20 - Patchwork
#5
Harus saling mendukung satu sama lain.
•••
Aku baru tiba di rumah ketika Kelly, ibunya Killian, menelepon. Dia sangat jarang menghubungi kami, kecuali jika ada hal penting yang mau dia kabari. Seperti mengabari kalau ada barang pesanan Killian yang tiba di rumahnya—Killian cukup ceroboh sampai lupa mengganti alamat rumah. Itu akan jadi sangat penting, karena Killian sudah pasti panik jika paketnya tiba di luar estimasi waktu yang diberikan oleh aplikasi. Sekarang aku bahkan tidak tahu apa yang akan Kelly sampaikan padaku.
Sembari membuka pintu dan masuk ke rumah, aku menerima teleponnya. Takada yang kudengar selain suara gemuruh hujan. Aku bisa membayangkan nikmatnya melindungi diri dari rasa dingin di balik selimut dan segelas Eggnog ditambah Marshmallow. Kelly selalu membuatnya sangat enak, aku jadi rindu ada di dekatnya.
"Halo, Mom?" Aku menyapanya lebih dulu. Untuk beberapa saat aku masih menunggu lagi. Hingga akhirnya terdengar keributan dari sana. Kelly dan suaminya pasti berdebar lagi. Namun, tenang saja, mereka tidak melakukan itu dengan serius. Killian akan muncul di depan mereka dengan wajah masam dan perdebatan berakhir.
Aku melepas atasanku, menyisakan tanktop ketat berwarna merah tua. Atasanku tadi kusampirkan ke sandaran sofa ruang tengah dan disusul meletakkan ponsel ke atas meja. Sebelum meninggalkannya ke dapur untuk mengambil minuk, aku sudah lebih dulu menekan loudspeaker.
"Ana darling, halo."
Aku tersenyum dan membalas, "Ya, Mom!" Dengan suara yang lantang tentunya.
Kelly menghela napas keras sekali. Seperti merasa terganggu oleh sesuatu. "Ke mana suamimu? Aku sudah meneleponnya tujuh kali, tetapi tidak diangkat."
Duh. Harusnya aku tahu kalau hal-hal seperti ini akan terjadi. Kalau dia tidak bisa dihubungi, siapa lagi yang akan bertanggung jawab selain aku?
"Dia ... ada pertemuan untuk proyek baru, Mom."
"Serius? Di hari Minggu? Tidak biasanya dia mau keluar untuk urusan kerja kalau di hari itu seharusnya dia menikmati libur."
Aku mengaduk susu di gelasku sambil tersenyum miris. Sangat mudah mengetahui ada yang salah padanya ketika seseorang tahu tentang kebiasaanmu. Itu artinya, sudah menjadi tugasku untuk mengarang cerita demi membuat pernikahan kami tampak baik-baik saja.
"Proyeknya agak mendesak, Mom. Killian tidak bisa meninggalkannya."
Aku kembali ke ruang tengah dengan segelas susu cokelat yang masih sangat panas. Aku sengaja tidak menambahkan air dingin karena aku ingin menghangatkan tanganku. Musim gugur di sore menjelang malam memang terasa lebih dingin.
"Akhir pekan seharusnya jadi quality time untuk kalian, kayak dulu."
Dulu kapan? Mungkin maksud Kelly adalah saat kami masih sekolah, ketika kewajiban kami masih hanya belajar dan menghibur diri jika otak mulai lelah.
"Ya ... mau bagaimana lagi, Mom. Aku harus mengerti kalau Killian punya kesibukan, kadang aku juga harus pergi saat akhir pekan." Nada bicaraku dibuat ceria, agar dia tahu kalau, ya, memang wajar kalau kami tidak sering bersenang-senang lagi.
"Baiklah. Bagaimana kabar kalian di sana? Apa New York terlalu menyenangkan sampai kalian tidak berencana pulang?"
"Mom, kami baru pindah dua bulan, bukan dua tahun. Lagi pula, kami masih berusaha beradaptasi di sini. Masih banyak yang belum kami selesaikan. Jadi, belum terpikir untuk pergi ke mana-mana dulu."
"Bagaimana honeymoon kalian?"
Pertanyaan lain yang sangat kuhindari. Semua orang tentu akan mempertanyakan itu dan menantikan kabar baik. Aih, semenjak menikah, takada hal baik yang terjadi di antara kami. Tadi aku sudah akan meminum susu, tetapi karena pertanyaan Kelly, aku jadi kehilangan nafsu.
"Kami belum menemukan waktu untuk itu, Mom." Alasan lagi.
"Kalian ini bagaimana? Kami di sini menantikan kabar baik dari kalian. Kalian sudah ditakdirkan bersama, jadi jangan berpikir untuk tidak membuat satu untuk kami timang. Sudah sejauh mana usaha kalian?"
Aku meletakkan gelas susu cokelat ke atas meja, sebelum isinya tumpah karena aku dibuat terkejut oleh kata-katanya. She's expecting a baby!
Aku harus jujur, atau bagaimana? Pernikahan ini terjadi karena desakan mereka, tetapi aku juga tidak tega membuat mereka kecewa. Aku benci berada di situasi di mana aku harus terus menjaga perasaan seseorang, tetapi lebih buruk lagi kalau aku melihat mereka kecewa.
"Kami ... belum benar-benar mengusahakannya karena, ya, masih repot soal pindahan. Belum lagi aku harus mengurus tenant dan Killian juga sedang membiasakan diri dengan posisi barunya di kantor. Jadi, maafkan kami, Mom."
Ada jeda sangat lama sebelum Kelly bicara lagi. Aku mengigit bibir bawahku ketika rasa bersalah mulai muncul. Harusnya aku menolak saja daripada terbujuk karena ditakut-takuti oleh kutukan yang kutulis sendiri.
"Baiklah, kami mengerti, Sayang. Jadi, liburan menjelang akhir tahun, apa kalian akan datang?"
Aku refleks memandang kalender di dinding. Sekarang bulan Oktober. Masih dua bulan lagi. Pertama, aku tidak bisa meninggalkan tenant, akhir tahun biasanya Macy's akan mengadakan festival. Aku tentu tidak akan mengabaikan momentum itu untuk menarik lebih banyak pengunjung. Sedangkan Killian, well, kami belum membicarakannya. Jadi, aku tidak tahu apakah dia akan sibuk atau tidak.
"Kami belum mendiskusikannya, Mom. Bagaimana kalau kukabari lagi nanti?"
"Tidak perlu, Ana. Kami akan berkunjung ke sana. Mungkin pertengahan bulan Desember. Aku belum mengajak orangtuamu, tapi sepertinya dia akan merayakannya di sini karena Jaden pulang."
Perlu waktu beberapa saat untuk aku mencerna apa yang baru saja Kelly katakan. Sampai akhirnya aku menganggap itu adalah petaka. Maksudku, itu artinya aku harus sekamar dengan Killian. Dulu itu tidak menjadi masalah, bahkan saat mendaki pun kami tidur di satu tenda kemah yang sama, tetapi sekarang rasanya berbeda. Rasa tidak nyaman itu muncul dengan sendirinya. Bukan karena ada kemungkinan Killian akan melakukan hal buruk, tetapi ini sesuatu yang sulit untuk kudeskripsikan dengan kata-kata.
Kalau boleh memilih, lebih baik kami yang ke sana.
"Ana? Kau masih di sana?"
"Iya, Mom. Jadi, kalian akan datang?" Kuharap dia akan menjawab kalau itu masih rencana dan ada kemungkinan gagal. Namun, sejauh aku mengenalnya, Kelly tidak akan menjanjikan sesuatu jika keyakinannya belum sampai 90%. 10% tidak cukup kuat untuk sebuah kata gagal.
Aku mendengar Kelly sedang bicara dengan suaminya. Sedikit yang tertangkap oleh pendengaranku, mereka bicara tentang rencana untuk mengunjungi kami. Padahal percuma, ayah Killian pun tidak mampu meruntuhkan tekad Kelly yang kuat—dan dari situlah lahirnya Killian yang ambisius.
"Iya, Sayang. Kami akan datang. Robert akan menyisihkan waktu di akhir tahun untuk bertemu kalian."
Wajahku mengerucut masam tanpa bisa ditahan. Bagusnya, kami tidak sedang melakukan panggilan video saat ini. Dia tidak perlu melihat betapa aku tidak menginginkan itu akan terjadi.
"Baguslah, Mom. Killian pasti akan senang mendengar kabar ini."
Sialan, Killian. Gara-gara dia tidak menerima telepon ibunya, aku harus banyak mengarang hari ini.
💍
Sekitar pukul sembilan malam, aku mengetuk pintu kamar Killian. Ini sungguh sesuatu yang baru mengingat dulu aku tidak pernah merasa sungkan melakukannya. Aku bisa langsung masuk kapan pun aku mau. Tidak peduli sesibuk apa dia, atau seburuk apa penampilannya.
"Masuk, Ana." Suaranya agak serak saat mengatakan itu.
Aku langsung masuk begitu mendapat izin darinya. Sekali lagi, aku merasa tidak biasa dengan situasi ini, apalagi setelah menemukan Killian hanya mengenakan celana piyama panjang. Dia duduk di kasur sambil memangku laptop. Rupanya dia baru selesai mandi karena rambutnya basah dan belum dia memakai atasan piyama.
Sialnya, tetesan air yang luruh dari rambutnya membuat Killian tampak menggoda.
"Tidak biasanya kau sesopan itu." Bahkan Killian pun merasakan perbedaannya.
"Entahlah, kupikir kau sedang sibuk. Dan ternyata benar." Aku membalas setelah menempatkan diri di kasur, duduk bersila di sebelahnya.
"Hanya sedang memeriksa situs lama klien."
Aku ikut melirik layar laptopnya—dan tentu saja tidak ada yang kumengerti di sana karena hanya dipenuhi baris-baris coding—lalu mengangguk sembari menggumam pelan. "Berarti kau akan sibuk lagi dan tidak bisa ikut ke lapangan lagi minggu depan."
"Tapi kau bisa bersenang-senang tanpaku, 'kan? Apalagi ada Allen. Kalian tampak ... dekat. Sepertinya dia pria baik."
Aku jadi ingat tadi sore Killian melewatiku begitu saja. "Kau tidak menyapaku. Aku tahu saat mobilmu lewat."
Killian menghela napas dan menutup laptopnya. Benda yang bisa dilipat itu ia letakkan ke atas nakas dan dia menghadapku kali ini. Sorotnya yang tajam menyelisik wajahku, seolah-olah sedang mencari sesuatu yang tidak beres. "Aku tidak ingin merusak momen kalian."
Bola mataku berputar secara refleks. "Momen apa? Kami tidak melakukan sesuatu yang spesial selain berlari. Bahkan saat di lapangan aku tersisa sendirian, dia bermain basket. Kau tega, Killian." Aku ingin meninju perutnya, tetapi Killian sudah lebih dulu menangkap kepalan tanganku.
"Aku sungguh tidak bisa melewatkan kesempatan itu, Ana. Lagi pula, kita sudah sepakat, 'kan?"
Aku mengedikkan bahu. "Aku tahu," sahutku sekenanya.
"Jadi, ada apa ke kamarku malam-malam? Bukan mau tidur denganku, 'kan?"
Dengan sebelah tanganku yang lain, aku ingin meninjunya lagi. Namun, sekali lagi, Killian menangkap tanganku. Sekarang dia memegangi kedua pergelangan tanganku hanya dengan satu tangannya. Kemudian dia meletakkan telapak tangannya yang menganggur di dahiku.
"Normal."
"Orangtuamu akan datang pertengahan Desember nanti."
"Oh, baguslah."
Aku memicing ke arahnya. Dari banyaknya reaksi yang bisa kuterima, apa dia tidak merasa ada masalah dengan kedatangan mereka? Maksudku, akan ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan agar mereka tidak curiga kalau kami memiliki kesepakatan. Salah satunya adalah, dia tidak bisa menemui Gabby.
"Serius?"
"Ya. Kenapa?"
Aku tidak punya jawaban untuk itu. Di satu sisi aku mencemaskannya, tetapi dia justru tampak tenang seolah-olah takkan ada masalah yang menimpa kami. Bangkai yang disembunyikan lama-lama akan tercium juga. Aku mencemaskan rencana perceraian kami, walau sebenarnya masih jauh dari itu.
Namun, ada hal lain yang perlu kukhawatirkan, yaitu tidur bersama Killian. Takada masalah sebenarnya, tetapi sejak mendengar permintaan yang dia ajukan waktu itu, aku jadi sering merasa gugup kalau memikirkan akan tidur dengannya.
"Menurutmu, apa aku perlu mencicil? Bukan tidak mungkin mereka akan meminta tidur di sini kalau kamarnya sebagus ini." Killian berkata sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Itu salah satu hobinya. Dulu dia sering protes kalau rambutku menutupi wajah. Katanya risi, tetapi ada masanya dia akan menggodaku dan mengatakan kalau rambut itu akan menghalanginya melihat wajahku.
"Apa yang mau dicicil?"
"Pakaianku, barang-barangku, semuanya harus dipindahkan ke kamarmu juga, 'kan?"
Dia pasti lupa dengan peraturan rumah yang kurancang itu. "Tidak. Kamarku sudah penuh. Storage room-ku juga hampir penuh."
"Tidak semuanya, Ana. Paling beberapa benda yang sering kugunakan agar mereka mengira kita memang tidur sekamar."
Oh, benar juga kata Killian. Bisa-bisanya aku tidak sampai berpikir ke sana.
"Sisa bajumu bagaimana?"
Dia memperhatikan sekelilingnya. "Akan kusimpan di ruang kerja. Mungkin dalaman dan piayamaku yang perlu ada di kamarmu." Killian tampak berpikir lagi. "Oh, pencukur dan sikat gigiku juga harus ada di kamar mandimu."
Aku mengangguk lagi. Oke, berarti selesai. Takada hal lain yang perlu dikhawatirkan karena Killian sudah menemukan solusinya. Dan itu berarti, aku juga tidak perlu lama-lama di sini, walau yang kuharapkan adalah memiliki alasan untuk tinggal lama-lama di kamar ini dan menatap wajahnya.
Lucu, makin dewasa, aku justru kesulitan menemukan alasannya. Tidak seperti dulu, aku bisa langsung berkata kalau aku ingin menonton TV di kamarnya, atau sekadar ingin dia mendengar aku menceritakan bagaimana hariku berlalu. Sekarang aku sadar itu kekanakan, apalagi setelah menemukan Killian lebih sering berkutat dengan ponselnya.
Serumah bukannya membuat kami lebih dekat, tetapi yang ada justru terasa seperti ada jarak di antara kami. Mungkin aku benar-benar harus menemukan seseorang untuk menggantikannya.
"Bisa lepaskan tanganku?" Kulayangkan tatapan pada tangannya yang masih melilit dua pergelangan tanganku.
"Mau ke mana?"
Apa dia benar-benar bertanya seperti itu atau hanya untuk mengulur waktu?
"Tidur. Memangnya aku mau apa lagi?"
Di hari Minggu, aku benar-benar melepas pekerjaanku, bahkan hari ini aku tidak menggambar satu pun dan hanya mencari-cari inspirasi dari apa yang kulihat—misalnya dari tayangan di TV.
"Lihat apa yang kutemukan." Killian menggunakan sebelah tangannya yang bebas untuk membuka satu laci nakasnya. Meski sudah kuminta dia melepasku, tetapi tidak dia lakukan. "Aku membeli ini saat melewati toko mainan," ujarnya sembari meletakkan sebuah kotak berwarna cerah ke tengah-tengah kami.
"Patchwork!" Aku memekik. Permainan papan yang satu itu dulu sering kumainkan bersamanya. Tidak, maksudku, aku sering memaksanya untuk bermain bersamaku. Patchwork, atau tambal sulaman itu permainan yang semestinya dimainkan oleh perempuan. Namun, karena di dekatku hanya ada Killian, mau tidak mau, dia harus melakukannya.
"Aku yakin kau belum mengantuk." Kerlingan Killian berarti sesuatu dan aku sangat mengerti apa maksudnya.
"Justru aku berharap kau tidak bosan untuk memainkannya berkali-kali denganku, Killian."
Tawaku tidak bisa ditahan lagi ketika dia mengeluarkan isi dari kotak tersebut, membuat potongan-potongan puzzle dengan gambar motif kain sulam berserakan di kasurnya. Melihat itu membuatku terpikirkan akan satu hal, karena Kelly bicara tentang liburan akhir tahun, aku jadi tahu akan memberi apa untuk Killian di hari Natal nanti.
Well, lihat saja.
***
Harusnya update tadi malam, tapi aku ketiduran hehe.
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
24 Desember 2021
Bonus:
Patchwork
Sumber: nytimes.com/wirecutter
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro