Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Siapa

Bagian Empat Belas

"Pantesan aja dia minta gue jadi pendamping pas balapan, pantesan aja dia nyuruh gue pura-pura jadi pacarnya, pantesan aja dia dengan bangga nyebut gue pacarnya cuman di tempat balapan, kan di sana ada Wellyn. Pantes aja. Kenapa gue bego banget sih."

Arella tak henti-hentinya mendumal saat dirinya sampai di rumah. Sedangkan Sandi langsung pulang begitu selesai mengantar Arella dan mengucapkan kata-kata super andalannya: "Gausah makasih gapapa." dan langsung pergi karena tidak mau mendapatkan semprotan dari Arella yang baik kondisi batin dan fisiknya luar dalam terluka.

Arella sedang memakan permen kacang caramel dengan kunyahan besar dan kesal di sofa depan televisi kala Arden datang menghampiri dengan wajah lelahnya. Tapi, begitu ia melihat raut wajah milik kakaknya, Arden merasa kalau raut milik Arella bahkan lebih buruk darinya yang kelelahan.

"Kenapasi muka lo?" tanya Arden yang baru saja melempar tasnya asal dan merebahkan tubuhnya di atas sofa, kepalanya berada di pangkuan Arella.

"Jelek? Iya tau, gausa ngina gitu." Arella memasang wajah jengkelnya dan memakan lagi permennya dengan sekali suap. Dia juga menyuapinya kepada Arden yang langsung saja membuka mulutnya dengan sigap untuk mengunyah.

"Lo yang ngomong ya," kata Arden. "Muka ditekuk gitu udah jelek nambah jelek."

"Hina aja terus gapapa."

Arden bangkit dari posisinya dan menatap kakaknya lekat-lekat. "PMS lu ya?"

Arella menggeleng cepat dan langsung mengubah posisi duduknya untuk bersila di atas sofa dan menghadap Arden. Ia berpikir kalau setidaknya ia harus mengetahui beberapa hal mengenai kehidupan adiknya yang kemungkinan besar memiliki kesamaan dengan orang yang kini merasuki pikirannya.

"Gue mau nanya dah." Arella akhirnya berani untuk mengeluarkan suara, sekaligus menerawang tatapan adiknya dan memerhatikannya dari atas sampai bawah.

"Paan?" Arden nampak tidak perduli dan kembali meraih permen di tangan Arella dan memakannya.

"Lo kenapa jutek kayak gini?"

Pletak

Arden langsung saja menjitak kepala Arella. "Pertanyaan lo gamasuk akal."

Arella meringis, dan cemberut sambil mengusap sendiri kepalanya yang baru saja mendapatkan hantaman. "Gue nanya serius, Kutub."

"Apanya yang kenapa si?" kesal Arden.

Arella meletakkan semua permen yang berada di tangannya ke genggaman Arden. Ia menghela napasnya panjang sebelum memutuskan untuk melanjutkan pertanyaan.

"Lo jutek kayak gini karena alasan apa? I mean, lo emang dari kecil sok ganteng sih, tapi kenapa harus dingin banget sama orang bahkan sama keluarga sendiri?"

Arden memutar bola matanya dengan malas. "Satu, gue emang ganteng dari lahir. Dua, gue dingin sama lo doang."

Plak

Tamparan mulus mendarat di bahu Arden yang begitu pedas terasa, berhasil membuatnya meringis. Tabokkan Arella itu lebih pedas daripada cabai rawit.

"Sakit, babi," gerutu Arden memegangi bekas tabokkan Arella dan mengusapnya sendiri.

"Lagian orang nanya serius juga."

"Oke-oke," kata Arden. "Tapi emangnya ngapa si?"

Arella yang malah mendapatkan pertanyaan balik kini menendang Arden berkali-kali dengan kesalnya sampai Arden menangkap kakinya dan menduduki kakinya. "Jawab duluuuuuuuuuuuuu."

"Tebir lo ah." Arden menjitak Arella sekali lagi. "Kata mama gue emang begini dari kecil, gue juga gatau kenapa sih tapi gue tuh gasuka aja sama orang sokenal apa pura-pura baik sama orang yang gakenal deket, risih. Makanya gue kayak gitu."

"Tapi lo gitu juga sama gueee!!!!" pekik Arella kesal dan gemas hampir menangis dan menutupi seluruh wajahnya dengan tangannya.

"Mampus," gerutu Arden, tau kalau kakaknya bakalan menangis mendengar jawabannya.

Arden menarik kaki Arella agar tak lagi ia dudukki dan mendekat serta mendekap kakaknya kedalam pelukannya. "Ah jangan gitu dong tai, gue jawab salah gak gue jawab salah."

Arella sesegukkan dalam pelukan Arden. "Lo nganggep gue siapa sih, Den?"

"Nanya apansi lo." Arden geregetan dan mengacak-acak rambut Arella. "Kakak gue lah. Gue gini-gini sayang keluarga kali, cuman tipikal kayak gue tuh gatau cara nunjukkin rasa sayang gue gimana."

Arella yang mendengar hal tersebut langsung mendongakkan kepalanya dan menjeduk dagu Arden yang lebih tinggi darinya bahkan walau dalam posisi terduduk.

"Aduh anjir gigi gua retak semua." Arden memejamkan matanya dan memegangi dagunya yang terasa ngilu hingga ke dalam-dalam.

"Ya Allah, adek gue yang ganteng." Arella jadi panik sendiri dan ikut memegangi dagu Arden untuk mengelusnya.

"Pala lo keras bat kayak batu."

"Den," panggil Arella dengan lirih, seolah tidak perduli dengan ucapan Arden barusan.

"Paansi manggil mulu."

"Lo gatau cara ngungkapin rasa sayang lo?"

"Gausa dibahas."

"Serius."

"Iya. Kenapasi?"

Arella kini memeluk adik laki-lakinya itu. "Mulai sekarang, unjukkin rasa kasih sayang lo ya. Berusaha. Lo tau gak sih gue takut kalo lo gasuka gue jadi kakak lo dan lo gasayang sama mama. Lo bahkan jarang banget ngobrol deket sama gue sama mama semenjak pindah kesini."

"Gue.... bingung."

"Bingung kenapa?" tanya Arella. "Gue gak minta lo buat nggak jadi diri lo sendiri dengan berubah. Gue cuman pengen mama seneng kalo anak cowoknya itu ternyata sayang banget sama mama."

"Dari dulu, Kak," kata Arden. "Gue gamau mama sakit hati terus dengan ngeliat gue yang mukanya mirip banget sama papa. Itu pasti nyakitin hati dia, makanya gue berusaha ngelindungin dia walau gaketauan. Lo juga, gue gamau kalo lo itu sampe kayak mama. Gamau kak."

Arella tersenyum menatap adik semata wayangnya itu. Kini dia mengerti hanya dari jawaban Arden, dan semuanya menjadi masuk akal baginya, perlahan namun pasti.

***

Memaksakan diri untuk masuk sekolah di saat kondisi yang kurang prima adalah keahlian Arella semenjak masih tinggal di Pontianak sekalipun.

Arden mendengus kesal kala menerima kenyataan harus menjinjing tas Arella sampai ke loker dan memegangi tangannya agar tidak terjatuh.

"Kan gue bilang mendingan lo istirahat aja di rumah," gerutu Arden saat mereka tengah menjadi sorotan di koridor sekolah.

"Lo pikir enak sendirian di rumah? Ogah, mendingan gue sekolah. Udah kelas dua belas, gue pengen masuk kampus bagus," balas Arella yang tidak terima dengan nasihat adik laki-lakinya itu.

"Iyasi tapi gue gaenak diliatin mulu."

Arella mendengus begitu sampai di depan lokernya. "Mata lo kan kaya piso, kasih liat orang aja tatapan lo itu. Jangan juteknya sama gue doang."

"Bawel lu," kata Arden, memasukkan tas Arella kedalam loker. "Buruan."

Arella menyengir dan langsung membereskan bukunya di loker, kala tiba-tiba saja dia merasakan ada hawa dingin di sebelah kanannya, tepat disamping pintu lokernya.

"Den," panggil Arella, menggerakkan pintu dan hendak menutupnya secara perlahan.

"Paan?"

"Lo bisa liat setan kan?" tanya Arella yang langsung saja dibalas pelototan dari Arden.

"Gausa dibahas tai," gerutu Arden, kesal karena tiba-tiba kakaknya ini membahas sesuatu yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh keluarga dan menoyor Arella.

"Serius," kata Arella. "Tolong bilang di samping gue gaada apa-apaan." Arella memejamkan matanya sembari menggigit bibir bawahnya, menutup pintu lokernya secara perlahan.

Arden yang mendengar pertanyaan lanjutan itu lantas saja berkata, "Ada," jawab Arden enteng.

Arella langsung membelalakkan matanya dan berhambur untuk memeluk Arden.

"Please, Den. Usir. Sumpah gue gak salah apa-apaan, gue gapernah bunuh orang. Usir.... Gue merinding."

Arden melepaskan pelukkan Arella dengan cepat dan memegang kedua bahunya. Ia menatap dan memperhatikan kakaknya yang bertingkah begitu kolot. "Nengok aja."

"Gila!" pekik Arella. "Gamau!"

Arden memutar bola matanya, kebiasaan yang dilakukannya kala jengah. "Bodoah."

Arella baru saja hendak berteriak dan mencabik-cabik wajah mulus adiknya kala telinganya mendapati sebuah suara berbisik kearahnya.

"Duluan aja. Arella sama gue."

Detik itu juga, Arden berlalu tanpa mengucap sepatah katapun dan Arella menolehkan kepalanya, ia melihat sosok serta sebelumnya mendengar suara yang belakangan hari ini belum di dengar olehnya. Rasanya aneh berhadapan dengannya untuk sekarang-sekarang ini. Dan, Arella tidak bisa menghindari kenyataan kalau rindunya tak terbendung, serta amarah yang sebelumnya ia rasakan seakan luntur begitu saja.

"Hai."

Arella tidak yakin apakah ini mimpi, atau bukan. Tetapi sosok dihadapannya ini tersenyum, dan untuk pertama kalinya Arella mendapatkan sapaan hangat darinya.

"Hai," kata Arella. "Ferrel..."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro