun pelanggan, dia langsung menawarkan diri untuk mengantarku. Dia tidak punya mobil pribadi, jadi dia akan mengemudikan mobilku.

"Fine, I'm late. Mesin mobil Jo bermasalah, jadi aku harus mendorongnya sampai bertemu bengkel Paman Sam." Allen membuka pintu belakang mobil dan meletakkan tas karton di bangku penumpang, disusul membuka pintu penumpang depan untukku.

Sambil memasuki mobil aku berkata, "Itu menjelaskan kenapa bajumu basah." Telunjukku berputar ke arah bagian depan kemejanya. Beruntung dia memakai jaket, karena mungkin saja kemeja itu lebih basah lagi di bagian punggung.

Allen menunduk untuk melihat kemejanya sendiri dan mengulum senyum malu. Lucu sekali ekspresinya, sampai membuatku tertawa geli.

"Dibanjiri keringat di musim gugur. Aku tampak memalukan di depan perempuan cantik."

Aku mendengkus sebelum akhirnya terkekeh. Allen suka memuji, seharusnya aku cukup menerimanya saja, tetapi aku tidak bisa berhenti menganggap itu hanya sekadar gurauan.

"Kau beruntung kita bukan sedang menghadiri prom."

"Ah! Bicara soal prom, aku teringat akan Pesta Halloween yang akan diadakan di Macy's." Allen menyalakan mesin mobilku dan mulai melaju pelan-pelan.

"Ya, aku melihat informasi itu di papan reklame. Aku bahkan belum menyiapkan kostum padahal acaranya minggu depan."

Aku menoleh ke belakang untuk sekadar menatap tas karton berisi gaun milik pelanggan. Desainnya terinspirasi dari gaun Princess Belle, pelangganku sendiri yang menunjukkan referensi itu dan memintaku memodifikasinya sedikit agar tampak lebih modern. Aku tidak berbuat banyak selain mengurangi lebar gaun, memberi belahan di bagian depan—karena dia meminta agar bisa memamerkan kaki jenjangnya. Kurasa dia ingin memakainya untuk merayakan Halloween.

"Ekhem." Dehaman Allen membuatku kembali menatap ke depan. Sebelah tangannya mengusap leher. "Aku berpikir bagaimana kalau kita datang bersama? Ada kontes busana couple."

Aku juga membaca kontes-kontes yang ada di brosur. Kontes kostum paling creepy, kostum couple, kostum paling menjiwai, dan selebihnya tidak kuingat dengan baik. Tadinya aku berencana ingin mengajak Killian, tetapi mungkin Gabby sudah lebih dulu mengajaknya. Tidak masalah pergi bersama Allen, kurasa.

"Ana?" Rupanya aku terlalu lama berpikir sampai Allen kembali menegurku.

"Oh, ya. Tentu. Ayo datang sebagai pasangan. Kostum apa?"

Allen menatapku dengan kening berkerut, cukup lama. Aku pasti akan menegurnya jika saja mobil ini tidak sedang berhenti di persimpangan yang lampu lalu lintasnya menyala merah. Dia akan membahayakan kami jika tidak fokus ke jalanan.

"Apa sesuatu sedang mengganggu pikiranmu?"

Baik, dahiku spontan berkerut karena kepekaannya. Aku tidak pernah diperhatikan seinstens ini oleh orang lain selain Killian. Seperti yang pernah kubilang, aku tampak transparan baginya. Dan Allen, dia terlalu asing untuk bisa seperti itu. Oh, atau aku terlalu menunjukkannya?

Aku yakin, tidak.

"Kenapa bertanya begitu?"

Allen kembali melihat ke depan setelah aku merespons. "Emm ... cuma menebak. Kau tampak tidak fokus dan beberapa kali kutemukan sedang melamun." Jari-jarinya menari di atas roda kemudi dan membuatku teringat Killian, yang juga sering melakukannya jika tidak sabar menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Dan aku tidak yakin Allen melakukannya karena hal serupa.

"Aku gugup bertemu dengan pelanggan nanti. Takut hasilnya tidak sesuai yang dia harapkan." Aku tidak berbohong, bahkan sampai menghela napas dengan berat saat memikirkannya. Itu adalah salah satu alasan kenapa aku merasa tidak tenang—selain memikirkan Killian, tentunya.

Allen tertawa kecil sembari melajukan kembali mobilku. Dari reaksinya, kurasa dia percaya pada apa yang kukatakan. Sangat wajar desainer baru sepertiku akan merasa khawatir pada hal-hal seperti itu, dan Allen memahaminya.

"Dia sudah memilih untuk memesan padamu. Tentunya segala risiko dari hasilnya akan dia terima. Ini bukan karena kau menawarkan diri untuk menjahit busana mereka, Ana. Atau mungkin memaksa mereka agar percaya padamu? Karena jika seperti itu, wajar kau merasa tidak tenang."

Ucapan Allen ada benarnya meski konteksnya berbeda dengan apa yang berkeliaran di kepalaku.

"Tapi bukan itu yang kupikirkan. Mereka sudah percaya padaku—dan kau tahu, sulit mempertahankan kepercayaan orang lain." Aku menghela napas. "Dan lebih sulit lagi mengembalikan kepercayaan itu."

Aku membuang muka dengan menatap jalanan melalui jendela. Aku yakin obrolan ini menciptakan kecanggungan meski bukan sesuatu yang besar. Maksudku karena responsku yang terlalu serius padahal dia tampak rileks.

Tangan Allen mendarat di atas tanganku, menggenggamnya dengan lembut. Aku tidak keberatan atau berusaha menarik kembali tanganku karena yakin dia hanya berusaha membuatku tenang. Dia tersenyum meski tatapannya lurus ke depan. Sikapnya manis, tetapi tidak cukup berhasil untuk membuatku berdebar.

"Aku tahu kau sudah mengusahakan yang terbaik. Ingat kalau usaha tidak mengkhianati hasil?"

Allen berhenti bicara, tetapi aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Lagi pula, dia sudah siap ingin bicara lagi.

"Kau boleh gugup, itu berarti kau bertanggung jawab atas pekerjaanmu. Tapi jangan berlebihan, jangan sampai mengambil alih kendali atas dirimu. Di mata orang-orang, profesionalisme akan berkurang."

Allen benar-benar mengakhiri ucapannya sekarang. Dia sudah tersenyum dan kali ini benar-benar ditujukan padaku, bukan aspal di hadapan kami lagi. Sebenarnya, aku sudah cukup mengerti maksud dari kata-katanya, tetapi kalau kukatakan seperti itu, dia pasti akan merasa malu.

"Kau benar. Aku akan berusaha tetap tenang sekarang." Aku tersenyum kaku untuk mengapresiasi usahanya dan menarik tangan pelan-pelan dengan alibi untuk memeriksa ponselku yang baru saja berdering—siapa pun yang menghubungiku, dia memilih waktu yang tepat.

Oh, dari Jaden. Tumben sekali dia meneleponku.

***

Akhirnya update setelah ditelantarkan sangat lama. 🥲
Semoga ndak ada yang lupa sama kisah Ana dan Killian, ya 🥲

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
10 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro