1.
"Tante dengar aku ngomong apa nggak, sih?"
Gladis mengerjapkan matanya cepat. Dia tergagap. Kepalanya menunduk, ia menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun menarik-narik bajunya.
"Tante!"
"Eh, iya? Kenapa?"
"Aku mau beli mainan. Tante kan sudah janji mau beliin aku."
Gladis menghela napas panjang. "Iya, nanti beli. Sekarang kita makan dulu." Gladis celingukan. "Mama kamu mana?"
"Lagi kasih adek nenen."
Gadis itu menepuk dahinya pelan. Duh, dia benar-benar menjadi linglung. Gladis lupa bahwa saat ini ia sedang menunggu sang kakak sambil duduk di kursi seberang toko baju bersama Raka.
"Kita makannya nunggu Mama kamu."
"Beli mainan dulu, Tante," rengek Raka. Ia menunjuk toko mainan tak jauh dari sana. "Itu Tante. Aku mau beli mainan di situ."
"Boleh beli mainan kalau sudah makan. Nanti kamu nggak habis makannya karena sambil main."
"Nggak, Tante. Nanti Mama keburu keluar aku jadi nggak boleh beli mainan."
"Nggak."
"Tante," rengek Raka. Anak laki-laki itu membandel. Tanpa mempedulikan Gladis, Raka berlari menuju toko yang sedari tadi menarik perhatiannya.
"Raka!" panggil Gladis. Percuma, dia diabaikan. Gadis itu menggerutu pelan sambil menyusul Raka yang telah menghilang masuk ke dalam toko.
Raka sedang mengamati mainan berbentuk motor di depannya dengan kagum. Anak itu berjongkok. Sesekali matanya melirik motor jenis satu ke motor jenis lainnya. Gladis tidak tahu apa bedanya. Menurut Gladis, itu semua hanya berbeda warna.
Sampai sekarang Gladis masih heran. Mainan anak-anak yang berbentuk motor itu jarang ia temukan. Lebih sering berupa robot, mobil, atau alat-alat berat. Di rumah pun, Raka hanya punya satu motor mainan yang sampai saat ini dia jaga dengan baik layaknya harta karun. Itu pun edisi kendaraan Batman, yang dijual satu paket bersama miniatur mobil, pesawat, motor, serta boat. Bisa dibayangkan mahalnya harga satu paket limited edition tersebut, tapi hanya motornya saja yang menarik perhatian Raka.
Raka mendongak. Wajahnya berseri-seri. "Betul kan, Tante. Ada motor di sini."
Gadis itu tersenyum tipis. "Insting kamu kok bagus, sih. Tahu aja ada mainan kesukaan kamu di sini."
"Lebih bagus yang oranye atau biru, Tante?" tanya Raka sambil menunjuk dua motor berbeda.
Gladis ikut berjongkok di samping Raka. Dia tidak mengerti apa bagusnya mainan ini. Jadi, Gladis memasang wajah serius, pura-pura berpikir keras.
"Hm, yang biru kayaknya bagus."
"Yang biru motornya Adam, pebalap asal Inggris."
Gladis mendengus geli. Sepertinya ia harus memberitahu pada kakak iparnya bahwa Raka sangat terpengaruh oleh hobinya. Anak berusia lima tahun itu mengingat nama pembalap serta motornya. Padahal, Gladis saja tidak tahu apa-apa tentang dunia racing.
"Ada yang biru lagi, Tante!" seru Raka tak kalah semangat. "Ini motornya Jeffrey. Nomor 77, Tante!"
Gladis meringis sambil mengangguk pelan. Keponakannya benar-benar larut dalam hobi ini. Kalau kakak Gladis tahu Raka seperti ini, pasti ia akan memarahi suaminya karena dianggap sudah meracuni sang anak dengan tontonan non-edukatif. Yah, lebih baik menonton kartun daripada pertandingan motor, bukan?
"Aku mau yang ini aja."
"Lho, nggak jadi yang pertama? Atau yang satunya?"
"Yang ini aja, Tante. Jeffrey kemarin menang."
Gladis meraih mainan motor yang dimaksud Raka. Ia membaca label harganya. Sedetik kemudian gadis itu meletakkan ke tempat semula dan menarik tangan Raka agar berdiri. Tabungannya bisa terkuras oleh mainan mahal tersebut. Bagaimana tidak mahal, pasalnya barang tersebut ternyata adalah merchandise original perayaan MotoGP tahun ini.
"Lho, Tante," Raka bingung. Ia tak mau beranjak dari tempatnya berpijak. "Kok mainannya nggak dibawa?"
"Kalau mau beli, tunggu Papa kamu aja."
Wajah Raka kusut. "Nggak mau! Tante kan sudah janji!"
"Tante janji beliin mainan, tapi bukan berarti mainan yang itu."
"Aku mau yang itu!"
"Pilih yang lain."
"Tante," rengek Raka tak mau kalah. Wajahnya memerah, sudah mau menangis. "Aku suka Jeffrey. Kalau nggak aku beli, nanti dibeli sama orang lain."
Gladis berlutut, menyesuaikan level pandangan dengan mata Raka. Ia mengeluarkan jurus negosiasi. Kalau ingin menyelamatkan tabungan uang kuliahnya, Gladis harus berusaha keras membujuk Raka.
"Raka, Tante mau beliin Raka mainan yang bagus, tapi uang Tante nggak cukup. Raka tahu maksud Tante, kan?"
"Tapi aku mau itu," ucap Raka sambil menunjuk mainan impiannya. Anak kecil itu terisak. Benar-benar menyedihkan.
Gladis menghela napas panjang. Tangannya mengusap jejak air mata sang ponakan. "Tante bilang ke Papa kamu nanti. Sekarang Raka pilih mainan motor yang lebih murah aja, ya."
Raka tidak menjawab. Dia memeluk leher sang Tante sambil tetap menangis. Tatapan matanya terkunci pada figurin motor berwarna biru bernomor 77.
Kasihan. Tangisannya sungguh menyayat hati. Seperti baru kehilangan mimpi terbesar di hidupnya. Dasar anak-anak.
"Wih, ternyata motor gue sampai ke Jogja juga," suara berat menyapa telinga Gladis.
Gladis mendongak. Ia masih memeluk Raka sambil berlutut. Orang yang barusan datang pun terkejut. Mungkin pria itu tak mengira ada orang bersembunyi di balik rak.
"Hm, maaf," pria itu mengangguk kecil salah tingkah.
Gladis balas mengangguk. Gadis itu kembali fokus pada Raka di pelukannya.
"Raka, jangan nangis ya. Malu lho dilihat orang lain."
Raka mengusap matanya dengan lengan baju. Gladis membantu membersihkan hidung Raka yang berair. Tangan Raka segera digandeng Gladis untuk keluar dari toko mainan.
"Tante, aku mau lihat lagi."
"Raka ...."
"Lihat aja, Tante. Janji."
Gladis menghela napas panjang. Ia melepaskan gandengannya. "Ya sudah. Jangan lama-lama ya. Nanti Mama kamu nyariin."
Raka tersenyum lebar dan mengangguk. Anak itu berjalan cepat menuju tempat tadi. Gladis tersenyum kecil. Ia membiarkan Raka asyik dengan dunianya sendiri sedangkan dirinya memilih melihat-lihat mainan Lego di sisi lain toko.
"Tante, Tante," panggil Raka semangat padahal baru satu menit yang lalu dia memohon-mohon dengan mimik sedih.
Gladis menoleh. Raka berdiri di samping kakinya. "Hm? Sudah selesai?"
"Ada Jeffrey, Tante. Dia mau beliin aku motor yang tadi."
"Hah? Jeffrey?"
Raka menunjuk ke arah kasir. Mata Gladis mengikuti. Dari tempatnya berdiri, ia hanya bisa memandang punggung tegap seorang pria jangkung sedang berdiri mengurus pembayaran. Gladis kemudian sadar. Itu adalah pria tadi yang menangkap basah dirinya sedang menenangkan tangisan Raka.
"Iya, Jeffrey."
Gladis mengangkat kedua alis. "Kamu yakin, dia beneran Jeffrey? Pembalap motor kesukaan kamu?"
Raka mengangguk. "Om-nya bilang gitu kok. Dia juga katanya mau beliin aku mainan tadi, terus mau dikasih tanda tangan."
"Ih, Tante nggak percaya. Mana ada Jeffrey di Jogja."
"Beneran, Tante. Tuh, Om-nya lagi jalan ke sini."
Gladis mengangkat kepala. Benar saja, pria itu tersenyum manis dengan tas belanja besar di salah satu tangannya. Gladis mengernyit tak suka. Ketika orang itu mau merunduk mendekati Raka, Gladis langsung menarik sang ponakan agar berlindung di balik dirinya.
"Saya walinya. Kalau ada yang perlu dibicarakan, bicara dengan saya," ucap Gladis tegas.
"Oh, maaf. Saya sudah lancang," pria itu masih tersenyum. "Saya Jeffrey. Panggil Jef saja. Saya mau memberikan ini untuk fans kecil saya."
"Tuh, kan, Tante. Dia beneran Jeffrey," ucap Raka, kepalanya muncul dari balik paha Gladis.
Gladis berdecak kecil. Gadis itu masih menghadap sang lawan bicara yang kelewat tinggi. "Maaf, tapi sebagai orang dewasa, sepertinya kamu tahu bahwa perbuatan ini kurang bijak. Kamu perlu bicara dengan walinya sebelum bicara dengan anak-anak."
Jeffrey mengangkat sebelah alis. "Saya saat ini sedang bicara dengan walinya."
Gladis tersenyum sopan. "Mohon maaf. Saya menolak pemberian itu." Gadis itu menoleh ke arah Raka lalu menggenggam sebelah tangannya. "Ayo, Raka."
"Tante," rengek Raka. "Om itu mau kasih aku hadiah."
"Jangan terima hadiah dari orang asing!"
"Tapi itu Jeffrey, bukan orang asing."
Alis Gladis menyatu. Raka sepertinya kurang diberi pengertian bahwa orang terkenal pun sebenarnya adalah orang asing. Ketika Gladis sudah berbalik badan ingin memberi ceramah lanjutan, saat itu juga Raka melepaskan diri dari sang Tante. Raka berlari ke arah Jeffrey dan memeluk kaki pria tersebut dengan akrab.
Gladis menepuk dahi. Ugh, dirinya benar-benar sedang sial.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro