27.
Persiapan menikah hanya dua bulan. Untung saja ada Mama Jeffrey dan Silvi yang sigap mengurus ini-itu. Naya pun turut serta membantu di sela kesibukannya membuat naskah publikasi. Loli juga tak mau kalah. Anak itu bolak-balik Jakarta-Jogja demi kelancaran pernikahan sang sahabat.
Hanya Ghina yang masih bermasalah. Dia belum benar-benar merestui hubungan Jeffrey-Gladis. Ghina takut Jeffrey malah akan membawa masalah pada kehidupan Gladis setelah menikah nanti. Pernikahan itu bagai pedang bermata dua. Bisa menguntungkan, bisa juga merugikan.
Gladis turun tangan. Di akhir minggu Gladis pergi ke Jakarta untuk menemui Ghina. Mereka bicara panjang-lebar. Gladis berhasil meyakinkan sang sahabat bahwa Jeffrey adalah orang yang tepat untuknya. Jeffrey dan Gladis tidak akan pernah pas, tapi di dunia ini tidak ada pasangan yang benar-benar cocok. Yang ada adalah pasangan yang "dicocok-cocokkan". Baik Jeffrey maupun Gladis, sudah sepakat akan terus menjaga hubungan mereka hingga akhir kelak.
Ghina luluh. Gadis itu tidak membalas ucapan Gladis dengan perkataan. Ia memberikan pelukan bersahabat sembari tersenyum. Setelah pelukan mereka terlepas, Ghina melontarkan pertanyaan final. "Jadi, bakal ada seragam untuk bridemaids nggak?"
Ada tiga turnamen yang harus Jeffrey ikuti di masa-masa menuju hari H. Di Catalunya, di Italia, dan di Argentina. Hasil ketiga pertandingan itu tidak terlalu buruk, setidaknya Jeffrey berhasil naik podium dua kali, meskipun tidak melulu juara satu. Jeffrey selalu memantau perkembangan acara pada Mama dan Silvi. Tak lupa ia menanyakan kabar Ayah pada Gladis.
Sejak kejadian Jeffrey kabur tanpa izin di Malaysia, Adam memperketat pengawasannya. Di mana pun penginapannya, Jeffrey akan sekamar dengannya. Rekan satu tim Jeffrey sering menjadikan si jagoan bahan candaan. He is grounded, katanya.
Jeffrey tidak bebas pulang ke Indonesia. Jadwalnya padat. Selain latihan, dia juga terlibat dalam uji coba motor prototipe. Sejauh ini mesin motornya cenderung lebih jago di tikungan, tidak di lintasan lurus. Jeffrey berperan besar memberi masukan-masukan bermakna dalam pengembangan mesin.
Jeda tiga minggu pertandingan di Italia dan di Argentina, Adam mengizinkan Jeffrey ke negara asal. Jeffrey bilang Gladis memintanya untuk check up kesehatan pra-nikah sekaligus vaksin dan mengurus surat-surat penting. Belum puas melepas rindu, Jeffrey sudah harus terbang ke Argentina menyusul anggota tim yang telah berangkat lebih dulu.
Pesta pernikahan keduanya berlangsung lancar. Tubuh Jeffrey yang lelah bekerja mati-matian di arena balap, untungnya tetap tampil prima di acara sakral tersebut. Pestanya mengusung tema garden party, sesuai impian Gladis mengadakan acara secara outdoor. Namun, artis hari itu tidak bisa berlama-lama berada di tempat. Tiga jam rangkaian acara berakhir plus foto-foto, Gladis mengajak Jeffrey untuk pulang menengok Ayah yang terbaring di tempat tidur.
Gladis menunjukkan cincin di jari manisnya pada sang Ayah. Di hari bahagia itu, Gladis menangis haru. Gladis mengakhiri masa lajang tanpa kehadiran Ayah karena sebuah keterbatasan. Jeffrey beringsut keluar kamar, memberi ruang pada anak dan ayah tersebut untuk saling bicara. Gilirannya bisa menunggu nanti.
"Jeffrey, Mama bilang untuk jaga-jaga Mama nitip sesuatu ke kamu. Maksudnya apa, sih?" tanya Gladis sambil membaca pesan masuk di ponselnya.
Jeffrey mengerutkan kening. Ia berusaha mengingat. "Oh, itu. Iya, iya. Ada di aku."
"Apaan?"
"Alat kontrasepsi. Ada pil sama kondom."
Gladis meletakkan ponselnya ke atas nakas. "Untuk apa?"
Jeffrey balik menatap Gladis dengan pandangan bingung. Saat ini posisi mereka sedang sama-sama duduk berselonjor di atas kasur, meredakan rasa lelah dengan bersantai. Keduanya sudah mandi dan sudah memakai piyama satin yang dibeli satu paket, couple.
"Ya, alat kontrasepsi. Kamu kan dokter, masa nggak tahu fungsinya?"
"Bukan itu. Maksud aku, untuk apa Mama kasih alat kontrasepsi? Biasanya kan para orangtua malah pada nggak sabar mau gendong cucu."
Tawa Jeffrey pecah. Tangannya menjawil hidung Gladis. "Mama cuma kasih bekal, terserah mau dipakai atau nggak. Kayaknya Mama mikir kamu belum siap hamil karena masih pendidikan."
"Kalau kamu, gimana?"
Jeffrey mengulum senyum. Sejauh ini mereka memang tidak pernah membahas masalah anak. Tidak ada waktu karena kesibukan yang melanda keduanya.
"Aku nunggu kamu siap aja."
"Kamu mau punya anak berapa?" tanya Gladis lagi.
"Hm, dua?" ucap Jeffrey. "Kayak Raka sama Lala."
"Ih, jangan kayak Raka lah. Anaknya rewel."
Jeffrey mendengus geli. "Kalau kamu gimana? Kamu siap punya anak berapa?"
"Dua aja cukup. Jangan banyak-banyak, takut aku nggak bisa ngurusnya. Ngurus anak tuh sampai mereka besar lho."
"Iya, tahu. Kamu harus ingat, yang ngurus nggak cuma kamu sendiri, ada aku juga."
Gladis menoleh ke samping. Matanya bertemu dengan milik Jeffrey. Keheningan menyelimuti keduanya. Wajah Jeffrey bergerak maju, ia menjatuhkan kecupan di sudut bibir Gladis.
"Okay?"
Mata Gladis mengerjap cepat. Bibirnya telah ternoda, tidak lagi perawan. "Okay apa nih?"
"Okay kalau kita bakal jadi tim yang hebat untuk membesarkan anak-anak nantinya," jelas Jeffrey. Tubuh pria itu beringsut mendekat.
"Hm, iya. Harus," gugup Gladis.
Tatapan mata mereka lagi-lagi bertemu. Jeffrey mencium kening Gladis lama. Kedua tangannya membingkai pipi si gadis yang statusnya telah berubah menjadi sang istri. Ibu jari Jeffrey membelai lembut sisi-sisi wajah Gladis.
"Kamu mau?" cicit Gladis.
"Aku nggak akan maksa kamu." Jeffrey menarik diri dan tersenyum pada Gladis.
"Ka... kalau mau, bol... boleh kok," ucap Gladis terbata-bata. Sungguh, Jeffrey membuat debaran di dadanya berdegup tak karuan. Gladis mau meleleh rasanya.
"Kamu kali yang mau," ledek Jeffrey.
Mata Gladis membulat sempurna. Gladis sedang gugup, Jeffrey malah membuat lelucon. Gladis jadi kesal sendiri. Padahal dia sudah meminta saran ini-itu pada teman-temannya. Ternyata malam pertamanya tidak berakhir romantis.
"Nggak," tolak Gladis kelewat gengsi. Dia masuk ke dalam selimut dan berbaring memunggungi Jeffrey.
Jeffrey tertawa. Ia mematikan lampu kamar hotel tempat mereka menginap dan ikut berbaring. Jeffrey mendekat pada Gladis. Tangan kanannya melingkari pinggang sang istri.
"Serius nggak mau?" bisik Jeffrey di telinga Gladis. Yang dibisiki merinding disko mendengar suara berat Jeffrey begitu dekat dengannya.
"Hm, gimana ya?"
Tangan Jeffrey bergerak mengusap pelan pinggang Gladis. Bibirnya bekerja memberikan kecupan-kecupan ringan di leher terbuka Gladis. Perlahan namun pasti, tangan Jeffrey menggoda perut Gladis.
"Mau pakai pengaman dari Mama?" tanya Jeffrey. Ia mengecup daun telinga Gladis.
"Ng... nggak usah, nggak papa. Aku nggak lagi masa subur. Kata temen aku, kondom juga nggak nyaman."
"Jadi, kamu sudah survey dulu nih?"
"Eh, bukan gitu," Gladis mengangkat tangan Jeffrey. Ia berbaring telentang hingga matanya dapat bertemu dengan milik Jeffrey. "Aku tanya-tanya biar ada sedikit pengalaman. Aku takut kamu nggak puas."
Jeffrey kaget. "Nggak puas gimana maksudnya?"
"Ya itu," Gladis berpaling. Untung saja saat ini hanya tersisa cahaya lampu yang temaram hingga rona wajahnya tak begitu terlihat. "Kamu kan sudah pernah gituan, sedangkan aku masih pemula mulai dari nol."
"Ya ampun, Shasha," desah Jeffrey panjang. Ia menyembunyikan wajah di ceruk leher Gladis. "Dikiranya aku nggak gugup nih sekarang? Ini pertama kalinya aku mau ngelakuin pakai hati. Aku takut. Aku takut kamu sakit. Aku takut kamu nggak nyaman. Selama ini aku selalu main untuk cari kepuasan sendiri, bukan untuk menyenangkan pasangan."
Gladis mengulum senyum. Tangannya bergerak mengusap rambut tebal Jeffrey. "Anggap aja kita sama-sama pemula ya?"
Jeffrey mengangkat wajahnya. "Jadi, mau gimana? Kamu beneran mau tidur aja?"
Gladis tertawa kecil. "Tadi kamu kan sudah mulai cium-cium tanpa izin."
"Habis, kamu tuh sering lain di mulut lain di hati. Orang Jawa kebiasaan gitu ya. Ngomongnya pakai kode-kodean."
"Oh gitu ya?"
Jeffrey mencubit pipi Gladis. "Mau gimana jadinya? Ngomong ya. Biar aku nggak salah langkah."
Gladis merona. Ia mengangguk malu-malu. "Mau. Tapi bingung gimana buat manasin suasananya lagi."
"Mulai dari mana enaknya?" tanya Jeffrey meminta pendapat. Seketika si petualang ranjang itu terdengar bodoh.
Gladis duduk. Ia menarik tangan Jeffrey agar ikut duduk.
"Ajarin aku itu...," Gladis melirik Jeffrey malu-malu. "Aku mau coba ciuman."
Jeffrey tersenyum. Ia mulai secara perlahan. Dari kening, pipi kanan, pipi kiri, dagu, ujung hidung, dan terakhir bibir. Jeffrey hanya memberikan kecupan-kecupan kecil. Ketika Gladis kembali membuka mata dan tatapan keduanya bertemu, Jeffrey tersenyum lagi. Sesi ciuman panas mereka dimulai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro