Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CLIR | 13

Kami ke rumah bunda untuk hari ini. Karena Mas Satya harus memilih rumah yang benar-benar cocok untuk kami tempati ke depannya. Bunda tidak banyak tanya, hanya langsung menyambut dengan senang hati. Mas Satya sama sekali tidak mampir sebentar pun, langsung menancap gas, pergi. Dia harus bekerja hari ini, sementara aku dibiarkan istirahat selama beberapa hari.

"Bunda nggak tau rahasianya Mas Satya gitu?" tanyaku penasaran ketika Bunda sudah membawakan secangkir teh hangat. Beliau duduk di sofa seberangan denganku, menyalakan televisi agar suasana menjadi santai.

"Dia nggak cerita apa-apa sama kamu?" Bunda balik tanya.

Aku menggelengkan kepala sekali, ragu.

"Berarti nggak ada rahasia," ucap Bunda kemudian. "Satya lebih terbuka kok daripada Satria. Bahkan, dia jatuh pun, dia bakalan cerita ke Bunda, sekarang udah nikah, jadi dia bakalan ceritanya ke kamu."

Apa semua yang Mas Satya katakan itu benar? Tapi aku merasa masih janggal.

"Bunda tahu manager perempuan Mas Satya?"

Bunda langsung mengangguk. "Runika. Mantan pacarnya Satya."

Aku langsung tegang.

"Enam tahun lalu, Dina. Runika sudah meninggal setahun lalu. Kamu nggak usah cemburu ya."

"Bukan cemburunya sih, Bun. Lebih ke ... Mas Satya bilangnya dia cuman manager Mas yang kebetulan baper sama perhatian Mas Satya." Aku menggigit bibir bawah. "Mereka beneran pacaran?"

"Eh, Bunda kurang tau juga sih." Bunda terkekeh bersalah. "Kayaknya bukan. Satya nggak pernah cerita. Kalau nggak cerita, berarti mereka nggak pacaran. Cuman, si Runika ini yang sering klaim calon mertua ke Bunda, ya jadi Bunda pikirnya mereka ada apa-apa gitu."

Aku mengangguk mengerti meski masih sedikit ganjal. Beberapa pertanyaan sulit aku jawab. Seperti: mereka benar berhubungan, atau tidak; dan jika Runika ini sudah meninggal, siapa yang mencoba main-main sama kami?

"Kenapa, Medina? Satya sembunyiin sesuatu?"

Aku menggeleng kasar dengan cepat. Kemudian menarik sudut bibir kanan membentuk senyuman tipis. Teh hangat aku cecap sedikit demi sedikit.

>>♡<<

Meski Mas Satya menyarankan aku istirahat lebih lama, aku tetap memaksakan ikut bekerja. Kemarin, hanya shock dengan darah, sekarang sudah lebih baik, aku pikir.

"Mulai keluar dari mobil nanti, Mas bakalan berubah sikap ke kamu. Kamu jangan masukin hati kalau Mas dingin atau bentak kamu, ya? Mas akan samain kamu kayak orang lain, oke?"

"Kinanti kamu lembutin tuh," ucapku jengkel.

"Dia kan lawan main Mas, Sayang. Itu cuman usaha buat bangun chemistry."

"Iya. Alasannya buat bangun chemistry. Terus dia baper. Dia tahu aku istri kamu, aku diteror." Aku mendengkus.

Mas Satya mengulurkan sebelah tangannya ke atas kepalaku. Pandangannya tetap fokus sementara tangannya mengelus jilbabku secara teratur.

"Ini nih alasan Mas supaya kita nggak kerja satu frame."

"Kenapa?"

"Kamu cemburuan banget, Sayang. Mas jadi khawatir nanti. Mas ketemu perempuan bukan cuman kamu atau Kinanti. Tapi banyak."

"Aku bakalan jagain Mas dari perempuan yang main cium aja kayak dulu."

"Terserah kamu aja deh. Tapi jaga sikap, ya."

Aku mengangguk patuh. Mas Satya menjauhkan tangannya, kemudian berbelok memasuki area gedung tinggi. Di sana sudah sangat ramai meski masih setengah tujuh.

Mas Satya memarkirkan mobilnya, kemudian turun setelah mengenakan kacamata hitam. Tampak berkharisma. Aku terpukau melihatnya dari dalam mobil.

"Medina!" Mas Satya memanggil keras.

Astaga. Suaranya benar-benar lantang. Aku langsung memperbaiki tas pundak, serta memeluk iPad kemudian keluar dari mobil. Beberapa pasang mata langsung tertuju padaku, memberikan efek debaran kencang dalam dada. Siapa di antara mereka yang termasuk fans fanatik Mas Satya? Aku menatap satu persatu dari mereka. Tetapi tidak ada yang bisa aku dapat selain tatapan berbagai macam jenis.

Aku menunduk. Mengekor pada Mas Satya yang memasuki gedung itu. Semua pandangan aku abaikan dan tetap fokus pada punggung Mas Satya yang dilapisi jas navy. Kami berdua masuk ke lift. Meski hanya ada kami, Mas Satya tetap mempertahankan kesan cool-nya. Aku menunduk lebih dalam sambil menggigit bibir. Kenapa rasanya seperti aku baru saja terpesona oleh sosok berbeda Mas Satya.

Mas Satya dihampiri oleh seorang pria berkulit sawo matang dengan kumis tipis. Dia melirikku sedetik, kemudian fokus mengobrol dengan pria itu. Mas Satya tampak menggerakkan kepalanya naik turun setiap pria itu memberi jeda dari penjelasannya. Terakhir, pria itu memberikan tepukan ringan di bahu Mas Satya.

Mas Satya kembali berjalan, melewati beberapa pintu, kemudian berbelok ke pintu kiri. Dia melepaskan kacamatanya. Masih tetap berjalan, dia membuka jasnya dan menyerahkan itu pada pria yang berada di depan cermin rias. Mas Satya akan memasuki ruangan lagi, tetapi berhenti sambil berbalik ke arahku. Aku mematung bingung.

"Ini ruang ganti pria. Kamu mau lihat saya ganti baju?" tanya Mas Satya.

Aku cengo. Tiap hari liat dia ganti baju kok. Aku mengangguk pelan. Kemudian sadar statusku di sini adalah manajer, bukan istri. Aku menggeleng kasar.

"Jadi ...." Pria itu menatap malas. Benar-benar bukan Mas Satya. Aktingnya mendarah daging. Keren.

"Aku keluar?"

Sebuah tawa terdengar. Dari pria dengan poni ke samping kanan yang menjadi tempat penampungan jas Mas Satya tadi.

"Duh, manis. Kamu kok polos banget ya." Pria itu memegang kedua bahuku, menuntunku keluar dari ruangan. "Kamu manajer barunya, ya?" tanya pria itu.

Aku baru sadar, dia memegang bahuku di depan Mas Satya tadi. Aku langsung melepaskan diri.

"Iya, Mas." Sumpah, ini tadi aku kenapa bego banget di ruangan itu. Astaga. Padahal, kemarin sudah coba latihan, dan aku lancar.

Pria itu terkekeh pelan. "Panggil aja Ifan."

Aku mengangguk.

"Kamu kurang beruntung banget sih, dapat atasan kayak gitu. Duh ... aku kasih tahu ya. Dia itu cuman ramah ke fans. Kalau ke pekerja kayak kita-kita ini, uh, dingin banget." Dia melambai-lambaikan tangan dengan kekehan khas.

Aku mengangguk lugu.

Ifan memukul lenganku manja. Aku ngeri.

"Nama kamu siapa?"

"Medina," jawabku pelan.

"Wih, nama kota Islam. Keren."

Aku terkekeh garing. "Makasih."

"Eh kayaknya dia udah ganti baju. Aku ke dalam dulu ya, mau rias dia." Dia tersenyum manis. "KINANTI UDAH DATENG BELUM!"

Astagfirullah. Teriakannya membuatku mundur selangkah. Gendang telingaku kemungkinan rusak. Aku melotot tidak percaya.

"Biasakan diri ya," katanya terakhir kali sebelum masuk ke ruangan.

Aku mengerjap. Aku benar-benar harus mempersiapkan mental untuk bekerja di sini.

Baru saja aku mendesah lega. Lenganku ditabrak secara kasar dari belakang. Wanita dengan rambut bergelombang itu menoleh. Kinanti. Aku berusaha tersenyum tipis meski sangat membenci wanita ini.

Daftar orang paling aku benci pertama sekarang bukan Lisa, tapi jamu datang bulan ini.

Dia menyeringai tipis tanpa mengucap rasa bersalah. Aku langsung mengartikan, dia punya niat buruk di balik itu. Entah kenapa, aku yakin si peneror itu adalah Kinanti. Wajahnya terlalu mendukung untuk pelaku teror itu.

Dia langsung masuk ke dalam ruangan. Aku menatap punggungnya dengan nyalang.

Aku sudah di sini. Berani dia goda Mas Satya, awas kamu!

>>♡<<

Pemandangan menyebalkan saat adegan romantis Mas Satya dan Kinanti akhirnya selesai saat sutradara berteriak "cut". Aku masih duduk malas tidak jauh dari tempat Mas Satya membaca naskah. Ifan dengan satu pria lagi langsung melap beberapa bagian wajah Mas Satya, serta menambahkan bedak untuk bagian yang berkeringat tadi.

Radarku menjadi waspada saat Kinanti datang membawa sebotol minuman rasa jeruk mendekati Mas Satya. Dasar ganjen banget nih cewek. Bukannya hafalin drama, malah asik goda suami orang. Aku langsung mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas kemudian memeluk iPad. Mas Satya aku hampiri, sedikit berlari agar tidak kalah cepat dari Kinanti.

Tidak telat, tidak cepat. Kami bersamaan menjulurkan minuman. Mas Satya lebih dulu melirik botol air, kemudian padaku yang tersenyum. Tetapi, dia malah mengambil botol minuman Kinanti.

"Thanks." Dia langsung meminum minuman tersebut, sementara Kinanti tersenyum bangga.

"Aku tahu kamu suka yang jeruk." Begitu jawaban Kinanti.

"Ifan, kamu dari tadi aku perhatiin belum minum." Aku menggeser sedikit posisi botol agar bisa berada di hadapan Ifan.

"Ini pertama kalinya loh aku diperhatiin. Makasih, ya, Med. Kamu emang friend-able banget."

"Med?" Aku bingung dengan panggilan tersebut.

"Medina. Nama kamu Medina, kan?"

"Aku biasa dipanggil Dina sama yang lain," jelasku.

"Biarin. Itu panggilan istimewa aku ke kamu. Biar manis gitu. Cucok deh ah."

Aku terkekeh canggung.

Kedua pria perias ini kemudian pergi. Radar cemburuku mengatakan, Kinanti akan duduk di samping Mas Satya saat menarik kursi. Aku langsung menduduki kursi tersebut, dan mengambil alih perhatian Mas Satya.

"Pak, ini jadwal Bapak hari ini. Pukul delapan malam nanti, ada talkshow di Garuda Tv ...." Aku melirik Kinanti sambil menaik-naikkan alis, isyarat agar dia segera pergi.

Dia menatapku sinis sebentar kemudian kembali ke tempat duduknya yang berjarak 3 meter.

"Terimakasih, Medina. Tapi saya sudah tahu jadwal hari ini." Mas Satya menjauhkan layar dari depannya, kemudian sibuk dengan ponselnya. Mengecek sosial media.

Astaga, Mas, ngerti kondisi dong. Aku mau jaga kamu!

"Baik, Pak," jawabku kemudian. Aku turut membuka ponsel dan mendapati pesan dari Zia.

Kenzia B.
Woke.
Udah aku save. Medina New!
09.22

Kamu ada acara?
Kita nonton drakor kuy.
Seru nobar sama kamu.
11.32

Aku sibuk T.T
Kirim link lah.
Drama kemarin seru bat
Kirimin drama komedi kek kemarin dong

Kenzie B.
Cie yang udah keracunan
Nih, Mouse.

>>♡<<

Mas Satya berjalan terburu-buru, sesekali mengecek jam tangannya. Sekarang masih jam tujuh lewat, tetapi dia sudah berjalan cepat menuju tempat yang akan dia kunjungi malam ini.

Seharusnya bersama Kinanti, karena mereka akan mengobrol mengenai sinetron mereka ini. Tapi untungnya tidak jadi karena sopir pribadi Kinanti batal sakitnya.

Sudah nyaris sampai di depan gedung. Aku berlari-lari agar bisa mencapai Mas Satya. Namun, kakiku seperti terhalang sesuatu dan aku melayang dan terpental di lantai.

Aku langsung meringis sakit di lutut. Saat mendongak, Mas Satya hanya melirik malas, kemudian tetap melanjutkan perjalanan.

Menoleh ke belakang, aku melihat wanita seusia denganku mengalihkan pandangan ke arah lain. Wanita itu aku kenal sebagai manajernya Kinanti. Pasti si jamu itu yang nyuruh.

Aku mengabaikan semua rasa sakit, lalu berlari ke arah Mas Satya yang sudah masuk ke dalam mobil. Setelah duduk, mobil langsung bergerak. Aku langsung kalap menutup pintu dan memasang sabuk pengaman.

"Kamu bakalan susah adaptasi, Sayang."

Aku yang sedari tadi menahan nyeri, kemudian menoleh ke arah Mas Satya. Aku langsung lega, dia sudah kembali ke sifat aslinya.

"Nggak papa. Aku bakalan usaha," jawabku penuh yakin.

"Kamu kan susah adaptasi sama lingkungan baru. Dari yang awalnya jaga toko bunga, santai, adem, sekarang berurusan sama sesuatu yang super rumit. Mas khawatir sama mental kamu." Mas Satya mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku tersenyum. Pandangan aku alihkan ke jalanan. Mobil Kinanti tidak ada di depan.

"Mas lewat mana? Mobil Kinanti kok nggak ada?" tanyaku, karena tadi terlihat jelas Mas Satya mengekori mobil Kinanti.

Mas Satya berhenti di depan sebuah minimarket. Dia merundukkan tubuhnya dan meraih kakiku. Rok plisket hitamku dia sibak. Legging hitamku dilipat ke atas sehingga lututku yang kesakitan sekarang bisa bernapas. Mas Satya mengambil ponselnya, menaikkan cahayanya sampai full dan menelisik luka tadi. Tidak terlalu patah. Hanya lebam yang memerah.

"Kamu tunggu sebentar di sini, Mas beliin obat," kata Mas Satya.

Aku langsung menarik jas birunya sebelum turun.

"Nggak papa. Nanti bisa dikompres pake air dingin di rumah. Kita lanjut aja. Nanti kamu telat."

"Seriusan nggak papa? Ini tulang kamu nggak ada yang lecet? Tadi kamu jatuhnya keras banget." Mas Satya mengusap-usap lututku dengan lembut. Begini saja, rasanya sudah lebih baik.

"Aku nggak papa, seriusan. Kita berangkat aja." Aku menarik kakiku hati-hati dari paha Mas Satya. Legging tadi aku tarik turun perlahan. Bibir dalam aku gigit agar tidak meringis.

"Nanti, kamu di mobil aja, ya? Siarannya live kok. Kamu bisa awasin Mas dari jauh, ya?"

Aku mengangguk mengiyakan.

Mobil kembali ke jalur sebelumnya. Mas Satya menambah kecepatan agar bisa mengejar mobil Kinanti yang sudah sangat jauh.

"Dina ...." panggil Mas Satya tiba-tiba.

Aku hanya bergumam menanggapi.

"Kamu jangan deket-deket sama Ifan. Kenapa mesti dikasih air tadi ke dia?"

Aku yang awalnya mager bicara, langsung tertawa ringan. "Kamu cemburu sama orang kayak Ifan? Astaga, Mas. Dia aja lebih mirip cewek. Kenapa mesti cemburu sih?"

"Tetap aja, dia itu cowok, berbatang, suka sama cewek."

"Ish!" Aku tertawa ringan. Aku menikmati raut cemburunya yang lucu itu. "Mas?" Giliranku memanggil setelah hening beberapa saat. Dia ngambek, aku sulit menahan senyum geli. "Saranghae."

[UPDATE SETIAP HARI SENIN]



Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :


KBM App : Es_Pucil

Dreame : Es Pucil

Kubaca : Es Pucil

Hotbuku : Es Pucil


***


Mari kenalan :


Instagram : es.pucil

Facebook : Es Pucil III 

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro