16 - The Silver Tie
Aku menghindari Killian, sebisa mungkin tidak melihatnya. Terakhir kali dia menceritakan tentang rencana proyek dan memintaku agar tidak menunggunya karena selalu pulang terlambat. Itu adalah tiga hari setelah kami mendiskusikan tentang peraturan rumah. Oh, sekaligus tentang permintaannya yang masih belum kutemukan jawabannya.
Ya ... meski aku merasa dia belum bisa menerima peraturan itu, atau bisa dibilang, apa yang tertulis di sana terasa aneh untuknya. Aku bisa melihatnya dari ekspresi yang dia tunjukkan saat kami membicarakannya. Meski begitu, dia tetap menurutinya. Kupikir selagi Killian tidak protes, kami bisa menjalankannya dengan baik.
Aku tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini; di usia 26 tahun. Aku tidak pernah belajar tentang pernikahan, atau cara berumah tangga, tidak pernah memperhatikan bagaimana Mom memenuhi seluruh kebutuhan di rumah, termasuk bagaimana cara memberi kasih sayang pada anak-anaknya. Kukira akan menikah di usia 30 tahun ke atas, setelah karierku berjalan dengan baik dan pencapaianku sudah memuaskan.
Hingga akhirnya aku menyempatkan waktu luang untuk mencari tahu tentang kehidupan suami istri, membaca dari pengalaman orang yang berasal dari banyak sumber, dan menirunya beberapa. Jatuhnya memang agak berat sebelah, aku lebih diuntungkan dari Killian. Mungkin karena itu juga dia meminta satu hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Tidak bisa kubayangkan akan melakukan itu dengan Killian, sahabatku sendiri. Ciuman saja dia sudah menyisakan ruam merah di leherku, bagaimana kalau lebih? Ugh!
Sudah seminggu aku tidak melihat Killian. Aku berangkat lebih awal dan dia selalu pulang terlambat. Begadang akan selalu membuatnya bangun lebih siang dariku, meski tidak membuatnya terlambat bekerja. Aku tetap menyiapkan sarapan untuknya; sesuai yang disepakati, mana tega aku membiarkannya kelaparan.
Bagus saja seperti ini, aku tidak akan dituntut untuk memberikan keputusan. Killian selalu seperti itu, ketika sesuatu sedang dia nantikan jawabannya, dia tidak akan segan untuk menagihnya pada siapa pun yang dia beri pertanyaan. Dia tidak akan bernapas dengan tenang sampai mendapatkan jawaban--persis ketika dia memberi usulan agar aku mau menikah dengannya.
Hari ini tidak banyak yang kulakukan, hanya ke Macy's, mengurus toko seperti biasa; menerima pesanan, bayaran, dan menggambar jika sedang senggang. Untuk urusan stok, aku memercayakannya pada Emma, dia lebih bisa diandalkan untuk bicara dengan dua pekerja yang lain. Aku belum berani mempekerjakan banyak orang di tenant, mengingat brand-ku masih sangat baru dan pengunjungnya belum terlalu banyak.
"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?"
Suara Hanah terdengar. Itu adalah alarm yang membuatku melepaskan buku dan pensil dan berada dalam posisi standby, agar siap jika harus melakukan sesuatu untuk si pelanggan.
Hanah sendiri adalah seorang gadis perantau yang tiba di New York seminggu lalu, dan menjadi alasan kenapa aku harus menerimanya untuk bekerja. Aku tahu hidup di negara orang tidak mudah, apalagi untuk fresh graduate sepertinya. Lagi pula, dia lumayan rajin dan memiliki aura positif. Meski hanya firasat, tetapi aku yakin dia gadis yang baik.
"Ana, kurasa brand-mu punya pelanggan tetap." Emma berdiri di sebelahku dan menyandarkan tubuh bagian atasnya pada meja konter. "Dia yang kemarin, 'kan? Datang lagi bersama temannya, kurasa."
Tatapanku melayang pada seorang wanita yang, benar kata Emma, baru kami temui kemarin. Dari penampilannya saja sudah menguarkan aroma uang, aku masih ingat berapa lembar pakaian yang dibelinya dari tempatku. Satu fakta itu membuatku senang karena ada orang yang mulai menyukai model busanaku.
Wanita yang berada di sampingnya mengenakan pakaian formal, seperti seseorang yang bekerja di depan komputer dan mengetik setiap hari. Kurasa dia langsung ke sini begitu jam kerjanya selesai. Wajar, ini sudah sore. Dia tenggelam di antara koleksi mantel musim dingin sampai wanita pertama menyentuh bahunya dan dia berbalik.
Oh, dia Gabby.
Gabby yang sama dengan yang diperkenalkan Killian padaku. Dia tampak lebih cantik dengan saat pertama kami bertemu. Orang bilang, rata-rata wanita akan makin cantik jika sedang jatuh cinta. Kurasa perasaan Killian terbalaskan dan berarti hubungan mereka terus membaik setiap harinya.
Tunggu, dia melihat ke sini dan sekarang mengajak wanita pertama untuk menghampiriku. Aku tidak sempat membuang muka, jadi memaksakan seulas senyum untuk hadir di wajahku. Aku bukan tidak suka dia dekat dengan Killian dan terpaksa bersikap ramah, tetapi dia menjadi pelanggan hari ini, tentu saja aku harus bersikap ramah padanya.
"Hai, Ana, 'kan?" tanyanya dengan senyum yang menawan.
"Benar. Semoga kalian suka dengan busana yang kami jual."
"Seperti kata Killian, kau desainer yang keren. Mungkin aku akan beli beberapa hari ini. Asal kau mau sabar, karena aku akan lama memilih jika kebingungan."
Perlu kuakui dia wanita yang ramah. Hanya terkadang caranya menatap orang lain seperti sedang memberikan penilaian.
"Asal kau tahu jam tutupnya. Kami juga perlu istirahat, Gabby." Aku merespons sambil tersenyum untuk membalas keramahannya.
"Tenang saja, aku akan mengajaknya ke sini lagi besok kalau yang dia beli hari ini belum memuaskan untuknya." Wanita pertama pun turut bicara.
Aku tidak tahu itu pujian atau sarkasme, tetapi aku tetap tersenyum demi menjadi penjual yang ramah.
Mereka sudah berbalik, ingin pergi meninggalkanku, tetapi Gabby kembali lagi. Aku tidak tahu dia mau apa, tetapi dia tengah merogoh tasnya sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Kebetulan bertemu denganmu, aku mau menitipkan ini. Killian meninggalkannya kemarin saat mengerjakan database di rumahku. Aku tidak bertemu dengannya hari ini karena dia ada kunjungan ke kantor klien." Dia mengatakannya sembari menyodorkan gulungan kain berwarna perak yang diikat dengan karet. Bukan hanya kain, tetapi itu dasi.
Tunggu, Killian melepaskan dasinya di rumah Gabby. Mungkin dia hanya merasa gerah waktu itu.
"Baiklah, terima kasih."
"Katakan juga padanya kalau sudah kucuci bersih. Aku langsung mencucinya saat tahu ada noda lipstikku di sana."
Noda lipstik di dasi Killian. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Cukup lama kupandangi dasi di tanganku sampai Gabby sudah tidak lagi di hadapanku, tetapi sibuk memilih-milih pakaian.
Satu jam setelahnya aku tidak bisa menghentikan dugaan-dugaan yang bermunculan di kepala. Walau ada banyak hal yang menjadi penyebab dasi Killian terkena noda lipstik, tetapi aku tidak berhenti terpikirkan ke sana. Ini menyebalkan, padahal benda itu sudah kusimpan di tas.
Beruntungnya, aku berhasil terselamatkan oleh kehadiran Allen. Maksudku, aku jadi ada teman mengobrol dan tidak lagi memikirkan tentang dasi.
"Ada urusan di dekat sini?" tanyaku ketika dia berada tepat di seberangku, dibatasi oleh meja konter. Dia tersenyum lebar, seolah-olah sesuatu yang baik terjadi padanya hari ini.
"Ada acara di lantai satu. Temanku memperkenalkan jasa kecil kami untuk si pemilik acara, dan di sinilah kami." Kurasa Allen tipe pria yang tidak akan menyembunyikan rasa bahagianya. Aku akan menganggap kalau dia sedang membagikan aura positifnya pada orang lain. Karena jujur saja, itu sampai padaku.
"Hm. Itukah yang membuatmu tidak bisa tersenyum?" godaku.
"Tentu. Acara belum selesai, tetapi mereka mengizinkanku pergi sebentar. Kau sudah makan malam?"
Aku baru merasa lapar ketika dia menyebutkan kata makan.
"Belum. Terima kasih sudah mengajakku, aku akan memberi tahu Emma untuk pergi keluar sebentar dan membeli makan." Aku baru akan pergi ke belakang, tetapi Allen buru-buru menahan tanganku.
"Um, bisakah kalau kau yang pergi keluar? Aku ingin mengajakmu makan ke rumah makan dekat sini, tidak sampai keluar Macy's." Allen memandangku dengan tatapan penuh harap, seolah-olah dia akan sedih jika aku menolak.
"Bagaimana dengan Emma dan yang lain—"
"Oh! It's okay, Ana. Kalian pergilah, kami belum benar-benar lapar. Tenang saja, aku akan menggantikanmu di kasir." Suara Emma yang terdengar tiba-tiba dan lumayan nyaring itu berhasil membungkamku.
"Hai, Allen. Bisa belikan aku hotdog? Akan kubayar saat kau kembali mengantar Ana nanti." Emma bicara lagi. Dan lihatlah apa yang dilakukannya sekarang, mendorongku menjauh dari mesin kasir dengan tubuhnya. Hingga sekarang dia menggantikan posisiku.
"Tentu saja bisa, dengan saus pedas atau manis?"
"Pedas. Titip tiga, ya."
Allen mengacungkan jempol pada Emma. Sementara Emma mengusirku dengan tangannya menepuk-nepuk pantatku. Dia mulai tahu cara membuatku merasa risi hingga aku memutuskan pergi setelah meraih tas. Aku bahkan tidak mengerti kenapa Emma tampak terlalu senang saat aku akan pergi.
"Mau makan apa?"
Kami sudah berada di luar tenant-ku dan Allen baru bertanya. Tidak jauh di depan kami terdapat dua eskalator, satu untuk turun, satunya lagi naik.
"Um, entahlah. Aku belum tahu banyak apa saja yang dijual di sini."
"Apa spageti oke?"
Aku hanya mengangguk dan Allen mempercepat langkah menghampiri eskalator yang menuju ke atas. Kami berdiri bersisian. Meski sudah setiap hari ke sini selama hampir tiga minggu, aku tidak pernah berhenti merasa takjub pada apa yang dijual di sini. Bangunannya sangat luas, aku yakin tidak cukup satu hari untuk mengelilinginya.
Allen membelok di persimpangan dan berhenti di sebuah resto dengan palang bergambar sepiring spageti yang di sekelilingnya menyala. Aroma keju dan beragam saus yang biasa dipakai untuk hidangan spageti. Nafsu makanku naik drastis. Allen memintaku menempati satu meja kosong terdekat sebelum ditempati orang lain, sementara dia yang memesan.
"Aku akan pesan menu spesial di sini. Apa ada yang tidak bisa atau tidak boleh kaumakan? Misalnya seafood, kacang-kacangan atau apa pun itu."
"Aku bisa makan semua yang biasa dimakan. Khusus untuk makanan dan jangan pikirkan yang aneh-aneh." Aku langsung memperingatkan ketika Allen mulai menahan tawa.
"Oke, oke. Untuk minum, kau mau apa?"
"Air putih saja."
Untuk makanan yang akan kucicipi pertama kalinya, aku tidak suka meminum minuman yang ada rasa. Kupikir itu akan merusak cita rasa dari masakan, hingga aku tidak bisa menilai apakah resto ini memang menyajikan masakan yang enak atau tidak. Aku terbiasa melakukannya sejak empat tahun yang lalu, ketika kopi pahit milik Killian tanpa sengaja kuminum dan rasa piza yang kumakan jadi masam. Ya ... karena sisa kafein di lidahku.
Desain resto ini sangat minimalis, warna cokelat gelap mendominasi. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung, kurasa. Allen saja sampai menunggu lama sampai tiba gilirannya. Bahkan sesekali dia akan berbalik hanya untuk menangkupkan kedua tangannya ke arahku.
Kubuka tasku, bermaksud ingin mengeluarkan ponsel, tetapi mataku justru tidak sengaja menemukan dasi Killian. Sekarang aku mengingatnya lagi.
Kukira aku tidak sampai melamun, tetapi kenapa aku sampai berjengit ketika Allen tiba dan meletakkan dua piring penne dengan saus hijau ke atas meja bersama minuman kami.
"Menu spesial hari ini Pesto Penne with Shrimp and Peas. Ayo dimakan." Allen menyuap miliknya lebih dulu dan menggumam panjang. Kalau tujuannya untuk membuatku tergoda untuk segera memakannya, dia berhasil.
Satu suapan masuk ke mulut, melalui proses penghalusan di antara gigi-gigiku, dan meluncur bebas melalui pipa kerongkongan. Kulakukan secara berulang sampai akhirnya piringku tersisa sedikit. Kami benar-benar tidak mengobrol sedikit pun saking menikmatinya.
"Um, Allen, di sudut bibirmu ada sisa saus." Aku sudah memajukan tanganku ingin menyapu sisa saus yang kumaksud, tetapi ucapan Killian tiba-tiba saja berkumandang di kepalaku, hingga membuat tanganku sekarang menggantung di udara.
"Lain kali kalau ada orang lain yang makannya berantakan, berikan tisu saja. Biar mereka lap sendiri."
"Ana?"
Aku lekas-lekas meraih beberapa lembar tisu di bawah tanganku dan kuberikan padanya. Padahal dia sudah kuberi tahu, tetapi tidak melakukan apa-apa selain menunggu pergerakanku. Apa dia sudah berpikir aku akan menyapukan sisa saus itu untuknya?
Kebiasaan susah hilang dan aku sulit melupakannya, termasuk suara Killian yang tanpa kusadari sudah terekam di kepalaku—melekat sangat erat seperti ada lem di antaranya.
"Terima kasih, tapi kau tidak perlu ragu melakukannya langsung dengan jarimu, Ana. Justru aku akan senang." Allen yang baru selesai menyapukan susa saus itu lantas memamerkan sederet giginya yang rapi ketika dia tersenyum.
"Sayangnya, aku tidak suka mengotori tanganku, Allen. Dan aku yakin kau tidak lupa apa gunanya tisu, 'kan?"
Alih-alih merasa tersindir atau malu karena kutolak secara tidak langsung, Allen justru mempertahankan senyumnya. Aku saja hampir menyerah untuk terus membalas senyumnya.
"Apa kau memang selalu banyak tersenyum seperti ini? Apa sudut bibirmu tidak bergetar."
"Aku akan seperti ini ketika melihat sesuatu yang indah, Ana. Termasuk pada manusia."
Ya, itu sudah cukup untuk membuatku tersanjung dan merasa malu. Bahkan sampai membuang muka agar dia tidak melihat wajahku yang mungkin saja merona. Entah dugaan benar atau tidak, kalau yang dimaksudnya adalah aku. Memangnya siapa yang sekarang sedang dilihatnya selain aku? Padahal, aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita lain yang berpenampilan jauh lebih menarik.
"Apa itu membuatmu tidak nyaman, Ana? Aku akan diam kalau itu mengganggu. Terkadang aku tidak bisa menahan diri untuk mengutarakan sesuatu."
Satu hal yang kupelajari tentang Allen, dia terlalu peka dan mudah merasa tidak enak. Oh, ternyata itu dua hal.
Aku menggaruk pelipis yang tiba-tiba gatal karena memikirkan respons apa yang harus kuberikan untuknya.
"Terima kasih. Aku hanya jarang menerima pujian seperti itu."
"Kalau begitu, aku akan sering-sering memuji agar kau terbiasa."
Andai dia tahu aku sudah menikah, apakah dia akan tetap bersikap seperti ini?
***
Wah, kali ini aku tepat waktu~
//Haruslah, kan, update-nya seminggu sekali//
Huft.
Baiklah,
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
25 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro