Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Keceplosan

Bagian Empat

Ferrel masih terlelap dan hanyut dalam mimpinya, kala tiba-tiba ia tersentak bangun karena merasakan ada seseorang menyentuh pipinya dengan lembut.

Saat bangun dan tersentak, Ferrel mengira ia masih berada di alam mimpinya. Tapi, saat lagi-lagi Ferrel mendapat sentuhan itu yang kali ini menggenggam tangannya, Ferrel yakin kalau ini semua nyata. Hangat yang menjalar ke tubuhnya begitu nyata dan Ferrel merindukan sentuhan ini.

Dalam sekejap, Ferrel sudah mampu menetralkan ekspresinya dan perasaannya. Kembali lagi menjadi Ferrel yang biasa dengan rahang mengatup dan garis wajah yang keras.

Ferrel menatap sosok perempuan kisaran umur empat puluh yang masih nampak baru menjejak usia ke tiga puluh ini dengan seksama. Tak mau memulai pembicaraan sebelum perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Mamanya ini, berbicara terlebih dahulu.

"Selamat pagi, sayang." Terdengar suaranya begitu lembut keluar dari mulutnya yang mengukir seulas senyuman tulus. Raut wajahnya terlihat lelah karena kantung mata yang agak menebal.

"Pagi," jawab Ferrel enggan. Ia langsung menyibak selimutnya dan hendak bangkit, namun tangan Arina—Mamanya—yang lembut menahan pergerakkannya. Dari caranya menahan, kentara bahwa letihnya sentuhan ia karena kelelahan.

"Sarapan di bawah sama Mama, yah?" mohon Arina.

Walau enggan, Ferrel tetap mengangguk.

Selepasnya mandi dan berganti pakaian dengan seragam, Ferrel meraih tas serta mencabut ponselnya yang dicharge semalaman saat dirinya terlelap untuk ikut serta ke bawah bersamanya.

Pada akhirnya, kakinya mengajaknya melangkah menuju meja makan di lantai bawah, duduk di samping kanan Arina yang mengambil kepala kursi. Arina tak dapat mengelakkan senyuman dari wajahnya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Arina.

Ferrel menghentikan kegiatannya meneguk susu putih yang sudah Arina siapkan. "Biasa," jawabnya.

Arina mengangguk paham. "Ada tagihan," ucapnya. "Dari bengkel."

Ferrel hanya diam, tak menjawab karena yakin kalimat Mamanya itu masih menggelantung. Jadi, ia menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

"Mobil kamu kenapa emangnya?"

"Ditabrak."

Alis Arina mengerut, sekilas menampikkan kemiripan di antara keduanya. "Kok bisa? Dimana? Sama siapa?"

Ferrel mengangguk, menjawab pertanyaan pertama. "Sekolah, sama anak baru."

"Terus gimana?"

Ferrel menghela napasnya menghadapi sang Mama yang kelewat perhatian jadi banyak bertanya. Bukankah Arina seharusnya tau kalau Ferrel bukan tipikal orang yang banyak omong? Itu juga yang jadi alasan Ferrel kesal berlama-lama dengan Arina.

"Minta ganti."

Arina mendengus pelan, "Udahlah, gapapa. Biarin aja, mungkin dia masih belajar nyetir?"

Ferrel meneguk susunya dan bangkit dari posisinya. Bagaimanapun, ia tetap menyalimi Arina sebagai rasa hormat kepada orang tua walau ia enggan menanggapi omongannya itu.

"Ferrel berangkat."

Percayalah, Arina sudah terbiasa seperti ini saat di rumah.

***

Sandi paham betul dengan gerak-gerik gelisah Ferrel sejak ia baru datang, sampai istirahat sekarang ini. Tapi, ia berusaha menemukan waktu yang tepat untuk bertanya. Namun akhirnya dia juga yang tidak tahan.

"Nyokap lo udah pulang, Rel?" tanya Sandi, sama sekali tidak berhati-hati sekarang dan langsung nyerocos.

Jordan dan Fellix yang duduk di bangku depan mereka, menolehkan kepala tanda tertarik dan langsung memutar kursi secara bersamaan.

Ferrel mendengus bosan. Dia tau betul nih, kalau setelah ini bakalan lebih banyak pertanyaan yang akan menghujamnya.

"Iya."

"Terus lo dibawain oleh-oleh apaan sama nyokap lo?"

"Dia dari Toronto kan?"

Ferrel mengangguk menjawab pertanyaan Jordan terlebih dahulu soal asal pergi Mamanya, lalu menaikkan bahunya sebagai jawaban untuk Fellix. "Gaada."

Mereka terus saja bertanya soal Mamanya dan itu semua membuat Ferrel jadi naik pitam. Ferrel langsung saja bangkit dan keluar menuju loker di lantai bawah sementara ketiga temannya sibuk mengejarnya.

"Rel elah ngambek ae lu kek lagi dapet," celetuk Fellix.

"Dapet cinta iya kali," goda Jordan yang langsung membuat Ferrel menoleh ke belakang serta menghentikan langkahnya.

Jordan langsung mengunci rapat bibirnya kala mendapatkan tatapan garang milik Ferrel yang haus darah dan menoleh kemana saja asal bukan ke arah Ferrel.

"Ampun bang. Jangan paksa aku menatap matamu yang tajam itu. Aku belum siap tuk jatuh cinta lagi."

Ferrel ingin sekali menjedukkan kepala Jordan ke pintu loker sekarang juga sampai penyok. Jordan sama Fellix itu sebelas dua belas. Hampir gak ada bedanya.

"Gila," ceplos Sandi, gondok sendiri. "Lapangan kosong, Dan."

"Mau ngapain? Bikin video skandal?" Bukannya Jordan, malah Fellix yang menyahuti.

Kesal sendiri, Ferrel melanjutkan langkahnya menuju loker dan mengambil pakaian olah raganya yang ia letakkan di sana sehabis dilaundry beberapa hari lalu.

"Mau ganti bareng-bareng gak?" tawar Fellix, yang lokernya berada di sebelah kanan Ferrel karena absen mereka atas bawah.

Ferrel menatapnya tajam. "Maho lo."

***

Selesai ganti baju, sementara teman sekelas mereka bahkan belum ada yang berganti barang satupun, Ferrel, Fellix, Sandi dan Jordan berjalan menuju kantin dengan pakaian olah raga yang melekat di tubuh masing-masing.

Seperti biasa, tatapan kagum menyelimuti setiap perjalanan keempat cowok ganteng ini. Hanya saja, sekarang beberapa pertanyaan kerap terlontarkan. Mengenai cewek yang dengan kurang ajarnya berani-berani menghujani Ferrel dengan uang dua ribuan lecek.

Sampai di kantin, mereka duduk di tempat biasa dan memesan makanan.

"Kemaren," kata Jordan, memulai percakapan. "Gue nungguin Alexa selesai PM di depan resepsionis, ketemu si Arella mukanya kacau. Gue kira dia langsung pulang abis lo jambak, ternyata dia masih di sekolah."

"Faedahnya apa lo ngomong begitu?" tanya Sandi, meraih es tehnya yang baru saja di bawakan oleh Mang Ijan.

"Gue rasa dia ngedumel ampe sore," komentar Fellix, masih mengingat dengan jelas sumpah serapah yang diteriakkan oleh Arella soal jauh jodoh kepada Ferrel.

"Bukan," balas Jordan. "Dia nungguin Ferrel tapi Ferrel pulang duluan."

Jordan langsung mendapatkan tatapan Ferrel seperti sebelumnya dan menghela napasnya panjang, ia bergerak seolah menyeletingi mulutnya. "Oke-oke."

"Gue ngebalikkin semua duit dia yang di kantong, terus dia minta ID Line lo, dan gue kasih."

"WHAT!?" pekik Fellix, hampir menyemburkan es tehnya yang penuh di mulut.

"Lo diline sama dia, Rel?" tanya Sandi, mengabaikan rasa kaget Fellix.

Ferrel hanya mengangkat kedua bahunya.

"Terus lo bales gak?" tanya Fellix, penasaran.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Bingung."

"Bingung kenapa?"

"Balesnya."

Sandi menyipitkan matanya gondok. "Ya lo tinggal bales apa yang dia tanyain, Rel. Astatank, pusink pala pangeran."

"Ya Dewa, kenapa gue punya temen kayak mereka. Apa salah Ferrel?"

"Astoge astatank astete aslonte!!!!! Ferrel ngomong banyak, guyz!!!!!"

"Ferrel, gue gak nyangka..."

"Rel, lo sumpah nonton Uttaran?"

Ferrel mendumal dalam hati. Bagaimana bisa apa yang berada di dalam hatinya itu malah justru mencelos keluar dan terukir menjadi sebuah kata-kata?

Ferrel menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, stress. Tidak tau lagi harus bagaimana menjawab pertanyaan teman-temannya.

Apa Ferrel ketik aja?

Tapi, bukan ide yang buruk ketimbang harus banyak bicara. Jadi, Ferrel mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu di sana.

Ferrel Ravaro: gausa bnyk bct.

Ferrel Ravaro: itu gue ngomong dlm hati tp kecelposan.

Ferrel Ravaro: gue matiin lo semua.

Ponsel ketiganya berdering secara bersamaan, dan mereka membukanya. Kemudian Fellix mendengus kesal sehabis membaca pesan di grup yang Ferrel kirim. Begitu juga dengan kedua temannya, Jordan dan Sandi.

"Ada gitu, orang ngomong dalem hati keceplosan?" sindir Fellix, memasukkan mie ke dalam mulutnya kemudian.

"Bukan-bukan," sergah Jordan. "Gue masih punya pertanyaan ke kalian semua."

"Apaan, Dan?"

"Kecelposan itu apasih? Adek gatau, Bang."

"Typo, setan."

***

Siswa kelasan Ferrel dan kawan-kawan langsung berhambur ke mana-mana begitu tau guru olah raga tidak masuk untuk mengajar.

Jadi, sekarang adalah jam bebas. Sebagian besar siswi kabur ke kantin, memilih untuk menambah berat badan ketimbang cape-cape untuk olah raga dan panas-panasan di lapangan.

Sisanya, beberapa masuk ke ruang Gym, bermain sepak bola di lapangan bola sedangkan Ferrel dan kawanannya, seperti biasa bermain di lapangan basket.

Selesai bermain, teman-teman Ferrel lagi-lagi mengajaknya untuk ke kantin, namun Ferrel menyuruh mereka untuk duluan saja karena dia masih mau duduk berduaan di lapangan bersama bola basket.

"Duluan," katanya. Dan, setelah itu ketiga temannya berlalu.

Ferrel baru saja mengambil ancang-ancang three point, kala tiba-tiba ponselnya bergetar.

Ia mendengus dan berjalan minggir untuk duduk di pinggiran lapangan, dimana terdapat tempat duduk dari semen yang menempel dengan lapangan.

Ferrel membuka kunci ponselnya dan langsung dikagetkan oleh notifikasi pesan yang masuk berjajaran.

06:18
Arella: gamau di cicil nih?
07:56
Arella: bls dong, dih berasa chat sm doi nih di read doang.

Ferrel mendengus dan meletakkan bola basketnya di samping tubuhnya, namun telinganya mendengar sesuatu berbunyi. Berasal dari basket yang ia letakkan, seperti menindih sebuah besi atau apapun sejenisnya.

Tangannya sontak menarik lagi bola basketnya, dan menemukan sebuah jam tangan di sana.

Ferrel meraihnya dan melihat jam tangan gaya perempuan itu. Namun siapa sangka kalau di bagian belakang jam tangan tersebut tertuliskan nama sang pemilik.

Arella Rabella.

Alis Ferrel bertautan jadi satu. Jam tangan aja pake dilebelin nama?

Tapi entah kenapa perasaan Ferrel jadi makin tidak enak setelah menemukan jam tangan itu. Seperti, akan ada masalah baru lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro