Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2


Taehyung

“Ibumu pulang kapan?”

Lily menggelengkan kepalanya sembari menyodorkan segelas jus jeruk padaku. Dia kemudian duduk di sofa yang sama denganku, mengambil remote yang kuletakkan di paha kemudian menggani siaran televisi.

Tadinya aku mau bertanya dia mau menonton apa, tapi dia sudah berhenti pada channel Cartoon Network, menonton kartun dengan tiga beruang gendut di televisi.

“We Bare Bears? Lil, serius?” Aku mengerutkan kening. Lily menyandarkan punggung di sofa, membuang remote asal padaku sebelum menyilangkan tangan.

“Menonton mereka membuatku mengingat Hoseok,” katanya lagi. Aku nyaris tersedak jus jeruk karena kalimatnya.

“Kalau kau merindukannya, telepon saja,” aku memutar mataku malas, “kenapa harus menonton kartun?”

“Dia tidak mengangkat telepon.”

“Kau sudah menelponnya?”

Bukannya menjawab, Lily justru  merebut jus jeruk dari tanganku dan meminumnya sampai abis. Aku langsung menggerutu.

“Mana ada tuan rumah yang merebut jus dari tamunya,” sindirku. Namun sindiran jelas tidak berpengaruh untuk Lily. Apalagi jika aku yang jadi pelakunya.

Dia hanya memutar mata jengah sebelum meletakkan gelas itu di lantai. Sebelah lengannya terangkat dan menjadi penutup untuk matanya. Di detik selanjutnya dia mendesah gusar.

“Dia dan Hyoeun sekelompok, Tae,” katanya. Dadanya mengembang dan mengempis, seolah menggambarkan betapa cemasnya dia. Lily memang tidak akan bilang, tapi aku sudah mengenalnya dengan cukup baik. Dan dia cemas.

“Mereka bukan hanya berdua, Lil. Teman-teman satu jurusan juga ada.”

“Kau mencoba berpikiran positif karena tidak ingin membayangkan Hyoeun dan Hoseok tidur bersama kan?” Kali ini tangannya menyingkir dari matanya, dan matanya kini tertuju padaku. Sial. Dia membacaku seolah aku ini sebuah buku yang sudah dia baca berulang-ulang.

Kali ini aku yang bersandar pada punggung sofa. Aku mendesah sementara Lily dengan seenaknya menaikkan kakinya ke pahaku, membuat dirinya benar-benar berbaring di sofa.

Dia cemas. Aku cemas. Tentu saja kami berdua cemas. Dua hari yang lalu Hyoeun bilang kalau dia akan pergi ke Gangnam bersama kelompoknya untuk survey. Aku tidak mungkin melarangnya, tapi itu keinginan terbesarku begitu dia menyebut nama-nama anggota kelompoknya. Dan ada Hoseok di sana.

Aku jelas tahu kenapa Lily cemas, dan biasanya aku yang mencoba membuatnya waras. Tapi tak satu pun dari kami yang waras sekarang. Kami gila. Kami berdua gila.

“Apa yang akan kau lakukan jika mereka benar-benar tidur bersama, Tae?” Lily meluruskan punggungnya namun kakinya tak kunjung menyingkir dari pahaku. “Masih tidak mau memutuskan hubungan kalian?”

Aku menatap Lily. “Kau sendiri bagaimana?”

Kami berdua diam. Tapi masing-masing dari kami tahu persis bagaimana jawabannya.

Keheningan menyerang kami hingga akhirnya Lily membiarkan dahinya menempel pada bahu kiriku. “Mereka bisa melakukan apa saja, kan?”

“Kurang lebih begitu,” balasku. Tanganku bergerak untuk menyisir rambut Lily dengan jemariku, sementara Lily sudah beberapa kali kedengaran mengembuskan napas.

Tangan Lily kini mencengkeram lenganku, dan dua detik berikutnya dia berbisik, “Kalau mereka benar-benar bercinta, Tae, kurasa kita harus melakukan hal yang sama.”

Aku menyingkirkan sejumput rambut dari pipi Lily agar bisa melihat wajahnya, dan dugaanku tepat. Dia menangis. Aku mengangkat waahnya dari lenganku kemudian menyeka air matanya, tersenyum. Aku tidak tahu apa maksud senyum ini—entah untuk menghibur Lily, atau untuk mengiyakan betapa tololnya aku karena semua ini.

Sepertinya itu untuk keduanya.

“Kita bisa menyakiti mereka sama-sama, Lil. Eye for an eye, heart for a heart.” Kukecup bibirnya, dan Lily membalas. Kami berciuman sementara rasa sakit sama-sama menggerogoti masing-masing dari kami.
Padahal aku sudah berjanji. Aku bilang aku tidak akan menyakiti wanita sama seperti apa yang si brengsek itu lakukan.

Terus-menerus aku mengingatkan diri bahwa aku yang disakiti di sini. Tapi bagian terdalamku tahu, alasan apapun tidaklah pantas untuk digunakan sebagai dalih untuk menyakiti orang lain.

Ibu bilang padaku bahwa apapun alasannya, aku tidak boleh menyakiti siapapun.

Sekarang aku persis seperti si brengsek itu, Bu. Bahkan lebih parah dari itu.

Aku mendorong Lily agar terbaring kembali hingga aku berada di atasnya, kemudian kembali menciumnya. Tangannya kini melingkar di leherku. Ciuman ini bukan sekadar ciuman. Perasaan ingin menyakiti dan disakiti ada dalam tiap decapan bibir, untaian benang liur yang terbentuk, dan desisan yang terselip.

Namun ketika mata kami bertatapan, aku rasa baik aku maupun Lily menyimpan satu pertanyaan.

Entah siapa yang menyakiti dan tersakiti di sini.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro