14.
Sore ini Gladis bertandang ke rumah kakaknya. Ian mengajak Gladis menyaksikan siaran langsung pertandingan Jeffrey bersama. Gladis langsung saja mengiyakan, lagipula dirinya tidak tahu-menahu aturan main olahraga itu. Gladis jadi bisa bertanya macam-macam pada kakak iparnya mengenai balap motor.
Ini pertama kalinya Gladis menonton pertunjukan MotoGP. Biasanya ia menghindar jika Ian dan Raka mulai berteriak heboh sendiri di ruang tengah. Tidak ada alasan baginya untuk tertarik dengan olahraga cabang itu.
Jujur saja, Gladis merasa gugup dan bersemangat dalam satu waktu yang sama. Semangat karena ia mengenal salah satu pesertanya, gugup karena orang itu adalah Jeffrey. Dibandingkan menang, Gladis lebih memilih agar Jeffrey selamat. Tapi kalau tidak menang, Jeffrey juga tidak akan selamat, dalam artian terselubung. Ah, serba salah.
"Tante, sini!" teriak Raka dari ruang tengah. "Sudah mau mulai!"
"Bentar!" balas Gladis. Ia sedang repot mengganti popok Lala. Salahkan Ian. Anaknya buang air, bapaknya malah sudah leha-leha di depan TV.
Gladis mencuci tangannya setelah membuang pampers kotor. Lala sudah tampak nyaman. Gladis menurunkan keponakan kecilnya dan membiarkannya berjalan tertatih menuju sumber suara televisi.
"Papa, kecilin dikit suaranya!" seru Silvi dari dapur. Ia sedang sibuk membuat makan malam.
Gladis geleng-geleng kepala. Rumah kakaknya ini tidak pernah tenang. Dalam kurun waktu satu jam, pasti ada saja suara teriakan.
"Ada yang perlu aku bantu, Mbak?" Gladis melongok ke dalam dapur.
"Tinggal ditumis kok sayurnya. Ayam kecap sudah matang," jawab Silvi sambil merajang bawang merah. "Kamu nonton aja. Sekalian jaga Lala."
"Okay, Mbak."
Gladis berlalu ke ruang tengah. Raka dan Ian menikmati gambar di layar persegi panjang itu dengan ribut. Gladis tahu, Raka belum sepenuhnya mengerti balap motor. Anak itu hanya ikut-ikutan sang ayah.
"Sini Lala, sama Tante," ucap Gladis sambil mengangkat tubuh Lala ke atas sofa.
"Maem," pinta Lala sambil menunjuk bungkus biskuit di atas meja.
Gladis mengambilkan satu buah, lalu menyerahkannya pada Lala. Ia membersihkan remahan biskuit yang tercecer.
"Yuhuu," teriak Ian. Raka ikutan loncat-loncat di kursi.
"Kenapa?" tanya Gladis antusias. Jujur saja, selalu ada hal yang harus ia kerjakan hingga tidak bisa menikmati tayangan dengan seksama.
"Ini ada tayangan ulang hari kemarin. Jeffrey di sesi kualifikasi dapat posisi ketiga. Lumayan untung tuh," jelas Ian.
Gladis mengamati gambar di TV. Ia melihat motor biru bernomor 77 sedang melaju. Gladis tidak bisa melihat wajah Jeffrey karena selalu tertutup helm, tapi ia yakin tidak salah orang. Senyum gadis itu tercetak, ia bangga dengan Jeffrey.
"Artinya apa, Kak?"
"Waktu tanding nanti, dia dapat pole di depan. Bagus untuk permulaan."
Gladis angguk-angguk. Ia mengalihkan pandangan sejenak ketika gambar Jeffrey sudah tidak lagi ditayangkan. Gladis memang hanya menonton untuk melihat Jeffrey, tidak untuk yang lain.
"Tante, aku juga mau maem," ucap Raka. Ia turun dari sofa dan menghampiri Gladis.
"Ini punya Lala. Raka nggak boleh ngemil sebelum makan malam nanti."
"Curang. Masa Lala boleh, aku nggak?" protes Raka.
Gladis hela napas. "Makan buah, ya? Tante kupasin apel."
Raka mengangguk. Ia memilih duduk di sebelah Lala. Pandangannya tak berhenti mengamati si adik yang makan dengan berantakan.
"Gladis! Jeffrey sudah mau main nih! Siaran langsung, buruan!" panggil Ian. Saat ini Gladis memang sedang sibuk mengupas buah di dapur.
"Duh," keluh Gladis. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Gladis bahkan tidak sempat memotong apel menjadi bagian lebih kecil, agar mudah dimakan oleh anak-anak.
"Itu Om Jef!" Raka ikutan heboh.
Gladis meletakkan kotak makan di atas meja. Atensinya fokus ke layar TV. Dia tidak peduli ponakannya akan merengek minta perhatian. Salah dia sendiri, kalau mau menonton dengan tenang, Gladis bisa melakukannya di rumah, bukan di rumah kakaknya.
Dalam hati Gladis berdoa. Perutnya terasa mulas. Suara mesin motor yang mulai memosisikan diri di tempatnya masing-masing membuat jantung Gladis berdetak cepat.
Melihat betapa ramainya penonton di sana, Gladis sempat terkesima. Seketika bayang-bayang tayangan balap motor tahun-tahun lalu yang ia tonton semalam, menghantuinya. Tayangan sejarah kelam, seorang atlet meninggal dunia akibat cedera berat karena kecelakaan selang dua menit dari dimulainya perlombaan.
Gladis menggeleng, matanya terpejam erat. Tidak, jangan sampai sejarah itu terulang. Gladis hanya ingin Jeffrey kembali dalam keadaan selamat. Ia tidak peduli dengan juara. Ia tidak peduli dengan kontrak kerja. Bagi Gladis, nyawa Jeffrey tak bisa dipertaruhkan dengan apapun juga.
"Bagus, di depan terus, Jef!" ucap Ian berapi-api ketika posisi Jeffrey tidak berhasil disalip.
Pertandingan semakin seru. Saat ini Jeffrey berada di posisi ketiga. Pria itu berhasil memangkas jarak, namun, kembali tertinggal sepersekian detik ketika mereka melaju di lintasan lurus. Di tikungan ketiga lap dua, Jeffrey berhasil menyalip lawannya dari dalam. Kini posisi pertama dan kedua dipimpin oleh pemain dari tim yang sama.
Tatapan Gladis terkunci. Ia tidak ingin ketinggalan jejak motor nomor 77. Gadis itu diam, tidak berkomentar apapun. Dia bahkan menulikan diri dari suara berisik Ian.
Motor Jeffrey berhasil merapat pada motor lawan di tikungan. Gladis menahan napas. Pertarungan makin sengit. Apalagi lawan Jeffrey bisa lolos tidak hanya sekali saja. Keduanya terus melaju tanpa kenal lelah.
Gladis memekik tertahan. Matanya memburam. Lepas dari tikungan keenam, motor-motor berhamburan. Crash besar melibatkan pemain posisi top five.
"Om Jeffrey!" teriak Raka histeris.
Gladis menunggu dengan cemas. Tak berbeda dengan Ian dan Raka di sebelahnya. Mereka bertiga kompak celingukan begitu tahu bahwa ada banyak orang yang muncul dari pintu keluar bandara.
Tak susah menemukan Jeffrey. Pria dengan tubuh jangkung itu tampak mencolok. Ian memanggilnya. Jeffrey menoleh, senyumnya makin terkembang melihat kehadiran Gladis di sana.
"Om Jeffrey!" sapa Raka. Anak itu menyambut dengan kikuk, namun juga penuh rasa rindu. Mungkin karena sudah lama tak bertemu, Raka jadi kembali canggung.
"Halo, Jagoan," sapa Jeffrey balik sambil mengacak rambut mangkuk Raka. Ia berlalu ke arah Ian dan memeluk tubuhnya sebagai sapaan. "Halo, Bro!"
"Selamat ya, Jef."
"Makasih," balas Jeffrey. Ia melepaskan rangkulannya dan melihat ke arah Gladis. Tangan kanannya terulur dengan posisi menengadah. "Sini."
Gladis menerima uluran tangan Jeffrey. Ia memekik kaget ketika tubuhnya bagai melayang masuk ke dalam dekapan hangat Jeffrey. Gladis membiarkan cowok itu memeluknya erat selama beberapa detik.
"Kamu sehat, kan? Nggak ada luka, kan?" tanya Gladis. Ia melepaskan rangkulan dan mengamati Jeffrey dengan seksama.
"Aku baik-baik aja, kok," jawab Jeffrey sambil tersenyum lebar. "Kok kamu jemput ke bandara? Kan aku menang. Perjanjiannya bukan gini."
Gladis memberikan tatapan kesal. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah. "Aku khawatir. Aku kira kamu celaka."
Jeffrey tertawa. "Crash itu hal yang lumrah. Lagian aku kan nggak jatuh. Aku berhasil nyalip, baru tabrakan itu terjadi. Makanya, aku dapat juara satu itu sebagian kecil karena hoki juga."
Gladis menghela napas panjang. Sia-sia saja dia khawatir. Jeffrey malah bersikap kelewat santai.
"Lanjut ngobrol di mobil aja, takut baliknya kemalaman," potong Ian. "Besok Gladis masuk pagi, lanjut jaga malam. Iya, kan?"
"Iya, Kak."
"Lho, aku ke Jogja, malah ditinggal jaga malam?" protes Jeffrey.
Gladis mendengus kesal. Ia balik badan tanpa mempedulikan Jeffrey. Biar saja cowok itu merajuk. Gladis tidak akan meladeninya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro