Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• THREE •

MAGGIE MOORE.

New York Department Police (NYPD) divisi kejahatan berat kini berkumpul di sebuah gang kecil di dekat 4th avenue karena sesosok mayat baru saja ditemukan.

Penemuan mayat seorang perempuan ini menghebohkan satuan khusus kepolisian karena ini bukanlah yang pertama kali. Mayat ini diduga melompat dari gedung apartemennya seperti ke 98 mayat lainnya. Ya, dalam kurun waktu dua bulan, NYPD telah mendapati 98 kasus kematian misterius ditambah seorang lagi malam ini.

NYPD lantas menurunkan seorang detektif khusus terbaik yang mereka miliki, Maggie Moore. Usianya mungkin baru 26 tahun, tapi kredibilitasnya sebagai seorang polisi tidak perlu diragukan lagi. Maggie bahkan pernah berhasil menemukan mayat di dalam tumpukan ribuan sampah hanya dalam kurun waktu satu hari. Ia memang berbakat dan berinsting tajam.

Namun kasus-kasus ini, tampaknya bukan persoalan mudah.

Maggie diam dan mengamati mayat tersebut dari atas sampai ke kaki. Mencoba mencari persamaan atau hubungan di antara 98 mayat lainnya.

Nicholas sang atasan Maggie yang baru saja selesai mewawancarai seorang saksi kemudian menghampiri gadis itu dan berdeham pelan. "Sepertinya melompat dari bangunan tinggi menjadi metode bunuh diri yang keren akhir-akhir ini," katanya sarkas. "Haruskah kita menutup kasus ini juga, Mags?"

Maggie memicingkan matanya pada salah satu bagian tubuh jasad tersebut dan buru-buru menggunakan sarung tangan lateks yang selalu disimpannya di dalam saku jaketnya.

"Kau mau apa?" tanya Nicholas bingung. "Jangan merusak barang bukti, itu akan sangat merepotkan."

Gadis itu memutar kedua bola matanya malas dan mengacuhkan Nicholas. Tangannya yang sudah dilapisi pelindung kemudian menyentuh mata kaki jasad tersebut dan mencebik. "Ada lagi."

Nicholas pun berkerut kening karena tak mengerti dengan ucapan Maggie. "Ada apa?"

"Di sini." Maggie menunjukkan bagian mata kaki milik sang jasad kepada Nicholas. Ada titik hitam berpola sama yang disadari oleh Maggie. "Mereka semua memiliki ini, titik ini."

"Maksudmu, titik-titik hitam itu?" tanya Nicholas tak percaya.

Maggie kemudian bangkit dan melepaskan sarung tangan lateksnya. "Dari caramu merespons, sepertinya kau belum membaca hasil autopsi mereka, bukan?" Netra birunya menelisik curiga pada sang atasan yang hanya terpaut usia 3 tahun. "Mereka memiliki titik dengan pola yang sama."

Tidak ingin dikoreksi, Nicholas lantas mengedikkan kedua bahunya acuh. "Kalau menurutmu begitu, bisa saja ini sebuah kasus pembunuhan berantai. Tapi sebaiknya kita bawa dulu mayat ini," Netra kecokelatannya berpendar cemas ke sekitar. "Semakin banyak massa yang berkumpul, bukan?"

Setelah setuju dengan Nicholas, garis polisi pun dipasang sedangkan jasad misterius itu segera dipindahkan dengan ambulans menuju rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Beberapa polisi telah masuk ke dalam mobil dan mengawal ambulans yang membawa mayat tadi. Namun Maggie masih di sana, berdiri di sudut jalan dan memerhatikan semua massa yang berkerumun karena penasaran.

Area apartemen yang dipilih sebagai tempat melakukan aksi bunuh terbilang cukup ramai meski ia jatuh di dalam sebuah gang sempit. Meski tempatnya kecil dan gelap, orang yang melintas pun akan menyadari adanya mayat di sana.

Semua tetangga sudah diperiksa. Jasad itu adalah Selena Drew, seorang mahasiswi tingkat akhir yang tidak begitu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Beberapa faktor yang mungkin mendorongnya untuk melakukan aksi bunuh diri adalah ekonomi, stress sebelum menghadapi ujian akhir atau permasalahan cinta pada umumnya. Namun sampai detik ini, Maggie belum menemukan titik terang.

Lalu tiba-tiba seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul ke belakang menghampiri detektif khusus itu. Ia tersenyum pahit dan menyapanya, "Selamat malam. Apakah kau polisi yang menangani kasus Selena?"

Maggie pun mengangguk cepat dan mengeluarkan identitasnya. "Aku Maggie Moore, detektif khusus satuan kejahatan berat NYPD," ucapnya sambil menyimpan kembali kartu identitas tersebut. "Apakah kau mengetahui sesuatu?"

Ekspresi wanita itu berubah muram. Ia menengok ke kiri dan ke kanan, seolah tidak ingin siapapun mendengar pembicaraan mereka. "Apa mereka sudah memberi tahumu?" tanyanya dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya.

"Tentang apa?"

"Bahwa Selena mungkin mengikuti sekte sesat belakangan ini," bisik wanita tua itu.

"Apa?" Maggie pun menautkan kedua alisnya tak percaya. "Bagaimana kau tahu?"

"Selena cukup dekat denganku sebelumnya," katanya memulai. "Aku tinggal beberapa blok di sebelahnya dan kami mengenalnya sebagai gadis yang baik. Selena selalu menyapa kami dan memberikan makanan yang dia punya kepadaku. Dia selalu berkata bahwa aku mengingatkannya pada ibunya yang telah lama meninggal dan itu cukup menyentuh.

Namun suatu hari, aku melihatnya pulang sambil menangis. Ia menggunakan pakaian serba putih dan ada bercak darah di bagian bawahnya."

"Bercak darah?" Maggie menggeleng cepat. "Mungkin itu bukan darah. Bagaimana jika itu hanya cat atau tinta yang tumpah?"

Wanita tua itu mengangguk paham. "Ya, aku juga berpikir begitu sebelumnya," katanya lirih. "Namun hal itu terus terjadi setiap malam. Selena selalu pulang terlambat dengan pakaian yang sama di waktu yang sama. Dia selalu menangis dan berkata bahwa dia menyesal telah melakukan hal keji itu.

Suatu hari, Selena tidak hanya menangis. Aku tidak sengaja melintas di depan apartemennya dan mendengar ada seseorang di sana."

Maggie kemudian mengambil jurnal kecil dari saku celananya dan mulai menulis kesaksian wanita tua tersebut. "Apa yang mereka bicarakan?"

"Sesuatu tentang BLACK POWER."

"Black apa? Apa itu?"

Wanita tua itu mendekat dan menatap Maggie lurus-lurus. "Kau sungguh tidak tahu? Black Power adalah sekte khusus yang menganut Lucifer sebagai dewa tertinggi mereka. Kudengar, iblis itu menjanjikan banyak hal kepada pengikutnya asalkan mereka bisa mendapatkan tumbal," jelasnya.

"Bukankah Lucifer hanyalah mitos belaka?"

"Awalnya kupikir juga begitu, tapi aku mendengarnya sendiri. Aku mendengar Selena memohon ampun pada seseorang di dalam kamarnya, ia berkata ingin berhenti membunuh orang-orang dan ingin menarik kembali janjinya pada Lucifer."

Dahi Maggie berkerut dalam. "Apakah gadis itu membuat perjanjian dengan iblis?"

"Kira-kira begitu. Semenjak saat itu, Selena tidak lagi menyapaku atau siapapun," tambah wanita tua itu. "Dia lebih sering menyendiri dan lebih tertutup."

Maggie mengangguk sopan dan berterima kasih kepada wanita tua itu. Kesaksiannya mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi tidak masuk akal adalah nama tengah Maggie. Tidak ada salahnya mencari tahu, bukan?

Sebelum wanita tua itu pergi, ia berkata bahwa mungkin seluruh korban Lucifer tewas dengan meninggalkan titik hitam di bagian tubuhnya dan sebagian mungkin memiliki tatto berpola sama sebagai bentuk persaudaraan dalam sekte tersebut.

Kemudian untuk memastikannya, Maggie segera menghubungi Noel yang kini berada di kantor pusat.

"Halo, Noel? Bisakah aku meminta bantuan?"

"Ya, ada apa, Maggie?"

"Aku ingin kau memeriksa apakah ke 98 orang yang melakukan bunuh diri selama kurun waktu dua bulan ke belakang memiliki titik hitam aneh dan tatto di bagian tubuhnya?"

Suara di sebrang sana terdengar memekik kaget. "Maksudmu, aku harus memeriksa 98 berkas itu sekarang?"

"Cepatlah, Noel. Aku akan membelikanmu dua daging asap besok."

"Baiklah. Akan kuperiksa sekarang."

Selang 30 menit, Maggie pun menerima pesan singkat dari Noel. Ia lalu buru-buru membuka dan membacanya,

BAGAIMANA KAU TAHU MAGGIE? MEREKA SEMUA MEMILIKI TATTO BERGAMBAR BUNGA MAWAR HITAM DI PUNGGUNG DAN MEMILIKI TITIK HITAM DENGAN POLA MENYERUPAI RASI BINTANG DI BAWAH MATA KAKI MEREKA. APAKAH INI BENAR-BENAR PEMBUNUHAN BERANTAI?
OMONG-OMONG JANGAN LUPA DENGAN DAGING ASAPKU. -NOEL.

Saat itu juga Maggie mendesah kasar dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Ternyata memang Lucifer." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro