CLIR | 12
Aku selesai memakai sneakers dua kali lebih cepat dari Mas Satya. Dia masih tampak cemberut usai kejadian subuh tadi. Aku yang sedang luang, mencoba untuk mengganggu.
"Mas, gimana kalau beneran jadi? Temen aku, baru sekali coba, langsung hamil."
Mas Satya menatapku tajam. "Kamu nggak boleh hamil. Jangan sampai!"
"Mas sendiri yang kelepasan."
Dia kurang fokus semalam, sampai keinginannya keluar di luar, jadi batal. Cuman gara-gara sederhana begitu, dia sampai gelisah hingga sekarang. Saking tidak maunya dia punya anak. Aku menipiskan bibir melihat caranya mengikat sepatu dengan gerakan gontai. Lalu ketika ada ikatan sepatunya yang bermasalah, dia menggeram dan menyugar rambut secara kasar.
Aku berlutut di depan sepatu kanannya yang tersimpul mati. Menariknya dengan teliti sampai terbuka. Kemudian memperbaiki ikatannya.
"Kenapa sampe segitunya sih, nggak mau punya anak? Kamu benci anak kecil?" tanyaku setelah selesai mengikat pita tali sepatunya.
Aku berdiri tegak. Mas Satya ikut melakukan hal sama.
"Nggak. Cuman belum siap aja."
"Padahal, banyak kok artis yang punya anak tapi tetap bisa eksis di dunia hiburan. Apalagi Mas cuman laki-laki, nggak perlu hamil. Kenapa sampe stres gitu cuman karena takut aku hamil?"
Mas Satya merangkul bahuku. Bersama menuju pintu utama.
"Mas pikirnya kita berdua masih terlalu kecil buat urus anak. Nanti kalau anak terlantar gimana?"
Aku mendelik malas, berhenti berjalan sebentar. "Kecil apanya sih, Mas? Aku cuman beda setahun sama Amira, kamu dua tahun sama Satria. Kita udah bisa urus anak. Malah ada tuh umur 17-an udah adah ada anak."
Kami berjalan lambat.
"Anaknya dijaga dengan baik, nggak? Nggak ditelantarin? Kebanyakan orang tua muda kayak gitu. Mereka biasanya kesulitan atur waktu dan susah untuk beradaptasi sama orang ketiga yang manja banget: anak. Sayang, kalau punya anak, kita harus siap bangun tengah malam, tidur cuman 2 jam per 24 jam. Harus bisa jadi guru teladan buat anak-anak. Harus bisa perhatiin dengan baik pendidikannya. Anak harus dinomorsatukan. Waktu kerja bakal terbagi, waktu berdua kita bakalan berkurang. Belum lagi kalau anak rewel, bisa stres muda kita."
Aku mencibir. "Kamu kayaknya udah ahli banget masalah peranakan."
"Sayang ...." Dia menggeram pelan.
Gagang pintu aku putar, lalu tarik ke dalam. Baru saja melangkah, kakiku terpeleset ke depan, dan tubuhku langsung terjatuh.
"Dina!" Mas Satya memekik.
Sementara aku melihat sekitar lantai. Bercak merah berceceran, berasal dari tempatku duduk. Merah kental ini sangat aku kenali. Darah.
"Mas?" Suaraku bergetar. Sementara lututku tidak bisa berdiri karena lemas.
Darah.
Apalagi yang bisa aku pikirkan selain bahaya?
>>♡<<
Mas Satya menjulurkan gelas berisi air lagi. Sudah hampir satu jam sejak insiden tadi. Aku duduk di kamar setelah berganti pakaian. Sementara Mas Satya sudah membersihkan semua lantai depan.
"Kamu tenang ya. Itu pasti cuman orang iseng aja. Penduduk sekitar sini kayaknya nggak ramah. Kita pindah aja?" usul Mas Satya.
"Pindah ke mana?" Aku langsung tercenung. "Emang ada orang iseng yang pake darah asli? I-itu ancaman, Mas. Kamu nggak lihat? Dia emang sengaja taruh balon isi darah di situ biar aku kalau aku jatuh ke balonnya terus meledak. Darahnya berceceran. Itu bukan iseng aja. Itu ancaman, aku yakin." Aku mengigau asal, masih gemetar pasal insiden tadi.
"Itu bukan darah. Itu cuman kayak terigu, air, sama pewarna makanan. Makanya merah kental. Kamu jangan terpengaruh."
"A-atau ... udah ada fans Mas yang tahu hubungan kita?"
Mas Satya melamun sebentar, kemudian mengangguk. "Bisa jadi. Tapi, nggak ada yang tahu alamat kita berdua selain kita. Satria sama Bunda bahkan nggak tau."
"Hape aku?"
"Iya." Mas Satya menjawab pelan. Kemudian mendesah berat. "Pasti sebelum Mas buang, dia udah tahu tempat ini."
Aku terdiam. Apa benar, fans Mas Satya sebegitu beraninya sampai memberi ancaman seperti ini?
"Kita pindah?" tanya Mas Satya.
Aku mengangguk.
>>♡<<
Sambil Mas Satya mengemudikan mobilnya, aku sibuk mengobrol via pesan dengan Amira. Mencari tahu apa dia sudah dapat sedikit info tentang Mas Satya dari Satria.
Namun, tidak ada. Lebih ke Amira yang jarang bertanya mengenai orang lain pada suaminya, karena waktu berdua mereka sangat terbatas. Seharusnya diisi dengan kebersamaan yang romantis, bukan tentang orang lain. Aku hanya mengiyakan dengan lesu.
"Aku nggak tau dunia publik figur gimana, Mas," ucapku lirih. "Mas nggak mau cerita gitu, biar aku nggak kaget waktu kerja?"
"Ini tentang ke masyarakat luas aja, sih. Kayak ngasih pelayanan berupa hiburan. Nah, dalam masyarakat yang luas itu, kita nggak tau, isinya kayak gimana aja. Ada yang baik, kalau mengidolakan itu ya dalam batas wajar. Ada yang level tinggi dalam mengidolakan, biasanya sih, tau semua tentang idolnya. Kalau ada meet up gitu, langsung datang nggak peduli halangan apa pun. Semua barang tentang idolanya ada sama dia. Bahkan sering ngehalu juga sih. But, itu nggak masalah selama nggak fanatik. Biasanya, saking mengidolakan seseorang, ada beberapa yang sampai hina artis lain. Menjelek-jelekkan pamor orang lain agar artis favoritnya bisa naik. Ini yang buruk. Bahkan artis itu nggak butuh yang kayak ginian. Artis cuman butuh dicintai, gitu aja. Tapi mereka tetap aja fanatik. Bahkan nggak jarang, sampe marah banget kalau artis favoritnya menikah. Makanya sering ngancem istrinya segala macem gitu. Tapi jarang sih yang kayak gini di Indonesia."
Dari panjangnya kalimat Mas Satya tadi, hanya satu yang bisa aku tangkap. "Jadi, Mas biarin aja gitu semua cewek cinta sama Mas? Mas katanya cuman butuh dicintai."
"Ya ampun, Sayang. Kamu cemburuan banget, sih. Itu cuman kiasan aja. Lebih tepatnya kek menghargai karya artis itu aja. Lebih peduli ke artis itu. Dan terus mendukung artis itu. Bukan kayak cinta aku ke kamu."
Aku masih belum puas. "Mas jangan-jangan baperin seseorang ya, sampai ada yang jatuh cinta setengah mati ke Mas sampai nggak rela kalau Mas udah nikah sama aku." Mataku menelisik saat tahu perubahan ekspresi Mas Satya begitu kentara. "Kan ...!"
"Nggak baperin gitu juga. Mas cuman ya sebatas nyapa dia setiap kali ketemu, nanya kabar dia. Pertanyaan umum gitu. Mas juga lakuin itu ke semua orang. Tapi ... ada beberapa yang pikirannya Mas nggak tau. Mereka menganggap itu perasaan istimewa—"
"Kan ...!" komentarku. Aku bersandar malas. "Pasti itu tuh. Mas baperin terus dia ngarep dinikahin terus patah hati, terus jadi benci sama aku."
"Mas kan nggak tau kalau akhirnya dia baper. Setelah kejadian itu, Mas jadi jaga sikap sama yang namanya perempuan, kecuali kamu pastinya. Mas sebisa mungkin meminimalkan—"
"Kinanti apa kalau bukan cewek? Banci?"
"Sayang ...." Mas Satya mendesis pelan. Dia bersikap normal kemudian. "Seharusnya masalah udah selesai karena dia udah ... meninggal."
Aku langsung menegakkan duduk. "Jadi yang teror kita itu hantu?" Aku menggeleng kasar. "Emang yang Mas baperin cuman dia aja? Kinanti tuh? Bisa aja dia kan?"
"Cuman dia yang tahu kita sudah menikah." Mas Satya bergumam pelan. "Sejak Mas kabarin Mas udah nikah sama dia, dia jadi benci gitu. Dan ... ya gitu ... dia bunuh diri. Makanya, Mas pilih buat sembunyiin status kita."
Aku sungguh tidak percaya. Hanya karena situ? Seberapa besar sebenarnya level cinta wanita itu pada Mas Satya. Lebih dari aku mungkin ya.
"Nggak usah khawatir. Dia emang kayak rada gangguan jiwa sejak kerjaannya banyak—"
Aku langsung menyimpulkan. "Manager pertama Mas itu?"
Dia menatapku, kemudian mengangguk.
[UPDATE SETIAP HARI SENIN]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
Dreame : Es Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro