1. Murid Pindahan
Bagian Satu
Bell tanda istirahat pertama berdering dan menjadi satu-satunya suara yang mendominasi di seantero SMA Dirgahayu.
Ferrel, Sandi, Jordan dan Fellix berjalan berjejer di koridor. Melangkah dan tidak memerdulikan sama sekali tatapan yang menghantam mereka apalagi orang-orang yang menghalangi jalan mereka-yang sudah sangat jelas sekali bakalan minggir kalau mereka lewat. Gelak tawa tak terelakkan dari ketiga orang itu, namun tidak dengan yang satunya.
Ferrel hanya diam, sesekali menanggapi dengan sepatah dua patah kata dari guyonan yang temannya ucapkan dan membuat ketiganya semakin ngakak, namun tidak dengan dirinya sendiri yang tetap diam setelahnya dengan ekspresinya yang kelewat serius dan menusuk.
Namanya Ferrel Ravaro, kapten basket di SMA Dirgahayu, kelas 12-IPA-1. Dan teman-temannya, Sandi Kurnia, Jordan Leaton, dan Fellix Derga—mereka semua sekelas dengan Ferrel.
Mereka berempat itu sudah tak lagi asing dengan tatapan memuja yang dilemparkan murid perempuan di sekolah, bahkan laki-laki sekalipun. Mereka itu satu sekolah dari SMP, kecuali Ferrel yang baru saja bergabung saat menginjak bangku SMA. Itu juga karena Ferrel yang kebetulan duduk sebangku dengan Sandi di kelas sepuluh.
Selagi bertukar guyonan dan semakin dekat dengan kantin, topik pembicaraan mereka kini beralih menuju makanan dan menunjuk siapa yang akan meneraktir kali ini. Hanya saja, seketika pembicaraan tersebut terhentikan.
"Ferrel!"
Walau hanya satu orang yang dipanggil, tiga orang itu menoleh dan membalikkan tubuhnya. Kebalikan dengan sang empunya yang malah tetap saja melanjutkan langkahnya.
"Rel, dipanggil oncom." Fellix menarik ujung gesper Ferrel yang keluar dan berhasil membuat Ferrel berbalik.
"Kenapa, Mar?" tanya Jordan yang pertama kali bersuara melihat Marissa, sepupunya yang ngos-ngosan dan memegangi lututnya sehabis berlari mengejar empat sekawan ini.
"Anu—" Marissa mendongak dan bangkit untuk menatap keempatnya. "Mobil Ferrel—"
Belum selesai Marissa berbicara, Ferrel sudah menerobosnya dan melangkahkan kaki panjangnya untuk segera menuju parkiran.
"Mati."
Sandi yang paling dulu sadar, langsung saja mengejar Ferrel untuk segera menuju tempat parkir. Sementara Fellix dan Jordan masih agaknya kurang nyambung dengan apa yang kini tengah terjadi.
"Mobil Ferrel kenapa?" tanya Fellix, membuat Marissa memutar bola matanya dengan malas.
"Ditabrak."
Setelah mendengar jawaban Marissa, Fellix dan Jordan baru sadar apa maksud dari definisi kata 'mati' yang sebelumnya Sandi ucapkan. Siapapun yang menabrak mobil Ferrel, benar-benar cari mati.
Betapa terkejutnya Ferrel begitu selesai melangkah dan sampai di parkiran. Ia melihat mobilnya babak belur. Sisi pintu bagian kanannya, ambles ke dalam dengan jumlah baret-baret yang tidak sedikit.
Ferrel mengumpat dalam hati dan seketika itu juga langsung berjalan cepat dengan amarah yang berapi-api menuju mobilnya, dan langsung menendang mobil yang menghalangi jalannya untuk memeriksa keadaan mobil BMW putih tulang miliknya.
Ferrel menggedor pintu pengemudi mobil CR-V hitam di hadapannya ini sembari menendangi bannya, tak perduli kalau bahkan kakinya terasa ngilu.
"Keluar lo!" tukasnya berapi-api, walau sebenarnya banyak sekali rentetan kata-kata kasar yang ingin ia keluarkan, namun terasa janggal karena merasa ini bukan saat yang tepat—dia masih berada di lingkungan sekolah.
Ketiga temannya plus Marissa, sudah sampai di arena parkir dan hanya berani memerhatikan dari jauh, tak berani untuk sekedar mendekat apalagi mengajak Ferrel untuk mundur dan tidak emosi. Bisa-bisa mereka yang kena semprot sekaligus kena tonjok.
"Kalo cowok, pasti di tonjok," kata Sandi, berbisik kearah dua temannya yang kini memerhatikan Ferrel menendang dengan brutal ban mobil si tersangka.
"Kalo cewek, diapain? Di—"
Sandi dan Jordan sontak menolehkan kepalanya ke arah Fellix yang berdiri di tengah-tengah mereka, memandang lurus-lurus kearah Ferrel. Mereka berdua menatapnya dengan pandangan mencemooh sekaligus jijik.
Sandi menjitak Fellix dengan sebal. "Jangan dilanjutin," ucapnya.
"Keluar lo!" Suara Ferrel memekik dan hampir saja nama binatang tercetuskan. Nadanya benar-benar marah sehingga membuat Jordan, Sandi dan Marissa tersentak bahkan dari sini. Namun, tidak dengan Fellix yang ternyata arah pandangnya berada di awan-awan.
"Cakep bener.."
Pletak!
Satu jitakkan mulus dari Sandi di kepalanya membuat Fellix meringis namun langsung tersadarkan. "Apansi, babi," gerutu Fellix yang tidak terima.
"Yang bener aja lo, goblok!" tukas Sandi, kesal.
"Apansi elah," elak Fellix. "Liat noh ceweknya yang keluar bening bat."
Mata Jordan dan Sandi langsung mengikuti arah pandang Fellix dan tepat kemana jarinya menunjuk. "Noh," tambahnya.
"Kasar." Sandi meracau melihat malaikat yang sebenarnya kini berdiri di hadapan Ferrel sambil merunduk dengan perasaan bersalah. Tangan mungilnya mengesampingkan anak rambut ke telinganya.
"Kasar." Mata Jordan terpaku di sana dan saat itu juga pandangan mereka berhenti begitu melihat kejadian itu. Sangat cepat terjadi, dan begitu saja.
Ferrel mendempetkan tubuhnya dan tangan kanannya membanting pintu mobil si cewek itu, membuatnya terhentak kaget dan mau tak mau menaikkan arah pandangannya kepada Ferrel yang kini tengah berapi-api.
"Bisa nyetir gak sih lo!?" tuntut Ferrel, nampak tak perduli dengan sosok cantik di hadapannya karena cewek ini sudah menghancurkan mobil kesayangannya.
"Aduh, maaf ya," ujar cewek itu. Ferrel menundukkan arah pandangannya ke seragam cewek itu yang tertera nama di dada sebelah kanannya. Agak kurang ajar sepertinya, tapi Ferrel hanya ingin melihat dan mengetahui nama cewek itu.
Adella Ranella. Nama aneh yang Ferrel baru sadari kalau dia salah baca saking terburu-burunya. Ia mengulanginya sekali lagi sampai akhirnya benar.
Namanya Arella Rabella.
Ferrel merasa begitu asing dengan nama ini. Walau sebenarnya Ferrel memang tidak pernah benar-benar perduli dengan nama cewek-cewek di sekolahnya. Tapi, yang satu ini, Ferrel sama sekali tidak pernah mendengar desas-desus tentang dirinya sedikitpun.
Apa dia ini adik kelas? Tidak mungkin. Karena di sekolah ini tidak ada yang di perbolehkan membawa kendaraan ke sekolah kecuali sudah memiliki surat izin mengemudi. Tapi dari cara menyetirnya, jelas cewek ini belum memiliki surat izin mengemudi sama sekali.
"Maaf?" cibir Ferrel yang sebenarnya sangat-sangat dilanda emosi.
"Iya," kata Arella membenarkan. "Maaf."
Ferrel mendengus kesal dan kepalan tangannya menonjok bagian atas mobil Arella, membuat Arella tersentak untuk yang kedua kalinya. Bagaimana bisa cewek ini sebegitu santainya dan hanya mengucapkan kata aduh maaf ya.
Sebenarnya, tadinya Arella merasa sangat bersalah. Tapi, begitu mendapatkan reaksi Ferrel yang menyebalkan dan semena-mena terhadap cewek, membuat Arella malah ingin memberontak dan bertingkah makin menyebalkan.
"Cuma maaf?"
Arella mengangguk dengan polosnya. "Cuma maaf." Ia mengulangi.
Ferrel meletakkan jari telunjuknya setengah senti di depan tulang hidung Arella. "Lo," katanya dengan rahang yang mengeras. "Ganti rugi."
Ferrel langsung berbalik menjauh dengan tangan yang mengepal untuk masuk kembali ke dalam lingkungan sekolah dan ketiga temannya serta Marissa mengikuti.
"Mendingan lo ke kelas." Jordan berbisik kepada Marissa yang langsung mengangguk karena enggan untuk menjadi sasaran empuk bagi Ferrel.
***
Mood Ferrel hancur lebur dan amarahnya kian membuncah hingga ke ubun-ubun. Ia bahkan melewati jam istirahat kedua di kelas saja sembari memainkan ponselnya dan menghubungi bengkel tempatnya biasa membenarkan urusan mobil untuk bertanya berapa kisaran harga untuk membuat mobilnya kembali cantik.
Bell tanda pulang sekolah sudah berdering kurang lebih sepuluh menit yang lalu, namun Ferrel masih di kelas karena bingung mau pulang dengan apa kalau mobilnya hancur lebur seperti ini. Walau ketiga temannya bersikeras mau bergantian mengantar jemput Ferrel, tapi tetap saja jawabannya akan selalu sama, yaitu: tidak.
Sandi, Jordan dan Fellix masuk lagi ke dalam kelas dengan ransel yang mereka gendol kemana-mana. Menghampiri Ferrel dan duduk secara asal.
"Namanya Arella Rabella," ucap Jordan seolah memberitahu Ferrel. Padahal, Ferrel sudah tau mengenai hal itu.
"Dia anak baru," lanjut Sandi. "Pindahan dari Pontianak."
Sekarang Ferrel tau, itulah alasan kenapa dirinya tidak pernah mendengar kasak-kusuk tentang cewek itu. Rupanya, Arella adalah anak baru dan pindahan dari kota yang cukup jauh dari ibu kota.
"Baru pindah kemaren," kata Fellix. "Anak kelas 12 IPA-4, bahan baru anak laki kelasannya."
Ferrel langsung menolehkan kepalanya kearah Fellix dan menghujatnya dengan tatapan tajam. Fellix itu selalu saja mesum, apalagi kalau melihat cewek cantik dan bohay sedikit. Otaknya langsung geser dan memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Terus gimana, tuh?" tanya Jordan, yang sebenarnya kasian juga dengan Fellix karena ditusuk tatapan setajam mata Ferrel terlalu lama. Bisa-bisa itu anak mati beneran nantinya.
"Lo pulang aja deh, Rel. Gue anter." Sandi dengan baik hatinya lagi-lagi menawarkan.
"Gausah. Gue masih punya urusan sama yang nabrak mobil gue."
Dan, itu resmi menjadi kalimat terpanjang yang Ferrel ucapkan hari ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro