CLIR | 14
Seluruh tubuh sulit aku gerakkan. Bahkan kelopak mata terlalu berat untuk terbuka, tetapi demi menghindari gangguan yang terus terasa di wajah, aku memilih mengubah posisi menjadi tengkurap. Lalu menarik selimut agar rasa mengganggu itu pergi.
"Hey, kamu tidur atau pingsan?" Samar-samar suara Mas Satya terdengar. "Ayo bangun, Sayang. Kamu udah telat subuhan, loh."
Ya Allah, hari ini saja, aku telat sholat subuh ya. Demi apa pun, aku benar-benar tidak bisa bangun.
"Sayang ...." Mas Satya membalik tubuhku secara paksa, lalu menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya yang dingin. "Kan, Mas udah bilang, kamu bakalan capek kalau kerja sama Mas. Kamu stop kerjanya, ya?"
"Nggak ...." Aku mengeluarkan suara beratku, benar-benar malas untuk melakukan sesuatu. "Nggak capek. Lima menit lagi. Masih ngantuk."
"Mas udah mau berangkat, Sayang. Mas juga nggak bisa kasih kamu cuti secara suka hati. Kamu nggak masuk hari ini, ya artinya kamu akan Mas pecat."
Ucapan bermaksud ancaman itu mau tidak mau membuatku mengubah posisi menjadi duduk, tetapi mata masih enggan terbuka. Jiwaku masih setengah dunia nyata dan mimpi. Masih bisa mendengar keluhan Mas Satya, dan di sisi lain seperti melihat Kinanti yang menangis darah setelah aku dan Mas Satya menunjukkan cincin pernikahan. Aku tersenyum puas melihat bagaimana jamu itu hancur.
"Sayang ...."
Mimpi indahku langsung putus saat Mas Satya membuka paksa mataku.
"Siap-siap sekarang, atau kamu istirahat seharian?" ancam Mas Satya.
"Hm ...." Demi menjaga Mas Satya, demi menghindarkan Mas Satya dari segala godaan jamu datang bulan dan para wanita beserta godaannya, aku memaksa mataku terbuka. Mengucek mata beberapa kali, lalu mulai menurunkan kedua kaki dengan dibantu Mas Satya.
"Dina, Mas beneran kasihan banget lihat keadaan kamu kayak gini. Kalau sebulan gini, kamu bisa sakit, dan Papa bakalan marahin Mas. Kamu stop aja kerjanya, ya?" usul Mas Satya yang langsung aku berikan jawaban dengan gelengan kepala.
"Nggak kok. Nanti terbiasa, kayak Mas," jawabku.
Mas Satya sangat baik, mau mengantarku yang setengah bernyawa ini sampai ke dalam kamar mandi. Namun, saat aku mencari keran untuk berwudhu, aku tidak menemukannya. Sedikit memberikan fokus, dan menyadari bahwa posisi barang-barang di kamar mandi ini cukup berbeda dari biasanya.
Ah ya, kami kan sudah pindah.
Aku berbalik mencari keran air, dan bersamaan dengan itu air dingin langsung mengguyur kepalaku, menaikkan suhu dan membuatku tersengat dingin.
"MAS!" pekikku, dan dia hanya terbahak sebelum menutup pintu kamar mandi.
***
Matahari sudah mulai muncul saat aku menyelesaikan sholat subuh. Mas Satya sibuk menarik gorden sehingga aku jadi tahu bahwa 80% dinding ruangan ini adalah kaca. Dan di luar hanya ada pepohonan hijau tanpa ada rumah lagi.
Aku memakai jaket yang Mas Satya siapkan sebelumnya. Mengecek lagi setiap sudut ruangan dan menyadari bahwa tidak ada satupun AC di sini, tetapi cuacanya sangat dingin.
Aku menghampiri Mas Satya dan membantunya menarik gorden. Aku terpukau melihat pepohonan di belakang berjejer sangat rapi, membuatku merasa takjub. Ditambah adanya danau buatan, aku yakin bisa jatuh cinta dalam detik berikutnya di tempat ini.
Dan sekarang aku jatuh cinta dengan tempat ini, dan juga pemilihnya.
"Wow, Mas, ini keren banget," ucapku antusias. Aku bahkan lupa sudah berapa lama berdiri di dekat jendela sampai Mas Satya mengingatkan.
"Mas tau. Makanya, sekarang kamu siap-siap, kita berangkat kerja. Karena cicil tempat ini lumayan mahal," kata Mas Satya yang sibuk memasang jam tangannya di depan meja rias.
"Udah bangkrut, Mas?" sindirku.
Mas Satya tersenyum miring di depan cermin dan aku menganggap itu sebagai tanggapan sombongnya. Membeli rumah ini terlalu sulit untuk membuatnya miskin.
"Cepetan siap-siap. Ntar bosmu ninggalin," kata Mas Satya yang kemudian meninggalkan cermin hias, lalu keluar kamar.
"Mas, tungguin ya!"
***
Ingatanku semalam hanya sebatas berbaring di bangku belakang mobil sambil menonton drama Korea yang direkomendasikan Zia. Entah berapa episode, aku terkapar dan bangun-bangun sudah di tempat baru.
Barulah pagi ini, aku menyaksikan sendiri perjalanan dari rumah ke lokasi shooting. Dua kali lebih jauh dari rumah pertama kami. Aku mengacungi jempol pada Mas Satya yang bisa tidur kurang 4 jam setiap harinya.
"Pindah rumah katanya biar deket lokasi shooting," ucapku menyindir.
"Cari suasana baru, Sayang. Di tempat baru, rasanya adem aja gitu. Bikin puas banget tinggal di sana," jawab Mas Satya santai.
Aku sangat setuju ucapannya. Rumah berukuran 20 meter persegi yang sebagian besar dindingnya dari kaca itu benar-benar wah. Aku akui, aku sangat menyukai tempat itu, padahal biasanya, cukup sulit untuk beradaptasi dengan tempat baru.
"Kamu suka kan, tempatnya?" tanya Mas Satya.
"Eum ... hu'um. Suka banget." Aku mengangguk senang. "Kok bisa ketemu tempat sebagus itu dalam sehari?"
"Itu tempat favoritnya Papa dulu. Terakhir kali ke sana, umur 10 tahunan deh, kalau nggak salah. Terus semalem tiba-tiba keinget sama tempat itu, jadi ya, sekalian aja kita ngerawat rumahnya, kan?"
"Kok nggak kotor rumahnya?" Aku semakin kepo.
"Ada orang yang emang datang bersihin rumah itu sebulan sekali."
Aku ber'oh' panjang mendengar penjelasan Mas Satya. Lalu mengecek iPad, mengetahui jadwal Mas Satya hari ini. Tidak sesibuk kemarin. Jam 8 nanti, bisa pulang awal.
"Nanti pulang awal, Mas," ucapku sambil menunjukkan layar iPad. "Kita makan malam di luar yuk, nanti?"
Entah kenapa tiba-tiba kepikiran ajakan seperti itu setelah melihat adanya waktu luang Mas Satya. Biasanya kan, dia pulangnya selalu larut malam. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali kami makan di luar.
Astaga, sepertinya tidak pernah. Yang aku ingat waktu bersama Satria. Aku memukul kepala tiba-tiba teringat pria itu.
"Nggak usah ya, Sayang. Kamu semalem kurang tidur loh. Ntar pulang cepet, kamu langsung tidur, biar nggak sakit." Mas Satya menghibur dengan mengusap-usap kepalaku.
"Tapi ... nggak pernah loh, kita dinner romantis berdua di luar." Aku cemberut. "Sekali aja ya, Mas?" Lalu aku tersenyum, agar dia tersentuh.
"Nggak," jawabnya lugas.
Aku membuang pandangan ke luar. Namun, tiba-tiba mobil berhenti. Aku langsung menoleh ke arah Mas Satya.
"Mending kamu keluar, beli vitamin sama kopi. Biar nggak ngantuk nanti." Mas Satya memberikan isyarat ke arah minimarket.
"Oke." Aku langsung meletakkan tas dari pangkuan dan iPad ke atas kursi, lalu keluar dari mobil.
Setelah membeli dua botol minuman kopi dan 2 botol minuman vitamin C, serta 1 bungkus Snack, aku kembali lagi ke mobil.
"Makasih, Sayang," kata Mas Satya setelah menerima minumannya.
Aku tiba-tiba teringat kejadian kemarin.
"Mas kok, ya, aku kemarin nawarin air, malah nerima punyanya Kinanti. Kenapa coba? Mau pamer banget gitu, kalau Mas Deket banget sama dia?" gerutuku.
Mas Satya tersenyum saat tengah meminum kopinya, nyaris tersedak seandainya dia tidak segera menjauhkan minuman tersebut dari mulut.
"Cuman ngetes, Sayang. Kamu beneran bisa tahan emosi atau nggak," jawab Mas Satya santai. Lalu mulai menjalankan mobil.
"Nggak lucu tau. Aku makin kesel liat dia."
"Itu biar ngelatih kesabaran kamu. Dan kamu lulus. Kamu hebat loh."
"Ish!"
***
"Kamu tidur, Sayang?" tanya Mas Satya, saat kesadaranku nyaris hilang.
Aku bergumam berat. Lalu melirik ke arah Mas Satya yang masih kuat menyetir menuju rumah. Dia jauh lebih kurang istirahat dibanding aku, tapi bisa setahan ini.
"Capek banget ternyata," ucapku jujur.
"Kan udah dibilangin."
Aku bergumam lagi. Mobil sudah mulai memasuki area sepi, kanan-kiri pepohonan. Seharusnya tidak jauh lagi. Aku menahan diri untuk tidak tidur agar Mas Satya tidak repot membangunkan aku lagi nantinya saat sampai.
"Kamu tidur aja kalau ngantuk," kata Mas Satya.
"Nggak usah."
"Ya udah, nanti makan dulu terus tidur, ya?"
"Hu'um."
Tidak lama setelahnya, kami benar-benar tiba di halaman rumah. Aku mengucek mata, dan turun dari mobil. Sedikit terhuyung saat berjalan, dan Mas Satya menawarkan lengannya untuk aku peluk. Kepala aku sandarkan di lengannya. Dengan mata setengah tertutup, aku mengikuti ke mana Mas Satya berjalan.
"Udah, sampe," kata Mas Satya.
Aku melepaskan diri, berjalan selangkah, lalu menjatuhkan tubuh ke tempat tidur. Namun, yang aku rasakan malah seluruh tubuh sakit seketika.
"DINA!" Mas Satya segera mengulurkan tangan, membantuku berdiri lagi. "Astaga, kamu ngapain sih, Sayang?"
Aku membuka mata lagi, dan langsung kebingungan. Kami tidak di kamar, tapi di halaman yang sudah dihiasi dengan lampu taman yang menyala seperti bulan. Dan di tengah-tengah taman, sudah ada 1 set meja dan sepasang kursi. Di atas meja sudah siap dengan spaghetti, salad, dua jus masing-masing berwarna merah dan oranye, beserta satu tiga lilin di tengah sehingga menambah kuat kesan romantisnya.
"Ish, kamu siapin semua ini?" tanyaku takjub. "Tapi kapan?" Perasaan, aku tidak pernah kehilangan jejak Mas Satya seharian ini.
"Bukan lah, Sayang. Tadi nyuruh orang," kata Mas Satya. Lalu membantuku berbalik ke depan rumah di mana sepasang manusia berusia senja melambaikan tangan lalu pergi.
"Oh, pengurus rumah ini?" tebakku.
"Iya." Mas Satya menggenggam tanganku, lalu menuntun ke salah satu kursi. Dia bahkan membantu menarik salah satu kursi untukku. Mau tidak mau, aku jadi menggaruk kepala yang ditutupi jilbab krem karena salah tingkah.
Setelah Mas Satya duduk di kursinya, aku tidak bisa berhenti tersenyum.
"Maaf ya, Sayang. Karena status dan pekerjaan, kita nggak bebas makan di luar. Kamu tahu, Mas sering makan sama rekan kerja aja di restoran, itu nggak bisa tenang. Soalnya, ada aja yang kenalin, minta foto, dan itu nggak inget waktu gitu. Jadi, alasan Mas nolak kita makan di luar ya karena itu. Mas harap kamu suka sama ini." Mas Satya menjelaskan dengan raut prihatin, aku juga ikut kasihan.
"Suka banget," jawabku langsung antusias. "Ini lebih indah dari ekspektasi aku."
Mas Satya mengulurkan tangan menghadap ke atas, aku terkekeh pelan dan malu-malu meletakkan tanganku di atasnya.
"Mas janji, Mas bakalan selalu bikin kamu bahagia, dan selalu lakuin apa pun yang kamu minta selama Mas mampu. Kamu juga janji ya, apa pun nanti yang terjadi, kamu jangan tinggalin Mas," ujar Mas Satya yang diakhiri dengan tatap serius.
Aku sedikit menunduk. "Mas ini kayak orang pacaran aja."
"Janji, Dina?"
Mungkin Mas Satya sedikit emosional dengan dinner romantis kita yang pertama kali ini. Aku pun mengangguk mengiyakan, dan dia tersenyum puas.
"Tapi ...." Aku menyela sebentar. "Mas harus janji, bakalan terbuka sama aku. Apa pun itu."
"Janji," jawabnya cepat.
"Oke." Giliranku yang tersenyum puas. Sepertinya malam ini, kami tidak akan tidur lebih awal seperti yang direncanakan.
[UPDATE SETIAP HARI SENIN]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
Dreame : Es Pucil
Kubaca : Es Pucil
Hotbuku : Es Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro