Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CLIR | 15

Suara klakson terus berbunyi panjang, membuat gerakan lamban saat menuang air panas menjadi 2 kali lebih cepat. Dua botol termos aku tutup cepat, lalu bawa lari, sambil kocok supaya kopinya bercampur merata.

Hampir lupa mengunci rumah. Aku yang menginjak tangga teras terakhir terpaksa berputar 180 derajat untuk kembali mengunci pintu, lalu masuk ke mobil Mas Satya.

Napas aku embuskan kasar, kemudian menyerahkan sebotol termos pada Mas Satya.

"Sekarang, aku udah biasa kerja sama Mas. Udah bisa atur solusi buat tiap masalah." Dengan bangganya aku mengeluarkan kalimat barusan. "Ini kopi, biar nggak ngantuk. Aku juga satu."

"Pintar!" puji Mas Satya kemudian mengusap kepalaku beberapa kali. Mobil bergerak, meninggalkan pekarangan rumah dengan laju yang terbilang cepat.

Sambil Mas Satya fokus dengan jalanan, aku membuka iPad, mengecek lagi jadwal Mas Satya. Tidak terlalu padat hari ini, seharusnya. Setelah shooting sampai jam 10, Mas Satya harus menghadiri meet up dengan fans jam satu siang nanti di mall. Uh, meet up kemarin, aku hanya lihat di TV, benar-benar padat. Aku sedikit bergidik mengingat bahwa sekarang harus terjun langsung ke acaranya.

"Meet up nanti, kamu harus di belakang Mas terus, oke? Jangan belok-belok! Sekalinya kamu masuk ke kumpulan fans, susah buat keluarnya! Masih mending kalau selamat, kalau tubuh pendek kamu ini tenggelam terus keinjek-injek, gimana?" gerutu Mas Satya. "Atau, kamu nggak usah ke sana? Kamu ke rumah Satria aja, nanti pulang, Mas jemput."

Aku menggeleng kasar. "Nggak! Aku ikut! Mending tenggelam daripada berurusan sama Satria. Dia rese banget jadi kakak ipar." Kopi aku minum, agar lebih siap nantinya.

"Tapi manis ya, pas masih jadi pacar?"

"Dulu, sih, emang manis gitu." Aku jadi nostalgia zaman dulu, saat masih jadi pacarnya Satria. Kemudian menggeleng kasar, sadar. "Enggak sih, lebih manis Mas Satya. Cuek-cuek gemesin." Terlambat! Ekspresi Mas Satya berubah cemberut. Aku harus membujuk secepat mungkin. "Kemarin kan, pas hari pertama kerja, Mas pake kacamata, terus ekspresi dan gayanya cool banget. Aish, aku meleleh lagi. Jatuh cinta lagi sama Mas! Nggak heran sih, kenapa cewek-cewek pada tergila-gila sama Mas. Mas damage-nya uh, panas!"

Bibir Mas Satya berkedut menahan senyum. Aku menusuk-nusuk pipinya dengan jari telunjuk, dan senyum lebarnya tercipta.

"Kan!" Aku tertawa melihat raut bahagia Mas Satya. "Untung yang ini cuman punya aku aja."

Mas Satya mengambil tanganku dari pipinya, mengecup singkat, dan terus memegangnya hingga kami sampai di kawasan perumahan yang akan menjadi tempat shooting berikutnya. Sebelum turun, Mas Satya memperbaiki ekspresi dan melepaskan tanganku. Seperti biasa, bergaya dengan ekspresi dingin yang lagi dan lagi membuatku jatuh cinta.

Aku turun segera, menghindari amukannya. Sekarang, seharusnya semua berjalan lancar, karena aku mulai bisa beradaptasi dengan pekerjaan baru ini.

Ah, kecuali dua hal. Mataku menatap nyalang ke arah mobil Toyota Alphard putih yang berhenti tak jauh dari mobil Mas Satya. Dari dalam mobil, terlihat Kinanti turun mengibaskan rambut bergelombangnya. Disusul manajernya yang balas menatapku sengit, Livy.

Dua manusia ini harus aku waspadai.

>>♡<<

Tanpa diminta, tubuhku langsung menegang setelah turun sempurna dari mobil. Mall terbesar di Jakarta ini terlihat sesak oleh ribuan manusia yang menanti kedatangan Mas Satya. Aku ngeri, membenarkan ucapan Mas Satya jika sampai aku masuk ke kumpulan manusia-manusia histeris tersebut.

Mas Satya dan Kinanti, serta beberapa pemeran pembantu lainnya dilindungi oleh 6 pria bertubuh besar dan berpakaian serba hitam. Sementara aku harus berusaha agar masuk dalam perlindungan itu.
Namun, sebelum masuk jalur yang seharusnya dilewati Mas Satya, lenganku ditarik kasar. Sangat cepat sehingga otakku masih loading, dan langsung pengap saat menyadari aku kini sudah berada dalam impitan manusia-manusia asing ini. Aku melipat kedua tangan di depan dada, agar memiliki ruang bernapas. Sementara punggungku nyeri didorong kuat dari belakang, entah siapa. Berbalik juga tidak bisa. Sesak.

Saat kumpulan Mas Satya lewat, aku terdorong kasar ke depan. Terpaksa harus berpegangan asal ke wanita lain agar tidak tumbang, atau mati terinjak di sini. Astaga, aku tidak punya celah sedikit pun untuk keluar dari sini. Hanya bisa mengikuti arus yang perlahan masuk ke dalam mall, di tempat utama acara diadakan. Telingaku penuh oleh suara teriakan, benar-benar kesulitan berpikir. Hanya mendongak, membuatku bisa berpikir sehat. Jika melirik sekitar, aku seperti kehilangan nyawa. Penuh di mana-mana. Apalagi dengan tinggi 157, sulit untuk melihat sekitar.
Apa yang terjadi? Aku terus berpikir demikian agar tetap waras. Pusing. Suara berisik. Sesak. Kepalaku semakin pening. Tambahan lagi, suara dari sepiker yang tidak jauh dari tempatku ini. Astaga, kepalaku berdenyut sakit.

Rasanya, aku setengah sadar saat melihat sekeliling. Mencari ruang yang setidaknya sedikit lebih luang. Tapi, kanan-kiri sudah dipenuhi manusia yang lebih tinggi dariku.

Saat pembawa acara menyapa Mas Satya dan Kinanti, gemuruh sorakan seakan perlahan mengikis nyawaku. Dengan mulut terbuka terengah, aku memaksa menggeser perempuan tinggi di hadapan, dan mencari sedikit saja celah untuk keluar dari sini, atau setidaknya tempat di mana semua orang terdiri dari manusia pendek agar aku tidak terlalu sesak.

Mustahil.

Aku hanya bergerak kurang dua meter, dan langkahku terkunci. Namun, setidaknya, aku masih bisa melihat panggung dengan berjinjit. Mas Satya terlihat kebingungan sendiri di panggung, menanyai beberapa orang di dekatnya, termasuk Livy dan penjaganya tadi. Mas Satya mengedarkan pandangan ke depan, ke penonton. Aku langsung mengangkat tangan, memberikan isyarat. Sayangnya, ratusan orang juga mengangkat tangan, ingin mengikuti games yang akan diadakan oleh pembawa acara.

Mas Satya tidak bisa melihatku.

Bahkan, berteriak beberapa kali pun tidak membuahkan hasil. Sekitarku penuh sorakan bergemuruh penuh semangat dari para penonton yang ingin ikut berfoto secara langsung dengan dua pemain terkenal itu.

Sial! Bagaimana sekarang?

Keningku penuh oleh keringat, bahkan beberapa tetes sampai memasuki mata. Aku menggunakan jilbab untuk mengusap wajah secara kasar. Namun, sama sekali tidak membantu mengurangi pengap yang aku derita sekarang.

Terus berteriak, agar Mas Satya sedikit saja menoleh ke arahku. Namun, ia malah meninggalkan panggung, meruntuhkan harapanku.

Jika tidak berusaha sendiri, 3 jam ke depan aku harus berada di tempat sesak ini. Ah, atau mungkin, setengah jam ke depan aku akan pingsan dan mati terinjak-injak di sini.

Berbalik, aku hendak melawan arus. Namun, tubuh-tubuh besar nan egois tidak memberiku celah.

"Maaf, Mbak. Permisi. Saya pusing, mau keluar!" Aku sudah mengeluarkan semua suara untuk berteriak. Namun, wanita itu malah terdorong ke arahku.

Sial. Tubuhku sekarang benar-benar terkunci.

Aku mengedarkan pandangan, ke satu-satunya yang bisa aku lirik, lantai dua mall, mencari seseorang yang sekiranya aku kenal sehingga bisa membantu. Aku bahkan tidak bisa menoleh ke arah panggung sekarang.

Tubuhku semakin lemah oleh tekanan dari berbagai arah. Pandanganku berputar dan setengah sadar saat ditarik paksa. Beberapa kali terbentur dengan manusia-manusia asing ini. Hingga sebuah tangan melingkari tubuhku, melawan tubuh-tubuh besar, membuka paksa celah-celah manusia hingga sampai di jalur awal depan mall.

"Kamu baik-baik aja?"

Rasanya seperti setengah tersadar. Aku melirik ke depan, pada pria yang berjaket kulit hitam, topi hitam, dan masker dengan warna sama.

"Mas Satya?" tanyaku menebak.

Matanya berubah tajam.

"Lagi, Medina! Hampir aja kamu keinjek tadi. Astaga!" Mas Satya berujar kesal dan mencengkeram kepalanya yang dibalut topi. "Kenapa nggak ikut di belakang Mas tadi?"

"Nggak tau. Tiba-tiba aja ketarik masuk ke sana," jawabku lemah.

"Kamu naik ke panggung sekarang!" titah Mas Satya tegas.

Aku langsung memegang tangannya, agar tidak lepas lagi.

"Sendirian!" lanjut Mas Satya sembari melepas tanganku. "Mas harus ganti baju sekarang. Nggak bisa samaan naiknya," lanjut Mas Satya.

Aku mengiyakan saja. Beruntung, karena semua orang fokus ke pembawa acara, jadi tidak ada yang peduli dengan jalur khusus ini. Sesekali aku melirik ke arah Mas Satya yang sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Pandangannya turut mengikutiku hingga sampai di atas panggung. Barulah, ia berlari ke arah toilet.

Di panggung, aku melihat ribuan manusia yang bersorak ingin dipilih untuk bermain. Aku ngeri sendiri, mengingat di antara mereka, aku sempat terjebak tidak bisa bergerak.

Huh, hanya untuk idola, mereka sanggup untuk desak-desakan seperti tadi? Astaga, itu tidak sebanding dengan nyawa mereka. Aku heran dengan pemikiran manusia-manusia ini.

Lututku lemas setelah bertarung tadi. Aku hendak duduk di sebuah kursi besi, tetapi tubuhku tertarik gravitasi dan duduk tersungkur di panggung. Sontak, pembawa acara fokus padaku, juga para penonton. Aku malu. Hanya bisa menunduk menyembunyikan wajah dan memamerkan senyum garing.

Melirik samping, aku melihat Livy menahan tawanya. Pasti dia yang menggeser kursiku. Ingin membalas, tapi di sini aku sebagai manajer Mas Satya. Namanya ikut buruk nanti. Meski dipenuhi rasa malu dan kesal, aku tetap mempertahankan ekspresi ramah dan kembali duduk di kursi.

Mas Satya sudah muncul. Penuh keringat setelah perjuangannya tadi. Aku mengobrak-abrik tas hendak mengeluarkan tisu, tapi lebih dulu, Kinanti menerima tisu dari penonton dan mengelapi wajah Mas Satya.

Sontak saja, kor manusia yang histeris menggema di seluruh ruangan ini. Aku menutup telinga, jengkel.

"Terima kasih." Mas Satya juga! Malah tersenyum sehingga para penonton semakin menggila karena interaksi mereka. Aku mendengkus.

"Cemburu, ya?" bisik Livy yang dengan sengaja menempelkan kursinya denganku. "Orang kayak Satya nggak bakalan ngelirik kamu, sadar diri dong! Kriteria Satya tuh kayak Kinanti. Elegan, anggun, seksi. Uh. Cerdas lagi. Kamu mah apa? Ngaca yuk, ngaca!"

"Kamu ... waras?" tanyaku menyindir. "Yang cemburu siapa? Aku sendiri biasa aja dari tadi. Kamu jangan-jangan cemburu sama aku gara-gara aku lebih deket sama Mas Satya!"

"Ih, nggak level cemburu sama kamu!" Livy langsung berubah masam, dan menggeser kursi.

Oalah, wanita ini ternyata menyimpan perasaan juga pada Mas Satya. Sepertinya seru ya melihat bos dan manajernya berkelahi?

Aish, apa yang baru saja aku pikirkan?

Sekarang, Medina, fokus ke 7 perempuan centil di hadapan-termasuk Kinanti, yang terpilih bermain bersama. Tim Mas Satya bahkan tidak malu-malu langsung memeluk erat dan mengusap lengan Mas Satya.

Aku harus bertindak seperti tujuan awal ingin menjadi manajer Mas Satya.

Aku berdiri, mendekati pembawa acara yang akan bermain tebak kata. Nantinya, salah satu dari perempuan terpilih itu akan mengaduk sebuah kotak kaca dan menjelaskan karakteristik benda yang dipilih tanpa suara untuk ditebak oleh tim lainnya. Aku menyarankan, agar adil, supaya pemeran utama ini saja yang memilih kertas, bukan secara bergantian semuanya memilih. Dengan begini, semua tim Mas Satya akan kebagian berinteraksi langsung dengannya.
Setidaknya, dengan ini, Mas Satya bisa berdiri sendiri tanpa harus berdekatan dengan perempuan mana pun. Bonusnya, aku ikut tertawa melihat bagaimana anehnya dia mendeskripsikan wajan dengan bentuk tubuh, juga batu, dan boneka.

Saat tiba giliran tim Kinanti, aku tidak peduli dengan mereka. Berdiri setia di samping Mas Satya, dan menjelaskan pada 3 fans Mas Satya yang menjadi timnya ini, agar menjaga jarak. Mengidolakan seseorang tidak boleh mengabaikan syariat. Apalagi ketiganya ini berhijab. Aku sangat menyayangkan ini.

Dua dari mereka memasang wajah malas, tetapi akhirnya menjauh. Sementara satu lagi malu-malu dan berterima kasih atas nasehatku.

Fokus ke tim Kinanti, sial, kenapa aku tidak sadar ada Zia di antara mereka?

Astaga-astaga. Dia tadi termasuk orang yang memeluk Mas Satya tadi, ya? Kemungkinan, iya. Karena Zia sangat mengidolakan Mas Satya. Aku hanya bisa mendumel dalam hati jika begini.

Nasib punya suami artis.

Saat pembawa acara mengumumkan poin, Zia berdempetan denganku, berbisik.

"Kamu kok deket banget sama Satya?" tanya Zia.
Aku gampang mengelak, cukup menjelaskan bahwa aku manajernya, jadi harus selalu dekat dengan Mas Satya, tetapi Zia malah memicingkan mata dan mendekatkan wajahnya padaku.

"Kalian pake cincin yang sama!"

Aishit! Aku langsung menunduk, dan membenarkan! Kemarin malam padahal kami cuma coba-coba, takut cincin pernikahan kami tidak muat. Tapi malah kelupaan, dan pagi tadi terlalu sibuk untuk melepas cincin.

Sial!

"I-ini cincin pertemanan dari Mas Satya," jawabku gugup. Semoga hanya Zia yang memperhatikan. Aku langsung memepetkan tubuh di samping Mas Satya dan melepas cincin secara hati-hati agar tidak ada yang memperhatikan.

Cincin itu aku masukkan ke saku kemeja navy yang kupakai sekarang.

Seharusnya aman, tetapi tatapan curiga Zia membuatku cemas sendiri.

[UPDATE SETIAP HARI SENIN]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil

Kubaca : Es Pucil

Hotbuku : Es Pucil

***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro