Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CLIR | 7

"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri.

"Assalamualaikum warahmatullah ...."

Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.

Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.

Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.

Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.

Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai kenyang. Mencuci piring. Sedikit menyapu bagian ruang tengah. Semuanya aku lakukan tanpa suara, tanpa memedulikan sosok Mas Satya yang sedari tadi mengikuti.

Sapu aku letakkan di dekat pintu dapur. Kembali lagi ke kamar, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Berbaring di atas tempat tidur dengan posisi membelakangi bagian kosong yang biasa diisi Mas Satya.

Ini sulit, tentu saja. Aku selalu ingin menanyakan ke mana dia pergi selama ini. Apa dia sudah makan? Apa dia butuh aku?

Tapi, aku terlalu kesal untuk menanyakan hal tersebut. Mata aku paksa terpejam. Konsentrasiku terganggu ketika sebuah lengan melingkar di pinggangku.

"Kemarin aku ke rumah Bunda." Mas Satya berbisik di telingaku, diakhiri dengan embusan napas berat. Aku menggeliat sedikit. "Maaf, nggak ngasih kabar dulu."

Aku tidak mengindahkan ucapannya. Terus berusaha tidur, tetapi selalu terganggu.

"Kamu masih marah?" tanya Mas Satya yang masih aku diamkan. "Aku marah kemarin, itu demi kebaikan kamu. Kamu itu mungil-mungil gini, kalau pingsan lagi, terus keinjek sama orang gimana?"

Aku masih ingat betul, topik permasalahan kita bukan ini kemarin.

"Kamu ada masalah, Sayang? Kamu kayak beda dari Medina yang dulu. Kamu lebih sensitif sekarang, dan egois. Padahal tahun lalu, kamu masih sabar dan mengerti aku. Kamu punya masalah lain?" lanjut Mas Satya.

Badan aku putar sehingga bisa menghadap langsung padanya.

"Gimana sama tawaran aku?" Tidak ingin kalah, aku harus memperjuangkan apa yang aku inginkan sekarang. "Aku siap sama resiko apapun—yang kamu selalu bilang—asalkan kamu mau terbuka sama publik mengenai hubungan kita."

Mas Satya diam.

"Aku nggak mau ganggu karir kamu, sama rekan kamu, atau fans kamu. Aku cuman mau, mereka tahu kamu sudah punya istri—yaitu aku—jadi mereka bakalan mikir seribu kali dulu sebelum deketin kamu. Kalau mereka ngiranya kamu lajang kayak gini, ya mereka bakalan terus goda kamu."

"Sayang ...." Mas Satya mengembuskan napasnya pelan. "Ini nggak sesederhana itu. Gini, ya, Sayang. Fans aku itu nggak terhitung. Dari sekian ribu itu, beberapa ada yang fans biasa, sedang, sampai fanatik. Tiap orang, aku nggak bisa tahu sifat dan karakter mereka. Aku nggak bisa prediksi apa yang akan mereka lakukan. Mereka bisa aja teror kamu, sakiti kamu, bully kamu, kalau tahu kamu istri aku. Aku juga pastinya bakalan lindungi kamu, tapi sejauh mana aku bisa lindungi kamu? Ancaman mereka benar-benar nggak bisa dibaca."

"Okey." Aku mengangguk kecil. "Gimana kalau kamu berhenti dari pekerjaan kamu?"

"Dina ...."

"Papa aku punya usaha properti, ya emang belum besar banget, tapi bisa mencukupi kebutuhan kita. Papa nggak punya penerus selain kita, jadi gimana kalau kita urus usaha Papa mulai sekarang? Atau, dari keluarga kamu? Kamu masih punya hak dari perusahaan yang dikelola sama Satria."

"Itu bukan ide bagus, Sayang."

"Kamu harus korbanin salah satu, Mas. Pekerjaan, atau aku? Aku juga muak liat kamu diciumin sembarang sama perempuan lain."

Dia diam.

Setelah mengatakan itu, aku langsung membelakangi Mas Satya. Memilih menjauh sampai pinggir tempat tidur.

>>♡<<

Lengkingan nyaring disertai getaran kecil membuatku langsung membuka mata. Langsung bangun, dan mengangkat bantal. Ponsel Mas Satya berbunyi. Sementara si pemilik ... aku menoleh ke arah kamar mandi. Suara shower terdengar. Entah apa yang dia lakukan dengan mandi tengah malam begini.

Awalnya, aku tidak acuh pada ponsel Mas Satya. Namun, saat tahu yang menelpon adalah Kinanti lagi, aku tidak bisa tidak peduli. Wanita ini mungkin perlu diberikan penegasan agar tidak terus mengganggu suami orang.

Icon hijau aku geser dan langsung menempelkan benda pipih itu di telinga.

"H—" Baru embusan napas yang keluar, suaraku tercekat saat si penelpon bicara.

"Halo, Pak." Ini bukan Kinanti. Suara ini berat khas pria. "Pelaku muncul lagi di dekat toko bunga milik Anda. Tidak memiliki ancaman."

Apa yang pria ini maksud?

"Halo?" Aku menyapa bingung. Namun, sambungan langsung dimatikan.

Apa? Aku semakin bertanya-tanya. Ketika mengecek daftar panggilan Mas Satya, semuanya hanya didominasi oleh kontak bernama "Kinant!". Aku mencari kontak dengan nama "Kinan" dan ada dua hasilnya. Yang pertama, "Kinant!" ini, dan satunya "Kinanti" yang terhubung dengan WhatsApp. Saat mengecek pesan di aplikasi hijau tua, isinya pembahasan mengenai projek mereka. Itu pun terakhir kali mengobrol adalah dua Minggu lalu.

Jadi, siapa "Kinant!" ini?

Mendadak hening. Suara shower sudah mati. Aku langsung mematikan ponsel dengan cepat, lalu meletakkannya kembali di bawah bantal. Saat pintu kamar mandi mulai terbuka, aku juga sudah dalam posisi berbaring dan menutup mata.

Kesadaranku sulit hilang, terlebih adanya suara grasak-grusuk Mas Satya membuka lemari, berjalan ke sana- kemari, terakhir tempat tidur bergerak. Aku semakin meringkuk saat Mas Satya memelukku dari belakang. Menghunjam leherku dengan beberapa kecupan, lalu diakhiri dengan bisikan, "I love you."

Entahlah. Dulu, sebelum aku menuntut pengakuan dari Mas Satya, aku pikir sudah mengenal pria ini dengan sangat baik. Namun, nyatanya tidak. Semakin aku mencari tahu dirinya, semakin aku merasa jauh dari Mas Satya. Aku seperti ... tidak mengenalinya sedikitpun, apalagi dengan rahasia-rahasia ini.

>>♡<<

Ikan goreng sambal adalah lauk terakhir yang aku sajikan di atas meja. Masih pukul 6 pagi memang. Tapi karena kebiasaan Mas Satya yang berangkat pagi-pagi, jadi sarapan harus siap lebih awal lagi.

Tidak lama kemudian Mas Satya sudah muncul dalam balutan sweater rajut hitam dan celana jeans menutup kakinya.

"Tumben, Sayang."

Aku tersenyum menanggapi ucapannya barusan. Di piring, aku sajikan nasi dua centong, sayur, dan ikan. Mas Satya langsung duduk.

"Tiap Mas ada projek, kita selalu jarang sama-sama. Karena Mas selalu berangkat pagi, jadi aku bikin sarapannya lebih pagi lagi," jelasku seraya duduk di kursi samping Mas Satya.

"Makasih, Sayang." Mas Satya mengusap puncak kepalaku dengan senyuman lebarnya, lalu mulai menyuap sekali. "Enak banget. Mas kangen banget sama masakan kamu."

"Mas, kemarin pas ulang tahun aku, Satria datang ke toko bunga ...." Aku belum selesai bercerita, tapi Mas Satya sudah terlihat tegang.

"Astaga, kemarin ulang tahun kamu, ya?"

Ah, ternyata karena merasa bersalah sudah melupakan hari lahirku. Awalnya, aku mengira dia tegang karena ada Satria.

"Mas beneran lupa, Sayang, maafin—"

"Astaga, Mas. Nggak papa. Emang aku anak kecil yang bakalan ngambek cuman gara-gara ulang tahun?" Aku terkekeh ringan. "Aku cuman mau cerita, Satria dateng ke toko. Dia makin nyebelin aja tau, nggak?"

"Dia ganggu kamu lagi kayak di toilet kemarin?" tanya Mas Satya tajam.

"Nggak. Dia malah hasut aku, katanya kamu bakalan bebas selingkuh sama orang, makanya nggak mau buka masalah pernikahan kita. Makanya hari itu juga, aku langsung ke lokasi shooting kamu."

"Semua yang Satria bilang, jangan percaya, Sayang. Dia cuman mau rebut kamu dari aku." Mas Satya menunda sejenak makannya, dan menggenggam tanganku di atas meja.

Aku mengangguk-angguk dua kali. "Aku percaya kok sama kamu. Tapi ... aku juga nggak bisa nggak curiga kalau kamu nggak cerita tentang kamu. Kalau kamu cerita sama aku, apa pun yang mau kamu cerita, aku bakalan percaya banget sama kamu. Kunci langgengnya pernikahan kan dari kepercayaan. Kepercayaan itu dari keterbukaan. Keterbukaan bisa dimulai dari cerita ringan kita setiap hari. Setiap kamu pulang, aku akan cerita yang aku lakukan selama seharian ini, dan kamu juga harus mau cerita yang kamu lakukan seharian. Gimana? Biar kita makin percaya? Kalau ada berita hoax tentang kita, kita nggak bakalan mudah kemakan. Gimana? Hm?"

Mas Satya mengalihkan perhatiannya.

Aku menggunakan satu tangan lagi untuk menggenggam punggung tangan Mas Satya, sehingga dia kembali melirikku.

"Ceritakan apa pun. Bahkan jika itu tentang kedekatan kamu sama Kinanti, atau tentang kecelakaan-kecelakaan dari fans kamu. Cerita aja. Setidaknya, kalau aku denger dari kamu, walaupun itu menyakitkan, tapi setidaknya aku tahu, kamu terbuka sama aku, dan aku bakalan percaya sama kamu."

Mas Satya masih diam.

"Cuman terbuka aja, Mas. Itu sederhana banget, masa nggak bisa kamu lakuin," kataku lagi.

"Okey." Dia tersenyum simpul, yang aku balas dengan hal sama.

Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga ini, tanpa harus membuat masing-masing dari kami merasa tidak nyaman. Semoga ini benar-benar penyelesaian yang tepat.

Hai, ini EsPucil-AdultStories!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.

Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.

***
Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro