5. Jam Tangan
Bagian Lima
Sebenarnya Ferrel gak begitu memikirkan soal uang ganti dari Arella, tapi Ferrel merasa kalau cewek itu perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Atau, nantinya dia pasti bakal ngelunjak kalau dibiarin saja.
Akhirnya Ferrel sudah memutuskan, dan tangannya memasukkan jam tangan berwarna hitam pekat itu ke saku celana olah raganya, dan beralih lagi menuju ponselnya. Ia mengetik sesuatu di sana.
Ferrel Ravaro: ywd.
Mengunci kembali ponselnya dan ia masukkan kembali, Ferrel meninggalkan bola basket di lapangan dan melangkah untuk menghampiri ketiga temannya di kantin.
***
Saat waktunya pulang sekolah, Arella kelimpungan bukan main.
Bukannya apa-apa, pasalnya, Arella baru sadar kalau dia kehilangan jam tangannya saat sedang menunggu Arden untuk menjemputnya pulang di samping meja receptionist.
Arella membuka layar ponselnya dan segera menyalahkan koneksi internet di pengaturan, kemudian membuka aplikasi messanger Line miliknya.
Pada awalnya, Arella hanya ingin bertanya di grup kelasan yang baru ia masukki beberapa hari lalu, tetapi siapa sangka kalau tangannya malah langsung bergerak secepat kilat untuk membuka pesan yang dikirim oleh seseorang yang memporak-porandakkan hatinya karena panik sejak hari keduanya bersekolah di sini.
Ferrel Ravaro: ywd.
"Astagfirullah." Arella mendengus begitu selesai membaca pesan yang Ferrel kirimkan. "Ngomong singkat, ngetik singkat. Dia pake ESIA apa ya kena pulsa per-hurup."
"Akutuh gak bisa dijutekkin," gerutu Arella, lagi.
Ia langsung membalas pesan Ferrel dan mengirimi pemberitahuan di grup kelasnya mengenai siapa yang menemukan jam tangannya. Siapa tau cowok, bakalan dia jadikan pacar, kalau cewek, mau dijadikan teman dekat.
Tak lama setelahnya mengirim pesan, Arden datang dengan satu helm di tangan kanannya dan berhenti tepat di hadapan Arella.
"Mau pulang apa nggak?" tanya Arden, dengan ekspresi datar. Rambutnya terlihat sedikit acak-acakkan sehabis memakai helm. Ia ngacak-acak lagi rambutnya, berharap setidaknya malah sedikit lebih rapi.
Arden
Arella mendengus, kemudian bangkit dari duduknya dan tak mengatakan apa-apa, malas betul menghadapi adiknya yang seperti batu es.
Ia melangkah mendahului Arden dan duduk di jok motor sebelum Arden sempat duduk di depannya.
"Sini kuncinya," pinta Arella, menengadahkan tangannya ke arah Arden yang tengah mengerutkan alisnya.
Arella? Membawa motor ninja?
"Itu kopling, di atas gigi. Bukan metik." Arden menatap aneh kakaknya. Mengeluarkan kunci dari sakunya dan mendekat, lalu menepuk tangan Arella. "Minggir."
Arella mendengus dan memutar bola matanya. "Pelit." Namun ia tetap mundur dan membiarkan adiknya naik.
"Daripada motor gue ancur lebur kayak mobil lo."
Arella menggetok kepala Arden yang sudah mengenakan helm.
"Sakit, bego," gerutu Arden. "Turun lo."
"Abisan lo!" pekik Arella, kesal. "Jalan buru."
"Tebir dasar." Arden menekan gas dan menginjak kopling motornya dan keluar dari lingkup sekolah Arella, SMA Dirgahayu.
Di sepanjang perjalanan, Arella selalu saja berdebat dengan Arden dan lain-lain, pokoknya, semua perkataan Arella itu membuat Arden kesal bukan main. Pengen nurunin Arella di tengah jalan aja, rasanya.
"Lo gue turunin di tengah jalan aja, mau gak, Kak?" tawar Arden, saat berhenti di perempatan lampu merah.
"Tega lo ya."
"Makanya gausah banyak bacot. Manaan Mama pake acara nyuruh gue sekolah di sana juga lagi. Gak kebayang dah gue." Arden menggas lagi motornya, melanjutkan kembali perjalanan.
"Yah, jangan dong! Bosen gue satu sekolah mulu sama lo!"
"Lo pikir gue mau, gitu! Ter-pak-sa! No, no. Di-pak-sa!" balas Arden, tak mau kalah dari kakaknya yang keras kepala. Walaupun cenderung jutek, Arden bisa banyak bacot kalau di hadapan kakaknya.
"Au ah," kesal Arella, menyerah.
Akhirnya, motor Arden mengarah sampai di rumah yang baru saja mereka tempati seminggu terakhir. Arella langsung turun namun langkahnya terhenti kala Arden menyerukan namanya.
"Paan?" balas Arella, masih kesal dengan adiknya.
"Jam tangan lo kemana?" cecar Arden, menyadari tangan Arella yang polos. Padahal, saat berangkat tadi ia ingat betul Arella menggunakan jam tangannya. Dan, Arella itu tipikal orang yang paling suka memakai jam tangan.
Arella lupa adiknya itu kelewat cerdas, ia langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. "Kepo lo."
Arden memutar bola matanya. "Serius gue," katanya. "Ilang?"
Arella menghela napasnya. "Ketinggalan. Besok gue cari."
"Jangan sampe—"
"Iya-iya! Gue tau!"
***
Arella menggigiti kuku jarinya dengan ekspresi khawatir.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan teman-temannya di grup kelasan kebanyakan membalas bahwa mereka tidak melihat sama sekali Arella mengenakan jam tangan setelah istirahat.
"Sebelom istirahat, kan gue olah raga tuh." Arella memikir-mikirkan kejadian yang sebelumnya terjadi, menerawang pandangannya sembari merebahkan tubuhnya dengan ponsel di tangan kanannya. "Terus latihan basket buat praktek, semua aksesoris disuruh lepas—" kata-katanya menggantung di udara.
"—yaampun, Arella. Kenapa kamu bisa sebodoh itu, cantik." Arella menggetok kepalanya sendiri dengan ujung ponselnya.
Terkadang, Arella suka berdoa kalau-kalau ia bisa sepintar adik laki-lakinya—Arden—yang mampu mengingat segala hal dengan jelas, dan juga memiliki pemikiran cerdas. Tapi jelas, Arella tidak mau memiliki sifat dingin seperti adiknya itu. Arella dan Arden bagai bumi dan langit.
Terus, Mamanya yang ngelahirin itu ibaratnya apa dong?
Enggan memikirkan hal yang sulit-sulit apalagi berbelit, Arella memilih memejamkan matanya setelah merencanakan besok tepat saat baru datang ke sekolah untuk langsung menuju lapangan, mencari jam tangannya, kala tiba-tiba saja ponsel di genggamannya dirasa bergetar.
Ferrel Ravaro: jam lo sm gue.
Arella langsung menjatuhkan ponselnya ke samping. Pandangannya kosong melompong sekarang.
Apa hutangnya jadi bertambah lagi?
***
Ferrel berangkat sekolah dengan mobilnya yang sudah rapih secara keseluruhan. Turun dari mobil dan langsung disambut tatapan terpesona seperti biasanya.
Tangannya meraih ponselnya di saku celana untuk membuka pesan yang sebenarnya sudah ia lihat notifikasinya sejak semalam.
Arella: jgn nambahin utang gue, pls.
Ferrel Ravaro: ga.
Arella: ga apaan?
Ferrel Ravaro: nambah.
Arella: yeay, nanti lo balikin jam gue gmn?
Ferrel Ravaro: sndr.
Ferrel memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan melanjutkan langkahnya menuju kumpulan finger print untuk absen, dan berjalan lagi ke arena loker. Menukar buku pelajarannya dan kembali menutupnya kala tiba-tiba saja seseorang menyerukan namanya. Jelas bukan Sandi, Jordan, maupun Fellix.
"Ferrel!"
Itu Arella.
Ferrel menoleh dan menatap cewek dengan rambut yang dikuncir kuda itu dengan datar. Tak ada niatan menghampiri, hanya menunggu sampai Arella berlari dan sampai di hadapannya.
Tangan Arella meraih dompetnya dari dalam tas, kemudian mengeluarkan uang tiga lembar berwarna merah dan selembar berwarna biru, lalu menyodorkannya ke arah Ferrel.
"Nih, gue baru ada segini. Maaf ya, besok gue cicil lagi kok," kata Arella, kali ini terdengar tulus dan berusaha tersenyum walau langsung ia rubah kembali melihat ekspresi Ferrel yang begitu-begitu saja.
Ferrel meraihnya dan langsung melipatnya kedalam saku. "Oke."
Ferrel berbalik untuk membuka kembali lokernya kala merasa Arella sekarang berdiri di sampingnya, memerhatikan Ferrel yang tengah membuka loker dengan seksama.
"Jam tangan gue?"
Ferrel menoleh secara tiba-tiba. Menyodorkan jam tangan kesayangan Arella yang memiliki sejarah panjang itu.
"Makasih ya." Arella meraih jamnya dengan perasaan yang berbunga-bunga. Tapi, Ferrel malah menarik kembali jam milik Arella.
"Gak gratis."
Perkataan Ferrel membuat tubuh Arella meleleh seketika. Dasar mata duitan!!
"Gue harus bayar juga buat ini? Lo gak ada gitu buat mau nolongin secara ikhlas?" cecar Arella begitu sebal, ia masih tidak percaya dengan kata-kata Ferrel barusan.
"Ada syaratnya."
Entah kenapa, perasaan Arella jadi tidak enak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro