Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23.

Hampir tiga bulan Gladis mendiamkan Jeffrey. Gadis itu masih marah dan merasa terkhianati. Dibiarkannya pesan Jeffrey menumpuk tanpa dibalas. Semakin hari, pesan itu juga makin berkurang. Gladis jadi merasa tak diinginkan lagi.

Gladis mengetahui sisi buruk Jeffrey dari Ghina. Sebenarnya Gladis tidak terlalu mempermasalahkan jika Jeffrey memang suka minum atau main ke Club. Toh, Gladis juga tahu gaya asuh Jeffrey yang bebas serta lingkungannya yang begitu. Meskipun Gladis tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki di tempat hingar-bingar seperti itu, tetap saja ia bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Jeffrey di dalam sana.

Minum. Menari. Merokok. Main cewek.

Jeffrey terus meminta maaf pada Gladis. Dia bilang, itu masa lalunya. Setelah kenal dengan Gladis, Jeffrey tidak lagi bermain wanita, apalagi membawanya ke kamar. Namun, satu fakta saja sudah cukup bagi Gladis untuk menjauhi pria itu. Jeffrey pernah tidur dengan wanita lain.

Gladis bukannya kolot. Dia tahu Jeffrey memang sangat mempesona. Jeffrey juga mudah dekat dengan orang baru. Aneh kalau cowok itu tidak menggunakan tampangnya untuk mencari kepuasan tersendiri, meskipun itu cara yang salah.

Hal yang membuat Gladis takut hanya satu. Bagaimana kalau Jeffrey ternyata membuat anak orang hamil? Gladis tidak mau masa lalunya terulang. Masa dia harus sakit hati lagi merelakan orang yang dia sayang karena perihal kehamilan pihak ketiga? Tidak. Gladis akan menghindarinya. Terlalu menyedihkan.

Jeffrey mengakui semua kebejatan yang ia lakukan di masa lalu. Dia juga bilang bahwa dirinya bermain aman. Bahkan, Jeffrey menawarkan pada Gladis untuk diperiksa kesehatan secara menyeluruh jika Gladis takut Jeffrey menderita penyakit menular seksual sebelum mereka melangsungkan pernikahan.

Jawaban Gladis? Tentu saja menolak. Gladis bahkan tidak mau tahu lagi bagaimana kehidupan cowok itu sekarang.

Awal mula mereka bertengkar, Jeffrey selalu membombardir ponsel Gladis dengan telepon atau pesan. Isinya permintaan maaf, kalimat bujukan, dan sejenisnya. Jeffrey juga bilang kalau dia sudah ada di Italia untuk menyiapkan turnamen berikutnya. Ketika sudah tiba di Qatar, pria itu juga tak henti meminta Gladis agar mengangkat teleponnya. Jeffrey butuh Gladis, begitu katanya.

Akhirnya, dengan berat hati diselipkan secuil rasa perhatian, Gladis membalas pesannya. Isinya singkat, padat, jelas. Dikirim dalam satu bubble chat.

"Semangat. Nggak penting menang, yang utama pulang selamat."

Gladis cukup lega ketika melihat siaran langsung perlombaan Jeffrey. Pria itu memenangkan juara pertama. Senyumnya lebar, wajahnya sumringah. Gladis tak perlu khawatir lagi.

Selang beberapa jam, Jeffrey kembali mengirimkan puluhan pesan singkat disertai panggilan telepon yang sengaja tak Gladis jawab. Terlihat bahwa pria itu sangat bersemangat. Namun, semangatnya hanya sampai sana. Hari berikutnya tak lagi ada pesan.

Sejak hari kemenangan Jeffrey di Qatar, Gladis merasa bahwa pria itu menjauh. Berubah dingin. Tak lagi manja padanya. Berkirim pesan pun hanya sesekali.

"Dua minggu lagi aku lomba di Sepang, Malaysia."

"Aku latihan di Sentul, bukan di Italia."

"Besok mulai free practice."

Hingga kini tak ada lagi pesan masuk. Mungkin Jeffrey sudah lelah. Mungkin juga Jeffrey sudah menyerah.

"Sebentar," teriak Gladis. Ia buru-buru mengelap tangannya sehabis mencuci piring. Sebelum berlalu ke pintu depan, gadis itu sempat melirik Ayah yang sedang menonton TV seorang diri di ruang keluarga.

"Maaf, lama," ucap Gladis sambil membuka pintu untuk sang tamu.

Napas gadis itu tercekat. Matanya melotot. Buru-buru Gladis menutup pintu di balik punggungnya. Kini ia dan si tamu berdiri berhadapan di teras depan rumah.

"Mau apa kamu kesini?" tanya Gladis tajam. Ia menyesal tidak mengintip dulu dari jendela sebelum membukakan pintu.

"Jingga sudah melahirkan."

"Ya, terus?" sinis Gladis. "Niko, aku nggak ada urusan sama keluarga kamu."

"Bulan depan kita cerai."

"Niko!" Gladis nyaris berteriak. Untung saja ia segera ingat dengan keberadaan Ayah.

"Gladis," panggil Niko sambil meraih kedua tangan gadis di depannya. "Ayo kita menikah. Kita bikin pesta outdoor sesuai yang kamu mau. Kita bakal punya dua anak yang lucu-lucu. Aku juga sudah ada tabungan untuk beli rumah yang halamannya luas sesuai dengan mimpi kamu."

"Jangan gila, Niko," desis Gladis sambil menghempaskan tangan mantannya.

"Aku nggak gila. Aku cinta sama kamu."

"Nggak," bantah Gladis. "Kamu terobsesi sama aku. Kamu nggak cinta sama aku."

"Beneran, Gladis. Yang tahu perasaan aku ya aku sendiri."

"Kamu salah mengerti perasaan kamu."

"Apa karena cowok itu? Cowok yang dulu hajar aku?" nada bicara Niko tak lagi memelas. Ia melangkah mendekati Gladis, membuat gadis itu mau tak mau mundur hingga terpepet ke arah pintu. "Iya? Cowok itu, kan?"

"Apaan, sih?" elak Gladis. Jujur saja, dia takut. Gladis tak pernah melihat sisi Niko yang ini meskipun mereka telah lama bersama.

"Jawab!" Niko memukul daun pintu dengan kepalan tangannya, tepat di samping kepala Gladis. Gladis terkesiap. Ia terkejut.

"Kita sudah pisah. Kamu nggak berhak atur kehidupan aku lagi."

"Okay," Niko mengangguk kecil. Tangannya bergerak meraih gagang pintu dan membukanya dengan mudah. Gladis pun terhuyung mundur. "Biar aku langsung ngomong ke ayah kamu."

"Niko!" cegah Gladis sambil memeluk lengan pria itu erat, mencegahnya masuk ke dalam rumah.

Tenaga Gladis kalah. Niko dengan mudah menyingkirkan tangannya. Pria itu berjalan mantap memasuki rumah. Ia berhenti ketika matanya bersitatap dengan sepasang mata milik Ayah.

Ayah tampak terkejut. Saking kagetnya, dia membatu tak bisa berbuat apa pun. Arah matanya mengikuti gerak-gerik Niko yang berlutut di depan kursi rodanya. Niko menundukkan kepala dalam-dalam, tak peduli bajunya ditarik Gladis agar segera enyah dari sana.

"Ayah, saya kesini bermaksud melamar Gladis. Saya tahu saya pernah membuat kesalahan, tapi saya pastikan saya tidak akan membuat Gladis menangis untuk kedua kalinya."

"Niko! Stop!" teriak Gladis frustasi. Tangannya terus menarik tubuh Niko agar segera berdiri. Gladis menggeleng pada Ayah, memintanya agar tidak menanggapi ucapan Niko.

"Ayah, izinkan saya menikahi Gladis untuk membuktikan ucapan saya. Ayah boleh pukul saya sepuasnya asal saya bisa menikah dengan Gladis."

"Niko, jangan bodoh! Aku nggak mau! Pergi dari sini!" Gladis menatap Ayah, matanya berkaca-kaca. "Ayah, jangan dengerin ucapan Niko. Aku nggak mau nikah sama dia."

Niko geram. Dia berdiri. Kini pria itu berbalik badan hingga berdiri menjulang di depan Gladis. Auranya terlihat sangat menyeramkan.

"Kalau bukan sama aku, kamu mau nikah sama siapa, hah?!" Niko membentak. "Kamu pernah janji untuk selalu ada di samping aku! Kemarin aku tersandung masalah, kamu malah pergi gitu aja. Mana janji kamu?"

"Itu masalah yang kamu buat sendiri! Sebagai cowok sudah seharusnya kamu tanggung jawab!"

Niko mengangkat tangannya. Mata Gladis terpejam. Tahu bahwa gadis di depannya ketakutan, Niko tak jadi memukul. Tangannya terarah pada vas bunga tak jauh dari sana. Niko mengangkat benda itu dan melemparkan ke dinding di samping Gladis.

"Ah!" pekik Gladis bertepatan dengan bunyi barang pecah belah. Lengannya tersayat pecahan vas bunga. Perlahan rasa perih juga terasa di wajahnya.

Gladis memandang horror ke arah Niko. Pria itu bukan orang yang dikenalnya. Pria itu telah berubah menjadi monster obsesi.

Bunyi gedebuk mengalihkan perhatian Gladis. Ayah terjatuh bersama kursi rodanya yang terguling. Tangannya mencengkram bajunya di dada sebelah kiri. Ayah kelojotan. Terlihat jelas Ayah menahan rasa sakit dengan menggapai barang apa pun itu di dekatnya.

Tak mempedulikan rasa sakit dan takutnya, Ghina langsung menghampiri sang ayah. Pikirannya kacau. Air matanya berderai membasahi pipi.

"Mbak! Mbak Ira! Tolong!" teriak Gladis frustasi memanggil bantuan asisten rumah tangga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro