7. Firasat
Bagian Tujuh
Arella lebih memilih bermimpi buruk saja ketimbang harus tidak bisa tidur seperti ini.
Tiga jam yang lalu, sepulang dari rumah Ferrel, Arella langsung mandi begitu sampai rumah dan berencana untuk tidur, tetapi yang ada dia malah gelipak sana gelipak sini saja di tempat tidur.
Jarum jam masih menunjuk ke angka sembilan sekarang. Dan ini malam sabtu. Wajar sih sebenarnya kalau memang Arella masih tidak bisa tidur, bukan karena sebab yang aneh-aneh juga.
Tapi, Arella tidak dapat memungkiri kenyataan kalau dia sedang memikirkan Ferrel. Bukan-bukan. Memikirkan syarat yang diajukan oleh Ferrel kepadanya. Arella kepikiran.
Jadi pendamping Ferrel saat balapan? Yang bener aja, deh.
Naik mobil biasa aja sama Ferrel udah jantungan, gimana diajak ke arena balapan? Copot kali jantung Arella saat Ferrel baru aja menginjak pedal gas.
Arella itu punya penyakit bawaan, yang ada dia bisa mati di tempat kalau begitu.
"Jadi, Ferrel anak racing," gumam Arella kepada dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit kamarnya sebelum beringsut dan membulak-balikkan badannya di antara seprai dan juga selimut.
"Ngapain dipikirin segala, sih, Arella."
"Anak racing kan ganteng-ganteng."
"Terbukti, Ferrel aja ganteng banget."
"Nggak-nggak, apaan sih Ferrel b aja."
"Tapi..... dia itu kenapa bisa cool banget gitu deh."
Arella langsung mengusap wajahnya berkali-kali dengan kasar. Membanting tangannya ke sisi kanan dan kiri tubuhnya sehingga terlentang setelahnya. Ia menghembuskan napasnya panjang.
"Pasti Ferrel udah punya pacar," kata Arella, merutuki dirinya sendiri yang malah justru kepikiran aneh-aneh soal Ferrel.
Baru saja Arella ingin marah-marah lagi terhadap dirinya sendiri, ponselnya bergetar di nakas samping tempat tidurnya.
Tangan Arella meraih ponselnya dan membuka pesan singkat yang masuk di sana. Kelewat singkat dan membuat Arella sebal, namun kaget, namun senang sekaligus.
Ferrel Ravaro: bsk gue jmpt.
"Mau nyebur ke laut paling dalam ajalah gue."
***
Paginya, mata Arella bengkak karena kurang tidur.
Arella masih berkutat di ranjangnya, berharap bisa kembali tidur lagi paling tidak tiga puluh menit untuk menormalkan kembali matanya.
Ternyata, tiga puluh menit bahkan lebih dihabiskan oleh Arella hanya untuk gelipak sana gelipak sini di ranjang tanpa melakukan apapun yang berfaedah.
Ponselnya bergetar.
Unknown Number is calling.
Arella langsung mengangkatnya begitu saja dengan mata yang berusaha terus terpejam. "Hallo?" katanya begitu mengangkat telepon.
"Turun."
Arella kaget bukan main begitu mendengar suara yang menyambutnya di seberang sana.
"WHAT!!?"
Panggilan terputus.
Arella memerhatikan layar ponselnya dan terus memaki-maki. Penyesalan merayap di dalam benaknya kala ingat seharusnya ia tidak memberikan alamat rumahnya begitu saja kepada Ferrel sang pencabut nyawa.
Satu kata titah itu membuat Arella kini kelimpungannya bukan main. Ia berlari ke arah toilet dan mandi secepat kilat, menggunakan baju secara asal dan menyisir rambutnya yang basah dengan tangan. Meraih ponselnya dan berlari sambil menenteng sepatu ke bawah.
Sampai di bawah, Arella hanya mendapati Arden yang tengah berkutat dengan sarapan paginya di atas sofa sembari menonton kartun kesayangannya. Spongebob.
"Ferrel mana?" tanya Arella yang kemudian merutuki dirinya sendiri. Mana mungkin Arden tau namanya Ferrel? Cowok itu juga gabakalan repot-repot memperkenalkan diri, dan Arden juga gak bakalan repot-repot bertanya.
Kenapa hidup Arella harus dipenuhi batu es hidup di dalamnya?
"Cowok tadi?" tanya Arden, dan Arella langsung mengangguk dengan semangat. "Nunggu di luar aja katanya lo lama."
Arella yang tadinya mau langsung berlari keluar menghampiri Ferrel malah menatap adiknya tajam. "Lo ngobrol sama dia?" tanya Arella dengan curiga.
Arden menggeleng. "Satu kata dari dia, dua kata dari gue. Kita abis itu saling tatap."
Arella mendengus sebal dan menggertakkan giginya. "Awas jatuh cinta saling tatap," candanya kemudian langsung berlari keluar rumah dan melihat mobil Ferrel terparkir di luar garasi.
Kok dia bisa masuk ya?
Arella menghentikan langkahnya di samping pintu kursi pengemudi dan kaca mobil perlahan turun. Menampakkan Ferrel dengan kemeja flanel merah darahnya yang tak dikancingi dan menampakkan kaos abu-abu oblongnya di dalam sana. Arella meneguk salivanya, terlebih saat Ferrel menolehkan tatapan tajamnya kearahnya.
"Lama," komentar Ferrel. "Masuk."
Arella lagi-lagi meneguk salivanya dan duduk di kursi belakang Ferrel, sampai Ferrel mencondongkan tubuhnya ke belakang untuk memerhatikan Arella yang kini sibuk mengenakan sepatu sneakersnya.
"Ngapain?" tanya Ferrel, membuat Arella mendongakkan kepalanya dan terjeduk dahi Ferrel.
"Awk, sorry-sorry," kata Arella dan tangannya reflek mengusap-usap jidat Ferrel.
Ferrel menautkan alisnya dengan perlakuan spontan cewek ini dan langsung menarik diri untuk kembali di bangkunya. Menyesuaikan napasnya sendiri sebelum berkata.
"Maju," titah Ferrel pada akhirnya.
Kini giliran Arella yang menghela napasnya dan meloncati celah kursi untuk duduk di depan. Ferrel memerhatikan tingkah cewek ini dengan enggan lalu memutar bola matanya.
"Ke rumah gue dulu," kata Ferrel, berhasil membuat Arella yang sedang sibuk mengenakan sabuk pengaman menoleh.
"Ngapain?"
"Mobil," jawab Ferrel sekenanya, dan Arella baru sadar kalau ini bukanlah mobil balap yang Ferrel tunjukkan kemarin.
Mobil Ferrel keluar melalui gerbang yang dibukakan oleh pembantu Arella dan segera melanju menuju rumah Ferrel.
***
Arella menunggu Ferrel yang sedang mengambil kunci mobil di kamarnya tidak sampai lima menit.
Ferrel membuka lagi ruangan tempat menyimpan mobil balapnya dan Arella terperangah untuk kedua kalinya begitu melihat mobil super keren ini. Lampu neonnya pasti bakalan indah banget kalo dilihat saat malam dan mobil dalam keadaan ngebut.
Tak sadar juga, Arella memperhatikan Ferrel yang dengan gaya cool nya membuka pintu dan menekan tombol untuk membuka atap mobilnya kemudian kepalanya tertoleh kearah Arella yang mematung di posisinya.
"Ngapain?" tanya Ferrel sinis. "Masuk."
Arella langsung melangkahkan kakinya ke pintu penumpang dan duduk. Namun kemudian tersadar, Ferrel masih berdiri di posisinya dan memandangi Arella dengan tatapan kosong.
"Ngapain?" ledek Arella, membuyarkan lamunan Ferrel yang kini menatapnya sebal. "Masuk."
Ferrel tak menjawab sama sekali, kemudian duduk di kursi kemudi.
Arella membuka ponselnya dan mulai memainkannya dengan senang, menghubungi beberapa teman baru sekelasnya yang bertanya soal kejadian yang menimpanya dengan Ferrel. Saat tiba-tiba saja ada notifikasi baru di ponselnya.
Marissa L. Angeline invited you to the group "CECAN DIRGAHAYU (3)".
Arella tidak menekan bagian bergabung ataupun menolak, hanya mendiamkannya. Saat ia sadar kalau sedari tadi ternyata dirinya masih di dalam garasi yang gelap dan mobil tak bergerak barang se-sentipun.
"Ferrel?" panggil Arella, namun Ferrel bergeming.
Arella memerhatikan wajah Ferrel dengan seksama. Dilihatnya keringat mengucur deras melalui pelipisnya, dan Arella seketika berubah panik. Wajahnya pucat.
"Ferrel, astaga." Arella melepaskan sabuk pengamannya agar dapat bergerak lebih leluasa. Ia mencondongkan tubuhnya kearah Ferrel dan mengguncangnya. Namun Ferrel bahkan tak berkedip.
"Ferrel!" sentak Arella. Tangannya reflek memegangi kedua pipi Ferrel dan membuat mereka kini saling berhadapan.
Arella enggan bertanya Ferrel kenapa. Seketika dirinya dirasuki perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Seperti tau bahwa Ferrel memiliki trauma, entah dengan apa.
Arella yang merasakan kalau keringat terus mengucur, mendadak memajukan badan Ferrel dan melepas kemeja flannelnya sehingga ia hanya mengenakankaus oblongnya saja sekarang.
"Ferrel! Sadar!" tukas Arella, berusaha mengambil alih pikiran Ferrel yang bawasanya campur aduk.
"Ferrel! Dengerin gue!" pinta Arella keras. Ia mengguncang pipi Ferrel, berusaha mendapatkan pandangannya.
Tatapan Ferrel masih kosong. "Gue gak bisa," gumamnya.
Arella menghembuskan napasnya. Setidaknya, Ferrel berbicara. Merupakan suatu keajaiban besar kala seseorang seperti Ferrel dapat mengeluarkan suara, apalagi di saat-saat seperti ini.
"Ilangin semua kenangan buruk lo," kata Arella. "Ada gue di sini."
Mata mereka bertemu pandang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro