Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CLIR | 17

Tubuhku serasa berton-ton beratnya ketika memaksa bangun dari tempat tidur. Selama mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku melirik sekitar. Uh, sebelah sepatu masih terpasang di kaki, sebelahnya lagi entah di mana.

Mataku yang masih 5 watt ini melirik ke meja nakas, ke jam digital.

Tunggu. Ini aku tidak salah lihat, kan?

JAM 8 PAGI?

Aku langsung turun dari tempat tidur, keluar dari kamar dan memeriksa sekitar. Sepi. Mobil Mas Satya bahkan tidak ada di luar. Aku mendesis kesal, dan menendang pintu sembarangan. Langkah seketika lesu ketika memasuki kamar mandi. Sholat subuh, dan mandi. Bagaimana pun, aku harus berangkat hari ini untuk menyelidiki Livy.

Setelah mengenakan kulot hitam, long dress cokelat, dan pasmina hitam, serta sneakers senada, aku bersiap berangkat. Memakai tas dan ... Ipad rusak, harus aku urus sesegera mungkin besok. Kemarin terlalu fokus pada luka sampai abai mengenai benda pintar ini. Beruntung, sejak zaman mengurus skripsi, aku selalu menyimpan semua hal penting di beberapa tempat, jadi tidak perlu pusing mengenai pekerjaan.

Beban pikiran saat ini adalah saat aku sudah berada di teras dan hanya disambut oleh halaman yang luas dan pepohonan hijau. Tidak ada tanda-tanpa manusia di sekitar sini hingga satu kilometer jauhnya. Ponselku juga tertinggal di mobil Mas Satya sehingga meski dalam mode malas, aku tetap berjalan kaki hingga tiba di dekat jaln raya lalu menghentikan sebuah taksi. Sebelumnya, aku singgah sebentar di konter untuk memperbaiki IPad, dan akan kembali sore nanti, lalu lanjut ke tempat kerja. Hm ... masih di gedung kemarin atau pindah tempat shooting?

Mana tidak ada gawai sama sekali untuk menghubungi Mas Satya.

Maka aku tetap ke gedung duplikat rumah sakit kemarin, dan meski tidak ada Mas Satya setidaknya ada informasi bahwa mereka akan kembali lagi malam nanti.

Tidak ada ponsel untuk pelarian suntuk, maka aku sibukkan diri sendiri untuk berpikir sembari duduk di teras tempatku kecelakaan kemarin.

Ini terlalu kebetulan jika menyenggol. Lebar teras dua meteran, aku hanya menyita setengah meter, suasana kemarin sangat sepi karena semua orang sibuk di lantai dua. Lalu, staff yang entah darimana datangnya tiba-tiba menyenggol, dan pengantar kopi atau si penyenggol sama-sama tidak punya simpati sedikitpun untuk membantu.

Aku tidak mau berpikiran buruk, tapi, terlalu kebetulan kecelakaan kali ini. Saking bingungnya, aku terus menggigit kuku sembari terus menebak-nebak.

Jika benar bukan kecelakaan biasa, lalu apa motif si staff menabrakku? Selain Mas Satya, Ifan, Livy, dan Kinanti, aku tidak pernah berurusan dengan orang lain.

Memoriku langsung teringat saat jatuh karena Livy. Asisten Kinanti itu selalu memasang wajah tidak senang setiap kali bertemu.

Punggungku tiba-tiba menegak saat ada satu pemikiran kuat melintas. Kinanti bisa saja benar-benar tahu hubungan aku dan Mas Satya, sehingga meminta Livy untuk terus menggangguku.

Mungkin saja staff kemarin adalah suruhan Livy, kan? Dan, bisa jadi juga, dia yang mengganti wallpaper ponselku agar hubungan pernikahanku runtuh.

Tapi, apa iya, Livy tahu terlalu banyak tentang Runika?

>>♡<<

Saat orang-orang mulai berdatangan sore ini, fokusku bukan Mas Satya, tetapi seluruh staff pria. Mencari sesosok di antara mereka yang berambut cepak, bermata sipit, dan tahi lalat di pinggir hidung bagian kanan. Hanya tiga hal itu yang aku ingat dari pria kemarin, lupa juga mengecek nama atau jabatannya.

Namun, hingga manusia terakhir yang keluar dari mobil para crew, pria itu sama sekali tidak muncul. Malah, aku bertemu tatap dengan Livy yang langsung memasang wajah judes dan memalingkan wajah ke arah lain.

Dipikir aku juga mau melihat dia?

Cibiranku berhenti mendadak karena pandangan tiba-tiba menggelap karena sesaat sebelumnya, sebuah kain hitam terlempar menutupi wajah. Setelah menurunkan kain beraroma khas Mas Satya ini, aku langsung meliriknya yang sedang membetulkan pergelangan kemeja.

"Kamu tahu telat berapa jam?" tanya Mas Satya.

Mas Satya biasanya berangkat jam 6 tepat, aku tadi berangkat nyaris jam 9, setengah sebelas baru sampai di gedung ini.

"Empat jam setengah, Pak," jawabku sedikit ragu setelah mencoba menghitung.

Keadaan kami serasa membaik seketika. Kemarin juga sepertinya pengaruh lelah sehingga aku langsung marah-marah tanpa mau mendengarkan apa pun dari Mas Satya.

Pria di sampingku ini menatap tajam, aku langsung ciut. Rasanya, pelajaran matematika dasarku tadi salah.

"10 jam, Medina!" kata Mas Satya. "Kamu di sini manajer sekaligus asisten saya, seharusnya kamu mengikuti saya kemana pun. Seharian ini, kamu ke mana saja?"

Kan Mas Satya yang meninggalkanku tadi pagi.

"Kamu, saya pecat!"

"T-tapi, Pak!" Aku ingin membantah, tetapi Mas Satya sudah lebih dulu pergi.

Aku mengejar tidak menerima. Kesalahannya kenapa dilimpahkan padaku? Padahal, baru beberapa menit yang lalu aku merasa bahwa hubungan kami sedikit membaik. Namun, aku tidak bisa mengejar terlalu jauh. Ia sedang mengobrol dengan serius dengan Pak Aji selaku produser di sini. Maka aku menunggu, hingga Mas Satya berbalik dan melewatiku begitu saja, keluar dari gedung menuju mobilnya, masuk begitu saja.

Sekarang, aku bingung di dekat mobilnya. Bingung menebak apakah tadi kemarahan sungguhan atau hanya sekadar akting. Takut jika aku masuk, dia malah melanjutkan bentakannya.

Hingga beberapa menit berlalu, kaca jendela mobil depan Mas Satya sedikit turun dan ia melirikku dengan mata bergerak memberi isyarat, sehingga aku artikan dia sedang mengundang untuk masuk sekarang ini. Maka aku mengikuti perintahnya.

"Mas, maaf banget tadi bangun siang-"

"Kamu kenapa harus berangkat bekerja? Mas tinggalin kamu supaya kamu bisa banyakin istirahat, setidaknya untuk hari ini," potong Mas Satya khawatir.

Aku tidak bisa cuti walau sehari saja, Mas. Seharusnya aku menjawab begitu karena keanehan semakin bertambah untuk hari ini. Staf pria dan wanita pengantar kopi sama sekali tidak muncul. Aku harus tahu siapa mereka untuk menghilangkan kecurigaan pada Livy.

"Nggak papa. Aku udah terbiasa kerja, jadinya malah aneh kalau sehari aja nggak kerja," jawabku.

"Mumpung hari ini nggak terlalu padat, kamu banyakin istirahat nanti ya, di rumah."

Aku mengangguk 2 kali. "Mas nggak mau cerita apa pun, gitu? Tentang kemarin malam, mungkin. Mas nggak tau apa pun tentang pelakunya?"

"Nggak tau sama sekali. Mas janji bakalan cari sampe dapat, secepatnya."

"Mas yakin, Kinanti nggak tau hubungan kita sama sekali?" tanyaku memancing.

"Nggak. Mas yakin 100%."

"Tapi aku curiga Livy udah tau mengenai hubungan kita." Seperti dugaanku, Mas Satya langsung menoleh dengan wajah terkejut. "Dia selalu masang muka judes kalau liat aku, dan Mas lihat sendiri, dia pernah secara sengaja bikin aku jatuh. Dia kentara banget, benci aku."

"N-nggak mungkin. Nggak boleh ada yang tahu hubungan kita." Mas Satya sedikit panik, kentara dari ucapannya barusan.

"Semoga aja," ucapku lemah.

>>♡<<

"Sayang, jangan lama mandinya."

Ucapan Mas Satya mengalihkan fokusku selama beberapa saat dari tangan yang terluka ini.

"I-iya, Mas," jawabku terbata.

Lukanya semakin parah, karena selama beberapa hari ini selalu aku bungkus rapat demi menghindari tatapan curiga Mas Satya. Jika begini, bisa saja aku terpaksa harus segera ke rumah sakit.

Aku menyembunyikan tangan di balik bathrobe, kemudian keluar kamar mandi. Mas Satya bergantian masuk, sehingga aku bebas bersiap tanpa khawatir ia akan melihat keadaan tanganku.

Lagipula, Mas Satya juga terlalu sibuk untuk mengurus hal sekecil ini, pikirku, jadi seharusnya tidak perlu terlalu cemas. Aku menggunakan outer rajut agar pergelangan tangannya bisa menyembunyikan luka ini, dan tidak perlu ditutupi terlalu rapat.

Mas Satya keluar beberapa saat kemudian. Aku ke dapur membuat kopi dan sarapan sederhana berupa sandwich dan memasukkannya ke dalam bekal untuk disantap dalam mobil nanti.

Tidak beberapa lama, Mas Satya kemudian tiba. Ia merangkulku keluar rumah, dan mau sedikit repot membukakan pintu mobil.

"Tumben?" tanyaku setelah masuk. "Ada apa, nih?"

"Sekali-kali, Sayang."

Aku tersenyum lega. "Mas, nanti singgah sebentar di konter perempatan dekat pasar tua, ya? Aku mau ambil iPad di sana."

"Kenapa memangnya?" Mas Satya sepertinya sangat tertarik, bahkan menunda menyalakan mobilnya. "Ada sesuatu yang terjadi kemarin?"

"Cuman kecelakaan dikit," jawabku. "iPad-nya sampai rusak."

"Kamu nggak papa, seriusan? Ada yang luka pas kecelakaan itu?" Mas Satya menatapku serius, hingga aku harus terkekeh pelan untuk menetralkan suasana.

"Apa sih, Mas. Aku nggak papa, liat nih. Cuman, iPad-nya aja yang rusak. Semua catatan kerja sama jadwal udah aku salin di beberapa tempat kok, jadi aman."

Mas Satya mengangguk-angguk seolah paham, tetapi raut penasarannya masih belum pudar. "Kalau ada apa-apa, Dina, sekecil apa pun itu, cerita, oke? Kita janji saling terbuka, kan?"

Aku tersenyum kikuk dan mengusap kening dengan telunjuk. Mengangguk ragu, padahal sebenarnya berbohong. Mas Satya hanya terlalu kelebihan cemas. Jadi seharusnya tidak masalah untuk bercerita, untuk kali ini saja.

Ia mematuhi perintahku untuk singgah, dengan bermodalkan masker dan topi, bahkan, ia membelikan ponsel baru yang bahkan baru rilis semingguan ini.

"Buat apa?" tanyaku setibanya kami di mobil. Mas Satya langsung meninggalkan tempat parkir.

"Apanya? Kita perlu alat komunikasi. Kamu harus cerita apa pun ke Mas, oke? Kapan pun itu, kalau kamu dapat masalah sekecil apa pun, jangan ragu buat telepon, dan cerita."

"Maksud aku, HP-nya. Terlalu mubazir tau. Kenapa nggak yang kayak punyaku yang lama? Ini paling sebulanan langsung turun harga, sayang banget uangnya tau."

"Mas bahkan nggak tau kalau itu baru rilis. Itu yang pertama kali Mas lihat, jadi ya langsung beli aja. Kita nggak punya banyak waktu buat milih mana yang bagus dengan harga sesuai."

Kalau sudah berurusan dengan waktu, aku hanya bisa diam, dan menerima. Selama perjalanan, sibuk mengotak-atik ponsel dan mencari tahu beberapa fitur baru yang terasa aneh.

"Sayang, kamu harus jaga semua benda privasi kamu, bahkan HP. Jangan sampai-siapa pun itu, bahkan orang terdekat-pegang HP kamu, kecuali Mas!"

"O-oke," jawabku.

Kami tiba di lokasi shooting, gedung duplikat rumah sakit. Menuju ending, Kinanti dirawat di rumah sakit dan sedang dalam masa kritis. Aku berharap dia segera mati saja, agar tidak ada perpanjangan kontrak lagi.

Rencanaku sekarang di tempat ini adalah mengamati Livy saat Mas Satya sibuk dengan pekerjaannya. Namun, hingga siang tiba, bahkan senja datang, ia sama sekali tidak menampakkan diri. Sementara Kinanti tampak kerepotan mengurus apa pun, meski sudah dibantu Ifan.

"Livy ke mana?" Aku memberanikan diri bertanya pada Kinanti yang duduk berseberangan dengan Ifan saat break karena menjelang sholat magrib.

"Berhenti kerja," jawab Ifan dan Kinanti nyaris bersamaan, tetapi dengan intonasi berbeda. Jika pria centil itu ceria, maka Kinanti terlihat muram.

"Loh, kenapa?" tanyaku penasaran.

"Karena Satya bilang, dia rada terganggu sama kehadiran Livy. Jadi, atas dasar pertimbangan dia, Livy ya gue pecat."

Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang, kemudian memijit pelipis. Ternyata Mas Satya 2 langkah di depan jalanku.

"Sayang banget," komentarku mengeluh. Aku bahkan belum dekat dengan Livy.

Azan magrib berbunyi dari ponselku. Karena hari ini sedikit luang, jadi menurut arahan Pak Aji, kami akan sholat berjamaah di ruangan samping yang kosong.

Aku, beserta beberapa pekerja perempuan lainnya menuju toilet di lantai dua ini, sementara yang laki-laki di bagian bawah. Aku semakin mencari-cari perempuan pengantar kopi kemarin, tetapi hari ia juga tidak terlihat sama sekali.

Apa mungkin itu Livy yang menyamar, ya? Ah, tidak mungkin, suara mereka berbeda. Si perempuan memiliki suara lembut halus yang tidak dibuat-buat, sementara Livy cenderung cempreng berisik.

Sholat magrib dipimpin oleh Pak Aji. Berlangsung khusyuk, dengan dihadiri belasan manusia. Hingga sholat selesai, aku tidak langsung keluar, karena tidak punya pekerjaan seperti mereka. Diam beberapa menit untuk menenangkan hati. Sudah terbilang lama sejak terakhir kali aku tidak buru-buru berdiri usai sholat. Mungkin itu yang menyebabkan aku gampang sekali tersulut amarah. Bahkan beberapa kali melawan dan membentak Mas Satya, suamiku. Padahal, seperti yang dikatakan Zia, pria itu hanya ingin melindungiku, tetapi egoku untuk diakui terlalu tinggi.

Astagfirullah ....

Astagfirullah ....

Astagfirullah ....

Aku masih ingin berlama-lama, merasa setengah jam masih kurang. Namun, Mas Satya menelepon, sehingga aku harus mengangkatnya sembari melepas mukena dan melipatnya.

Ia mempertanyakan keberadaanku, keadaanku, dan orang sekitar. Terlalu posesif. Namun, aku tetap membalasnya sembari berjalan hendak meninggalkan ruangan.

"Di ruangan tempat sholat. Lagi sendiri, abis istighfar banyak-banyak, soalnya punya suami kayak-ash." Aku sontak menunduk saat baru sedetik memasang flat shoes. Dengan hati-hati sembari menjauhkan ponsel, aku mengeluarkan kaki dan tetesan darah langsung merembes bebas. Di ibu jari kanan kakiku tertancap beling berbentuk segitiga.

"M-Mas, aku sibuk bentar, mau ke kamar mandi. Nanti aku ke situ, ya." Tanpa menunggu jawaban, aku langsung mematikan sambungan, lalu duduk di pinggir karpet.

Mencabut beling yang tertanam sekitar 2 senti itu sembari mengetatkan gigi. Aku menengadah menahan air mata yang berjatuhan, tapi tidak bisa. Melirik sekitar, tetapi hanya aku seorang di sini.

Siapa?

Jelas ini dilakukan secara sengaja.

Nyaris sebagian besar perempuan di sini mengenakan flat shoes seperti milikku, tetapi kenapa hanya sepatu ini yang dimasukkan pecahan kaca?

Tapi di sini, di antara puluhan manusia, siapa yang bisa aku curigai? Bahkan Livy pun sudah keluar.

Dibandingkan rasa sakit, aku lebih didominasi rasa takut. Takut jika yang dicemaskan oleh Mas Satya benar-benar terjadi.

Ada yang mengincarku di sini.


[UPDATE SETIAP HARI SENIN]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil

Kubaca : Es Pucil

Hotbuku : Es Pucil

***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro